Senin, 02 Mei 2016

Nikah mut'ah ala nabi VS ala syiah


gambaran nikah Mut’ah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pernah dilakukan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dapat dirinci sebagai berikut:
1. Dilakukan pada saat mengadakan safar (perjalanan) yang berat seperti perang, bukan ketika seseorang menetap pada suatu tempat. (HR. Muslim hadits no. 1404)
2. Tidak ada istri atau budak wanita yang ikut dalam perjalanan tersebut. (HR. Bukhari no. 5116 dan Muslim no. 1404)
3. Jangka waktu nikah mut’ah hanya 3 hari saja. (HR. Bukhari no. 5119 dan Muslim no. 1405)
4. Keadaan para pasukan sangat darurat untuk melakukan nikah tersebut sebagaimana mendesaknya seorang muslim memakan bangkai, darah dan daging babi untuk mempertahankan hidupnya. (HR. Muslim no. 1406)

Nikah mut'ah yang di halalkan di awal Islam bukan seperti mut'ah ala Syiah yang sudah banyak meracuni dan merusak kaum muslimin. Karena mut'ah yang pernah di halalkan namun kemudian diharamkan itu memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut:

Pertama, tidak sedang berada di tempat tinggalnya, baik ketika safar maupun pada sa'at jihad yang mana dia tidak bisa membawa istrinya. Jadi dihalalkannya nikah mut'ah di awal Islam adalah saat terpaksa, bukan dalam keadaan lapang. Hal ini ditunjukan oleh hadits Ibnu Mas'ud, Jabir bin Abdillah, dan hadits Salamah bin Akwa di atas. Dan ini diperkuat oleh Riwayat Imam Bukhari no.5116 dari Abi Jamrah berkata: "Saya mendengar Ibnu Abbas radliyallah 'anhuma ditanya tentang nikah mut'ah lalu beliau membolehkannya, Maka ada bekas budak beliau yang berkata, "Itu hanya dalam keadaan yang terpaksa dan saat wanita sedikit." Maka Ibnu Abbas menjawab, "benar."
Berkata Al-Qadhi Iyadh, "Semua hadis di atas tidak ada yang menunjukan bahwa mut'ah dilakukan saat berada di tempat tinggalnya. Namun dilakukan saat dalam perjalanan  perang atau saat terpaksa dan tidak ada istri yang bersamanya." (Syarh Shahih Muslim, 9/1179)
Kedua, harus memenuhi syarat akad nikah yang sah, yaitu izin wali wanita, adanya dua orang saksi dan adanya mahar serta apabila telah selesai masa mut'ah si wanita wajib melakukan 'iddah sehingga jelas apakah dia hamil ataukah tidak? karena kalau hamil maka anak itu dinasabkan kepada bapaknya. (Al-Mufashal fie Ahkamil Mar-ah, Syaikh Abdul Karim Zaidan, 6/174)

Berkata Imam Ibu Athiyah, "Nikah mut'ah yang pernah dibolehkan adalah apabila seorang laki-laki  menikahi wanita dengan dua orang saksi dan izin wali sampai batas waktu tertentu, hanya saja tanpa hak saling mewarisi antar keduanya namun tetap harus dengan mahar atas kesepakatan keduanya. Dan apabila telah selesai masanya, Maka dia tidak lagi mempunyai hak atas istrinya dan harus istibra rahimnya (mengkosongkan rahim dari janin dan itu bisa diketahui dengan datangnya haid atau melahirkan), karena anak yang lahir akan dinasabkan kepada ayah tapi apabila tidak hamil maka dia boleh menikah dengan yang lainnya."
Imam Al Qurthubi berkata, "Apabila nikah mut'ah tanpa saksi dan Wali: hal itu adalah perzinaan sama sekali tidak diperbolehkan dalam Islam." (Tafsir Qurthubi, 5/132)

Hal ini sangat jauh berbeda dengan amalan mut'ah yang dilakukan sebagian orang sekarang ini karena mereka memang mereka mengadopsi dari mut'ah Syiah yang mana tidak disyaratkan adanya wali dan saksi. (Al Mufashal, 6/175-177. Dan kitab mereka An-Nihayah oleh ath -Thusi hal. 489)

Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan, "Setelah memaparkan model nikah Mut'ah Syiah Ja'fariyah yang kita ambil dari kitab-kitab monumental mereka, maka sangat jelas dan gamblang akan kebatilan nikah ini dan ini bukan mut'ah yang pernah dihalalkan di awal masa islam. (Al Mufashal, 6/175-177)

Adapun hikmah atau rahasia dibolehkannya kawin mut'ah waktu itu, ialah karena masyarakat Islam waktu itu masih dalam suatu perjalanan yang kita istilahkan dengan masa transisi, masa peralihan dari jahiliah kepada Islam. Sedang perzinaan di masa jahiliah merupakan satu hal yang biasa dan tersebar di mana-mana. Maka setelah Islam datang dan menyerukan kepada pengikutnya untuk pergi berperang, dan jauhnya mereka dari isteri merupakan suatu penderitaan yang cukup berat. Sebagian mereka ada yang imannya kuat dan ada pula yang lemah. Yang imannya lemah, akan mudah untuk berbuat zina sebagai suatu perbuatan yang keji dan cara yang tidak baik.

Tidak ada komentar: