Kamis, 27 Februari 2020

Imam assuyuti melarang mengkhususkan puasa rajab


Imam Suyuti berkata di dalam Al Amru Bil Ittiba’ Wa nahyu ‘Anil Ibtida’, lembaran 14 / 1 : Asy Syafi’i rahimahullah berkata,”Aku membenci seorang laki-laki yang menjadikan puasa (Rajab) sebulan penuh sebagaimana puasa Ramadhan. Demikian pula puasa sehari diantara hari-hari yang lainnya.”

Isra' mi'raj 27 rajab?


Imam Nawawi rahimahullah mengutip dua pendapat dalam Syarh Shahîh Muslim (2/209) dari Abu Ishaq al-Harbi, yaitu 27 Rabiul Awwal dan 27 Rabi’ul Akhir.

Pendapat berikutnya ialah terjadi pada tanggal 27 Rajab. Pendapat ini walaupun tidak memiliki dalil, baik dari hadits shahih, lemah ataupun palsu, dan tidak pernah diungkapkan oleh generasi Salaf, namun banyak orang meyakininya. Tidak itu saja, mereka pun mengistimewakan malam tersebut perayaan.

Tidak ada keutamaan khusus bulan rajab


Pernyataan Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni asy-Syâfi’i rahimahullah , tokoh hadits pada abad ke-9 dengan karya fenomenalnya Fathul Bârî ini sudah menyimpulkan sebuah kesimpulan yang pantas dipedomani oleh umat. Beliau rahimahullah mengatakan dalam kitab yang beliau tulis untuk membahas keutamaan bulan Rajab, ‘Tabyînil Ajab bimâ warada fî Syahri Rajab, “Tidak ada hadits yang pantas dijadikan hujjah tentang keutamaan bulan Rajab, puasa bulan Rajab atau puasa pada hari tertentu dari bulan Rajab, (juga) tentang shalat malam tertentu di dalamnya. Dan Imam Abu Ismâ’îl al-Harbi  rahimahullah telah mendahuluiku dengan penegasan tentang itu sebelumku”. [Tabyînil Ajab bimâ warada fî Syahri Rajabhlm.23.]

Syukurilah bulan rajab


Syaikh al-‘Utsaimîn rahimahullah berpesan, “Pujilah Rabb kalian yang telah memanjangkan usia kalian, sehingga kalian mendapatkan bulan Rajab”. [Adh-Dhiyâ al-Lâmi minal Khuthabil Jawâmi’6/403]

Bergeralah menuju pintu kebaikan


Seorang Ulama dari generasi Tabi’in, Khâlid bin Ma’dân rahimahullah (wafat tahun 103 H) berpesan:

إِذَا فُتِحَ لِأَحَدِكُمْ بَابُالخَيْرِ فَلْيُسْرِعْ إِلَيْهِ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِيْ مَتَى يُغْلَقُ عَنْهُ

Bila telah terbuka bagi salah seorang dari kalian pintu kebaikan, hendaknya bersegera memasukinya. Sebab, sesungguhnya ia tidak tahu kapan pintu itu akan tertutup baginya. [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam az-Zuhd hlm. 384. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ 4/540]

Sabtu, 22 Februari 2020

Salam pancasila itu haram

Larangan salam dg isyarat dan tangan seperti salam pancasila

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمَ الْيَهُوْدِ، فَإِنَّ تَسْلِيْمَهُمْ بِالرُّؤُوْسِ وَاْلأَكْفِ وَاْلإِشَارَةِ.

“Janganlah kalian memberikan salam sebagaimana salamnya orang-orang Yahudi, karena sesungguhnya cara Yahudi memberi salam adalah dengan (anggukan) kepala dan lambaian tangan atau dengan isyarat (tertentu).”[HR. At-Tirmidzi no. 2695, dengan sanad hasan. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah no. 2194]
Selama mampu salam dg lisannya.

Sabtu, 01 Februari 2020

MENGINGKARI SATU SAJA HUKUM ALLOH SATU SAJA MAKA MURTAD

Profesor Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
وَ إِنْكَارُ حُكْمٍ مِنْ أَحْكَامِ الشَّرِيْعَةِ الَّتِي ثُبِتَتْ بِدَلِيْلٍ قَطْعِيٍّ، أَوْ زَعْمُ قَسْوَةِ حُكْمِ مَا كَالْحُدُوْدِ مَثَلاً، أَوْ اِدْعَاءُ عَدَمِ صَلاَحِيَّةِ الشَّرِيْعَةِ لِلتَّطْبِيْقِ يُعْتَبَرُ كُفْراً وَ رِدَّةً عَنِ اْلإِسْلاَمِ. أَمَّا إِنْكَارُ اْلأَحْكَامِ الثَّابِتَةِ بِاْلإِجْتِهَادِ اْلمبَنْيِ عَلَى غَلَبَةِ الظَّنِّ فَهُوَ مَعْصِيَّةٌ وَ فِسْقٌ وَ ظُلْمٌ.
Mengingkari salah satu hukum dari hukum-hukum syariah yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, atau menyakini keburukan hukum syariah apapun itu, hudud misalnya, atau menuduh ketidaklayakan hukum syariah untuk diterapkan, semua itu dinilai sebagai kekufuran dan murtad dari Islam. Adapun pengingkaran terhadap hukum yang ditetapkan dengan ijtihad yang dibangun di atas dugaan kuat (ghalabah azh-zhann) adalah kemaksiatan, kefasikan dan kezaliman. (Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1/25).

FATWA RESMI NU : JILBAB ITU WAJIB

Pendapat resmi Nahdlatul Ulama (NU) sendiri bisa dilacak antara lain dalam Ahkam al-Fuqaha’ fi Muqarrati Mu’tamarat Nahdhatil Ulama’ (Kumpulan Masalah-masalah Diniyah dalam Muktamar NU ke-1 s/d 15). Buku ini diterbitkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Penerbit CV Toha Putra Semarang. Buku ini disusun dan dikumpulkan oleh Kyai Abu Hamdan Abdul Jalil Hamid Kudus, Katib II PB Syuriah NU dan dikoreksi ulang oleh Abu Razin Ahmad Sahl Mahfuzh Rais Syuriah NU.
Di dalam buku tersebut pada juz kedua (halaman 8-9), yang berisi hasil keputusan Muktamar NU ke-8 yang diadakan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 12 Muharram 1352 H atau 7 Mei 1933 H, tercantum fatwa yang merupakan jawaban pertanyaan yang berasal dari Surabaya, “Bagaimana hukumnya wanita yang keluar untuk bekerja dengan terbuka wajah dan kedua tangannya? Apakah haram atau makruh?” Dijawab sebagai berikut:
يحرم خروجها لذلك بتلك الحالة على المعتمد والثاني يجوز خروجها لأجل المعاملة مكشوفة الوجه والكفين إلى الكوعين. وعند الحنفية يجوز ذلك بل مع كشف الرجلين إلى الكوعين إذا أمنت الفتنة.
Haram wanita keluar untuk tujuan demikian menurut pendapat yang mu’tamad. Menurut pendapat lain boleh wanita keluar untuk jual-beli dengan wajah dan kedua telapak tangannya terbuka. Menurut Mazhab Hanafi, yang demikian boleh bahkan dengan terbuka kakinya (sampai mata kaki, ed.) jika tidak ada fitnah.
Kemudian dalam fatwa tersebut dinukil keterangan dari kitab Maraqhil-Falah Syarh Nurul-Idhah antara lain sebagai berikut:
(وَجَمِيْعُ بَدَنِ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ إِلاَّ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا) بَاطِنَهُمَا وَظَاهِرَهُمَا فِي اْلأَصَحِّ وَهُوَ الْمُخْتَارُ. وَذِرَاعُ الْحُرَّةِ عَوْرَةٌ فِيْ ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ وَهُوَ اْلأَصَحُّ…
Menurut pendapat yang paling sahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat, kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian dalam ataupun luarnya. Demikian pula lengannya, termasuk aurat. Ini adalah pendapat yang paling sahih… (Hasan asy-Syaranbilali al-Hanafi, Maraq al-Falah Syarah Nur al-Idhah. Mesir: Musthafa al-Halabi, 1366 H/1947), hlm. 45).
Juga dinukil keterangan dari Kitab Bajuri Hasyiah Fathul Qarib antara lain sebagai berikut:
…وَشَمِلَ ذَلِكَ وَجْهَهَا وَكَفَّيْهَا فَيَحْرُمُ النَّظَرُ إِلَيْهِمَا وَلَوْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ أَوْ خَوْفِ فِتْنَةٍ عَلَى الصَّحِيْحِ كَمَا فِي الْمِنْهَاجِ وَغَيْرِهِ إِلَى أَنْ قَالَ وَقِيْلَ لاَ يَحْرُمُ…وَالْمُعْتَمَدُ اْلأَوَّلُ، وَلاَ بَأْسَ بِتَقْلِيْدِ الثَّانِي…
…Ungkapan tersebut mencakup wajah dan kedua telapak tangannya. Karena itu haram melihat keduanya walaupun tanpa syahwat atau khawatir timbulnya fitnah, menurut pendapat al-sahih seperti yang tertera dalam kitab Al-Minhaj dan lainnya. Pendapat lain menyatakan tidak haram…Pendapat pertama (haram) adalah pendapat yang mu’tamad, tetapi tidak apa-apa (boleh) mengikuti pendapat kedua (tidak haram)… (Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri. Singapura: Sulaiman Mar’i, t. th., II/97).