Jumat, 29 Mei 2015

SYUBHAT : KOTORAN CICAK TIDAK NAJIS


syubhat : Mengenai hukum kotoran cicak apakah najis ataukah suci, masalah ini kembali pada pembahasan apakah cicak itu sendiri masuk hewan yang darahnya mengalir sehingga kotorannya dihukumi najis karena termasuk hewan yang haram dimakan ataukah termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir yang nanti akan dihukumi kotorannya itu suci.
jawab : sudah sangat gamblang bahwa cicak termasuk binatang haram termasuk fuwaisiq.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dia berkata:
أَنَّ النبيَّ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغَ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
“Sesungguhnya Nabi -shallallaahu alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya sebagai fuwaisiq (binatang jahat).” (HR. Muslim no. 2238)
Dan para sahabat memahami bahwa semua hewan yang dinamakan fasik maka dia haram untuk dimakan. Ibnu Umar berkata, “Siapa yang makan burung gagak? Padahal Rasulullah telah menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Diriwayatkan juga yang semisalnya dari Urwah bin Az-Zubair.
Aisyah -radhiallahu anha- berkata, “Aku sungguh heran terhadap orang-orang yang memakan burung gagak, padahal Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan untuk membunuh gagak dan menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Lihat ucapan ketiga sahabat ini dalam Al-Muhalla: 7/404
Maka dari tiga ucapan sahabat ini menunjukkan bahwa semua hewan yang fasik dan yang diperintahkan untuk dibunuh maka dia juga haram untuk dimakan.
termasuk juga binatang yg menjijikkan 
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- berkata dalam Al Muhalla (7/405), “Cicak adalah salah satu binatang yang paling menjijikkan.”
Dan Allah telah mengharamkan semua makanan yang khabits dalam firman-Nya, “Dan dia menghalalkan yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk (menjijikkan).” (QS. Al-A’araf: 157)
termasuk juga binatang yg diperintahkan dibunuh.
Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang membunuh cicak pada pukulan pertama maka dituliskan untuknya seratus kebaikan, jika dia membunuhnya pada pukulan kedua maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan pada pukulan ketiga maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu.” (HR. Muslim no. 2240)
Banyak di antara ulama yang menyebutkan sebuah kaidah yang berbunyi: Semua hewan yang boleh dibunuh maka dia haram untuk dimakan, dan hal itu menunjukkan pengharaman, karena perintah untuk membunuhnya -padahal telah ada larangan untuk membunuh hewan-hewan ternak yang boleh dimakan tapi bukan bertujuan untuk dimakan-, menunjukkan kalau dia adalah haram. Kemudian, yang nampak dan yang langsung dipahami bahwa semua hewan yang Rasulullah  izinkan untuk membunuhnya tanpa melalui jalur penyembelihan yang syar’iyah adalah hewan yang haram untuk dimakan. Karena seandainya dia bisa dimanfaatkan dengan dimakan maka beliau pasti  tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya, sebagaimana yang jelas terlihat. Lihat Bidayah Al-Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithi (1/273)
apalagi telah disepakati para ulama' keharamannya.
tokek/cicak adalah hewan yang haram untuk dimakan. Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (15/186), “Dan cicak/tokek telah disepakati bahwa dia adalah hewan yang haram dimakan.”
SYUBHAT : Al Mardawi Al Hambali dalam Al Inshaf menyatakan bahwa yang shahih dalam pendapat madzhab, cicak termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir, sama halnya seperti ular.
JAWAB : anda memotong terjemahnya.seharusnya darah yg mengalir.lihat teks aslinya
قال المرداوي الحنبلي في الإنصاف: والصحيح من المذهب: أن الوزغ لها نفس سائلة. نص عليه كالحية

SYUBHAT : Kesimpulannya, kebanyakan ulama berpendapat bahwa kotoran najis yang sedikit dari hewan yang sulit dihindari dimaafkan (al ‘afwu).
JAWAB : ini kesimpulan yg tergesa-gesa dan tanpa tafshil alias tidak terperinci.
dan dalam minhajul qawim jilid 1 halaman 30
ﻭﻳﻌﻔﻰ ﻋﻦ ﺫﺭﻕ اﻟﻄﻲﻭﺭ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺇﻥ ﻛﺜﺮ ﻟﻤﺸﻘﺔ اﻻﺣﺘﺮاﺯ ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺘﻌﻤﺪ اﻟﻤﺸﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ ﺃﻭ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻮ ﺃﻭ ﻣﻤﺎﺭﺳﻪ ﺭﻃﺒًﺎ،
jg dalam tuhfah jilid 2 halaman 120
ﻭﻳﺴﺘﺜﻨﻰ ﻣﻦ اﻟﻤﻜﺎﻥ ﺫﺭﻕ اﻟﻄﻲﻭﺭ ﻓﻴﻌﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﻓﻴﻪ ﺃﺭﺿﻪ، ﻭﻛﺬا ﻓﺮاﺷﻪ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﺟﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﻓﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺘﻌﻤﺪ ﻣﻼﻣﺴﺘﻪ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﻜﻠﻒ ﺗﺤﺮﻱ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻠﻪ ﻻ ﻓﻲ اﻟﺜﻮﺏ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ 

beliau menyinggung mslh kotoran burung(dalam madzhab syafi'i najis),dan kotoran burung ini di ma'afkan saja jika ia mau sholat disekitarnya itu,karen susahnya menghindar dr kotoran2 itu,
ini masalahnya pd masjidil haram atau masjid2 yg tdk ada atapnya yg mudah dlalui burung diatasnya,sehingga tdk bs lg di hindari jika burung di atas membuang kotoran,
di ma'afkan kotoran burung ini
dgn syarat kotorannya tidak mengenai badan nya atau tidak ia injak lalu menempel di kakinya,dan kotorannya kering,tidak basah,kalau basah maka tidak di ma'afkan,

di qiyaskan lebih aula /lebih2 dr kotoran burung(dalam madzhab syafi'i najis),yaitu kotoran cicak,
maka dgn ini di hukumkan bhw:
kotoran cicak adalah najis yg di ma'afkan pd tempat sholat dgn syarat
1- tidak basah
2- tidak menempel dibadan waktu sholat
3- tidak nempel dipakaiannya waktu sholat
adapun jika segera membuangnya saat itu maka tidak batal

jd sama hukumnya baik banyak atau sedikit jika kotoran cicak itu kering,maka termasuk najis yg ma'fu(dimaafkan)

tp jika tahi cacak itu basah,maka gairu ma'fu teta najis sama saja baik  sedikit apalagi banyak,
kan sedikit ?sedikit itu kalau aslinya banyak kemudian yang ada cuma separo atau lebih sedikit lagi.adapun kotoran cicak walaupun utuh ya kecil dari dulu ya segitu kecuali kalau tersisa sebagian kecil mungkin dima'fu.

Tidak ada komentar: