Sabtu, 14 Maret 2015

SYUBHAT SYIAH : JAMA' TANPA UDZUR




SYUBHAT SYIAH : Pembahasan pertama dimulai dari pertanyaan apakah patut menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani dan lain-lain untuk shalat tiga waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?.
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana, patut ataukah tidak itu harus ditimbang dengan kacamata Syari’at. Kalau syari’at membolehkan hal tersebut maka ya tidak ada masalah. Tidak perlu ngalor ngidul bicara soal lalai dalam shalat atau dimana rasa syukur kita. Shalat itu perkara yang diatur tatacaranya, nah kalau memang ada aturan syari’at yang membolehkan shalat jama’ karena ada hajat atau keperluan maka melaksanakannya bukan berarti lalai atau tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika perkara menjama’ shalat ini dianggap mempermainkan Syari’at agama justru ucapan seperti ini hanya muncul dari orang yang tidak mengerti syari’at agama.
Komentar : iya memakai kaca mata syariat bukan kaca mata syiah pelaknat.hukum syariat berputar sesuai ‘illat,memang susah dialog dg pembenci ulama’ dan kaidah ulama’,malah berpegang tafsir hawa nafsu belaka.kalau tafsir tidak dalam bimbingan ulama’ udah pasti dalam bimbingan syetan laknatulloh.
SYUBHAT SYIAH : Pembahasan kedua apakah hukumnya menjama’ shalat dengan alasan pekerjaan tanpa adanya uzur?. Jawabannya boleh, sedangkan orang yang mengatakan haram maka ia telah menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang jelas dan terang benderang.
Komentar : dimana nabi membolehkan,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru ente menyelisihi petunjuk nabi,kalau tanpa udzur boleh,untuk apa menunjukkan adanya udzur syar’i.Cuma logika syiah yg sakit yg bisa menerima.
SYUBHAT SYIAH :

وحدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد بن زيد عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى بالمدينة سبعا وثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur Ashar dan Maghrib Isya’ [Shahih Muslim 1/490 no 705]
Komentar : kalau Cuma bermodalkan hadits ini lalu menyimpulkan boleh tanpa udzur???lafadz yg mana yg menunjukkan? kalau gak ada qorinah ya kembali ke hukum asal,kan begitu?bukan ditafsiri tanpa udzur.sungguh lucunya.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy membuat-buat syubhat bahwa shalat jama’ yang dimaksud adalah jama’ shuri bukan jama’ yang sebenarnya. Maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di akhir waktu Zhuhur kemudian shalat Ashar di awal waktu, seolah-olah kelihatan menjamak tetapi sebenarnya dilakukan pada waktunya sendiri-sendiri. Begitu pula Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat Maghrib di akhir waktu kemudian shalat Isya’ di awal waktu.
Komentar : itu bukan syubhat, tapi pendapat ulama’ mu’tabar.justru pendapat ente yg ngawur yg kena syubhat syiah suka melaknat  akhirnya terlaknat.
SYUBHAT SYIAH : Al Amiriy berhujjah dengan riwayat berikut, ia berkata
Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ

Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” HR. Bukhari Muslim
Sebenarnya kami cukup heran dengan penukilan hadisnya. Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy telah berdusta atas sumber nukilan hadis tersebut. Kami tidak menemukan adanya riwayat Bukhariy dan Muslim dengan lafaz yang demikian. Riwayat yang dinukil Al Amiriy adalah riwayat Nasa’iy bukan riwayat Bukhariy dan Muslim

أخبرنا قتيبة بن سعيد ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَان , عَنْ عمرو , عَنْ جابر بن زيد عَنِ ابن عباس , قَالَ : صليت مع النبي بالمدينة ثمانيًا جميعًا وسبعًا جميعًا ؛ أخر الظهر وعجل العصر , وأخر المغرب وعجل العشاء

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’ [Sunan Nasa’iy Al Kubra no 375]
Riwayat ini sanadnya shahih tetapi lafaz “Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa” bukan bagian dari perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraj [sisipan] dari perawi hadis. Buktinya ada pada riwayat berikut

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا قُلْتُ يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ قَالَ وَأَنَا أَظُنُّهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru yang berkata aku mendengar Abul Sya’tsaa’ Jaabir yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. ‘Amru berkata “wahai Abul Sya’tsaa’ aku mengira Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’. [Abu Sya’tsaa’] berkata “aku juga mengiranya demikian” [Shahih Bukhariy 2/58 no 1174].
Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya
Komentar : sungguh lucunya,sejak kapan menukil idroj berarti pendapatnya keliru, perawi hadits tentu lebih mengerti pake bangeet daripada kesimpulan ente yg konyol itu.
SYUBHAT SYIAH : Imam Syaukani Rahimahullah berkata:

وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ

“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
Lafaz yang dijadikan hujjah oleh Asy Syaukaniy tersebut bukanlah perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraaj [sisipan] dari perawi hadis yaitu zhan [dugaan] sang perawi terhadap hadis tersebut. Dan zhan atau prasangka tidak menjadi hujjah.
Apalagi di saat yang lain Abu Sya’tsaa’ Jabir bin Zaid perawi tersebut menyebutkan zhan atau dugaan yang lain

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dia Ibnu Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Maka Ayuub berkata “mungkin karena malam berhujan”. [Jabir bin Zaid] berkata “bisa jadi” [Shahih Bukhariy 1/114 no 543]
Di saat lain perawi mengira itu jamak shuriy dan di saat lain perawi yang sama mengira jama’ itu karena hujan. Dugaan tidak menjadi hujjah dan terdapat riwayat Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa jama’ tersebut memang betul jama’ shalat sebenarnya bukan jama’ shuriy.

وحدثني أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد عن الزبير بن الخريت عن عبدالله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة ؟ لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبدالله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata Ibnu ‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan nampak bintang-bintang maka orang-orang pun mulai menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya [Ibnu ‘Abbas] [Shahih Muslim 1/490 no 705]
Zhahir lafaz riwayat Muslim di atas memang menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Kemudian apa yang dilakukan Ibnu ‘Abbas belum mengerjakan shalat maghrib sampai nampaknya bintang-bintang menunjukkan bahwa ia akan shalat jama’ takhir maghrib isyaa’ maka bisa dipastikan hal itu bukan jama’ shuriy.
Perbuatan Ibnu ‘Abbaas yang menjama’ shalat maghrib dan isya’ karena sibuk berkhutbah [menyampaikan ilmu] menjadi dasar untuk menolak zhan [dugaan] perawi hadis yang menganggap jama’ tersebut adalah jama’ shuriy atau zhan [dugaan] yang menganggap hal itu adalah jama’ karena hujan.
.Komentar : he..sok gak pernah salah ketik,padahal ente jelas lebih parah,ente salah jelas terjemahan,tapi gak nyadar..kasihaan..lihat ente artikan وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ “. Dan mengakhirkan shalat ashar”ini jelas kesalahan yg nyata.
Apakah kalau itu terbukti idraj terus serta merta bukan hujjah alias bukan bahan pertimbangan sama sekali,jelas ini pembodohan yg nyata.
Imam alfasawi dalam fathul mughits hal 224 menjelaskan jika dalam hal tafsir matan maka itu hujjah,tentu jauh lebih dipertimbangkan daripada ucapan ente yg ngawur versi syiah yg tidak peduli ucapan sahabat bahkan memaki mereka.apalagi jika ucapan sahabat itu tidak bertentangan dg sahabat lain walaupun berbeda penafsiran namun berujung sama yaitu udzur syar’I bukan tanpa alasan kayak syiah sesat.dan itu bukan medan akal/ijtihad serta berkesesuaian dg ushul syariat.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )
Jama’ shuri dan jama’ beneran tidaklah bertentangan dan kedua cara itu haq,tidak perlu dipertentangkan kecuali bagi orang yg gagal faham kayak syiah rusak logika ini.ibnu abbas pun tidak pernah melarang jama’ shuri, jadi walaupun beliau jama’ beneran tidak lantas membatalkan pembolehan jama’ shuri karena ada hadits yg menjelaskan hal itu,serta rukhsoh atau kesulitan seseorang bertingkat-tingkat.oleh karenanya ada kaidah yg masyhur : hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya)
Jadi mempertentangkan sesuatu yg sama2 ada nashnya adalah kejahilan yg rusak
Imam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,
وليس لأحد أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه
Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).

.
.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy kemudian membawakan hadis lain yang menurut anggapannya menjadi hujjah bahwa jama’ tersebut dilakukan karena terdapat uzur perkara berat yang mendesak. Berikut riwayat yang dimaksud

وحدثنا أحمد بن يونس وعون بن سلام جميعا عن زهير قال ابن يونس حدثنا زهير حدثنا أبو الزبير عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر والعصر جميعا بالمدينة في غير خوف ولا سفر قال أبو الزبير فسألت سعيدا لم فعل ذلك ؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتني فقال أراد أن لا يحرج أحدا من أمته

Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus dan ‘Aun bin Salaam keduanya dari Zuhair. Ibnu Yuunus berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula dalam perjalanan. Abu Zubair berkata maka aku bertanya kepada Sa’id “mengapa Beliau melakukannya?”. [Sa’id] berkata aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Maka ia menjawab “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” [Shahih Muslim 1/489 no 705]
Dalam hadis di atas tidak ada disebutkan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ karena uzur perkara berat atau mendesak. Lafaz hadis “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” adalah tujuan dari syari’at shalat jama’ tersebut bukan sebagai keterangan yang menunjukkan adanya uzur. Secara zhahir hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ tersebut tanpa adanya uzur, Beliau ingin memberikan keluasan kepada umatnya sehingga tidak ada satupun dari umatnya yang akan merasa kesulitan dalam melaksanakan shalat.
Komentar : inilah ente selalu membuat kesimpulan yg dipaksakan,mana kata-kata boleh tanpa udzur???gak ada,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru menunjukkan bahwa al haroj / kesulitan adalah termasuk udzur syar’I dalam menjama’ sholat,bukan dibawa tanpa udzur.
SYUBHAT SYIAH : Al Baghawiy memahami hadis riwayat Muslim tersebut sebagai dalil bolehnya menjama’ shalat tanpa adanya uzur. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Syarh As Sunnah, ia berkata

هَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بِلا عُذْرٍ ، لأَنَّهُ جَعَلَ الْعِلَّةَ أَنْ لا تَحْرَجَ أُمَّتُهُ ، وَقَدْ قَالَ بِهِ قَلِيلٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا بِالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِذَا كَانَتْ حَاجَةٌ أَوْ شَيْءٌ ، مَا لَمْ يَتَّخِذَهُ عَادَةً

Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit dari ahlul hadis, dihikayatkan dari Ibnu Siriin bahwa ia berkata “tidak mengapa menjama’ dua shalat jika memiliki hajat atau sesuatu keperluan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan” [Syarh As Sunnah Al Baghawiy 4/199 no 1044]
Ibnu ‘Abbaas sendiri selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut telah mengamalkan menjama’ shalat bukan karena ada perkara berat yang mendesak sebagaimana dikatakan Al Amiriy. Apakah berkhutbah atau menyampaikan ilmu termasuk perkara berat mendesak?. Bukankah begitu mudah untuk berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat. Kalau Al Amiriy menganggap shalat jama’ tersebut mempermainkan syari’at atau lalai maka itu berarti ia menuduh Ibnu ‘Abbaas telah mempermainkan syari’at.
Komentar : bukan syiah kalau tidak curang ilmiah, dari nukilan albaghowi jelas itu pendapat sedikit dari ahli hadits,adapun ibnu sirrin tidak berpendapat demikian,namun si syiah ini membuat seolah-olah ibnu sirrin juga mengakuinya dg menaruh koma di depan nama ibnu sirrin serta tidak mengartikan huruf  wawu yg itu menunjukkan bukan bagian kalimat sebelumnya,inilah kecurangan yg sering dilakukan syiah,yg harus diwaspadai.
Apalagi kalau lanjutkan nukilannya akan semakin menyingkap kebusukannya yaitu :
وذهب أكثر العلماء إلى أن الجمع بغير عذر لا يجوز
Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa jama’ tanpa udzur tidak boleh
SYUBHAT SYIAH : حدثنا موسى بن هارون ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا محمد بن مسلم الطائفي عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس قال : صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ثمان ركعات جميعا وسبع ركعات جميعا من غير مرض ولا علة
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Haruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat delapan rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab tertentu [uzur] [Mu’jam Al Kabir 12/177 no 12807]
Riwayat Ath Thabraniy di atas para perawinya tsiqat dan shaduq, berikut keterangan tentangnya
  1. Muusa bin Haaruun seorang hafiz tsiqat kabiir [Taqrib At Tahdzib 2/230]
  2. Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/281]
  3. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy seorang yang shaduq sering keliru dari sisi hafalannya [Taqrib At Tahdzib 2/133]. Dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Muslim seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6293]
  4. Amru bin Dinar Al Makkiy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/734]
  5. Jabir bin Zaid seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdziib 1/152]
Riwayat Ath Thabraniy di atas adalah qarinah kuat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat tersebut tanpa adanya uzur.
Komentar : itu hadits ma’lul alias dho’if alias lemah.tentang Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy, imam ahmad telah melemahkannya :
ضعفه على كل حال ، من كتاب وغير كتاب ، وقال : ما أضعف حديثه
Beliau melemahkan atas segala keadaannya,baik dg kitab atau tana kitab,dan beliau berkata heran : apakah yg lebih lemah dari haditsnya.
Imam abu ja’far al uqoiliy memasukkannya dalam daftar barisan perawi – perawi lemah.
Imam abu hatim mengatakan : يخطئ  dia keliru
Imam annasai berkata : ليس بقوي في الحديث bukanlah perawi yg kuat dalam hadits
Imam ibnu hajar : صدوق يخطىء من حفظه shoduq sering keliru dari hafalannya
,begitu pula imam ibnu rojab dalam al fath 3/84 :
محمد بن مسلم ليس بذاك الحافظ
Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy bukanlah seorang yg hafidz.
Kalaupun shohih bukan dalil jama’ tanpa udzur karena tanpa ‘illah bukan berarti tanpa udzur kayak tafsir ente yg ngawur.tapi maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya.itulah tafsir ulama’ yg membedakan ‘illah dan udzur.begitu pula nabi membedakan dalam hadits :
من ترك الجمعة ثلاث مرات من غير عذر ولا علة طبع الله على قلبه
Barangsiapa meninggalkan sholat jum’at tiga kali tanpa udzur dan ‘illah maka akan menstempel hatinya.
Imam azzarqoni dalam syarh azzarqoni ‘alal muwattho’ :
من مرض ونحوه ( ولا علة )
Dan tanpa ‘illah maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya
SYUBHAT SYIAH : Kesimpulan
Dalam perkara ini, pendapat yang rajih adalah apa yang dikatakan sebagian ulama bahwa menjama’ shalat dibolehkan secara mutlak asal tidak dijadikan kebiasaan. Ibnu Hajar berkata

وقد ذهب جماعة من الأئمة إلى الأخذ بظاهر هذا الحديث ، فجوزوا الجمع في الحضر للحاجة مطلقا لكن بشرط أن لا يتخذ ذلك عادة ، وممن قال به ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث ، واستدل لهم بما وقع عند مسلم في هذا الحديث من طريق سعيد بن جبير قال : فقلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أحدا من أمته

Dan sungguh sekelompok dari para imam telah mengambil zhahir hadis ini, maka mereka membolehkan secara mutlak shalat jama’ ketika mukim karena ada keperluan tetapi dengan syarat tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Sirin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnu Mundzir, Al Qaffaal Al Kabiir dan dihikayatkan oleh Al Khaththaabiy dari jama’ah ahli hadis. Dan mereka telah berdalil dengan hadis ini riwayat Muslim dari jalan Sa’iid bin Jubair yang berkata maka aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas “mengapa Beliau melakukannya?”. Ibnu ‘Abbaas berkata “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya “ [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 2/24]
Pernyataan para ulama yang dinukil Ibnu Hajar tersebut telah sesuai dengan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbaas. Pernyataan para ulama ini sekaligus membatalkan klaim ijma’ dalam mengharamkan shalat jama’ tanpa adanya uzur. Bagaimana bisa dikatakan ijma’ kalau terdapat sekelompok ulama yang mengingkarinya.
Komentar : sekali ente curang ilmiah.ente ngacak terjemahan sehingga muncul kalimat : membolehkan secara mutlak,.padahal kata mutlak itu dibelakang setelah ada hajat ,inilah pengaburan makna.seharusnya dikatakan: membolehkan shalat jama’ ketika mukim untuk hajat secara mutlak .jadi yg mutlak itu jika ada hajat saja.
Jadi ijma’ itu tetap tegak berdiri kokoh dari mulut jahil syiah macam ente.
Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ

“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:

وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ

“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)
Dan menyelisihinya adalah dosa besar.
وروى ابن أبي شيبة (2/346) عن أبي موسى الأشعري وعمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنهما قالا : (الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر) .
Dan imam ibn abi syaibah (2/346) dari abu musa al as’ariy dan umar ibn al khottob beliau berdua berkata : menjama’ dua sholat tanpa udzur termasuk DOSA BESAR

Jumat, 13 Maret 2015

APAKAH PANTAS KARYAWAN YANG SAKIT DIPOTONG GAJINYA ?


MENURUT HUKUM NEGARA :
Dasar perusahaan memotong gaji adalah berdasar UU 13/2003 Pasal 93
1. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
Pengecualian dari asas no work no pay terdapat dalam Pasal 93 ayat (2) UUK yang menyatakan bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah apabila pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya dalam hal pekerja sakit, pekerja wanita yang mengalami datang bulan, menikah, mengkhitankan, isteri melahirkan, keguguran kandungan, suami/istri/anak/menantu/mertua atau anggota keluarga yang meninggal dan hal-hal lain yang dapat dilihat di Pasal tersebut.ini jika memakai surat dokter.
Selanjutnya kalau tidak memakai surat dokter,pemotongan upah pekerja tidak boleh melebihi 50 persen dari setiap pembayaran upah yang seharusnya diterima dimana hal ini merujuk kepada pasal 24 ayat [1] jo ayat [2] dalam PP No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah
MENURUT AGAMA :
Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ إِنَّ بِالْمَدِينَةِ لَرِجَالاً مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ وَفِيْ رِوَايَةٍ إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِي الأَجْرِ (رَوَاهُ مُسْلِم( وَرَوَاه الْبُخَارِيْ عَنْ أَنَسٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ مَعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَقْوَامًا خَلْفَنَا بِالْمَدِينَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيْهِ حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ
Dari Abu Abdillah Jabir beliau berkata: kami bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu peperangan, lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya beberapa orang di Madinah tidaklah kalian menempuh suatu perjalanan dan tidak pula kalian melewati satu wadi (lembah) kecuali mereka bersama kalian, mereka ditahan oleh penyakit.
(Dan dalam riwayat lain): kecuali mereka bersama kalian dalam pahala. [HR Muslim]
Dan Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu , beliau berkata, "Kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Sesunggunya beberapa orang yang tertinggal di Madinah tidaklah kita melewati satu jalanan dan tidak pula lembah kecuali mereka bersama kita, mereka tertahan oleh udzur".
TAKHRIJ HADITS
Hadits pertama diriwayatkan imam Muslim dalam Shahîhnya no. 1911 dan hadits kedua diriwayatkan imam al-Bukhâri dalam Shahîhnya no. 2838, 2839 dan 4423.
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan bahwa hadits yang mulia ini menjelaskan bahwa seorang jika telah berniat untuk melakukan satu amalan shâlih, lalu terhalang oleh sesuatu, maka ia tetap mendapatkan pahala amalan tersebut.
Demikian juga apabila seorang terbiasa mengerjakan amalan ibadah tertentu pada saat tidak ada udzur, lalu karena sakit atau udzur tertentu ia tidak bisa melakukannya, maka tetap ia mendapatkan pahala amalan tersebut secara sempurna. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
Jika seorang hamba sakit atau bepergian maka dituliskan baginya pahala seperti apa yang diamalkannya ketika sehat dan mukim (tidak bepergian) [Dikeluarkan oleh al-Bukhâri No. 2996 kitab al-Jihad wa as-Siyar]
Misalnya, seseorang yang biasa shalat bersama jamaah di Masjid, lalu satu ketika mendapat halangan seperti tertidur atau sakit atau yang sejenisnya maka dia tetap mendapatkan pahala shalat bersama jamaah di masjid secara sempurna tanpa ada kekurangan.
Demikian juga jika dia biasa shalat sunnah akan tetapi suatu ketika dia terhalang darinya dan tidak mampu melaksanakannya maka dia tetap diberi pahalanya secara sempurna walaupun tidak mengamalkannya.

BID'AH TERBESAR DIHARI JUM'AT



sudah mulai merebak bid'ah di masjid-masjid ahli bid'ah yaitu khotbah 2 kali,yang pertama berupa pengumuman plus kirim al fatihah dg didahului oleh salam dan diakhiri dg salam.jelas  ini kebodohan yg nyata.
apalagi hanya untuk laporan keuangan,ini cukup diketik ditempelkan di papan pengumuman beres bukan dibacakan menjelang khotbah.
yang lebih parah lagi kalau itu dirutinkan seakan menjadi kelengkapannya,seperti halnya mengedarkan kotak amal saat khotbah ini jelas kesesatan yg nyata.
kalau memang ada hal yg mendesak untuk diumumkan maka cukuplah diumumkan oleh imam sholat jum'at setelah selesai sholat tanpa salam.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz dalam fatwanya  yang terdapat dalam situs http://www.ibnbaz.org.sa/mat/16368
لنا صندوق خيري لصالح المسجد، ويوجد رجل مخصص لهذا الصندوق يدور به على صفوف المصلين قبل الصلاة، وخاصة يوم الجمعة، فما حكم هذا العمل، علماً بأن بعض المصلين يجد شيئاً من الحرج؟
Pertanyaan, “Kami memiliki kotak infak untuk kepentingan masjid. Ada petugas khusus yang yang bertugas menjalankan (memutarkannya) di depan jamaah masjid sebelum shalat dimulai terutama pada hari Jumat. Apa hukum perbuatan semisal ini mengingat sebagian jamaah kurang setuju dengan hal ini?”
هذا فيه نظر؛ لأن معناه سؤال للمصلين وقد يحرجهم ويؤذيهم بذلك، فكونه يطوف عليهم ليسألهم حتى يضعوا شيئاً من المال في هذا الصندوق لمصالح المسجد لو تَرك هذا يكون أحسن وإلا فالأمر فيه واسع، لو قال الإمام: أن المسجد في حاجة إلى مساعدتكم وتعاونكم فلا بأس في ذلك؛ لأن هذا مشروع خيري
Jawaban bin Baz , “Hal ini perlu ditinjau kembali. menjalankan (Memutarkan) kotak infak itu bermakna meminta-minta kepada jamaah masjid yang hendak menunaikan shalat. Boleh jadi hal ini menyusahkan dan mengganggu mereka. Adanya petugas yang berkeliling di hadapan para jamaah masjid untuk meminta mereka agar mereka memasukkan sebagian uang mereka ke dalam kotak infak masjid adalah suatu hal yang lebih baik ditinggalkan. Meski sebenarnya ada kelonggaran dalam masalah ini. Seandainya imam masjid menyampaikan pengumuman bahwa masjid membutuhkan bantuan finansial dari para jamaah masjid maka tidaklah mengapa (boleh saja) karena hal ini adalah termasuk kegiatan yang bersifat murni sosial.

Kamis, 12 Maret 2015

MAHAR HAFALAN AL-QUR'AN


apakah mahar harus barang atau jasa ? tidak,segala sesuatu yg berharga/bernilai manfaat bagi kedua mempelai boleh saja,bahkan keislaman seorang kafir bisa jadi mahar
يصح بكل ما تراضى عليه الزوجان أو من إليه ولاية العقد مما فيه منفعة وضابطه أن كل ما يصلح أن يكون قيمة أو ثمنا لشيء يصح أن يكون مهرا ونقل القاضي عياض الإجماع على أنه لا يصح أن يكون مما لا قيمة له ولا يحل به النكاح وقال ابن حزم يصح بكل ما يسمى شيئا ولو حبة من شعير لقوله صلى الله عليه وسلم "هل تجد شيئا"
mahar sah dg segala apa yg kedua mempelai ridho atau wali mereka dari apa yg bermanfaat.standarnya adalah apa saja yg bernilai atau berharga untuk sesuatu maka itu sah untuk mahar.dan al qodhi 'iyadh menukil ijma' tidak sah mahar apa yg tidak bernilai dan tidak sah nikah dg itu.dan berkata ibnu hazm : sah mahar segala apa yg disebut sesuatu walaupun sebiji gandum berdasarkan sabda nabi :apakah kamu menemukan sesuatu (kitab subulussalam 2/114)
Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan ummu sulaim bahwa ketika itu beliau berkata,
والله ما مثلك يرد ولكنك كافر وأنا مسلمة ولا يحل لي أن أتزوجك فإن تسلم فذلك مهرك ولا أسألك غيره فأسلم فكان ذلك مهرها أخرجه النسائي
“Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.
Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).
bolehkah mahar mengajarkan alqur'an tapi tidak hafal ? ini menyelisihi sunnah nabi.karena beliau bertanya apakah kamu hafal diluar kepala?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”
“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”
Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.
Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?”
“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
“APAKAH BENAR-BENAR ENGKAU MENGHAFALNYA DILUAR KEPALAMU?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Iya,” jawabnya.
“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 1425)
jadi nabi memastikan dulu dia hafal atau tidak,bukan seenaknya mahar alqur'an.
apakah mahar alqur'an hanya boleh saat tidak punya harta saja ?
Syaikh Abdullah Alu Bassam mengatakan: “sebagian ulama melarang menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mahar karena menganggap hal tersebut hanya khusus berlaku pada sahabat Nabi yang ada dalam hadits tersebut. Atau menakwilkannya bahwa Nabi menikahkannya karena sahabat tersebut termasuk ahlul Qur’an. Namun pendapat ini tidak tepat, karena asalnya hukum itu berlaku umum. Dan terdapat riwayat lain dengan lafadz ‘maka ajarkanlah ia Al Qur’an‘” (Taisirul Allam, 440).jadi ini bukan hanya konsumsi orang miskin saja.cuma yg lebih afdhol dg harta yg nyata/konkrit
benarkah imam assyafi'i melarang mahar hafalan alqur'an? tidak,salah besar.
Dalam kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah 17: 324 disebutkan,Ulama Syafi’iyah,mereka menyatakan bolehnya menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar bagi perempuan.inilah  pendapat yang rojih (terkuat)

Sabtu, 07 Maret 2015

SYUBHAT DALIL MAULID MBAH IDRUS



Syubhat : “Fatwa ulama yang tidak berdasarkan nash al-Qur’an dan Sunnah harus diterima apabila memiliki dalil yang lain, seperti Ijma’ dan Qiyas, atau selain Ijma’ dan Qiyas menurut ulama yang mengakuinya. Ini yang disebut dengan proses ijtihad atau istinbath. Hal tersebut sesuai dengan hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنه أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ. رواه البخاري (6805).
“Apabila seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan apabila melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya keliru, maka ia memperoleh satu pahala.” (Al-Bukhari [6805]).
Dalam hadits di atas, jelas sekali keutamaan ulama yang mengeluarkan hukum berdasarkan ijtihad, ketika tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, apabila hasil ijtihadnya benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.
Dalam hadits yang sangat populer juga disebutkan:
عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ « كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللهِ ». رواه أبو داود والترمذي وأحمد
Dari beberapa orang penduduk Himash dari kalangan sahabat Mu’adz bin Jabal, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam hendak mengutus Mu’adz ke Yaman (sebagai Qadhi), beliau bersabda: ”Bagaimana cara kamu memutuskan hukum, apabila menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz menjawab: ”Aku akan memutuskan berdasarkan Kitabullah.” Beliau bertnya: ”Apabila kamu tidak menemukan keputusan dalam Kitabullah? ” Mu’adz menjawab: ”Berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam.” Beliau bertanya: ”Apabila kamu tidak menemukan dalam Sunnah Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dan tidak menemukan pula dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab: ”Aku berijtihad dengan pendapatku secara sungguh-sungguh”. Lalu Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memukul dada Mu’adz seraya bersabda: ”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan kepada utusan Rasulullah pada apa yang diridhai oleh Allah.” (HR. Al-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Perhatikan dalam hadits di atas, bagaimana Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mendidik umatnya, ketika menghadapi persoalan yang tidak terdapat nash dalam al-Qur’an dan hadits, agar melakukan ijtihad, dan hal itu termasuk diridhai oleh Allah. Dalam hadits di atas, ketika Mu’adz bin Jabal ditanya tentang persoalan yang tidak ada nash dalam al-Qur’an dan hadits, beliau tidak menjawab, aku akan menghukumi bid’ah kepada persoalan tersebut, karena setiap bid’ah itu sesat dan masuk neraka. Tetapi Mu’adz akan berijtihad dengan sungguh-sungguh. Semua hukum tidak bisa didalili dengan hadits kullu bid’atin dholalah.
Jawab : itu bukan ijtihad serampangan kayak ente.
( قال اجتهد رأيي ) قال بن الأثير في النهاية الإجتهاد بذل الوسع في طلب الأمر وهو افتعال من الجهد الطاقة والمراد به رد القضية التي تعرض للحاكم من طريق القياس إلى الكتاب والسنة ولم يرد الرأي الذي يراه من قبل نفسه عن غير حمل على كتاب وسنة انتهى
Tuhfatul ahwadzi 4/464
Perkataan muadz saya berijtihad dg  ro’yu saya maksudnya ibnu atsir di dalam an-nihayah berkata :  ijtihad yaitu mengerahkan daya upaya untuk mencari suatu perkara dan itu timbul dari kesungguhan.dan yg dimaksud dg itu adalah mengembalikan perkara yg di ajukan kepada seorang hakim dg jalan qiyas kepada alqur’an dan sunnah nabi,dan bukanlah mengembalikan pendapat kepada pandangannya sendiri tanpa membawanya ke alqur’an dan sunnah nabi
Syubhat : Dalam hadits lain, juga diriwayatkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ رَجُلٌ مِنْ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ وَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاةِ مِمَّا يُقْرَأُ بِهِ افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ سُورَةً أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى فَقَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلانُ مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري).
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu: “Seorang laki-laki dari kaum Anshar selalu menjadi imam mereka di Masjid Quba’. Kebiasaannya, setiap ia akan memulai membaca surat dalam shalat selaku imam mereka, ia akan mendahului dengan membaca surah Qul Huwallaahu ahad sampai selesai, kemudian membaca surah yang lain bersamanya. Dan ia melakukan hal itu dalam setiap raka’at. Lalu para jamaahnya menegurnya dan berkata: “Anda selalu memulai dengan surah (al-Ikhlash) ini, kemudian Anda merasa tidak cukup sehingga membaca surah yang lain pula. Sebaiknya Anda membaca surah ini saja, atau Anda tinggalkan dan membaca surah yang lain saja.” Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak akan meninggalkan surah al-Ikhlash ini dalam setiap raka’at jika kalian senang aku menjadi imam kalian, aku tetap begitu. Jika kalian keberatan, akan berhenti menjadi imam kalian.” Sementara para jamaah memandang laki-laki itu orang yang paling utama di antara mereka. Mereka juga tidak mau jika selain laki-laki itu yang menjadi imam shalat mereka. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada mereka, mereka pun menceritakan perihal imam tersebut. Lalu beliau bertanya kepada laki-laki itu: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh sahabat-sahabatmu dan apabula yang mendorongmu membaca surat al-Ikhlash ini secara terus menerus dalam setiap raka’at?” Ia menjawab: “Aku sangat mencintainya.” Beliau bersabda: “Cintamu pada surah ini akan mengantarmu masuk surga.” (HR. al-Bukhari).
Perhatikan hadits di atas, seorang laki-laki yang menjadi imam kaum Anshar di Masjid Quba’, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at shalatnya ketika menjadi imam, sebelum membaca surah yang lain. Ketika hal tersebut dilaporkan kaumnya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau justru bertanya, apa dasarnya membuat kebiasaan yang berbeda dengan orang kebanyakan itu. Lalu laki-laki tersebut menjawab, dasarnya karena sangat mencintai surah al-Ikhlash. Atas dasar inilah, laki-laki tersebut berijtihad untuk membaca surah al-Ikhlash dalam setiap raka’at. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar alasannya, beliau justru memberinya kabar gembira, bahwa ia akan masuk surga karenanya. Coba Anda perhatikan, ketika laki-laki tersebut mempunyai kebiasaan dalam shalat yang berbeda dengan sunnah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak langsung menegurnya dengan berkata: “kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnar.” Karena hadits ini tidak bisa diapakai untuk semua persoalan yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam persoalan-persoalan yang tidak ada nashnya dalam al-Qur’an dan hadits, masih banyak ruang untuk berijtihad, dan tidak berdasarkan hadits kullu bid’atin dholalah.
Komentar : he..berbeda dg sunnah nabi dalam hal membaca surat apakah bid’ah???..haihaata..sungguh jauh perbandingan ente..para sahabat pun tidak ada yg mengatakan itu bid’ah.dan mempertanyakan mengapa tidak mencukupkan diri dg sunnah adalah sesuatu yg wajar dan bagus,bukan malah marah ditegur.sekali lagi itu dalam hal yg ada pembolehan milih surat yg disuka,walaupun yg sunnah lebih utama,bukan dalam hal bid’ah dan pada yang tidak ada nash pembolehannya.
اختلف العلماء فى جمع السورتين فى كل ركعة ، فأجاز ذلك ابن عمر ، وكان يقرأ بثلاث سور فى ركعة ، وقرأ عثمان بن عفان ، وتميم الدارى القرآن كله فى ركعة . وكان عطاء يقرأ سورتين فى ركعة أو سورة فى ركعتين فى المكتوبة ، وقال مالك فى المختصر : لا بأس بأن يقرأ السورتين وثلاث فى ركعة ، وسورة أحب إلينا ولا يقرأ بسورة فى ركعتين ، فإن فعل أجزأه ، وقال مالك فى المجموعة : لا بأس به وما هو من الشأن ، وأجاز ذلك كله الكوفيون . وممن كره الجمع بين سورتين فى ركعة زيد بن خالد الجهنى ، وأبو العالية ، وأبو بكر ابن عبد الرحمن بن الحارث ، وأبو عبد الرحمن السلمى وقال : احظ كل سورة حظها من الركوع والسجود . وروى عن ابن عمر أنه قال : إن الله فَصَّل القرآن لتعطى كل سورة حظها من الركوع والسجود ، ولو شاء لأنزله جملة واحدة ، والقول الأول أولى بالصواب لحديث ابن مسعود : أن النبى ، عليه السلام ، كان يقرن بين سور المفصل سورتين فى ركعة
Ulama’ berbeda dalam hukum menggabungkan 2surat dalam satu surat,ibnu umar membolehkannya dan dia membaca 3 surat dalam satu rokaat,utsman ibn affan juga,begitu pula tamim addariy membaca alqur’an penuh dalam satu rokaat.dulu imam ‘atho’ juga membaca 2 surat dalam satu rokaat atau satu rokaat untuk 2 rokaat dalam sholat wajib.imam malik dalam al mukhtashor berkata : tidak apa2 membaca 2 surat atau 3 surat dalam satu rokaat dan satu surat lebih kami sukai,dan tidak membaca satu surat dalam 2 rokaat tapi jika melakukannya maka mencukupinya.dan berkata imam malik dalam al majmu’ah : tidak apa2 itu dan telah membolehkannya ulama’ kuffah.dan yg memakruhkannya adalah zaid ibn kholid al juhani,abul ‘aliyah,abu bakr ibn ‘abdirrohman ibn harits dan abu abdirrohman.dan beliau berkata : berikan setiap surat bagiannya dari ruku dan sujud dan diriwayatkan dari ibnu umar sesungguhnya dia berkata alloh telah memperinci alqur’an hendaklan kamu memberikan setiap surat bagian dari ruku’ dan sujud,kalau alloh menghendaki alloh akan menurunkannya total sekali waktu.dan pendapat yg pertama lebih mendekati kebenaran berdasarkan  perkataan ibnu mas’ud :sesungguhnya nabi pernah menggabungkan surat-surat panjang dua surat dalam satu rokaat.
Syarh shohih bukhori libni bathol 3/389
ويدل على أنه ليس هو الأفضل ؛ لأن أصحابه استنكروا فعله وإنما استنكروه لأنه مخالف لما عهدوه من عمل النبي ( وأصحابه في صلاتهم ؛ ولهذا قال له النبي ( : ( ( ما يمنعك أن تفعل ما يأمرك به أصحابك ؟ ) ) .
فدل على أن موافقتهم فيما أمروه به كان حسناً ، وإنما اغتفر ذلك لمحبته لهذه السورة .
وأكثر العلماء على أنه لا يكره الجمع بين السور في الصلاة المفروضة ، وروي فعله عن عمر وابن عمر وعمر بن عبد العزيز وعلقمة ، وهو قول قتادة والنخعي ومالك ، وعن أحمد في كراهته روايتان . وكرهه أصحاب أبي حنيفة
Fathul bari libni rojab 4/469
Dan itu menunjukkan bahwa itu bukan yg afdhol karena mengingkari perbuatannya,dan para sahabat nabi mengingkari karena berbeda dg apa yg biasa dilakukan nabi dan para sahabat.maka oleh karena itulah nabi bersabda : apa yg menghalangimu melakukan apa yg disarankan para sahabatmu?.Maka itu menunjukkan  bahwa menyetujui perintah sahabat  adalah baik,dan  itu tertutupi dg kecintaannya surat ini.
Dan kebanyakan ulama’ berpendapat tidak makruh menggabung 2 surat dalam  surat wajib,itu diriwayatkan perbuatan dari umar,ibnu umar,umar ibn abdul aziz dan alqomah.dan itu juga perkataan qotadah,annakho’I dan malik.dan ahmad ada 2 riwawat memakruhkannya,begitu pula pengikut imam abu hanifah
Jadi intinya tidak melakukan sunnah dalam hal yg ada nash pembolehannya secara terperinci tidak masalah ,apalagi ada sahabat yg melakukan,adapun maulid maka itu yg sunnah puasa senin-kamis adapun selain itu tidak dalil pembolehan terperinci maka tidak boleh,apalagi para sahabat tidak ada nukilan dari mereka.
Syubhat : Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَصَلَّيْتُ خَلْفَهُ فَأَخَذَ بِيَدِي فَجَرَّنِي فَجَعَلَنِي حِذَاءَهُ فَلَمَّا أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى صَلاتِهِ خَنَسْتُ فَصَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِي مَا شَأْنِي أَجْعَلُكَ حِذَائِي فَتَخْنِسُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ أَوَيَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُصَلِّيَ حِذَاءَكَ وَأَنْتَ رَسُولُ اللهِ الَّذِي أَعْطَاكَ اللهُ قَالَ فَأَعْجَبْتُهُ فَدَعَا اللهَ لِي أَنْ يَزِيدَنِي عِلْمًا وَفَهْمًا. رواه أحمد وابو يعلى وصححه الحاكم.
Ibnu Abbas berkata: “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada akhir malam, lalu aku shalat (bermakmum) di belakang beliau. Lalu beliau mengambil tanganku, menarikku, hingga menjadikanku lurus dengan beliau. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam konsentrasi pada shalatnya, aku mundur. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat. Ketika beliau selesai, beliau bertanya: “Kenapa diriku? Aku luruskan kamu denganku, kok malah mundur.” Aku menjawab: “Wahai Rasulullah, apakah pantas bagi seseorang menunaikan shalat, berdiri lurus dengan engkau, sedangkan engkau adalah Rasulullah yang telah diberi anugerah oleh Allah.” Lalu beliau kagum dengan jawabanku. Lalu beliau berdoa kepada Allah agar menambah ilmu dan kecerdasanku.” (HR. Ahmad dan Abu Ya’la. Dan al-Hakim menilainya shahih).
Perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meluruskan shaf Ibnu Abbas dengan beliau, karena menjadi makmum sendirian, tanpa bersama jamaah lain. Tapi kemudian Ibnu Abbas mundur lagi. Setelah selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, justru bertanya, apa dasar Ibnu Abbas tidak mau lurus dengan beliau dan justru mundur? Setelah Ibnu Abbas menjawab, bahwa dasar beliau mundur, adalah karena merasa tidak pantas jika harus lurus dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang derajatnya sangat agung, beliau justru mengagumi dasar tersebut dan mendoakannya agar bertambah alim dan cerdas. Dalam kejadian tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung marah kepada Ibnu Abbas dan tidak pula berkata kullu bid’atin dholalah wa kullu dholalatin finnar. Tetapi masih menanyakan dasarnya apa? Hadits kullu bid’atin dholalah, tidak bisa dijadikan dalil setiap persoalan hukum yang tidak ada nash nya dalam al-Qur’an dan hadits. Setiap persoalan ada dalilnya sendiri-sendiri.
Komentar : mana bisa ibnu abbas disamakan dg ente? ibnu abbas tidak sengaja ingin menyelisihi sunnah dan nabi menyetujui alasannya sedangkan kalian sengaja membuat bid’ah tanpa persetujuan sahabat apalagi nabi.dan mundur sedikit saat sholat jamaah bukanlah bid’ah Cuma makruh.samakah makruh dg bid’ah?ataukah ente gak bisa membedakan.



Syubhat : Dalil pertama maulid,Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. صححه الحاكم (1/91) ووافقه الحافظ الذهبي.
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Komentar : Muhammad ibn ja’far majhul hal,malik ibn su’air lemah kata abu daud,mempunyai banyak hadits munkar kata abul fath al azdy, laa ba’sa bih kata ibnu hajar.jadi itu mursal
Syubhat : Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah subhanahu wata’ala telah merestui kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قل بفضل الله وبرحمته فبذلك فليفرحوا
“Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Komentar : bukan idrus kalau tidak memanipulasi dalil,mengapa tidak menampilkan teks arabnya,yg ada adalah telah meriwayatkan abu assyeikh dari ibnu abbas berkata : karunia alloh adalah ilmu dan rahmatnya adalah nabi Muhammad karena alloh berfirman : dan tidaklah kami mengutusmu melainkan rohmat bagi seluruh alam
وأخرج أبو الشيخ عن ابن عباس رضي الله عنهما في الآية قال : فضل الله العلم ورحمته محمد صلى الله عليه وسلم قال الله تعالى ( وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين ) ( الأنبياء الآية 107 )
al-Durr al-Mantsur 4/367
jadi konteksnya risalah nabi bukan kelahiran nabi,faham?yg termasuk risalah beliau adalah agama islam dg kitab alqur’an
{ قل } يا محمد لأصحابك { بفضل الله } القرآن الذي أكرمكم به { وبرحمته } الإسلام الذي وفقكم به { فبذلك } بالقرآن والإسلام { فليفرحوا هو خير } يعني القرآن والإسلام
Tafsir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/176
Katakanlah wahai Muhammad kepada sahabatmu: dg karunia alloh yaitu alqur’an yg kamu dimuliakan dengannya.dan dg rohmatnya yaitu islam yg kamu diberi taufik dengannya,maka dg itu yaitu alqur’an dan islam,bergembiralah itu kebaikan yaitu alqur’an dan islam
Syubhat : Dalil Kedua) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
وكلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك
“Dan semua kisah dari rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian kisah-kisah para rasul dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan tentu saja kita yang dha’if dewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, melalui penyajian sirah dan biografi beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam perayaan maulid, bukankah membacakan dan menguraikan sirah beliau?
Jawab : itulah manhaj gado-gado,campur aduk,kalau mau peneguhan itu dg kajian bukan perayaan.dan peneguhan disitu dg mencontoh bukan membuat-buat cara baru.
Imam Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya 7 /491
ليكون لك بمن مضى من إخوانك من المرسلين أسْوةً
Supaya kamu dg orang-orang yg telah lalu dari saudara kamu dari para rosul menjadikan mereka contoh/teladan.
Syubhat : Dalil Ketiga) Sisi lain dari perayaan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada beliau sesuai dengan firman Allah:
إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga dianjurkan sebagaimana diakui oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Komentar : itula manhaj semau gue,membaca sholawat un harus berdasarkan perintah alloh bukan semau gue.
{ إن الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه } بالدعاء { وسلموا تسليما } لأمره
Tanwir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/356
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dg doa, dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”karena perintah alloh
Dalil Keempat) Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:
قال عيسى ابن مريم اللهم ربنا أنزل علينا مائدة من السماء تكون لنا عيدا لأولنا وآخرنا وآية منك وارزقنا وأنت خير الرازقين
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi Isa ‘alaihissalam dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada hidangan itu.”
Jawab : itu hanya persepsi maniak perayaan,bukan persepsi ulama ahli tafsir
{ تكون لنا عيدا لأولنا } لأهل زماننا { وآخرنا } لمن خلفنا لكي نعبدك فيها وكان يوم الأحد
Tafsir al miqbas min tafsir ibni abbas 1/104
menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami yakni pada zaman kami, dan yang datang sesudah kami supaya kita beribadah kepadamu didalamnya dan itu pada hari ahad.
Jadi untuk beribadah berdasarkan syariat saat itu yaitu hari ahad bukan perayaan macam maulid.