Jumat, 13 Mei 2016

Ziarah wali songo haram

Syubhat:
Berdasarkan hadis-hadis sahih ziarah kubur adalah sunah. Jika ziarah kubur sunah, maka melakukan perjalanan untuk ziarah kubur juga sudah pasti sunah (Syaikh Ali as Sumhudi dalam Khulashat al Wafa I/46).

Jawab:
Tidak ada kelaziman semacam itu.
Itu qiyas ma'al fariq.mendatangi masjid sepakat sunnah,apakah safar ke selain tiga masjid itu jadi sunnah???jelas pemahaman batil

Syubhat:

Bahkan Rasulullah Saw setelah di Madinah secara rutin setiap tahun ziarah ke makam syuhada yang gugur saat perang Uhud di Makkah:

كَانَ النَّبِيُّ يَأْتِي قُبُوْرَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ فَيَقُوْلُ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ قَالَ وَكَانَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُوْنَ ذَلِكَ (مصنف عبد الرزاق 6716 ودلائل النبوة للبيهقى 3 / 306)
"Diriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim al-Taimi, ia berkata: Rasulullah Saw mendatangi kuburan Syuhada tiap awal tahun dan beliau bersabda: Salam damai bagi kalian dengan kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu (al-Ra'd 24). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga melakukan hal yang sama" (HR Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No 6716 dan al-Baihaqi dalam Dalail al-Nubuwah III/306)

Jawab:

HADITS DHO'IF/LEMAH.karena mursal alias Muhammad bin Ibrahim tidak bertemu nabi dan didalam sanadnya ada mutsanna dia majhul hal.

Syubhat: Tidak dipungkiri memang ada ulama yang mengharamkannya dengan berdalil pada hadis sahih:

لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى
"Tidak diperbolehkan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, yaitu masjid al-Haram, masjid Rasulullah (Madinah) dan masjid al Aqsha" (HR al-Bukhari dan Muslim)

Hadis ini tidak dapat dijadikan dalil larangan ziarah ke makam Rasulullah Saw. Hal ini berdasarkan takhsis (yang membatasi) dari dua hadis, yang menunjukkah bahwa larangan berpergian dalam hadis diatas adalah ke masjid selain yang 3 tadi, bukan ke makam para Nabi atau ulama. Pertama riwayat Ahmad (III/471) dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَنْبَغِي لِلْمَطِيِّ أَنْ تُشَدَّ رِحَالُهُ إِلَى مَسْجِدٍ يُبْتَغَى فِيْهِ الصَّلاَةُ غَيْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى وَمَسْجِدِي هَذَا (رواه أحمد وشهر فيه كلام وحديثه حسن)
"Seharusnya bagi pengendara tidak melakukan perjalanan ke suatu masjid untuk melaksanakan salat disana, selain masjid al-Haram, masjid al-Aqsha dan masjidku". Al-Hafidz Al-Haitsami berkata: "Di dalam sanadnya terdapat Syahr bin Hausyab, hadisnya hasan" (Majma' az-Zawaid IV/7). Al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilainya hasan dalam Fathul Bari III/65

Kedua, hadis riwayat al-Bazzar dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda:

أَناَ خَاتَمُ اْلأَنْبِيَاءِ وَمَسْجِدِي خَاتَمُ مَسَاجِدِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحَقُّ الْمَسَاجِدِ أَنْ يُزَارَ وَتُشَدَّ إِلَيْهِ الرَّوَاحِلُ الْمَسْجِدُ وَمَسْجِدِي صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البزار)
"Aku adalah penutup para Nabi, dan masjidku adalah penutup masjid-masjid para Nabi. Dan yang paling berhak didatangi adalah masjid al-Haram dan masjidku…." (Baca Majma' az-Zawaid IV/7 karya al-Hafidz al-Haitsami)

Jawab:

Pertama: Lafadz hadits ini bersendirian padanya seorang perawi yang bernama Syahr bin Hausyab, ia adalah perawi yang dla’if. Al Hafidz ibnu Hajar dalam At taqriib berkata: “Shaduuq katsirul auhaam (banyak kesalahannya)”. Dan perawi yang banyak wahm (kesalahannya) termasuk perawi yang lemah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu hajar dalam Syarah An Nukhbah. Adapun perkataan Al Hafidz ibnu hajar dalam fathul baari yang menilai Syahr sebagai perawi yang hasan, bertabrakan dengan perkataan beliau sendiri.

Kedua: Kalau misalnya lafadz hadits ini shahih, malah menjadi hujjah untuk kita, karena Abu Sa’id dalam hadits tersebut mengingkari orang yang ingin pergi ke bukit Thur dengan beralasan hadits ini, dan pemahaman ini sesuai dengan pemahaman shahabat lainnya.

ketiga: Pemahaman bahwa larangan tersebut hanya khusus untuk masjid saja bertentangan dengan pemahaman para shahabat , kalaulah larangan tersebut khusus safar ke masjid, tentu para shahabat tidak akan melarang orang yang mau pergi ke bukit Thur.
kalaupun lafadz ini shahih, maka tidak menunjukkan kepada makna tidak haram, karena kalimat “laa yanbaghi (Tidak layak/patut)” sering digunakan untuk makna haram. Seperti firman Allah Ta’ala:

قَالُوا سُبْحَانَكَ مَا كَانَ يَنْبَغِي لَنَا أَنْ نَتَّخِذَ مِنْ دُونِكَ مِنْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنْ مَتَّعْتَهُمْ وَآبَاءَهُمْ حَتَّى نَسُوا الذِّكْرَ وَكَانُوا قَوْمًا بُورًا

“Mereka (yang disembah itu) menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagi Kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung, akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup, sampai mereka lupa mengingati (Engkau); dan mereka adalah kaum yang binasa”.

Maka apakah makna ayat di atas artinya tidak haram bagi kami mengambil selain Engkau (untuk jadi) pelindung??! Demikian pula hadits:

إِنَّ الصَّدَقَةَ لاَ تَنْبَغِى لآلِ مُحَمَّد

“Sesungguhnya shadaqah itu tidak patut untuk keluarga Muhammad”.

Apakah makna hadits ini: tidak haram shadaqah untuk keluarga Muhammad?? Padahal para ulama telah berijma’ bahwa keluarga Muhammad haram memakan harta shadaqah.

adapun hadits kedua,shohih namun bukan berarti masjid selain tiga juga berhak diziarahi dg safar menurut kesepakatan ulama.siapa yg membolehkan ziarah dg safar ke masjid selain tiga itu???

Syubhat:

Ahli hadis Al Hafidz Ibnu Hajar membantah penggunaan hadis diatas sebagai dalil larangan melakukan ziarah ke makam orang-orang shaleh. Pertama, jika hadis ini digunakan sebagai larangan melakukan perjalanan ziarah kubur, maka mestinya melakukan perjalanan silaturrahim, perjalanan mencari ilmu, berdagang dan sebagainya juga dilarang (Fathul Bari IV/190). Kedua, hadis ini bertentangan dengan hadis sahih lain riwayat al Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar yang menjelaskan bahwa "Rasulullah berkunjung ke masjid Quba' setiap hari Sabtu, baik berkendaraan atau berjalan kaki". Oleh karenanya melakukan perjalanan ke selain tiga masjid tersebut tidak dilarang (Fathul Bari IV/190)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَاَلله أَعْلَمُ (فتح الباري لابن حجر - ج 4 / ص 197)
“Maka batallah pendapat ulama yang mengatakan dilarangnya ziarah ke makam Rasulullah dan dan makam orang-orang shaleh” (Fathul Bari IV/197)

Jawab:

yang dilarang bukanlah mengunjungi suatu masjid secara mutlak, akan tetapi kunjungan yang mengharuskan seseorang untuk ‘mengikat pelana unta’ alias safar

Dalilnya ialah bahwa dalam riwayat Muslim disebutkan dengan lafazh:

إِنَّمَا يُسَافَرُ إِلىَ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدُ الْكَعْبَةِ وَمَسْجِدِي وَمَسْجِدِ إِيْلِيَاءَ.

“Safar hanyalah boleh dilakukan ke tiga masjid: Masjidil Ka’bah (Masjidil Haram), Masjidku (Nabawi) dan Masjid Iliya’ (Baitul Maqdis)”. (HR. Muslim dalam Shahihnya no 1397). Jadi, jelaslah bahwa ‘mengikat pelana unta’ sama dengan ‘safar’.
Sedangkan perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari rumah Beliau –yang berdempetan dengan Masjidnya- ke Masjid Quba’ terlalu dekat untuk  disebut safar, bahkan sekarang pun orang Medinah akan tertawa jika ada yang mengatakan: “Saya akan safar dari Masjid Nabawi ke Masjid Quba’ “. Ya… sebab jarak antara keduanya tak sampai 10 km.

Lantas apa makna hadits di atas? Hadits di atas mencakup larangan untuk safar dalam rangka ibadah ke suatu tempat semata-mata karena tempat itu, bukan karena hal lain seperti silaturahmi, berdagang, mencari ilmu, rekreasi dan kegiatan mubah lainnya. Jadi, setiap safar yang dilakukan dalam rangka ibadah di suatu tempat tertentu adalah terlarang, kecuali tiga masjid tadi.

Saudara pasti bertanya, mana dalilnya? Simaklah riwayat berikut:

عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّهُ قَالَ لَقِيَ أَبُو بَصْرَةَ الْغِفَارِيُّ أَبَا هُرَيْرَةَ وَهُوَ جَاءٍ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ قَالَ مِنْ الطُّورِ صَلَّيْتُ فِيهِ قَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَرْحَلَ إِلَيْهِ مَا رَحَلْتَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِي هَذَا وَالْمَسْجِدِ الْأَقْصَى

“Dari Abdurrahman ibnul Harits bin Hisyam, katanya: Abu Basrah Al Ghifari suatu ketika berjumpa dengan Abu Hurairah yang baru tiba dari bukit Thur, maka tanyanya:

“Anda datang dari mana?”

“Dari bukit Thur… aku shalat di sana”, jawab Abu Hurairah.

“Andai aku sempat menyusulmu sebelum engkau berangkat ke sana, engkau tidak akan berangkat. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah diikat pelana… dst”, kata Abu Basrah”.[HR. Ahmad dalam Musnadnya  39/270 hadits no 23850. Hadits ini sanadnya shahih, Al Haitsami mengatakan dalam Majma’uz Zawa-id (4/3): “Rijaalu Ahmad tsiqaatun atsbaat” (para perawi hadits Ahmad tsiqah semua dan kuat hafalannya). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik secara panjang lebar dalam Muwaththa’-nya no 241.]

Kita semua tahu bahwa bukit Thur adalah bukit bersejarah tempat Nabi Musa diajak bicara oleh Allah pertama kalinya, dan diangkat menjadi Rasul [Lihat Surat Al Qashash: 29] Allah Ta’ala pernah mengangkat bukit tersebut ke atas Bani Israel ketika Dia mengambil sumpah setia dari mereka[ Lihat Surat Al Baqarah: 63, 93 dan An Nisa': 154]. Di sebelah kanan bukit Thur, Allah mengumpulkan Musa beserta Bani Israel setelah Fir’aun dan bala tentaranya binasa[ Lihat Surat Maryam: 52, dan Thaha: 80]. Di bukit itu, Musa memohon untuk bisa melihat Allah namun kemudian jatuh pingsan, dan di sanalah jua Allah menurunkan Taurat kepadanya.[Lihat Tafsir Ibnu Katsir tentang surat Thaha ayat 80]

Jelas, bukit ini merupakan bukit yang diberkahi oleh Allah. Dalam menjelaskan hadits di atas, Al Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku pergi ke bukit Thur’[ Ini menurut riwayat Imam Malik yang lebih panjang dari yang kami nukil di atas. Dalam riwayat tersebut Abu Hurairah memulai haditsnya dengan kata-kata tersebut ]; jelas sekali dalam hadits ini bahwa di tidak pergi ke sana kecuali demi mencari berkah dan shalat di sana”[ Lihat: At Tamhid, 23/28].

Imam Abul Walid Al Bãji ketika menjelaskan dialog antara Abu Basrah dan Abu Hurairah mengatakan: “Ucapan Abu Hurairah: ‘Aku datang dari Bukit Thur’ mengandung dua kemungkinan; mungkin dia ke sana untuk suatu keperluan, atau dia ke sana dalam rangka ibadah dan taqarrub. Sedang ucapan Abu Basrah: ‘Andai saja aku sempat menyusulmu sebelum kau berangkat, maka kau takkan berangkat’, merupakan dalil bahwa Abu Basrah memahami bahwa tujuan Abu Hurairah ke sana ialah dalam rangka ibadah; dan diamnya Abu Hurairah ketika perbuatannya diingkari, merupakan dalil bahwa apa yang difahami Abu Basrah tadi benar.[ Lihat: Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa]

Syaikh Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan,
”Konteks hadits ini menunjukkan pengharaman bersafar untuk mengunjungi berbagai tempat selain ketiga tempat yang disebutkan di dalam hadits seperti menziarahi orang-orang shalih, baik yang hidup maupun telah wafat dengan tujuan bertaqarrub (beribadah) disana. Selain itu, larangan tersebut mencakup tindakan bersafar ke berbagai tempat yang diyakini memiliki keutamaan dengan tujuan bertabarruk dan melaksanakan shalat disana. Pendapat ini merupakan pendapat Syaikh Abu Muhammad Al Juwaini (imam Al Haramain-pen) dan juga Al Qadli ’Iyadl (keduanya merupakan ulama Syafi’iyyah-pen).” (Subulus Salam 1/89).
Soal perkataan ibnu hajar,itu nukilan dari perkataan sebagian muhaqqiqin:
 قَالَ بَعْض اَلْمُحَقِّقِينَ : قَوْلُهُ " إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ " اَلْمُسْتَثْنَى مِنْهُ مَحْذُوف ، فَإِمَّا أَنْ يُقَدِّرَ عَامًّا فَيَصِيرَ : لَا تُشَدّ اَلرِّحَال إِلَى مَكَانٍ فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ ، أَوْ أَخَصّ مِنْ ذَلِكَ . لَا سَبِيلَ إِلَى اَلْأَوَّلِ لِإِفْضَائِهِ إِلَى سَدِّ بَابِ اَلسَّفَرِ لِلتِّجَارَةِ وَصِلَةِ اَلرَّحِمِ وَطَلَبِ اَلْعِلْمِ وَغَيْرهَا فَتَعَيَّنَ اَلثَّانِي ، وَالْأَوْلَى أَنْ يُقَدَّرَ مَا هُوَ أَكْثَرُ مُنَاسَبَة ،وَهُوَ : لَا تُشَدّ اَلرِّحَال إِلَى مَسْجِدٍ لِلصَّلَاةِ فِيهِ إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ ، فَيَبْطُلُ بِذَلِكَ قَوْل مَنْ مَنَعَ شَدَّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةِ اَلْقَبْرِ اَلشَّرِيفِ وَغَيْره مِنْ قُبُورِ اَلصَّالِحِينَ وَاَللَّه أَعْلَمُ 
Jadi perkataan itu hanyalah konsekuensi logis dari tafsir kata yg dihapus saja,bukan kesimpulan.
Yg dibantah disitu dalam segala perkara

فِي أَيِّ أَمْرٍ كَانَ
sedangkan yg dilarang adalah dalam hal ibadah karena tabarruk tempat saja.
Sebagaimana dijelaskan dg gamblang dalam paragraf selanjutnya oleh imam assubki

. وَقَالَ اَلسُّبْكِيّ اَلْكَبِير : لَيْسَ فِي اَلْأَرْضِ بُقْعَةٌ لَهَا فَضْل لِذَاتهَا حَتَّى تُشَدَّ اَلرِّحَال إِلَيْهَا غَيْر اَلْبِلَادِ اَلثَّلَاثَةِ ، وَمُرَادِي بِالْفَضْلِ مَا شَهِدَ اَلشَّرْع بِاعْتِبَارِهِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ حُكْمًا شَرْعِيًّا ، وَأَمَّا غَيْرُهَا مِنْ اَلْبِلَادِ فَلَا تُشَدُّ إِلَيْهَا لِذَاتهَا بَلْ لِزِيَارَةٍ أَوْ جِهَاد أَوْ عِلْم أَوْ نَحْو ذَلِكَ مِنْ اَلْمَنْدُوبَاتِ أَوْ اَلْمُبَاحَات ، قَالَ : وَقَدْ اِلْتَبَسَ ذَلِكَ عَلَى بَعْضِهِمْ فَزَعَمَ أَنَّ شَدَّ اَلرِّحَالِ إِلَى اَلزِّيَارَةِ لِمَنْ فِي غَيْرِ اَلثَّلاثَةِ دَاخِل فِي اَلْمَنْعِ ، وَهُوَ خَطَأٌ لأنَّ اَلِاسْتِثْنَاءَ إِنَّمَا يَكُونُ مِنْ جِنْس اَلْمُسْتَثْنَى مِنْهُ ، فَمَعْنَى اَلْحَدِيثِ : لا تُشَدّ اَلرِّحَال إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ اَلْمَسَاجِدِ أَوْ إِلَى مَكَانٍ مِنْ اَلْأَمْكِنَةِ لِأَجْلِ ذَلِكَ اَلْمَكَانِ إِلَّا إِلَى اَلثَّلَاثَةِ اَلْمَذْكُورَةِ ، وَشَدّ اَلرِّحَال إِلَى زِيَارَةٍ أَوْ طَلَبِ عِلْمٍ لَيْسَ إِلَى اَلْمَكَانِ بَلْ إِلَى مَنْ فِي ذَلِكَ اَلْمَكَانِ وَاللَّهُ أَعْلَم ُ[فتح البارى لابن حجر عند شرحه حديث رقم 1115]

jadi yg dilarang adalah ِ لِأَجْلِ ذَلِكَ اَلْمَكَان
Yaitu karena beranggapan kepada tempat itu berkah

Syubhat:
Imam Nawawi juga berkata:

وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي شَدِّ الرِّحَالِ وَإِعْمَالِ الْمَطِيّ إِلَى غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ كَالذَّهَابِ إِلَى قُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ وَإِلَى الْمَوَاضِعِ الْفَاضِلَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَقَالَ الشَّيْخُ أَبُوْ مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيّ مِنْ أَصْحَابِنَا هُوَ حَرَامٌ وَهُوَ الَّذِي أَشَارَ الْقَاضِي عِيَاضٌ إِلَى اِخْتِيَارِهِ وَالصَّحِيْحُ عِنْدَ أَصْحَابِنَا وَهُوَ الَّذِي اِخْتَارَهُ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَالْمُحَقِّقُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَحْرُمُ وَلاَ يُكْرَهُ (شرح النووي على مسلم - ج 5 / ص 62)
“Ulama berbeda pendapat dalam melakukan perjalanan ke selain 3 masjid diatas, seperti perjalanan ke makam-makam orang shaleh, tempat-tempat utama dan sebagainya. Dari kalangan Syafiiyah, Syaikh al-Juwaini mengatakan haram. Pendapat ini pula yang diisyaratkan oleh Qadli Iyadl. Namun pendapat yang sahih menurut ulama Syafiiyah, yang juga dipilih oleh Imam al-Haramain dan ulama lainnya adalah tidak haram dan tidak makruh” (Syarah Muslim 5/62)

Jawab:itu karena mentakwil yg dilarang hanya iktikaf,ini sudah dibantah para ulama.

Al-Qasthalaaniy rahimahullah berkata:
اُخْتُلِفَ فِي شَدّ الرِّحَال إِلَى غَيْرهَا كَالذَّهَابِ إِلَى زِيَارَة الصَّالِحِينَ أَحْيَاء وَأَمْوَاتًا وَالْمَوَاضِع الْفَاضِلَة فِيهَا وَالتَّبَرُّك بِهَا ، فَقَالَ أَبُو مُحَمَّد الْجُوَيْنِيُّ يَحْرُم عَمَلًا بِظَاهِرِ الْحَدِيث ، وَاخْتَارَهُ الْقَاضِي الْحُسَيْن ، وَقَالَ بِهِ الْقَاضِي عِيَاض وَطَائِفَة وَالصَّحِيح عِنْد إِمَام الْحَرَمَيْنِ وَغَيْره مِنْ الشَّافِعِيَّة الْجَوَاز وَخَصَّ بَعْضهمْ النَّهْي فِيمَا حَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ بِالِاعْتِكَافِ فِي غَيْر الثَّلَاثَة لَكِنْ لَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا
“Diperselisihkan tentang perjalanan jauh (syaddur-rihaal) selain ke tempat tersebut (yaitu tiga masjid yang disebutkan dalam hadits ) seperti pergi berziarah ke orang-orang shaalih baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal (yaitu di kuburan) serta tempat-tempat yang mempunyai keutamaan untuk bertabarruk (mencari berkah) dengannya. Abu Muhammad Al-Juwainiy berkata : ‘Diharamkan berdasarkan dhahir hadits’. Al-Qaadliy Al-Husain memilih pendapat tersebut. Pendapat tersebut dipegang oleh Al-Qaadliy ‘Iyaadl dan sekelompok ulama lain. Dan yang benar menurut Imam Al-Haramain dan yang lainnya dari kalangan ulama Syaafi’iyyah adalah diperbolehkan. Sebagian di antara mereka mengkhususkan larangan tersebut – sebagaimana dihikayatkan oleh Al-Khaththaabiy – dalam hal i’tikaaf yang dilakukan di selain tiga masjid tersebut. Akan tetapi aku tidak melihat adanya dalil yang melandasainya” [‘Aunul-Ma’buud, 4/417].

Pertama: Ini adalah mengkhususkan dalil tanpa ada dalil yang mengkhususkannya, sehingga bertentangan dengan kaidah ushul fiqih yang mengatakan bahwa dalil yang umum tidak boleh dikhususkan kecuali dengan dalil.

Kedua: Pemahaman ini bertabrakan dengan pemahaman para shahabat yang meriwayatkan hadits ini, seperti Abu Hurairah, Abu Bashrah, Abdullah bin Umar dan Abu Sa’id Al Khudri bila shahih. Mereka memahami dalil ini sebagai larangan secara umum pergi safar ke tempat yang di agungkan kecuali ke tiga masjid tersebut.

Al Hafizh juga menyebutkan bahwa maksud larangan dalam hadits ditujukan bagi mereka yang sengaja hendak beri’tikaf di suatu masjid selain ketiga masjid. Alasan ini sangat lemah, karena hal tersebut merupakan pengkhususan tanpa dilandasi dengan dalil sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Al Hafizh Ibnu Hajar (Al Fath 3/65) dengan perkataan beliau, وَلَمْ أَرَ عَلَيْهِ دَلِيلًا (aku tidak melihat satu dalil pun untuk mendukung pengkhususan ini -peny). Oleh karena itu, alasan ini sangat lemah dan tidak berdasar.

Berkata Ulama sekaligus Mufti Hadramaut Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah As Saqqaf (wafat tahun 1300 Hijriah) didalam kitabnya Idaamul quut hal 584 : “Imam Haramain telah memutuskan-begitu juga Qadhi Husain- atas pengharaman safar dengan tujuan ziarah kubur, Pendapat ini juga telah dipilih oleh Qadhi Iyadh bin Musa bin Ayyash Pada kitab Ikmal . Dia adalah Mutaakhirin utama dari kalangan Malikiyah.”

Tidak ada komentar: