Minggu, 08 Mei 2016

Imam asy syafi'i suka tafwidh makna?


Syubhat:

ﻟﻤﻌﺔ ﺍﻻﻋﺘﻘﺎﺩ - ( ﺝ 1 / ﺹ 4 )
ﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺩﺭﻳﺲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ : ﺁﻣﻨﺖ ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺁﻣﻨﺖ ﺑﺮﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ، ﻭﺑﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺮﺍﺩ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ .
Imam Syafi’i berkata : Aku beriman kepada Allah terhadap apa saja yang datang dari-NYA menurut APA YANG DIKEHENDAKI OLEH ALLAH, dan aku beriman kepada Rasulullah dan apa saja yang dibawa oleh Rasulullah MENURUT APA YANG DIKEHENDAKI OLEH RASULULLAH

Jawab:
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mendekatkan masalah ini dengan berkata, "Terkenal di kalangan salaf, ungkapan yang bersifat umum dan khusus tentang ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Di antara ungkapan yang bersifat umum adalah 'Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya tanpa menanyakan bagaimana caranya.' Ungkapan ini diriwayatkan berasal dari Makhul, Az-Zuhri, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Laits bin Saad dan Al-Auza'i. Dalam ungkapan ini terdapat bantahan terhadap kaum yang menggugurkan sifat dan kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk. Ungpakan 'Mereka diperintahkan (beriman) sebagaimana adanya' adalah bantahan terhadap orang yang menafikan sifat. Sedangkan ungkapan 'tanpa menanyakan bagaimana caranya' adalah bantahan terhadap mereka yang menyerupakan Allah dengan makhluk.

Di dalamnya juga terdapat dalil bahwa kalangan salaf menetapkan dari nash-nash tentang sifat-sifat Allah, makna yang benar dan sesuai dengan kebesaran Allah Ta'ala. Hal tersebut ditunjukkan oleh dua hal;

Pertama; Ucapan mereka 'Diperintahkan (untuk beriman) sebagaimana adanya. Karena maknanya adalah membiarkan kandungannya sebagaimana yang tertangkap dari maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa ungkapan ini dinyatakan untuk menetapkan yang layak bagi Allah Ta'ala. Seandainya mereka tidak meyakini makna yang terdapat di dalamnya, niscaya mereka akan berkata, 'Mereka diperintahkan (beriman) dengan lafaznya dan tidak boleh mencari maknanya." Atau semacamnya.

Kedua: Ungkapan mereka 'tanpa menanyakan bagaimana caranya' maka ungkapan ini jelas merupakan penetapan hakikat makna. Karena seandainya mereka tidak meyakini ketetapannya, niscaya mereka tidak menafikan tata caranya. Karena sesuatu yang tidak ditetapkan pada hakikatnya tidak ada dengan sendirinya. Maka menafikan tata caranya pada hal tersebut merupakan kesia-siaan dalam bahasa." (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin, 4/32).
Jadi kita sebagaimana datang lafadz dan maknanya,bukan hanya lafadznya,maknanya tidak tahu.
Kllau memang begitu seharus ada pembatasan
 بما جاء لفظه ternyata tidak demikian.

Tidak ada komentar: