Sabtu, 18 Januari 2014

┈┈»̶·̵̭̌✽·̵̭̌«̶┈┈ SAATNYA KUIS MAULID┈┈»̶·̵̭̌✽·̵̭̌«̶┈┈


Jawablah Pertanyaan Berikut dengan baik dan
benar !!!

1. Berapa kali Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم merayakan hari kelahirannya ??? sebutkan dalilnya

2. Berapa kali Keluarga Nabi dan Khulafa' Rasyidin
(Abu Bakr, 'Umar, 'Utsman dan Ali) melaksanakan
acara maulid Nabi ??? sebutkan dalilnya

3. Dimanakah pertama kali para sahabat Nabi -
radhiyallaahu 'anhum - melaksanakan maulid
Nabi ? Dan kapan ? sebutkan dalilnya

4. Nasyid/Qoshidah apakah yang selalu disenandungkan
oleh para sahabat dalam acara maulid Nabi ? sebutkan judul dan pengarangnya

5. Apakah Para Tabi'in dan Tabi'ut Tabi'in seperti
Imam Syafi'i dan lainnya juga melaksanakan
maulid Nabi ? kapan?dimana?

6. Apakah persamaan
acara maulid Nabi dan acara natal yesus ? apakah ada
acara bernyanyi ?

7. Siapakah orang yg pertama kali yg bernyanyi untuk Nabi dalam acara maulid tsb?

8. Siapakah orang yg pertama kali memberikan ucapan selamat hari ulang tahun kpd Nabi صلى الله عليه وسلم ?

9. Jika Khulafa' Rasyidin dan para sahabat lainnya
mengetahui hukum maulid Nabi,tapi mereka tidak
mengerjakannya, apakah karena mereka tidak
mencintai Rasululloh صلى الله عليه وسلم ???

┈┈»̶·̵̭̌✽·̵̭̌«̶┈┈

#Jika anda tidak mendapatkan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan diatas, kalau begitu
dari mana anda dapatkan amalan yang baru ini
(Maulid Nabi), yang tak pernah dikerjakan oleh
Rasululloh صلى الله عليه وسلم , tidak pula
Khulafa' Rasyidin, dan tidak pula para
sahabat lainnya ???!!!

#Atau anda lebih tahu dari
mereka ???!!! Karena agama Islam ialah apa-apa
yang diajarkan oleh Rasululloh صلى الله عليه وسلم dan diamalkan oleh para sahabatnya
radhiyalloohu 'anhum..

KEANEHAN jamaah ASWAJAN


Baca Tahlil senengnya berjama'ah
Baca Dzikir sukanya berjama'ah
Baca Surah Yasin doyannya berjama'ah
Baca Sholawat maunya berjama'ah
Baca Surah Al Fatihah demennya berjama'ah
Ziarah kubur pinginnya berjama'ah
Niat puasa Romadhon juga berjama'ah

Lebih lucunya..
Geleng-geleng juga berjama'ah
Manggut-manggut juga berjama'ah
Muter-muter juga berjama'ah
Goyang-goyang juga berjama'ah
Nyanyi-nyanyi juga berjama'ah

Mereka pinginnya serba berjama'ah,
TAPI ANEHNYA..
Sholat Fardhunya JARANG berjama'ah padahal itu yg disyari'atkan..

HARI BAHASA ARAB SEDUNIA 18 DESEMBER



اليوم العالمي للغة العربية

MOTTO

اللغة العربية بحر كلما تعمقنا فيه اكتشفنا كنوزه
BAHASA ARAB SEPERTI LAUTAN SEMAKIN KITA MENDALAMINYASEMAKIN TERUNGKAP PERBENDAHARAANNYA(LIPIA JAKARTA)

Rabu, 15 Januari 2014

memakai tasbih cara dzikir ala kyai abangan vs ala nabi


yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berikut dalil-dalilnya:

1. Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertahlil, bertasbih, dan bertaqdis (mensucikan), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari, karena itu semua akan ditanya dan diajak bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat.” (HR. At Tirmidzi No. 3583, Abu Daud No. 1501, Ahmad No. 27089, Ath Thabrani, Al Mu’jam Al Kabir No. 180, lihat juga Ad Du’a, No. 1662, Musnad Ishaq bin Rahawaih No. 2327, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi,Kanzul ‘Ummal No. 2006)

Al Hafizh Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan sanadnya Jayyid (baik). (Takhrij Ahadits Al Ihya No. 958). Imam An Nawawi menyatakan hasan. (Al Adzkar No. 27. Darul Fikr, Lihat juga Al Khulashah Al Ahkam, 1/472). Al Hafizh Ibnu Hajar juga menghasankan dalamNataij Al Afkar. (Raudhatul Muhadditsin No. 4969). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: muhtamal lit tahsin (dimungkinkan hasan). (Ta’liq Musnad Ahmad No. 27089). Syaikh Abu Muhammad Syahatah juga mengatakan hasan. (Al Musyarikat Hal. 16)

Syaikh Al Albani juga menghasankan. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1501 dan Misykah Al Mashabih No 2316)

2. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kepada para istri dan kaum wanita dari kalangan sahabatnya. Beliau bersabda:

وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

3. Abdulloh bin Amr Rodhiyallohu ‘anhuma berkata:

“Aku melihat Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berdzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1/235, at-Tirmidzi: 4/255, Ibnu Hibban: 2334, al-Hakim: 1/547, al-Baihaqi: 2/253, dishohihkan al-Albani dalam Shohih Abu Dawud: 1346)

dalil pak kyai :
1). Dari Ali bin Abi Tholib Rodhiyallohu ‘anhu:

نِعْمَ الْمُذَكِّرُ السَّبْحَةُ وَإِنَّ أَفْضْلَ مَا يُسْجَدُ عَلَيْهِ اْلأَرْضُ وَمَا أَنْبَتَتْهُ الْأَرْضُ

“Sebaik-baik pengingat adalah biji tasbih, dan seutama-utama tempat yang dipakai sujud adalah bumi dan yang ditumbuhkan oleh bumi.” (Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Dailami dalam Mukhtashor Musnad al-Firdaus: 4/98, as-Suyuthi dalam al-Minhah Fis Subhah: 2/141 dari al-Hawi, dan dinukil oleh asy-Syaukani dalam Nailul Author: 2/166-167)

Hadits di atas adalah MAUDHU’/PALSU, Sebagaimana dikatakan al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/ 184, dikarenakan beberapa sebab:

Sanad (jalur periwayatan) hadits ini kebanyakan rowi (periwayat)nya adalah majhul (tidak dikenal), bahkan sebagian mereka tertuduh dusta dalam meriwayatkan hadits. (Di antara rowinya) Umul Hasan binti Ja’far bin al-Hasan, dia tidak dikenal biografinya.
Abdush Shomad bin Musa al-Hasyimi dikatakan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, menukil perkataan al-Khothib al-Baghdadi (14/41), beliau mengatakan: “Para ulama (pakar hadits) telah melemahkannya.”

2). Dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu:

كَانَ النَّبِيُّ يُسَبِّحُ بِالْحَصَى

“Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertasbih dengan kerikil.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abul Qosim al-Jurjani dalam Tarikh-nya: 68, dari jalan Sholih bin Ali an-Naufali, menceritakan kepadanya Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami, menceritakan kepadanya Ibnul Mubarok dari Sufyan ats-Tsauri dari Samiy, dari Abu Sholih dari Abu Huroiroh Rodhiyallohu ‘anhu terangkat (sampai) kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam)

Keterangan (Lihat Silsilah Dho’ifah: 3/47):

Hadits di atas MAUDHU’/PALSU karena Abdulloh bin Muhammad bin Robi’ah al-Qudami tertuduh dusta.

Imam adz-Dzahabi—dalam Mizanul I’tidal—berkata: “Dia (al-Qudami) adalah salah satu rowi lemah, demikian dalam al-Lisan dikatakan bahwa Ibnu Adi dan ad-Daruquthni melemahkannya.”
Ibnu Hibban berkata: “Dia membalik hadits-hadits. Barangkali (kira-kira) dia telah membalik riwayat Imam Malik lebih dari 150 hadits. Dia juga meriwayatkan dari Ibrahim bin Sa’ad satu kitab yang kebanyakan (hadits)nya terbalik.”
Imam al-Hakim dan an-Naqqosy berkata: “Dia juga meriwayatkan hadits dari Malik banyak hadits yang palsu.”
Abu Nu’aim berkata: “Dia meriwayatkan hadits-hadits yang mungkar.”
- yang ada asal usulnya yaitu dari budha:
mala atau tasbih dapat di jumpai pada kisah Buddha Sakyamuni sebagai berikut : “pada waktu Sakyamuni, penemu Buddha Dharma, mengunjungi raja vaidunnya, sakyamuni menyuruh kepada sang raja untuk membuat untaian 108 biji-biji bodhi pada benang atau tali yang indah, kemudian ketika untaian biji-biji bodi tersebut melawati di antara jari-jari sang raja maka sang raja harus mengulang kata “keagungan Buddha,kagungan hukum-hukum Dharma dan keagungan sangha” sebanyak 2000 X sehari (Louis dubin, the history of bread, 1987 ).

membungkukkan badan ajaran kyai abangan jawa



betapa seringnya kita lihat orang lewat depan orang lain sambil merunduk,seakan-akan dia orang yang sangat sopan atau bagus akhlaqnya
padahal semua kita sepakat nabi muhammad yg paling mulia akhlaqnya tapi tidak mengajarkan semacam itu,bahkan melarangnya.

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata :

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ لَا قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ نَعَمْ

Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasûlullâh, salah seorang dari kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah ia menundukkan punggung kepadanya?’ Beliau menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia merangkul dan menciumnya ?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak,’ Apakah ia memegang tangannya kemudian ia berjabat tangan dengannya?’ Beliau menjawab, ‘Ya” [HR at-Tirmizi (no.2728). ia berkata: "Hadits hasan"].

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan “Makruh hukumnya menundukkan punggung dalam segala kondisi bagi sesorang, berdasarkan hadits Anan di atas, “Apakah kami menundukkan punggung” Beliau n menjawab, “Tidak”, dan tidak ada yang menyelisihi hadits ini. Dan jangan kamu tertipu dengan mayoritas orang yang melakukannya seperti orang-orang yang dianggap berilmu atau shâlih dan semisal mereka.” [Al-Majmu' Syarh al-Muhazzab, Imam Nawawi (4/635)]

mengusap wajah adab berdo'anya kyai abangan


https://www.facebook.com/ustadz.thoyib
Dalil-dalil yang digunakan sebagian kalangan yang mensunnahkan mengusap muka setelah berdoa antara lain:

1. Hadits riwayat Umar bin Al Khatthab rodiallahu’anhu berikut ini:

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bila mengangkat kedua tangannya tatkala berdo’a, tidaklah menurunkannya hingga mengusapkannya ke wajah beliau.” (Riwayat At Tirmizi 5/463, hadits no: 3386, ‘Abd bin Humaid 1/44, hadits no: 39, Al Bazzar 1/243, hadits no: 129, At Thabrani dalam Mu’jam Al Ausath 7/124, hadits no: 7053, dan Al Hakim 1/719, hadits no: 1967, semuanya melalui jalur perawi yanng bernama Hammad bin ‘Isa Al Juhani)

Seluruh sanad hadits ini bertemu pada seorang perowi yang bernama Hammad bin ‘Isa Al Juhani, dan karenanya lah mayoritas ulama’ memvonis dhaif/lemah hadits ini. Diantara ulama’ ahli hadits yang telah memvonis dhaif ialah:

a. Abu Zur’ah Al Razi, ia berkata: “Ini adalah hadits mungkar, dan saya khawatir jangan-jangan hadits ini tidak ada asal usulnya (palsu).” (’Ilal Ibnu Abi Hatim, oleh Abdurrahman bin Muhammad Ar Razi 2/205).

b. Yahya bin Ma’in, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Jauzi. (Al ‘Ilal Al Mutanahiyah oleh Ibnu Jauzi 2/840).

c. Al Bazzar, ia berkata: “Hadits ini yang meriwayatkannya dari Handholah hanyalah Hammad bin ‘Isa, dan dia ini lemah haditsnya… dan saya tidak ada pilihan lain, sehingga saya cantumkan hadits ini, karena (mengusap muka dengan kedua telapak tangan setelah berdo’a) tidaklah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam melainkan dalam riwayat lemah semacam ini, atau bahkan lebih lemah lagi.” (Al Musnad, oleh Abu Bakar Ahmad bin ‘Amr Al Bazzar 1/243).

d. Adz Dzahabi. (Siyar A’alam An Nubala’, oleh Adz Dzahabi 16/67).

e. An Nawawi. (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab, oleh An Nawawi 3/463, dan Al Adzkar 355).

Adapun ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani berikut ini:

“Hadits ini memiliki beberapa pendukung, diantaranya riwayat Ibnu Abbas –radhiallahu ‘anhuma- yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lainnya, dan paduan seluruh riwayat ini menjadikan hadits ini meningkat menjadi hadits hasan (hasan lighairihi),” maka perlu diketahui bahwa ucapan beliau ini oleh banyak ulama’ dinyatakan tidak dapat diterima, karena beberapa hal berikut:

a. Hadits hasan lighairihi menurut istilah Ibnu hajar ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang belum diketahui statusnya (mastur) bila diriwayatkan dari beberapa jalur sanad (rentetan perawi) yang berbeda. (Lihat keterangan beliau tentang hadits Hasan Lighairihi pada kitab beliau Nuzhatun Nadhar fi Taudlih Nukhbatil Fikar, 139-140).

b. Ibnu Hajar telah berkata tentang perawi di atas, yaitu Hammad bin ‘Isa Al Juhani, bahwa ia adalah perawi yang dhaif, berikut ini ucapan beliau tentangnya:

“Hammad bin ‘Isa bin ‘Ubaidah bin Al Thufai Al Juhani Al Wasithi, penduduk Bashrah, dhaif, tergolong kedalam generasi kesembilan, ia mati tenggelam di daerah Juhfah, pada tahun 208.″ (Taqrib At Tahzib oleh Ibnu Hajar Al Asqalani: 81).

Padahal menurut istilah Al Haf idz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, orang yang ia vonis dhaif, ia kategorikan ke dalam tingkatan kedelapan, yaitu: tingkatan orang-orang yang tidak ada satu ulama’pun yang menganggapnya kuat dalam periwayatan hadits, akan tetapi ada ulama’ ahli hadits yang memvonisnya dhaif atau lemah, walaupun vonis ini tidak dijelaskan sebabnya. (Baca Muqaddimah kitab Taqrib At Tahzib oleh Ibnu hajar Al ‘Asqalani). Dan bila kita merujuk kepada pembagian Ibnu Hajar dalam kitabnya Taqrib Al Tahzib, maka kita dapatkan bahwa tingkatan dhaif adalah tingkatan kedelapan, berarti tingkatan ini lebih rendah bila dibanding dengan tingkatan mastur, yang beliau posisikan pada tingkatan ketujuh.

Ditambah lagi, bila kita mengkaji ulang biografi perawi ini, kita akan dapatkan bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan alasan mengapa orang ini divonis lemah, yaitu karena diragukan ‘adalah-nya (kredibilitasnya).

Ibnu Hibban berkata:

“Hammad bin ‘Isa Al Juhani, seorang syeikh, ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dan Abdul ‘Aziz bin Umar bin Abdil Aziz, beberapa riwayat yang terbolak-balik. Sehingga orang yang perlakuannya semacam ini, dapat diduga cacat riwayatnya, dan tidak boleh dijadikan hujjah/dalil.”

Sedangkan Adz Dzahabi berkata:

“Hammad Al Juhani, ialah seorang yang mati tenggelam di Juhfah, ia meriwayatkan dari Ja’far As Shaadiq dan Ibnu Juraij beberapa riwayat yang sangat jelek.” (Mizan Al I’itidal, oleh Adz Dzahabi 2/369).

Sehingga seharusnya perawi ini dikatagorikan oleh Ibnu Hajar ke dalam tinggkatan yang lebih rendah dari tingkatan kedelapan.

Dengan penjelasan ini, kita dapat simpulkan bahwa hadits sahabat ‘Umar bin Khatthab ini bila diteliti lebih mendalam dengan menggunakan penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits hasan lighairihi tidak dapat dianggap sebagai hadits hasan lighairihi. Sehingga ucapan Ibnu Hajar di atas tidak sesuai dengan penjabaran beliau sendiri, sehingga tidak dapat diterima. (Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan dan takhrij lengkap tentang hadits ini, silahkan baca buku Juz’un f i mash Al Wajhi bi Al yadain Ba’da Raf’ihima li Ad Du’a, oleh Bakr bin Abdillah Abu Zaid).
Terdapat hadits yang sejenis dengan hadits di atas

”Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya”

Hadits ini Dha’if. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1492) dari Ibnu Lahi’ah dari Hafsh bin Hisyam bin ‘Utbah bin Abi Waqqash dari Sa’ib bin Yazid dari ayahnya. Ini adalah hadits dha’if berdasarkan pada Hafsh bin Hisyam karena dia tidak dikenal (majhul) dan lemahnya Ibnu Lahi’ah (Taqribut Tahdzib). Hadits ini tidak bisa dikuatkan oleh dua jalur hadits berdasarkan lemahnya hadits yang pertama.

2. Hadits:

”Jika kamu berdo’a kepada Allah,kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya,dan jika sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.

Hadits ini lemah. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1181, 3866), Ibnu Nashr dalam Qiyaamul-Lail (hal. 137),Ath Thabarani dalam Al-Mu’jam al-Kabir (3/98/1) & Hakim (1/536), dari Shalih ibn Hassan dari Muhammad ibn Ka’b dari Ibnu ‘Abbas radiallaahu ‘anhu (marfu’). Lemahnya hadits ini ada pada Shalih bin Hassan, sebagai munkarul hadits, seperti dikatakan Al Bukhari dan Nasa’i,”Dia tertolak dalam meriwayatkan hadits”; Ibnu Hibban berkata:”Dia selalu menggunakan (mendengarkan) penyanyi wanita dan mendengarkan musik, dan dia selalu meriwayatkan riwayat yang kacau yang didasarkan pada perawi yang terpercaya”; Ibnu Abi Hatim berkata dalam Kitabul ‘Ilal (2/351):”Aku bertanya pada ayahku (yaitu Abu Hatim al-Razi) tentang hadits ini, kemudian beliau berkata:’Munkar’.” Hadits dari Shalih bin Hasan ini diriwayatkan juga oleh jalur lain yaitu dari Isa bin Maimun, yaitu yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab, seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Nashr. Tapi hal ini tidaklah merubah lemahnya hadits ini, sebab Isa bin Maimun adalah lemah. Ibnu Hibban berkata:”Dia meriwayatkan beberapa hadits,dan semuanya tertolak”. An Nasa’i berkata:”Dia tidak bisa dipercaya”. Hadits dari Ibnu Abbas ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud (1485), dan Bayhaqi (2/212), melalui jalur ‘Abdul Malik ibn Muhammad ibn Aiman dari ‘Abdullah ibn Ya’qub ibn Ishaq dari seseorang yang meriwayatkan kepadanya dari Muhammad ibn Ka’b, dengan matan sebagai berikut :

”Mintalah kepada Allah dengan (mengangkat) kedua telapak tanganmu,dan minta pada-Nya dengan membaliknya, dan jika kau selesai, maka usaplah mukamu dengannya”.

Hadits ini sanadnya dha’if. Abdul Malik dinyatakan lemah oleh Abu Dawud. Dalam hadits ini terdapat Syaikhnya Abdullah bin Ya’qub yang tidak disebutkan namanya, dan tidak dikenal – Bisa saja dia adalah Shalih Bin Hassan atau Isa bin Maimun. Keduanya sudah dijelaskan sebelumnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Hakim (4/270) melalui jalur Muhammad ibn Mu’awiyah, yang berkata bahwa Mashadif ibn Ziyad al-Madini memberitahukan padanya bahwa dia mendengar hal ini dari Muhammad ibn Ka’b al-Qurazi. Adz Dzahabi menyatakan bahwa Ibnu Mu’awiyah dinyatakan kadzab oleh Daraquthni, Maka hadits ini adalah maudhu’. Abu Dawud berkata tentang hadits ini:”hadits ini telah diriwayatkan lebih dari satu jalur melalui Muhammad ibn Ka’b; semuanya tertolak.”

Mengangkat kedua tangan ketika melakukan qunut memang terdapat riwayat dari Rasulullah tentangnya, yaitu ketika beliau berdoa terhadap kaum yang membunuh 15 pembaca Al Qur’an (Riwayat Ahmad (3/137) & AthThabarani Al-Mu’jamus-Shaghir (hal. 111) dari Anas dengan sanad shahih. Serupa dengan yang hadits yang diriwayatkan dari Umar dan yang lainnya ketika melakukan qunut pada sholat Witir. Namun mengusap muka sesudah du’a qunut maka tidaklah pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dari para shahabatnya, ini adalah bid’ah yang nyata. Sedangkan mengusap muka setelah berdoa diluar sholat berdasarkan pada dua hadits. Dan tidaklah dapat dikatakan benar kedua hadits tersebut bisa menjadi hasan,seperti yang dikatakan oleh Al Manawi, berdasarkan pada lemahnya sanad yang ditemukan pada hadits tersebut. Inilah yang menjadikan alasan Imam An Nawawi dalam Al Majmu bahwa hal ini tidak dianjurkan, menambahkan perkataan Ibnu ‘Abdus-Salaam yang berkata bahwa ”hanya orang yang sesat yang melakukan hal ini”.

Bukti bahwa mengusap muka setelah berdo’a tidak penah dicontohkan adalah dikuatkan bahwa terdapat hadits-hadits yang tsabit yang menyatakan diangkatnya tangan untuk berdo’a, tapi tidak ada satupun yang menjelaskan mengusap muka setelahnya, dengan hal ini, wallahu a’lam, hal ini tidak diterima dan tidak pernah dicontohkan. Wallahu a’lam bish shawab.
Adapun fatwa para ‘ulama terkait larangan akan mengusap muka akan hal ini adalah:

1. Abu Daud berkata bahwa saya mendengar Imam Ahmad ditanya oleh salah seorang tentang hukum mengusap wajah sesudah berdoa, maka beliau menjawab : “Saya tidak pernah mendengar itu dan saya tidak pernah mendapatkan sesuatu tentang itu. Abu Daud berkata : Saya tidak pernah melihat Imam Ahmad mengerjakan hal itu. [Abu Daud dalam Masail Imam Ahmad hal. 71]
2. Imam Al Baihaqi dalam kitabnya As Sunan Al Kubra, dengan sopan beliau berkata:

“Adapun masalah mengusap wajah dengan kedua telapak tangan seusai berdo’a, maka saya tidak ingat dari seorang ulama’ salaf pun (ulama’ terdahulu) bahwa ia melakukannya dalam do’a qunut, walaupun itu diriwayatkan dari sebagian mereka ketika berdo’a di luar shalat. Dan telah diriwayatkan juga suatu hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tentangnya, akan tetapi haditsnya lemah, dan walau demikian hadits ini diamalkan oleh sebagian mereka di luar shalat. Adapun mengusap wajah di dalam shalat (seusai berdo’a dalam shalat), maka itu adalah amalan yang tidak ada dalilnya yang shahih, tidak ada riwayat dari ulama’ salaf (atsar), juga tidak ada dalil berupa qiyas, maka yang utama ialah kita tidak melakukannya, dan mencukupkan diri dengan apa yang telah dilakukan oleh ulama’ salaf –semoga Allah meridhai mereka yaitu seusai berdo’a dalam shalat cukup mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke wajah.” (As Sunan Al Kubra oleh Imam Al Baihaqi 2/212).

3. Imam An Nawawi sendiri, pada kitab Al Majmu’ beliau menyatakan yang benar ialah tidak mengusap wajah (tetapi kitab Al Adzkar beliau menyatakan disunnahkannya mengusap wajah seusai berdo’a). [Lihat Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab 3/463, dan Al Adzkar 355].

4. Sulthan Al Ulama’ Izzuddin bin Abd Al Salam berkata:

“Dan tidaklah ada orang yang mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya seusai berdo’a melainkan orang bodoh.” (Al Fatawa Al Mushiliyyah, oleh Izzuddin bin Abd Al Salam 34). [(Dari makalah: "Sorotan Tajam Terhadap Dzikir Jama'i" karya: Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA.]
Tambahan Faedah

Barangkali setelah ini ada yang beralasan akan bolehnya berhujjah dengan hadits yang lemah dalam fadhoil amal? Bisa saja, diantaranya mereka membawakan ucapan Imam An Nawawi tentang hal ini, beliau berkata:

“Ulama’ ahli hadits dan f iqih dan yang lainnya menyatakan: boleh dan dianjurkan dalam hal fadla’il (keutamaan suatu amalan, At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakutnakuti) untuk menggunakan hadits dhaif, selama tidak termasuk hadits maudlu’ (palsu). Adapun berkenaan dengan hukum-hukum, seperti halal, haram, jual-beli, pernikahan, perceraian, dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali hadits shahih, atau hasan, kecuali dalam rangkan kehati-hatian dalam hal-hal tersebut.” (Al Azkar, oleh Imam An nawawi, 7-8).

1. Bedakan antara فضائل الأعمال Fada’ilul A’amal dan الأعمال الفاضلة A’amal Al Faadlilah

Ucapan An Nawawi ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Agar maksud beliau ini menjadi jelas, mari kita nukilkan penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani tentang hukum beramal dengan hadits dhaif dalam Fadla’ilul A’amal:

“As Sakhawi berkata: Saya pernah mendengar dari guruku rahimahullah– yaitu Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani- berkata dan kemudian beliau menuliskannya untukku dengan tulisan tangannya sendiri: “Sesungguhnya syarat beramal dengan hadits dhaif ada tiga:

a. Syarat yang disepakati oleh seluruh ulama’: Hendaknya hadits itu tidak terlalu lemah, dengan demikian hadits-hadits yang hanya diriwayatkan oleh para pendusta/pemalsu, orang-orang yang dituduh berdusta/memalsukan hadits, dan orang yang banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan hadits tidak dimaksudkan dalam hal ini.

b. Hendaknya amalan itu tercakup oleh suatu dasar/dalil yang bersifat umum, sehingga amalan yang diada-adakan, dan tidak memiliki dasar hukum (dalil) sama sekali tidak dimaksudkan di sini.

c. Hendaknya ketika mengamalkannya, tidak diyakini akan keabsahan hal tersebut, agar tidak dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam suatu hal yang tidak pernah beliau sabdakan. Kemudian yang perlu di tekankan lagi, bahwa yang dimaksudkan oleh para ulama’ dari kata فضائل الأعمال Fadla’ilul A’amal ialah: Keutamaan atau pahala atau ganjaran amalan-amalan yang benar-benar telah diajarkan dan ada dalilnya dalam syari’at, bukan mengadakan amalan-amalan yang dianggap utama atau baik, walau tidak ada dalilnya. Oleh karenanya para ulama’ mengungkapkannya dengan sebutan فضائل الأعمال Fada’ilul A’amal, bukan الأعمال الفاضلة A’amal Al Faadlilah. InsyaAlloh orang yang mengerti bahasa arab, walau sedikit, ia dapat membedakatan antara dua ungkapan ini.

Untuk lebih jelasnya mari kita simak penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

“Beramal dengan hadits dhaif maksudnya ialah: Hati kita mengharapkan pahala itu atau takut tertimpa hukuman itu, layaknya seorang pedagang mengetahui bahwa perdagangan akan mendatangkan keuntungan, akan tetapi ia mendengar kabar bahwa perdagangan kali ini akan mendatangkan keuntungan besar. Maka kabar ini seandainya benar adanya, niscaya ia diuntungkan, dan bila tidak benar, ia tidak dirugikan. Demikian inilah halnya At Targhib wa At Tarhib (memotivasi dan menakut-nakuti) dengan kisah-kisah Bani Israel, mimpi-mimpi, ucapan ulama’ terdahulu, berbagai kejadian yang dialami oleh ulama’ dan lainnya yang tidak boleh dijadikan dasar/dalil untuk menetapkan suatu hukum syari’at –bila hanya berdasarkan hal-hal itu-, baik itu hukum sunnah atau lainnya. Akan tetapi boleh disebutkan tatkala menyampaikan At Targhib wa At Tarhib, membangkitan harapan, dan menumbuhkan rasa takut.” (Majmu’ Fatawa, oleh Ibnu Taimiyyah 18/66).

Inilah maksud para ulama’ dengan ucapan: Boleh beramal dengan hadits-hadits dhaif dalam فضائل الأعمال Fadla’ilul A’amal.

Bila kaidah ini telah jelas, mari kita terapkan pada permasalahan ini, yaitu mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah, seusai berdo’a.Setelah ditelusuri, dan dikaji dengan mendalam, kita dapatkan bahwa para ulama’ sepakat menyatakan bahwa seluruh hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini lemah, sehingga tidak ada dasar/dalil yang kuat untuk menetapkan hukum sunnah bagi amalan ini. Dan amalan ini juga tidak tercakup oleh dalil-dalil lain yang bersifat umum, sebab dalil-dalil yang menganjurkan kita untuk berdo’a tidak menyinggung/mencakup metode berdo’a dengan cara mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, sehingga amalan ini tidak disunnahkan. Dan hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini tidak dapat dikategorikan ke dalam hadits-hadits Fadla’ilul A’amal, karena hadits-hadits itu
tidaklah menyebutkan keutamaan suatu amalan, akan tetapi mensyari’atkan suatu amalan, sehingga dikategorikan ke dalam hadits-hadits Al A’amal Al fadlilah. [(Dari makalah: "Sorotan Tajam Terhadap Dzikir Jama'i" karya: Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA.]



2. Pendapat yang lebih kuat: beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan

Syaikh Muhadits (ahli hadits) Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah (diringkas):

”Di kalangan ahli ilmu dan para penuntut ilmu ini telah masyhur bahwa hadits dla’if (lemah) boleh diamalkan dalam fadlailul ‘amal (keutamaan amal). Mereka menyangka bahwa perkara ini tidak diperselisihkan. Bagaimana tidak, Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam berbagai kitab beliau bahwa hal ini telah disepakati. (Seperti dalam kitab Arba’in Nawawi, pent.) Tetapi pernyataan beliau itu terbantah karena perselisihan dalam hal ini ma’ruf. Sebagian besar para muhaqiq (peneliti) berpendapat bahwa hadits dla’if tidak boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam perkara-perkara hukum maupun keutamaan-keutamaan.

Syaikh Al-Qasimi rahimahullah dalam kitab Qawaid At-Tahdits, hal: 94 mengatakan bahwa pendapat tersebut diceritakan oleh Ibnu Sayyidin Nas dalam ‘Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in dan Fathul Mughits beliau menyandarkannya kepada Abu Bakr bin ‘Arabi. Pendapat ini juga merupakan pendapat Bukhari, Muslim dan Ibnu Hajm.

Saya (Syaikh Al-Albani) katakan bahwa inilah yang benar menurutku, tidak ada keraguan padanya karena bebarapa perkara;

Pertama: Hadits dla’if hanya mendatangkan sangkaan yang salah (dzanul marjuh). Tidak boleh beramal dengannya berdasarkan kesepakatan. Barangsiapa mengecualikan boleh beramal dengan hadits dla’if dalam keutamaan amal, hendaknya dia mendatangkan bukti, sungguh sangat jauh!.

Kedua: Yang aku pahami dari ucapan mereka tentang keutamaan amal yaitu amal-amal yang telah disyari’atkan berdasarkan hadits shahih, kemudian ada hadits lemah yang menyertainya yang menyebutkan pahala khusus bagi orang yang mengamalkannya. Maka hadits dla’if dalam keadaan semacam ini boleh diamalkan dalam keutamaan amal, karena hal itu bukan pensyari’atan amal itu tetapi semata-mata sebagai keterangan tentang pahala khusus yang diharapkan oleh pelakunya. Oleh karena itu ucapan sebagian ulama dimasukkan seperti ini. Seperti Syaikh Ali Al-Qari rahimahullah dalam Al-Mirqah 2/381 mengatakan bahwa hadits lemah diamalkan dalam perkara keutamaan amal walaupun tidak didukung secara ijma’ sebagaimana keterangan Imam An-Nawawi, yaitu pada amal yang shahih berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.



Adapun yang terpenting disini adalah hendaklah orang-orang yang menyelisihi hal ini mengetahui bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak mutlak menurut orang-orang yang berpendapat dengannya. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Tabyanul Ujab, hal: 3-4 bahwa para ahli ilmu telah bermudah-mudah dalam membawakan hadits-hadits tentang keutamaan amal walaupun memiliki kelemahan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seharusnya hal ini diberi syarat yaitu orang yang beramal dengannya menyakini bahwa hadits itu lemah dan tidak memasyhurkannya sehingga orang tidak beramal dengan hadits dla’if dan mensyari’atkan apa yang tidak disyari’atkan atau sebagian orang-orang jahil (=bodoh) menyangka bahwa hadits itu adalah shahih.

Hal ini juga ditegaskan oleh Al-Ustadz Abu Muhammad bin Abdus Salam dan lain- lain. Hendaknya setiap orang khawatir jika termasuk dalam ancaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam:

“Barangsiapa menceritakan dariku satu hadits yang dianggap hadits itu dusta, maka dia termasuk seorang pendusta” [Untuk lebih jelasnya lihat permasalahn ini pada kitab Syarh Shahih Muslim, juz: 1, bagian muqadimah. Imam An-Nawawi Ad- Damsiqi rahimahullah.]



Akan tetapi sangat disayangkan kita menyaksikan kebanyakan ulama lebih-lebih orang awam meremehkan syarat-syarat ini. Mereka mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kelemahannya, mereka tidak mengetahui apakah kelemahannya ringan atau sangat parah sehingga (hadits) tersebut tidak boleh diamalkan. Kemudian mereka memasyhurkannya sebagaimana halnya beramal dengan hadits shahih!. Oleh karena itu banyak ibadah-ibadah dikalangan kaum Muslimin yang tidak shahih dan memalingkan mereka dari ibadah-ibadah yang shahih yang diriwayatkan dengan sanad-sanad (=jalan, pent) yang shahih.



Menurutku (Syaikh Al-Albani), Al-Hafidz Ibnu Hajar cenderung kepada tidak boleh beramal dengan hadits dla’if berdasarkan ucapan beliau yang telah lewat bahwa tidak ada perbedaan antara mengamalkan suatu hadits dalam perkara hukum atau dalam keutamaan amal sebab semuanya adalah syari’at.

Inilah yang haq, karena hadits dla’if yang tidak ada penguatnya kemungkinan adalah maudlu’ (=palsu), bahkan umumnya palsu dan mungkar. Hal ini ditegaskan oleh sebagian ulama. Orang yang membawakan hadits dla’if termasuk dalam ucapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam:”…yang dianggap hadits itu dusta”, yaitu dengan menampakkan demikian. Oleh karena itu Al-Hafidz menambahkan dengan ucapannya:”Maka bagaimana dengan orang yang mengamalkannya”.

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Hibban bahwa setiap orang yang ragu terhadap apa yang dia riwayatkan, shahih atau tidak shahih, maka dia termasuk dalam hadits ini. Dan kita katakan seperti perkataan Al-Hafidz (Ibnu Hajar):”Maka bagaimanakah dengan orang yang mengamalkannya”.
Inilah penjelas dari maksud ucapan Al-Hafidz Ibnu Hajar tersebut. Adapun jika ucapan beliau dimaksudkan kepada larangan memakai hadits maudlu’ (=palsu) dan tidak ada perbedaan antara perkara hukum dan keutamaan adalah sangat jauh dari konteks ucapan Al-Hafidz, sebab ucapan beliau adalah dalam pembahasan hadits dla’if, bukan maudlu’ sebagaimana hal itu tidak tersembunyi.

Apa yang kami sebutkan tidak menafi’kan (=meniadakan) bahwa Al-Hafidz (Ibnu Hajar) menyebutkan syarat-syarat itu untuk mengamalkan hadits dla’if. Sebab kita katakan bahwa Al-Hafidz menyebutkan perkataan itu kepada orang-orang yang membolehkan memakai hadits dla’if dalam perkara keutamaan selama tidak maudlu’ (=palsu). Seakan-akan beliau berkata kepada mereka:”Jika kalian berpendapat demikian, maka seharusnya kalian menerapkan syarat-syarat ini”.

Al-Hafidz tidaklah menyatakan dengan tegas bahwa dia menyetujui mereka dalam membolehkan (beramal dengan hadits-hadits yang dla’if) dengan syarat-syarat itu. Bahkan diakhir ucapan beliau menegaskan sebaliknya seperti yang telah kami terangkan.

Kesimpulannya, bahwa beramal dengan hadits dla’if dalam perkara keutamaan amal tidak diperbolehkan sebab menyelisihi hukum asal dan tidak ada dalilnya. Orang yang membolehkannya harus memperhatikan syarat-syarat itu ketika mengamalkan hadits dla’if, Wallahu Muwaffiq. (Tamamul Minah Fii Ta’liq Fiqh Sunnah, hal: 34-38. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah. Dinukil dari majalah Salafy edisi: XXIII/Ramadlan/1418H/1996, hal: 23-25)

Selasa, 14 Januari 2014

kyai abangan vs albani



حدثنا أبو النعمان ثنا سعيد بن زيد ثنا عمرو بن مالك النكري حدثنا أبو الجوزاء أوس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت انظروا قبر النبي صلى الله عليه و سلم فاجعلوا منه كووا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال ففعلوا فمطرنا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقت من الشحم فسمي عام الفتق. قال حسين سليم أسد : رجاله ثقات وهو موقوف على عائشة
“Telah bercerita kepada kami Abu al-Nu’man, telah bercerita kepada kami Sa’id bin Zaid, telah bercerita kepada kami Amr bin Malik al-Nukri, telah bercerita kepada kami Abul-Jauza’ Aus bin Abdullah, berkata: “Suatu ketika penduduk Madinah mengalami musim paceklik yang sangat parah. Mereka mengadu kepada Aisyah. Lalu Aisyah berkata: “Kalian lihat makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, buatkan lubang dari makam itu ke langit, sehingga antara makam dan langit tidak ada atap yang menghalanginya.” Mereka melakukannya. Setelah itu, hujan pun turun dengan lebat sekali, sehingga rerumputan tumbuh dengan subur dan unta-unta menjadi sangat gemuk.” (HR. al-Darimi [98]. Husain Salim Asad berkata: “Para perawinya dipercaya, dan hadits ini mauquf kepada Aisyah”).
Kyai abangan : panutan Anda, Syaikh al-Albani tidak jujur mengenai Sa’id bin Zaid. Ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits mengenai tawasul dan tabaruk, sebelum dalam hadits di atas, al-Albani mendha’ifkannya. Tetapi ketika Sa’id bin Zaid meriwayatkan hadits yang tidak menyangkut tawasul dan tabaruk, al-Albani menilainya perawi yang haditsnya hasan. Kalau tidak percaya, coba Anda cek dalam kitab al-Albani, Irwa’ al-Ghalil juz 5 hal. 338. Jadi, dalam beragama, Anda jangan mengikuti orang yang tidak jujur seperti al-Albani. Ikuti saja Ahlussunnah Wal-Jama’ah dan ahli hadits. Jangan ikut wahabi.”
Ahlu sunnah : anda yg terlalu berambisi merendahkan albani...bukan albani yg tidak jujur tapi anda yg menuduh albani mendho’ifkan,padahal kalau kita lihat teks aslinya yaitu albani berkata :
 أن سعيد بن زيد وهو أخو حماد بن يزيد فيه ضعف
Artinya : sesungguhnya sa’id ibn zaid,dia adalah saudara hamad ibn yazid padanya kelemahan(at-tawassul juz 1 hal 128),albani disini tidak mendhoifkan,Cuma menyatakan padanya ada kelemahan,tidak mengharuskan perowinya perawi dhoif.maksudnya ia seorang yang tetap kejujurannya, namun lemah dalam akurasi hapalannya. Seperti dikatakan Ibnu Hajar berkata : Jujur, namun mempunyai beberapa kekeliruan (shaduuq lahu auhaam)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 378 no. 2325]. Riwayatnya tidak diterima jika bersendirian, namun baik untuk i’tibar.
Sebagai bukti albani tidak menyebutnya perawi dhoif adalah beliau berkata dalam kitab itu juga:
رواه أحمد وأبو داود عن سعيد بن زيد وإسناده صحيح
Artinya: hadits itu riwayat ahmad dan abu daud dari sa’id ibn zaid dan sanadnya shohih(at-tawassul juz 1 hal 79)

alfurqon(ahlu sunnah) vs kyai abangan (ahli bid'ah)


AHLUSUNNAH: “Bid’ah hasanah tidak ada. Karena agama telah sempurna, sebagaimana dalam firman Allah:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS al-Ma-idah : 3).

AHLI BID'AH: “Ayat di atas tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Dalil bid’ah hasanah terdapat dalam al-Qur’an dan sekian banyak hadits, yang tidak Anda komentari dalam artikel lemah Anda. Para ulama salaf, tidak ada yang menafsirkan ayat tersebut, dengan makna menolak bid’ah hasanah seperti yang dipahami oleh penganut faham Wahabi. Dalam kitab tafsir al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bil-Ma’tsur, al-Hafizh al-Suyuthi mengutip banyak riwayat dari ulama salaf tentang ayat tersebut, semuanya berkisar antara menafsirkan, bahwa keimanan umat Islam telah sempurna, dan makna bahwa ibadah haji umat Islam telah sempurna, dengan ditaklukkannya Kota Mekkah dan dilarangnya kaum Musyrik menunaikan ibadah haji. (Lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 5 hal. 181 dan seterusnya).”

TANGGAPAN :anda kurang cermat wahai pak kyai abangan,baca baik-baik jangan ambil sesuai hawa nafsu doang.. وأخرج اسحق بن راهويه في مسنده وعبد بن حميد عن أبي العالية قال : كانوا عند عمر فذكروا هذه الآية فقال رجل من أهل الكتاب : لو علمنا أي يوم نزلت هذه الآية لاتخذناه عيدا
فقال عمر : الحمد لله الذي جعله لنا عيدا واليوم الثاني نزلت يوم عرفة واليوم الثاني يوم النحر فاكمل لنا الامر فعلمنا ان الامر بعد ذلك في انتقاص
وأخرج ابن أبي شيبة وابن جرير عن عنترة قال : لما نزلت { اليوم أكملت لكم دينكم } وذلك يوم الحج الاكبر بكى عمر فقال له النبي صلى الله عليه وسلم مايبكيك قال : أبكاني انا كنا في زيادة من ديننا فاما اذ كمل فانه يكمل شيء قط إلا نقص
فقال : صدقت
artinya : dikeluarkan ishaq ibn rohawaih dalam musnadnya dan 'abd ibn hamid dari abul 'aliyah : mereka disisi umar maka mereka menyebut ayat ini maka berkatalah seorang lelaki dari ahli kitab : kalau kami tahu yakni hari turunnya ayat ini,sungguh kami akan menjadikannya hariraya.maka berkatalah umar:segala puji bagi alloh yang telah menjadikannya hariraya dan hari keduanya yakni turun hari arafah dan hari keduanya hariraya penyembelihan,maka alloh telah menyempurnakan bagi kami urusan agama kami,maka kami mengerti setelah itu perkara dalam kekurangan.
dan dikeluarkan ibnu abi syaibah ibnu jarir dari 'antaroh berkata : ketika turun ayat(اليوم أكملت لكم دينكم) dan itu saat hari haji akbar menangislah umar,maka berkata kepadanya rosul:apa yg membuatmu menangis ?,maka umar berkata:membuatku menangis karena dulu kami terus mendapat penambahan dari perkara agama kami,adapun ketika telah sempurna agama,maka tidak disempurnakan sesuatu selamanya kecuali itu sebuah kekurangan (Lihat, al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 5 hal. 18) 
telah jelas dan gamblang sempurnanya islam dari segala bentuk penambahan termasuk BID'AH HASANAH.
Berkata al-Imam Malik rahimahullah:

من ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة فقد زعم أن محمداً خان الرسالة» لأن الله- عز وجل- قال: ?الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ? [المائدة: 3] فمن لم يكن يومئذ ديناً فمتى يكون اليوم ديناً؟!!.

“Barangsiapa mengada-adakan didalam islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai sebuah kebaikkan , sungguh dia telah menuduh bahwa Muhammad mengkhianati risalah, karena Allah Ta’aala telah berfirman (yang artinya):”Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmatku, dan telah kuridhai islam itu menjadi agama bagimu.” (al-Maidah:3) Maka sesungguhnya apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, tidak menjadi agama pula pada hari ini.” (Silahkan lihat Al’Itsham, Imam Asy Syatibi:1/64)

Rabu, 01 Januari 2014

SYADZILI SOK BIJAK TAPI BIKIN GELI


Pernyataan Pak syadzili pada 1 menit terakhir di video dialog : " Saya hanya memberi masukan yah.. setelah tadi dari berbagai macam paparan,ternyata amalan-amalan yang dibid'ahkan DIMUSYRIKKAN itu semua ada dalil-dalilnya. Termasuk tadi qunut subuh dan segalam macem itu ada dalil-dalilnya cuman saya photo copy. Nah apakah masih aja pada tetep membid'ahkan dan MEMUSYRIKKAN ? yang ini yang jadi masalah,sedangkan didalam Al-Qur'an kan dilarang keras yah.. jika kita menghukumi ini halal ini haram,ini bid'ah ini musyrik. Ini akan mendapatkan siksaan yang keras nanti itu di yaumil Qiyamah, itu ada di surat An-Nahl ayat 116, itu di tafsir Ibnu Katsir Jilid 3 hal 590 itu disitu diterangkan tuh. Mohon maaf,tolonglah karena disni ada Ulama, apakah kita bersikeras (mengatakan) ini ahli bid'ah ini ahli musyrik.. nah ini yang jadi masalah. Terima kasih"

======

1. Masalah yang dibahas dalam acara dialog tersebut adalah : Bid'ah hasanah,Yasinan,Melafazhkan niat ketika akan shalat. dan dalam masalah tersebut tidak ada yang memusyrikkan sebagaimana perkataan Pak syadzili.

2. Perkataan pak syadzili "Termasuk tadi qunut subuh dan segalam macem itu ada dalil-dalilnya cuman saya photo copy. Nah apakah masih aja pada tetep membid'ahkan dan MEMUSYRIKKAN ? " Bisa dipahami bahwa : Yang penting asal ada "dalil" nya.. maka tidak boleh diingkari atau disalahkan. Pak syadzili menyalahkan pihak yg menggugat amalan bid'ah mereka dikarenakan bahwa amalan mereka tersebut ada "dalil" nya. Seharusnya kalau mereka mau bersikap adil (menurut kaidah pak syadzili), mereka juga tidak boleh menyalahkan pihak yang menggugat amalan bid'ah mereka,karena pihak yang menyalahkan amalan bid'ah mereka juga mempunyai dalil. Kalau sekedar asal ada dalil.. Ahmadiyah pun berdalil.

3. Menurut pak syadzili, bahwa tidak boleh menghukumi ini halal,ini haram,ini bid'ah,ini musyrik karena akan mendapatkan siksaan keras di yaumil qiyamah.justru ahli bid'ah yg menghukumi ini boleh2 aja,ini baik walau gak syariatnya..ini yg kena siksa

BUKAN IDRUS RAMLI KALAU TIDAK CARI SENSASI DENGAN MENFITNAH


pada point ke 8:

"Zaenal Abidin, kurang memahami istilah-istilah keilmuan. Misalnya tentang qiro’ah syadzdzah (bacaan yang aneh atau menyimpang), dalam membaca al-Qur’an. Menurut Zaenal, orang yang membaca ayat al-Qur’an, apabila diulang-ulang maka termasuk qiro’ah syadzdzah yang diharamkan. Sebaiknya Zaenal belajar ilmu qiro’ah atau ilmu tafsir agar tidak keliru dalam hal-hal kecil"

Lihat disini, pada point ke 8:
http://www.idrusramli.com/2013/catatan-dialog-ust-idrus-ramli-dengan-wahabi-di-batam-28-desember-2013/

Tanggapan:

Sepertinya ulama sarkub ini, benar-benar sering berdusta. Tidak malu untuk berdusta yang akan menjatuhkan lawannya. Terlebih dipaparkan dalam situs pribadinya. Memalukan memang, katanya seorang kiyai akan tetapi lisannya selalu berdusta.

Kita lihat perkataannya ustadz Zainal Abidin, apakah seperti yang dikatakan oleh ulama sarkub ini?? Ustadz zainal berkata:

"Kayak ini,ini ada yasin fadhilah,cara membacanya yasin yasin yasin yasin yasin,ini kira2 qiro'ah apa gitu lho ? Padahal Ibnul Abdil Barr saja sebagaimana yg telah dinukil oleh Imam suyuti membaca Al-Qur'an dengan qiro'ah syadzdzah ijma' haram, APALAGI INI SYADZDZAH AJA ENGGAK"

Coba lihat yang ditulis pada perkataan ustadz Zainal Abidin dengan huruf kapital ??

Sejak kapan ustadz zainal bilang itu qiraah syaadzah ??

Idrus Ramli benar-benar telah berdusta. Kiyai kok pendusta ? Panutan kok berbohong ?? Fakta sudah didepan mata kok malah membela diri dengan pembenaran.

Sekali berdusta, akan selalu ketagihan berdusta.
Tidak ada sama sekali pernyataan ust zaenal bahwa membaca Al-Qur'an apabila diulang-ulang maka termasuk qiro'ah syadzdzah,sepert yg Idrus Ramli tuduhkan. Silahkan lihat video Jam ke 1 menit ke 40...

BUKAN IDRUS RAMLI KALAU TIDAK CARI SENSASI DENGAN BERDUSTA



Lihat catatan idrus ramli di situs pribadinya, dia mengatakan:

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

1. Dalam dialog tersebut, perwakilan dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai pembicara, hanya al-faqir Muhammad Idrus Ramli. Sedangkan Kiai Thobari Syadzili, hanya menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara, kecuali 1 menit menjelang acara dihentikan. Sementara dari pihak Radio Hang atau Wahabi, adalah Ustadz Zaenal Abidin dan Ustadz Firanda Andirja. Isu-isu dari kaum Wahabi, bahwa perwakilan dari Ahlussunnah adalah saya dan beberapa orang, adalah tidak benar. Jadi yang benar, debat 1 orang lawan 2 orang

Lihat disini:
http://www.idrusramli.com/2013/catatan-dialog-ust-idrus-ramli-dengan-wahabi-di-batam-28-desember-2013/

----------------------

Lihat ketidak warasan ulama sarkub ini. Lihat perkataannya: "Sedangkan Kiai Thobari Syadzili, hanya menemani duduk, tidak diberi waktu berbicara, kecuali 1 menit menjelang acara dihentikan".

Tanggapann:

Sebenarnya yang tidak ngasih kiai thobari syadzili untuk berbicara ialah idrus ramli sendiri. Dia ngotot nyrocos, ngomong sendiri seakan-akan waktu dialog hanya milik dia. Tidak mau berbagi bersama partnernya. Bukankah tidak mau berbagi dari sifat anak kecil ?? Mau menang sendiri ?? Dan tidak mau memberi kawannya bicara ?? Lihat video dialog tidak mau berbaginya bersama partner pada menit ke 38 detik ke 38

Kemudian perkataannya:

Jadi yang benar, debat 1 orang lawan 2 orang.

Tanggapan: Otak mana yang mau menerima perkataannya.. Lah.. Orang dia sendiri yang tidak mau berbagi. Mencampakkan kiyai Thobari hanya terdiam plongo. Ya pantas saja, 2 lawan 1. Ini kan tidak lain adalah tindakan diri idrus sendiri yang sok diskusi seorang diri. Kenapa harus menyalahkan orang dengan ketidak adilan, dengan mengesankan bahwasanya wahhabi main keroyokan?? Tanda tanya besar. Lihat sikap ngototnya lagi dan tidak mau berbagi di Jam ke 1 detik ke 9

Kemudian..

Tahukah anda bahwasanya ilmu dari orang yang berdusta tertolak ??

Para ulama sepakat, bahwasanya seseorang yang berdusta ilmunya ditolak. Karena ilmu harus diterima dari seorang yang adil dan dhobit.

Tahukah anda perkara-perkara perusak keadilan seseorang menurut kesepakatan ulama hadits ??

1- Tertuduh melakukan dusta
2- Berdusta
3- Kefasikan
4- Kebid'ahan
5- Kebodohan

Lihat: Taisiir mustholah al hadiits hal. 110

Lihat kedustaannya yang sangat memalukan:

1- Sebagaimana yang telah anda ketahui, bahwasanya idrus telah berdusta dengan menyebarkan berita wahhabi kabur dari dialog. Dan ini tersebar dari screenshoot BBMnya
2- Idrus Ramli Nekat Berdusta Demi Menuduh Firanda Berdusta. Lihat disini: http://firanda.com/index.php/artikel/bantahan/553-idrus-ramli-nekat-berdusta-demi-menuduh-firanda-berdusta

Sudah berdusta, gemar melakukan bid'ah.. Bukankah ilmunya tertolak ??

Bagi ummat seluruhnya, berpalinglah kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui ulama yang jujur dan tidak gemar melakukan bid'ah.

IDRUS RAMLI MENGUAK KEJAHILANNYA SENDIRI


DIA BERKATA : Dalam bahasan qunut shubuh, Firanda melakukan kesalahan ilmiah ketika mengomentari tanggapan saya terhadap hadits Abi Malik al-Asyja’i. Sebagaimana dimaklumi, dalam riwayat al-Tirmidzi, an-Nasa’i, Musnad Ahmad dan Ibnu Hibban, Abu Malik al-Asyja’i menafikan qunut secara mutlak, baik qunut nazilah maupun qunut shubuh. Tetapi Firanda mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, hadits Abu Malik al-Asyja’i menggunakan redaksi yaqnutun fil fajri (qunut shalat shubuh). Ternyata setelah kami periksa dalam kitab-kitab hadits, kalimat fil fajri tidak ada dalam riwayat-riwayat tersebut. Silahkan diperiksa dalam Sunan al-Tirmidzi juz juz 2 hal. 252 (tahqiq Ahmad Syakir), Sunan al-Kubra lin-Nasa’i, juz 1 hal. 341 tahqiq at-Turki atau al-Mujtaba lin-Nasa’i juz 2 hal. 304 tahqiq Abu Ghuddah.

JAWAB: periksa yang bener dong,jangan cuma taklid doang..kitab hadits banyak,bukan itu doang broo..
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 3/472, Ibnu Maajah no. 1241, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 8/378 no. 8178, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/249, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah 8/97 & 98 no. 101 & 104, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 13/334-335 dari jalan Yaziid bin Haaruun, dari Abu Maalik Al-Asyja’iy. Dalam lafadh Ath-Thahawiy disebutkan :
قلت لأبي : يا أبت، إنك صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وخلف أبي بكر وخلف عمر وخلف عثمان وخلف علي رضي الله عنهم ههنا بالكوفة، قريبا من خمس سنين، أكانوا يقنتون في الفجر ؟. فقال : أي بني، محدث.
Aku bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, sesungguhnya engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini di Kuufah hampir selama lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut di waktu (shalat) Shubuh ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats” [shahih].
Abu ‘Awaanah sebagaimana diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 403, Ath-Thayaalisiy no. 1425, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 8/378 no. 8177, Al-Baihaqiy 2/213, dan Adl-Dliyaa’ 8/97-98 no. 102-103. Ath-Thabaraaniy dan Adl-Dliyaa’ membawakan dengan lafadh :
سألت أبي عن القنوت في صلاة الغداة ؟ فقال : أي بني صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما فلم أر أحدا منهم يقنت، أي بني بدعة. قالها ثلاثا. 

Aku bertanya kepada ayahku tentang qunut pada shalat Shubuh. Ia menjawab : “Wahai anakku, aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, namun aku tidak melihat salah seorang pun di antara mereka yang melakukan qunut. Wahai anakku, itu adalah perbuatan bid’ah”. Ia mengatakannya tiga kali [shahih].
Lafadh hadits ini mauquf namun dihukumi marfu’.
Kesimpulan finalnya, hadits ini shahih, para perawinya tsiqaat, dan sanadnya bersambung. Dishahihkan juga oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 2/182-183 no. 435, Al-Wadi’iy dalam Al-Jaami’ush-Shahiih mimmaa Laisa fish-Shahiihain 2/147, Al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad 25/214, dan Basyar ‘Awwaad dalam Takhrij Sunan Ibni Maajah 2/402-403.