Senin, 17 Juni 2013

Hukum berjamaah dengan orang yang sholat sendirian




الصلاة مع المنفرد جماعة
سؤال : ذهبت إلى المسجد فوجدت صلاة الجماعة قد انتهت ، ووجدت إنسانًا يصلي بمفرده ، هل يجوز أن أقف وأصلي بجانبه على أساس أنه الإمام وأنا المأموم ؟ أفيدونا بارك الله فيكم .
الجواب : نعم ، يجوز أن تصلي معه على الصحيح من قولي العلماء فإذا أدركت إنسانًا يصلي منفردًا وقد فاتتك الصلاة فإنه لا بأس أن تدخل معه وتصليان جماعة ؛ لأن صلاة الجماعة واجبة مهما أمكن ، وقد أمكن ذلك لوجود هذا الذي يصلي ، فإنك حينئذ تصلي معه، والله تعالى أعلم ،

 Hukum berjamaah dengan orang yang sholat sendirian

Tanya: saya pergi ke masjid tapi jamaah telah usai,saya mendapati orang sedang sholat sendiri,bolehkah saya jamaah disampingnya,dia imam saya makmum?
Jawab:boleh, anda sholat bersamanya berdasarkan pendapat yang shohih dari ulama,ketika anda menemukan orang sholat sendiri dan anda ketinggalan jamaah maka tidak apa2 anda berjamaah berdua karena sholat jamaah wajib bagaimanapun juga jika mungkin,dan kondisi seperti itu mungkin karena adanya orang yang sholat,maka sungguh anda telah sholat jamaah.(syekh fauzan)

Minggu, 09 Juni 2013

Taubatnya imam asy'ari.........

Add caption


Beliau adalah Abul-Hasan ‘Aliy bin Ismaa’iil bin Abi Bisyr Ishaaq bin Saalim bin Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin Muusaa bin Amir kota Bashrah, Bilaal bin Abi Burdah bin shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Muusaa ‘Abdullah bin Qais bin Hadlaar Al-Asy’ariy Al-Yamaaniy Al-Bashriy. Ibnu ‘Asaakir membawakan riwayat dengan sanadnya sampai Abu Bakr Al-Wazaan bahwa Abul-Hasan lahir pada tahun 260 H. Akan tetapi, ada ulama lain yang mengatakan tahun 270 H. Wafat pada tahun 324 H, sebagaimana dikatakan Ibnu Hazm [selengkapnya lihat : Taariikh Baghdaad 13/260, Tabyiinul-Kadzibil-Muftariy, hal. 146, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 15/85 no. 51].
Abul-Hasan telah menghabiskan banyak umurnya tenggelam dalam ilmu kalam, dan menjadi tokohnya, dengan mengikuti madzhab Mu’tazillah. Akan tetapi Allah ta’ala telah memberikan kepadanya hidayah sehingga rujuk kepada madzhab Ahlus-Sunnah dan melaziminya. Bahkan setelah itu, beliau sangat aktif memberikan bantahan-bantahan kepada madzhab yang telah ditinggalkannya itu.

Ibnu Katsiir rahimahulah berkata :
“”Sesungguhnya Al-Asy’ariy dulunya seorang Mu’taziliy, lalu bertaubat di kota Bashrah di atas mimbar. Kemudian ia menampakkan kekeliruan dan kebobrokan Mu’tazilah” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 11/187].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata :
 “Ketika telah pandai pengetahuannya akan madzhab Mu’tazilah, ia kemudian malah membencinya dan berlepas diri darinya. Dan tampillah ia di hadapan khalayak, lalu (mengumumkan) taubatnya kepada Allah ta’ala dari pahamnya semula. Setelah itu, ia aktif membantah Mu’tazilah dan membongkar kebobrokan-kebobrokan mereka. Telah berkata Al-Faqiih Abu Bakr Ash-Shairafiy : ‘Dulu (orang-orang) Mu’tazilah mendongakkan kepala-kepala mereka, hingga muncullah Al-Asy’ariy yang merintangi mereka di lubang semut (sehingga ‘keok’)” [As-Siyar, 15/86].
Ibnu ‘Asaakir rahimahullah berkata :
 “Abul-Qaasim Hajjaaj bin Muhammad Ath-Tharaabulsiy dari kalangan penduduk Tharaablus, Maghrib, berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Bakr Ismaa’iil bin Abi Muhammad bin Ishaaq Al-Azdiy Al-Qairaawaniy yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Azrah rahimahullah tentang Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Aku katakan kepadanya : ‘Telah dikatakan kepadaku bahwasannya Abul-Hasan dulunya seorang Mu’taziliy. Dan ketika rujuk/kembali, ia meningalkan bagi Mu’tazilah permasalahan rinci yang tidak ia bahas ?’. Ibnu ‘Azrah berkata kepadaku : ‘‘Asy’ariy adalah syaikh kami dan imam kami. Ia menganut madzhab Mu’tazilah selama empatpuluh tahun yang selama itu ia menjadi imam bagi mereka. Lalu tiba-tiba ia tidak menampakkan diri kepada khalayak (dan tinggal) di rumahnya selama limabelas hari. Setelah itu ia keluar menuju masjid jaami’ dan berdiri di atas mimbar. Ia berkata : ‘Wahai manusia sekalian, sesungguhnya aku tidak menampakkan diri di hadapan kalian dalam beberapa hari ini karena aku meneliti. Banyak dalil terkumpul di sisiku, namun aku tidak bisa menimbang yang hak atas yang baathil dan yang baathil atas yang hak. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah tabaaraka wa ta’ala, lalu Ia pun memberikan petunjuk kepadaku kepada i’tiqad yang aku yakini dalam buku-bukuku ini. Aku menanggalkan seluruh ‘aqidahku yang dulu (Mu’tazilah) sebagaimana aku tanggalkan bajuku ini’. Lalu ia pun menanggalkan bajunya dan melemparkannya, dan memberikan beberapa bukunya kepada orang-orang….” [At-Tabyiin, hal. 39].
Sayyid Muhammad bin Muhamad Al-Husainiy Az-Zubaidiy rahimahullah yang terkenal dengan julukan Murtadlaa Al-Hanafiy, berkata :
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy mengambil ilmu kalam dari gurunya, Abu ‘Aliy Al-Jubaaiy, pentolah Mu’tazilah. Lalu ia meninggalkannya disebabkan mimpi yang ia lihat. Kemudian ia rujuk dari Mu’tazilah dan menampakkan hal itu secara terang-terangan. Ia naik ke atas mimbar Bashrah di hari Jum’at dan menyeru dengan suara yang lantang : ‘Barangsiapa yang mengenalku, sungguh ia telah mengenalku. Dan barangsiapa yang belum mengenalku, maka aku adalah Fulaan bin Fulaan. Dulu aku pernah berkata Al-Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan penglihatan mata, dan manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri. Sekarang aku bertaubat dari ‘aqidah Mu’tazilah dan (bahkan) membantah Mu’tazilah’. Kemudian ia mulai membantah Mu’tazilah dan menulis buku-buku tentangnya…. Berkata Ibnu Katsir : ‘Disebutkan bahwa Abul-Hasan mempunyai tiga keadaan (fase). Fase Pertama, fase Mu’tazilah yang telah ia tinggalkan secara total. Fase Kedua, menetapkan sifat ‘aqliyyah Allah, yaitu : Al-Hayaah (Hidup), Al-‘Ilm (Mengetahui), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Iraadah (Berkehendak), As-Sam’ (Mendengar), Al-Bashar (Melihat), dan Al-Kalaam (Berkata-kata). Namun ia men-ta’wil sifat khabariyyah seperti Al-Wajh (Wajah), Al-Yadain (Dua Tangan), Al-Qadam (Kaki), As-Saaq (Betis), dan yang semisalnya. Fase Ketiga, menetapkan seluruh sifat Allah tanpa takyif, tasybiih, dan membiarkannya menurut metode/manhaj salaf. Dan itulah jalan yang ditempuhnya dalam Al-Ibaanah yang merupakan tulisannya terakhir kali” [Ittihaafus-Saadah Al-Muttaqiin, 2/3 – melaui perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah saaid].
Adz-Dzahabiy menyepakati adanya tiga fase dalam diri Abul-Hasan, namun dengan bahasa berbeda :
“Ia mempunyai tiga keadaan (fase) : Fase awal sebagai seorang Mu’tazilah, fase seorang Ahlus-Sunah dalam sebagian perkara namun tidak di perkara lainnya, dan fase secara umum ia berada di atas prinsip Ahlus-Sunnah. Itulah yang kami ketahui dari keadaannya” [Al-‘Arsy, 1/400].
Akan timbul pertanyaan menggelitik. Jika Abul-Hasan menyatakan rujuk dari ‘aqidah Mu’tazilah, lantas dimana posisi rujuk beliau yang paling akhir ? Beberapa ulama (Asyaa’irah) menjelaskan rujuknya beliau ini pada keyakinan Ibnu Kullaab (atau disebut Fase Kullabiyyah). Jika merujuk pada perkataan Ibnu Katsiir di atas, maka fase Kullaabiyyah itu menetapkan sebagian sifat Allah, dan menta’wil sebagian yang lain. Fase Kullaabiyyah inilah yang kemudian mereka sebut sebagai fase Ahlus-Sunnah (dan selanjutnya inilah yang ‘dianggap’ sebagai madzhab Asyaa’irah), sekaligus fase terakhir dalam perjalanan kehidupan beliau rahimahullah. Mereka tidak mengakui fase setelah Kullabiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibnu Katsiir sebelumnya.
Ibnu ‘Asaakir rahimahullah menukil perkataan Ibnu Abi Zaid Al-Qairawaaniy yang menggolongkan Ibnu Kullaab sebagai tokoh Ahlus-Sunnah :
 “Dan khabar yang sampai kepada kami bahwasannya ia adalah seorang yang mengikuti sunnah (= Ahlus-Sunnah) dan banyak membantah Jahmiyyah dan selain mereka dari kalangan ahlul-bida’. Ia adalah ‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab” [At-Tabyiin, hal. 405].
Anyhow, kita tidak menerima begitu saja tanpa ada satu bukti kuat yang mendasari. Kebalikan dari pernyataan Ibnu Abi Zaid adalah Ibnu Khuzaimah sebagaimana dinukil Adz-Dzahabiy :
 “Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang paling keras permusuhannya terhadap ‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab dan rekan-rekannya semisal Al-Haarits (Al-Muhaasibiy) dan yang lainnya” [As-Siyar, 14/380].
Ibnu Khuzaimah adalah imam di jamannya[1] dan lebih dekat dengan jaman Ahmad bin Hanbal dibandingkan Ibnu ‘Asaakir ataupun Ibnu Abi Zaid rahimahumullah. Ini sangat penting untuk diperhatikan karena Abul-Hasan Al-Asy’ariy sendiri berkata :
 “Perkataan kami yang kami berpendapat dengannya dan beragama dengannya adalah : Berpegang teguh kepada kitab Rabb kami ‘azza wa jalla, sunnah Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, taabi’iin, dan para imam hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan juga pada pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal – semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membalasnya dengan pahala – dan menyelisihi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya“[Al-Ibaanah, hal. 8-9].
Abul-Hasan As-Subkiy rahimahullah pun mempersaksikan hal tersebut :
 “Abul-Hasan Al-Asy’ariy termasuk pembesar Ahlus-Sunnah pasca Al-Imam Ahmad bin Hanbal. ‘Aqidahnya dan ‘aqidah Al-Imaam Ahmad rahimahullah adalah satu. Tidak ada keraguan tentang hal itu. Al-Asy’ariy telah menjelaskannya dalam banyak tulisannya dan menyebutkannya berulang kali : ‘’Aqidahku adalah ‘aqidah Al-Imam Al-Mujabbal Ahmad bin Hanbal’. Ini adalah ucapan Asy-Syaikh Abul-Hasan pada beberapa tempat (dalam bukunya)” [Ath-Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah – melaui perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah saaid].
Selain Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qudaamah Al-Maqdsiy Al-Hanbaliy rahimahumallah juga berkata :
“Termasuk bagian dari sunnah adalah meninggalkan ahlul-bida’ dan menjauhi mereka. Tidak melakukan perdebatan dengan mereka di dalam agama, meninggalkan kitab-kitab yang berisi ajaran bid’ah dan tidak mendengar pembicaraan mereka. Dan setiap perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah. Setiap orang yang memakai ciri-ciri selain Islam dan sunnah adalah mubtadi’, seperti : Raafidlah, Jahmiyyah, Khawaarij, Al-Qadariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karraamiyyah, Kullaabiyyah, dan yang semisal dengannya. Semua itu adalah kelompok yang sesat dan golongan ahlul-bida’. Kita berlindung kepada Allah darinya” [Syarh Lum’atul-I’tiqaad li Ibni Qudaamah oleh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 264-284].
Namun begitu, sebagaimana telah disebutkan, madzhab Ibnu Kullaab menetapkan banyak sifat-sifat Allah yang lebih berkesesuaian dengan madzhab salaf. Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“’Abdullah bin Sa’id bin Kullaab Al-Bashriy yang menulis banyak karangan yang membantah kelompok Jahmiyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, merupakan ahli kalam yang menetapkan sifat-sifat Allah (shifaatiyyah)….. Dan orang yang mengikutinya adalah Al-Haarits Al-Muhaasibiy, Abul-‘Abbaas Al-Qalaanisiy, kemudian Abul-Hasan Al-Asy’ariy” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/366].
Adz-Dzahabiy mengatakan tentangnya :
“Seorang laki-laki ahli kalam yang lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah), bahkan ia termasuk ahli debat mereka” [As-Siyar, 11/175].
Perkataan Adz-Dzahabiy ‘lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah)’ secara dhahir menjelaskan bahwa dalam beberapa pokok permasalahan tertentu, ia menyelisihi pokok-pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah.[2]
Dikarenakan saya tidak akan membahas tentang Ibnu Kullaab atau Kullaabiyah secara khusus, maka dalam artikel ini saya tidak akan berpanjang-panjang dalam memberikan keterangan tentang Ibnu Kullaab dan Kullaabiyyah.[3]
Kembali pada judul tulisan ini. Kemana gerangan tambatan terakhir Abul-Hasan Al-‘Asy’ariy pasca pertaubatannya dari Mu’tazilah ? Ke dalam ‘aqidah Asyaa’irah ataukah ‘aqidah salaf (yang disebut sebagian Asyaa’irah sebagai ‘mujassimah’[4] – karena menetapkan dhahir sifat Allah).
Salah satu cara yang paling ‘adil adalah dengan mengkomparasikannya, terutama pada hal-hal pokok masalah keimanan (yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dengan selainnya). Kita akan sedikit terbantu dengan pernyataan Abul-Hasan Al-Asy’ariy bahwa madzhabnya dalam masalah ‘aqidah adalah madzhab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumalaah. Akan saya contohkan beberapa masalah yang sering dibahas sengit di berbagai kesempatan (yaitu dalam sebagian lingkup tauhid al-asmaa’ wash-shifaat) :
1. Masalah penetapan sifat dzaatiyyah Allah ta’ala seperti wajah, tangan, kaki, dan semisalnya.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy menjelaskan posisinya dalam hal ini :
 “Hukum dari (makna) firman Allah ta’ala adalah sesuai dengan dhahir dan hakekatnya. Tidak boleh dipalingkan sedikitpun dari makna dhahirnya kepada makna majaaz kecuali dengan hujah… Begitu pula dengan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75) adalah sebagaimana dhahirnya dan hakekatnya dari penetapan sifat dua tangan (Allah)…. Bahkan wajib untuk menjadikan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ untuk menetapkan dua tangan untuk Allah ta’ala secara hakekatnya, bukan dengan makna dua nikmat. Karena dalam bahasa ‘Arab tidak boleh seseorang mengatakan : ‘amiltu bi-yadai (aku berbuat dengan dua tanganku), dengan makna dua nikmat” [Al-Ibaanah, hal. 41].
Setali tiga uang ‘aqidah Abul-Hasan adalah ‘aqidah Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah sebagaimana tertera dalam Kitaabul-‘Aqiidah saat menjelaskan sifat wajah :
 “Dan madzhab Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa mempunyai wajah yang tidak seperti bentuk-bentuk (makhluk-Nya) dan benda-benda yang terlukis. Bahkan sifat wajah telah Ia sifatkan dengan firman-Nya : ‘segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashshaash : 88). Dan barangsiapa yang mengubah maknanya, sungguh ia telah berbuat ilhad kepada-Nya. Sifat wajah itu menurutnya (Al-Imam Ahmad) adalah sebagaimana hakekatnya, bukan dalam makna majaz” [Kitaabul-‘Aqiidah, riwayat A-Khallaal, hal. 103].
Ibnu ‘Abdil-Barr – sebagaimana dikutip oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-‘Ulluw – berkata :
“Ahlus-Sunnah telah bersepakat untuk mengakui sifat-sifat yang tertuang dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dan membawanya kepada makna hakekat, tidak kepada makna majaaz. Namun, mereka tidak men-takyif sesuatupun dari sifat-sifat tersebut. Adapun Jahmiyah. Mu’tazilah, dan Khawaarij; semuanya mengingkarinya dan tidak membawanya kepada makna hakekatnya. Dan mereka menyangka bahwa siapa saja yang mengatakannya (yaitu membawa makna sifat Alah sesuai dengan hakekatnya) berarti telah menyerupakan-Nya dengan makhluk. Padahal, mereka di sisi orang yang menetapkan sifat Allah secara hakiki, sama saja menafikkan yang disembah (yaitu Allah)” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 268-269 no. 328].
Jumhur Asyaa’irah dalam hal ini menerapkan metode tafwiidl (menyerahkan maknanya kepada Alah ta’ala) dan sebagian mereka memilih metode ta’wiil. Namun mereka sepakat menolak menetapkan sifat Allah sebagaimana dhahirnya atau hakekatnya (haqiqiy). Cukuplah satu bait syi’ir dalam kitab Al-Jauharah berikut sebagai bukti :
Setiap nash yang mengandung penyerupaan (terhadap makhluk)
takwilkanlah atau serahkanlah dan berishkanlah Allah (dari kekurangan)”.
Dan inilah praktek ta’wil Asyaa’irah yang diwakili oleh Abu Manshuur ‘Abdul-Qaahir Al-Baghdaadiy Al-Asy’ariy rahimahullah :
“Sebagian shahabat kami memang telah melakukan ta’wil dalam perkara ini – yaitu ta’wil sifat tangan dengan kekuasaan (qudrah) - . Hal itu shahih dalam madzhab” [Ushuuluddiin, hal. 111].
Hampir menjadi satu kenyataan aksiomatik jika ada orang yang menetapkan sifat dua tangan kepada Allah ta’ala secara hakiki, tuduhan-tuduhan mujassimah/musyabihah akan nyasar kepadanya, terutama sekali dari lisan-lisan Asy’aariyyuun.
Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini secara umum berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
2. Masalah penetapan sifat istiwaa’ dan fauqiyyah Allah ta’ala.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
 “Allah ta’ala juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa ‘alaihis-salaam yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas langit. Allah ‘azza wa jallaa berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah ta’ala menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS. Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit. Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah ‘azza wa jallaa tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy” [Al-Ibaanah, hal. 33-34].
Tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dibawakan oleh Ibnu Abi Ya’laa rahimahumallaah :
“Dikatakan kepada Abu ‘Abdillah : ‘(Apakah) Allah ta’ala berada di atas langit yang tujuh, di atas ‘Ars-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Adapun Kekuasan-Nya dan Ilmu-Nya berada di setiap tempat ?’. Beliau menjawab : ‘Benar, (Allah) berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak ada sesuatupun yang luput dari Ilmu-Nya” [Thabaqaat Al-Hanaabilah 1/341 – melalui perantaraan Al-Masaailu war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/318 no. 306].
Adapun pendapat Asyaa’irah sebagai berikut :
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran, batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah”
[dari perkataan Abu Sa’iid Al-Mutawalliy dalam Al-Ghun-yah fii Ushuliddiin – dinukil dari blog Asyaa’irah dalam negeri : http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/28/dari-pernyataan-ulama-ahlussunnah-dalam-menjelaskan-bahwa-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-wahhabi/].
Jawaban khas ‘aqlaniyyah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy sangat mengingkari ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) sebagaimana perkataannya :
 “Mu’tazilah berkata bahwasannya Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy-Nya dengan makna berkuasa (istaulaa)” [Maqaalaatul-Islaamiyyiin, 1/284].
 “Begitu pula apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [Al-Ibaanah, hal. 34].
Kebalikannya, Asyaa’irah malah menetapkannya :
“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula (menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS. al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya, bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada tempat dan arah” [Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109 – dinukil dari blog Asyaa’irah dalam negeri : http://salafiah.net/content/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat-wahhabiyyah-musyabbihah-menyelewengkan-firman-alla].
Para ulama salaf, tidak mengenal pengartian istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai). Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah berkata :
 “Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy[5] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya : "Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albaaniy hal. 194 no. 240; dengan sanad jayyid].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy berhujjah dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu ‘anhu tentang sifat istiwaa’ Allah ta’ala di atas ‘Arsy, dengan perkataannya :
 “Dan para ulama meriwayatkan bahwasannya ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan budak perempuannya yang berkulit hitam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin membebaskannya untuk kaffarah. Apakah aku boleh membebaskannya ?’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak tersebut : ‘Di manakah Allah ?’. Budak itu menjawab : ‘Di langit’. Beliau kembali bertanya : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab : ‘Engkau adalah utusan Allah’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia wanita mukminah’. Hadits ini menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Ars-Nya yang berada di atas langit” [Al-Ibaanah, hal. 36-37].
Namun apa yang dilakukan oleh para pengaku Asy’ariyyuun ? Mereka menolaknya, dan bahkan membuat berbagai trik untuk melemahkannya. Contohnya, seperti yang dilakukan oleh pengaku Asy’ariyyuun : Hasan As-Saqqaaf, yang kemudian diikuti oleh muqallid-nya : http://abusalafy.wordpress.com/2010/02/15/tuhan-itu-tidak-di-langit-2/.
Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
3. Masalah Kalaamullah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
“Baab : Perkataan bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah bukanlah makhluk. Apabila ada orang yang bertanya tentang dalil bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah, bukan makhluk. Katakanlah kepada mereka : Dalil akan hal itu adalah firman-Nya ‘azza wa jalla dari ayat-Nya : ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya’ (QS. Ruum : 25). Perintah Allah di sini adalah kalaam-Nya. …[Al-Ibaanah, hal. 20].
Adapun Asyaa’irah, maka mereka membuat teori pemisahan antara makna dan lafadh. Al-Baijuuriy rahimahullah berkata :
“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (maksudnya : madzhab Asyaa’irah) menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu : yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk - yang dimaksudkan dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala (al-kalaamun-nafsiy – Abul-Jauzaa’) adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid. 160].
“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan huduutsul-Qur’aan (maksudnya : kemakhlukan Al-Qur’an – Abul-Jauzaa’) dibawa pada pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada al-kalaamun-nafsiy. Akan tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [idem, hal. 162].[6]
Konsekuensi dari ‘aqidah ini, Asyaa’irah mengeluarkan lafadh yang terdiri dari huruf dan suara dari cakupan Kalaamullah. Dengan kata lain, Allah tidaklah berfirman dengan huruf dan suara, karena keduanya adalah makhluk. Mereka (Asyaa’irah) berkata :
 Kalaamullah adalah kalam nafsi tanpa huruf, tanpa suara, tidak terurai, dan tidak terbagi. Padana tidak terdapat perintah dan larangan, bukan khabar dan bukan pula meminta khabar. Adapun Taurat, Injil, dan Al-Qur’an; bukan firman Allah secara hakiki, akan tetapi semuanya makhluk, hanya saja itu adalah firman Allah secara majaziy (kiasan) karena menunjukan kepada kalam nafsiy Allah” [I’tiqaad Ahlis-Sunnah Syarh Ashhaabil-Hadiits, oleh Dr. Al-Khumais, hal. 67].
Al-Baaqilaaniy berkata :
??? ???? ?? ???? ??? ????? ??? ?? ?????? ????? ?? ??? ??? ???
“Dan tidak boleh memutlakkan firman-Nya dari tanda-tanda kemakhlukan seperti huruf dan suara” [Al-Inshaaf, hal. 111 – melalui Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah hal. 486].
Al-Baijuuriy berkata tentang sifat kalam bagi Allah ta’ala :
 “Sifat azaliyyah yang ada pada Dzat-Nya ta’ala tidaklah dengan huruf dan suara” [Syarh Jauharut-Tauhiid, hal. 129 – melaui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah hal. 486].
PCI NU Mesir dalam artikel yang dibawakan oleh Drs. Hamzah Harun Al-Rasyid menegaskan :
“Asy’ari dalam menanggapi pendapat itu meninjaunya kepada dua aspek. Pertama: Kalam Nafsi, yaitu esensi yang berada pada zat Tuhan, dan kedua: Kalam Lafzhy, yaitu indikator-indikator yang menunjukkan kepada esensi tersebut, termasuk diantaranya lafazh-lafazh dan huruf-huruf serta suara-suara yang diturunkan Allah kepada Nabi- nabi-Nya. Asy’ari mengatakan: Yang pertama adalah Qadim dan yang kedua adalah Hadits (baru) dan makhluq, tidak kekal[lihat : http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/1.htm].
Ini adalah pembagian bid’ah yang tidak pernah dikatakan siapapun sebelumnya. Tidak Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Al-Haarits Al-Muhaasibiy, atau bahkan Jahmiyyah.
Al-Qur’an adalah kalaamullah yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam-Nya dapat didengar oleh siapa saja yang Ia kehendaki dari makhluk-Nya. Inilah madzhab salaf.
‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
 “Aku bertanya kepada ayahku rahimahullah tentang satu kaum yang berkata : ‘Ketika Allah ‘azza wa jalla berbicara kepada Musa, Ia tidak berbicara dengan suara’. Maka ayahku berkata : ‘Akan tetapi, sesungguhnya Rabb kalian ‘azza wa jala berbicara (kepada Musa) dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya” [As-Sunnah 32/ - melalui perantaraan Al-Masaailu war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/302 no. 288].
Inilah yang keyakinan Al-Imaam Ahmad yang diacu oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahumallah.
Kesimpulan kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
Saya cukupkan artikel sampai di sini. Saya yakin para Pembaca dapat menyimpulkan, kemanakah gerangan taubat Abul-Hasan Al-Asy’ariy ? ke pangkuan ‘aqidah Asy’ariyyah atau ‘aqidah Salafiyah Ahlus-Sunnah ?
Betapapun urgen mengetahui 'aqidah Asyaa'irah dan Maaturidiyyah, sebenarnya lebih penting mengetahui 'aqidah Salaf itu sendiri. Adapun pengetahuan lain dari itu merupakan pengetahuan tambahan dari pengetahuan pokok.

Di antara banyak persamaannya, ada beberapa perbedaan Asyaa'irah dan Maaturidiyyah, antara lain :

1. Tentang Kalaamullah. Asyaa'irah menyatakan bahwa Kalam Nafsiy itu dapat didengar dalam arti dapat dipahami. Maaturidiyyah menyatakan Kalam Nafsiy itu ndak dapat didengar - dan terkait dengan firman Allah kepada Musa, maka Maturidiyyah berkata bahwa yang didengar Musa adalah suara yang diciptakan melalui sebatang pohon. Di sini, Maaturidiyyah di satu sisi memiliki kesamaan dengan Mu'tazilah.

2. Asyaa'irah membolehkan istitsnaa' dalama masalah iman, sedangkan Maaturidiyyah melarangnya.

3. Asyaa'irah tidak membenarkan keimanan seorang muqallid, sedangkan Maaturidiyyah membenarkannya.

4. Tentang permasalahan : "Apakah ma'rifatullah itu wajib dengan syara' atau dengan akal ?". Asyaa'irah mengatakan wajib dengan syara', Maaturidiyyah wajib dengan akal.

5. Asyaa'irah berpendapat para Nabi itu ma'shum dari dosa besar namun tidak dosa kecil, sedangkan Maaturidiyyah ma'shum dari dosa besar dan kecil.
Wallaahu ta’ala a’lam.




[2]Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
 “Jalan yang ia tempuh cenderung kepada madzhab Ahlul-Hadits dan Sunnah. Akan tetapi, padanya masih tercampur dengan kebid’ahan; karena di samping ia menetapkan sifat-sifat dzatiyah Alah, ia tidak menetapkan perkara-perkara ikhtiyariyyah bagi Dzat Allah. Akan tetapi ia mempunyai bantahan terhadap firqah Jahmiyyah – yang menafikkan sifat-sifat Allah dan ke-Maha Tinggi-an-Nya – dengan dalil dan hujjah, merupakan bukti bahwa ia mempunyai keutamaan dalam permasalahan ini. Dan apa yang ia sebutkan kemudian menjadi perangkat pembantu intektual bagi banyak ulama yang punya akal untuk menghabisi syubhat-syubhat Jahmiyyah, sehingga Ibnu Kullaab menjadi teladan dan imam bagi orang-orang yang datang kemudian karena cara pandang ini, yaitu mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah dan membantah orang yang menafikkannya. Sekalipun mereka menjadi ikut serta mengikuti dasar-dasar metode mereka yang rusak, yang akan mengakibatkan rusaknya sebagian pandangan-pandangan mereka secara akal, dan bertentangan dengan sunnah Rasululah shalallaahu ‘alaihi wa sallam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/366].
[3] Ada satu buku khusus yang membahas tentang Kullaabiyyah dengan judul : Araaul-Kulaabiyyah Al-‘Aqadiyyah wa Atsaruhaa fil-Asy’ariyyah fii Dlaui ‘Aqiidati Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah karya Hudaa binti Naashir bin Muhammad Asy-Syalaaliy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Thn. 1420 (yang saya miliki).
[4] Sebenarnya ini tuduhan ngawur tanpa bukti. Tidak lain tuduhan mujassimah-musyabbihah ini karena ‘aqidah salaf bertentangan dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
Telah berkata Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy (w. 449 H) :

“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Mereka (ulama Asyaa’irah) juga mengklaim ‘aqidah Asyaa’rah merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah, sebagaimana perkataan Az-Zubaidiy rahimahullah :
“Apabila dimutlakan (kata) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, maka maksudnya adalah Al-Asyaa’irah dan Al-Maaturidiyyah” [Ittihaafus-Saaddah Al-Mutaqiin, 2/6-7].
Bagaimana bisa diterima jika para ulama sebelum Az-Zubaidiy banyak yang mencela Al-Asyaa’irah ?
Ibnu ‘Abdil-Barr, misalnya, yang menukil perkataan pembesar madzhab Maalikiyyah awal, Ibnu Khuwaiz-Mindad rahimahumallaah :
 “Tidak diperbolehkan menerima persaksian ahlul-bida’ dan pengikut hawa nafsu… Pengikut hawa nafsu menurut Maalik (bin Anas) dan seluruh shahabat kami adalah adalah para ahli kalam. Maka, setiap ahli kalam termasuk pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah, apakah ia seorang Asy’ariy atau selain Asy’ariy (pengikut madzhab Asya’irah). Dan tidak diterima persaksiannya dalam Islam selamanya. Wajib untuk di-hajr dan diberi peringatan atas bid’ah mereka” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlihi, no. 1800].