Minggu, 22 Mei 2016

Hadits palsu,tidak ada asalnya: beramallah untuk dunia..


اِعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا، وَاعْمَلْ لِآخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا

“Beramallah untuk duniamu seolah-olah Anda akan hidup selama-lamanya! Dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah Anda akan meninggal dunia esok hari!”

Bukan sabda nabi
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata dalam kitabnya “Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah” jilid pertama halaman 63-65, hadits nomor 8 :

Riwayat Hadits ini secara marfu’ tidak ada asal-usulnya, walaupun hadits ini sangat terkenal di kalangan kaum muslimin terlebih pada zaman terakhir saat ini, sampai-sampai Syaikh Abdul Karim al-Amiri al-Ghazzi tidak mencantumkan hadits ini dalam kitabnya “al-Jadd al-Hatsits fii Bayaani Maa Laisa Bihadits”.

Hadits ini juga diriwayatkan secara marfu. Al-Baihaqi mentakhrij hadits ini dalam kitab “Sunan al-Baihaqi” (3/19) dari jalur sanad Abu Shalih, ia berkata, “al-Laits telah menceritakan suatu hadits kepada kami dari Ibnu ‘Ajlan dari seorang maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dari Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa sesungguhnya beliau pernah bersabda, “…” (kemudian beliau menyebutkan hadits ini dengan redaksi yang lebih sempurna. Bunyi awal hadits ini :

إن هذا الدين متين فأوغل فيه برفق ، و لا تبغض إلى نفسك عبادة ربك ، فإن المنبت لا سفرا قطع و لا ظهرا أبقى ، فاعمل عمل امريء يظن أن لن يموت أبدا ، و احذر حذر ( امريء ) يخشى أن يموت غدا

“Sesungguhnya agama Islam ini adalah agama yang kokoh dan kuat, maka masuklah ke dalamnya dengan kelemahlembutan. Dan janganlah Anda menbenci untuk diri Anda ibadah kepada Allah. Karena sesungguhnya orang yang kekelahan, ia tidak dapat menempuh perjalanan dan tidak pula meninggalkan punggung hewan tunggangannya. Maka beramallah seperti amalnya seseorang yang meyakini bahwa ia tidak akan meninggal dunia untuk selamanya! Dan berhati-hatilah seperti kehati-hatiannya seseorang yang khawatir akan meninggal dunia esok hari.”

Sanad hadits ini juga dha’if (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat dua ‘illat (sebab yang dapat melemahkan hadits). (Pertama) kemajhulan maula (budak yang telah dimerdekakan) Umar bin Abdul Aziz dan (ke dua) kelemahan Abu Shalih yang nama lengkapnya adalah Abdullah bin Shalih juru tulis al-Laits.

Bagian pertama dari hadits (Abdullah) Ibnu ‘Amru diriwayatkan oleh al-Bazzar (1/57/74 – Kasyful Astar) dari hadits Jabir. Al-Haitsami berkata dalam kitab “Majma az-Zawa’id” (1/62), “Dalam sanad hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Yahya bin al-Mutawakkil Abu ‘Uqail. Dia adalah seorang pendusta.”

2. Bukan juga perkataan sahabat nabi
Syeikh albani berkata: saya telah menemukan asal hadits ini secara mauquf. Ibnu Qutaibah meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya “Gharibul Hadits” (1/46/2) : “as-Sijistani telah menceritakan sebuah hadits kepadaku, al-Asmu’i telah menceritakan sebuah hadits kepada kami, dari Hammad bin Salamah dari Ubaidillah bin al-‘Iizar dari Abdullah bin ‘Amru, sesungguhnya ia telah berkata : ..(kemudian ia menyebutkan hadits ini secara mauquf sampai kepada Abdullah bin ‘Amru, hanya saja lafadz hadits ini berbunyi, “Tanamlah untuk duniamu…..hingga akhir hadits.)

Adapun Ubaidillah bin al-‘Iizar, maka saya belum mendapatkan biografinya.

Kemudian saya mendapatkan biografinya dalam kitab “Tarikh al-Bukhari” (3/394) dan dalam kitab “al-Jarh wat Ta’dil” (2/330) atas petunjuk beberapa orang ahli ilmu yang tinggal di Mekkah. Mereka menukil komentar al-‘Allamah Syaikh Abdurrahman al-Mu’allimi al-Yamani rahimahullah. Ternyata orang ini (Ubaidillah bin al-‘Iizar) dianggap tsiqah oleh Yahya bin Said al-Qaththan, dan ia meriwayatkan hadits dari al-Hasan al-Bashri dan ulama lainnya dari kalangan tabi’in. Dengan demikian maka sanad hadits ini munqathi’ (terputus).

Hal ini diperkuat lagi ketika saya menemukan hadits ini dalam kitab “Zawaid Musnad al-Harits” karya al-Haitsami (Qaf 130/2) dari jalur sanad yang lain dari (Ubaidillah) bin al-‘Iizar, ia berkata, “Saya pernah bertemu dengan seorang syaikh yang sudah tua dari kalangan orang arab badui di suatu tempat yang bernama ar-Raml. Aku bertanya kepadanya, “Apakah Anda pernah bertemu dengan salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam?” Ia menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Siapa?” Ia menjawab, “Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash…”

Kemudian saya mendapati bahwa Ibnu Hibban telah menyebutkan nama Ubaidillah bin al-‘Iizar dalam kelompok “Tsiqat Atba’ut Tabi’in” (7/148).

Ibnul Mubarak juga meriwayatkan hadits ini dalam kitab “az-Zuhd” dari jalur sanad yang lain. Beliau (Ibnul Mubarak) berkata (2/218), “Muhammad bin ‘Ajlan telah mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin ‘Amru bin al-Ash berkata, “….(kemudian beliau menyebutkan hadits ini secara mauquf). Maka sanad hadits ini pun munqathi’ (terputus).

Maknanya pun kurang tepat

Ulama besar Kerajaan Saudi Arabia di masa silam dan pakar fikih pada abad ke-20, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mengungkapkan,

Perkataan …

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبداً ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غداً

“I’mal lidunyaaka ka-annaka ta’isyu abadan, wa’mal li-aakhiratika ka-annaka tamuutu ghadan.” [Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok].

Ungkapan di atas termasuk HADITS PALSU (hadits maudhu’).

Maknanya pun tidak seperti dipahami kebanyakan orang. Banyak yang memahami maksud ungkapan tersebut adalah hendaknya kita mati-matian dalam mengejar dunia, akhirat akhirnya terlupakan.

Bahkan makna yang tepat adalah sebaliknya. Hendaklah kita semangat dalam menggapai akhirat dan tak perlu tergesa-gesa dalam mengejar dunia.

Ungkapan “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya”, maksudnya adalah apa yang tidak selesai hari ini dari urusan dunia, selesaikanlah besok. Yang tidak bisa selesai besok, selesaikanlah besoknya lagi. Jika luput hari ini, masih ada harapan untuk besok.

Adapun untuk urusan akhirat, maka beramallah untuk urusan akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok. Maksudnya kita diperintahkan untuk segera melakukan amalan shalih, jangan menunda-nundanya. Anggap kita tak bisa lagi berjumpa lagi dengan esok hari. Bahkan kita katakan, bisa jadi kita mati sebelum esok tiba. Karena siapa pun kita tak mengetahui kapan maut menghampiri.

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma pernah menyatakan,

إذا أصبحت فلا تنتظر المساء ، وإذا أمسيت فلا تنتظر الصباح ، وخذ من صحتك لمرضك ، ومن حياتك لموتك

“Jika engkau berada di pagi hari, jangan tunggu sampai petang hari. Jika engkau berada di petang hari, jangan tunggu sampai pagi. Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang sakitmu. Manfaatkanlah waktu hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Bukhari)

Itulah makna ungkapan yang masyhur di atas.

Namun sekali lagi, kesimpulannya, ungkapan tersebut salah alamat jika disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu maknanya pun bukan seperti dipahami kebanyakan orang untuk terus mengejar dunia hingga kurang semangat menggapai akhirat.

Bahkan makna yang tepat, hendaklah semangat bersegera dalam melakukan amalan akhirat, jangan sampai menunda-nunda.

Adapun urusan dunia, ada kelapangan dalam menggapainya. Kalau tidak bisa menggapai hari ini, masih ada harapan untuk esok hari.

[Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb • Fatawa Musthalah Al-Hadits, Syarh Al-Hadits wa Al-Hukmu ‘alaiha]

Tidak ada komentar: