Sabtu, 31 Agustus 2013

MERAPATKAN KAKI DAN SUTROH SAJADAH ALA MAMA DEDEH


tadi pagi saat lihat tv,tak sengaja nonton mama dedeh..judulnya OK sholat berjamaah tapi pembahasannya asal-asalan...contohnya pertama: dia berkata:kalo merapatkan barisan shalat jangan terlalu rapat yaitu diberi jarak sekitar satu jengkal karena dalam hadis disebutkan kalau tidak rapat akan di masuki anak kambing,jadi jangan lebar2 hingga muat satu orang,tapi juga jangan terlalu rapat???adakah ulama' yang memahami hadits itu sperti itu??
anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata, Rosulullah bersabda,

رصوا صفوفكم وقاربوا بينها وحاذوا بالأعناق فوالذي نفسي بيده إني لأرى الشيطان يدخل من خلل الصف كأنه الحذف” . قال الشيخ الألباني : صحيح

“Luruskan shaf-shaf kalian, dekatkan jarak antaranya, dan sejajarkan bahu-bahu kalian! Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari celah-celah shaf seperti anak kambing. (HR: Abu Dawud, Ahmad dan lainnya, dishohihkan oleh Imam Al-Albani).
imam syafi’I menyatakan dalam kitab fenomenalnya yaitu kitab Al-Umm (I: 223) bahwa Utsman bin Affan berkata:…Bila dikumandangkan qamat, maka rapikanlah shaf (makmum), dan sejajarkanlah bahu-bahu mereka; karena lurus (dan rapatnya) shaf termasuk hal yang dapat menyempurnakan shalat”. (Diriwayatkan pula oleh Malik di Muwaththa’ no. 234).
diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda , "Rapikanlah shaf-shaf kalian karena sesungguhnya saya dapat melihat kalian dari belakang punggungku. Dan seorang di antara kami merapatkan pundaknya dengan pundak temannya, dan kakinya dengan kaki temannya. " (HR Bukhari)
Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dia berkata:
وكان أحدنا يلزق منكبه بمنكب صاحبه وقدمه بقدمه
"Dahulu (pada masa Nabi) salah seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak teman (di sebelah) nya dan alas kaki dengan sol teman (di sebelah) nya." [HR Al Bukhari (725)] 6. Dari An Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhu, dia berkata:
فرأيت الرجل يلزق منكبه بمنكب صاحبه وركبته بركبة صاحبه وكعبه بكعبه
"Saya melihat seseorang menempelkan pundaknya dengan pundak teman (di sebelah) nya, lututnya dengan lutut teman (di sebelah) nya, dan mata kakinya dengan mata kaki teman (di sebelah) nya." [HR Abu Daud (662)] 

contoh kedua:dia berkata : pembatas shalat itu cukup dengan garis sajadah???dan yg lebih aneh lg dia berkata jalan menuju khusu' adalah dengan pakai sajadah yang polos..gubrak...
Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu' Alaihi wa Sallam bersabda: إذا صلى أحدكم فليجعل تلقاء وجهه شيئا, فإن لم يجد فلينصب عصا, فإن لم يكن فليخط خطا ثم لا يضره من مر بين يديه "Jika kalian shalat, maka hendaknya meletakkan sesuatu di hadapannya, kalau tidak menemukan pembatas gunakanlah tongkat, jika tidak ada maka buatlah garis, maka tidaklah merusakkan shalatnya orang lewat di hadapannya itu. "(HR. Ibnu Majah No. 943, Abu Daud No. 689, Ahmad No. 7386, Al Baihaqi dalam As Sunan Ash Shughra No. 950, lihat juga Ma'rifatus Sunan wal Aatsar No. 1118, Al Humaidi dalam Musnad No. 993. Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 541) Sebelum kita mengetahui shahih, hasan, atau dlaifnya maka kita lihat dulu sanad hadits ini. - Riwayat Imam Ibnu Majah: Bakr bin Khalaf Abu Bisyr, Humaid bin Al Aswad, Ismail bin Umayyah , jalur lainnya: 'Ammar bin Khaalid, Sufyan bin' Uyainah, Ismail bin 'Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Amru bin Huraits, dari kakeknya Huraits bin Sulaim, dari Abu Hurairah. - Riwayat Imam Abu Daud: Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal , Ismail bin Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya (Huraits), dari Abu Hurairah. - Riwayat Imam Ahmad: Abdullah, ayahnya, Sufyan bin 'Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu Muhammad bin Amru bin Huraits Al' Udzri, dia berkata sekali lagi, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya, dari Abu Hurairah. - Riwayat Imam Al Baihaqi: Abu Ali Ar Rudzibaari, Abu Bakar bin Daasah, Abu Daud, Musaddad, Bisyr bin Al Mufadhdhal, Ismail bin Umayyah, Abu Amru bin Muhammad bin Huraits, dari kakeknya, dari Abu Hurairah. - Riwayat Imam Al Humaidi: Sufyan bin 'Uyainah, Ismail bin Umayyah, Abu Muhammad bin Amru bin Huraits Al' Udzri, dari kakeknya, dari Abu Hurairah. Semua riwayat yang ada, selalu di dalamnya ada seseorang bernama Abu Muhammad bin Amru bin Huraits, ada juga yang menyebut Abu Amru bin Muhammad bin Huraits. Para muhadditsin memang berbeda dalam menyebutkan namanya; mana yang benar? Abu Muhammad bin Amru atau Abu Amru bin Muhammad? Imam Ibnul Mulqin bercerita: وقال علي بن المديني: قلت لسفيان: إنهم يختلفون فيه بعضهم يقول: أبو عمرو بن محمد, وبعضهم يقول: أبو محمد بن عمرو (فتفكر سفيان ساعة, ثم قال: ما أحفظ إلا أبا محمد بن عمرو. قلت لسفيان: وابن جريج يقول: أبو محمد بن عمرو) فسكت سفيان ساعة, ثم قال: قدم هنا رجل بعد ما مات إسماعيل بن أمية, فطلب هذا الشيخ أبا محمد حتى وجده (فسأله) عنه فخلط عليه Berkata Ali bin Al Madini: aku berkata kepada Sufyan (bin 'Uyainah): "Mereka memperselisihkan tentang orang ini, ada yang mengatakan: Abu Amru bin Muhammad, sebagian lagi mengatakan: Abu Muhammad bin Amru." Sufyan berpikir sejenak, lalu dia berkata: " yang aku hafal hanya Abu Muhammad bin Amru. "Aku berkata kepada Sufyan: Ibnu Juraij berkata:" Abu Muhammad bin 'Amru. "Lalu Sufyan diam sesaat, lalu dia berkata:" Ada laki-laki yang datang ke sini setelah wafatnya Ismail bin Umayyah , lalu Syaikh itu menemukan Abu Muhammad sampai dia menemukannya, lalu dia bertanya tentangnya (Ismail bin Umayyah) lalu dia berteman. "(Badrul Munir, 4/200-201) Kalau kita lihat, maka Imam Sufyan bin Uyainah, juga Juraij, lebih menguatkan nama orang itu adalah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits. Sedangkan Imam Ibnu Khuzaimah lebih menguatkan bahwa namanya adalah Abu Amri bin Muhammad bin Huraits. Wallahu A'lam Lalu siapakah Abu Muhammad bin Amru bin Huraits (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits) ini? Dia ditsiqahkan oleh Imam Ibnu Hibban, dalam Ats Tsiqat (Juz. 4, Hal. 175). Dalam Al Musnad Al Jami '(39/345) Imam Ibnu Hibban juga menceritakan siapa Abu Amr ini, yakn seorang Syaikh dari Madinah, dan Said Al Maqbari telah meriwayatkan darinya, begitu pula anaknya, Abu Amr sendiri meriwayatkan hadits dari kakeknya, Huraits bin' Imarah, dari Abu Hurairah. Demikian dalam Al Musnad Al Jami '. Namun, Imam Ibnu Hibban dikenal oleh para muhadditsin sebagai imam yang mudah mentsiqahkan. Oleh karena itu tidak cukup tautsiq darinya, tanpa pembanding yang lain. Tetapi oleh Imam yang lain, Abu Muhammad (atau Abu Amr) ini dianggap seorang rawi yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana menurut Imam Adz Dzahabi dan Abu Ja'far Ath Thahawi (Lisanul Mizan, 3/275-276, Tahdzibut tahdzib, 12/162), tepatnya majhul (tidak dikenal biografinya) di generasi keenam (Taqribut Tahdzib, 2/441). Ditambah lagi kakek Ia pun juga disebut majhul oleh Imam Abu Ja'far Ath Thahawi. (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 4/200) Oleh karena itu sesuai kaidah, Jarh mufassar muqaddamun 'ala Ta'dilil' am (kritik rinci harus diutamakan dibandingkan pujian yang masih global), maka kritik terhadap Abu Muhammad (atau Abu Amr ) ini harus didahulukan dibanding pujiannya, apalagi yang mengkritik lebih banyak dibanding yang memujinya. Oleh karenanya segenap imam muhadditsin mendhaifkan hadits ini, di antaranya: - Imam Asy Syafi'i, Beliau nampak mendhaifkan hadits ini, sebagaimana perkataannya berikut ini: ولا يخط المصلي بين يديه خطا إلا أن يكون في ذلك حديث ثابت "Orang yang shalat hendaknya tidak membuat garis di hadapannya, kecuali jika dalam hal itu ada keterangannya pada hadits yang kuat." (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/681, juga Tahdzibut Tahdzib, 12/162) - Imam Sufyan bin 'Uyainah juga mengisyaratkan dlaifnya hadits ini. (Ibid) Beliau berkata: "Kami tidak menemukan sedikit pun yang bisa menguatkan hadits ini." (Al Muharrar fil Hadits, No. 283. Lihat juga Tuhfatul Asyraf, 9/314) - Imam Malik berkata: tentang garis itu batil. (Al Mudawanah, 1/202) - Imam Al Baghawi, katanya: pada isnadnya ada kelemahan. (Syarhus Sunnah, 2/451) - Imam Ahmad-menurut riwayat dari Ibnul Qasim-berkata: hadits tentang membuat garis adalah dhaif. (Fathul Bari, 2/637) Sebenarnya ada kesimpangsiuran tentang pendapat Imam Ahmad, oleh karenanya Al Hafizh Ibnu Hajar berkata tentang Dia: وأحمد لم يعرف عنه التصريح بصحته, إنما مذهبه العمل بالخط, وقد يكون اعتمد على الآثار الموقوفة لا على الحديث المرفوع Dan Imam Ahmad, tidak diketahui darinya kejelasan tentang keshahihannya, hanya saja madzhab Dia mengamalkan hadits tentang garis, dengan berpegang pada atsar yang mauquf (sampai sahabat saja) bukan berhujjah dengan hadits yang marfu '(sampai nabi). (Ibid) - Imam Ad Daruquthni mengatakan: tidak shahih dan tidak kuat. (Tahdzibut Tahdzib, 12/162) - Imam An Nawawi, mengatakan: lemah dan guncang (mudhtharib). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4/217) - Imam Ibnu Ash Shalah, Imam Al 'Iraqi. (Tamamul Minnah, Hal. 301) - Syaikh Al Albani, katanya: dhaif. (Tamamul Minnah, Hal. 301, dan juga kitab-kitab lainnya) - Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya dhaif. (Ta'liq Musnad Ahmad, 12/355) - Dan lain-lain. Demikianlah pihak yang mendhaifkan hadits ini. Namun tidak sedikit ulama lain yang menshahihkan hadits ini, di antaranya: Imam Ahmad dan Imam Ali Al Madini (At Talkhish Al Habir, 1/681), dan Imam Ibnu Hibban memasukkan dalam kitab Ats Tsiqaat (4/174, 7/398). Begitu pula Imam Ibnu Khuzaimah memasukkannya dalam kitab Shahih-nya (Lihat No. 811) Imam Ibnu Hajar Al 'Asqalani menghasankan, Dia mengatakan: ولم يصب من زعم أنه مضطرب, بل هو حسن Tidaklah benar pihak yang menyangka hadits ini guncang, bahkan hadits ini hasan. (Bulughul Maram, Hal. 78. Mawqi 'Al Mishkah) Penghasanan Imam Ibnu Hajar ini diikuti oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhamamd bin Shalih Al 'Utsaimin, dan lainnya. Bukankah Imam Ibnu Hajar mengetahui bahwa Abu Muhammad bin Amru bin Huraits (atau Abu Amru bin Muhammad bin Huraits) adalah majhul (tidak diketahui identitasnya), sebagaimana di dalam kitab Beliau sendiri At Tahdzib dan At Taqrib? Lalu, kenapa Dia justru menghasankan hadits ini? Dia beralasan bahwa hadits ini memiliki dua jalur dalam riwayat lain yang menguatkannya, yakni: Pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy'ari, dari Abu Harun Al 'Abdi. Kedua, yakni riwayat dari Said bin Jubeir. Kata Al Hafizh Ibnu Hajar, rijal pada riwayat Said bin Jubeir ini tsiqat (kredibel). Namun Asy Syafi'i mendhaifkannya, tetapi Asy Syafi'i justru menjadi hujjah, sebagaimana tertera dalam Al Muktashar Al Kabir, karya Al Muzanni. (An Nukat 'Ala Ibnish Shalah, Juz. 2, Hal. 773-774. Mauqi' Ruh Al Islam). Demikian pembelaan Al Hafizh Ibnu Hajar terhadap hadits ini. Namun, penghasanan Al Hafizh Ibnu Hajar ini lemah, sebab kedua riwayat yang dijadikan penguat itu juga bermasalah, yakni: Pertama, hadits riwayat Ath Thabarani, dari Jalur Abu Musa Al Asy'ari, dari Abu Harun Al 'Abdi. Siapakah Abu Harun Al 'Abdi? Imam Al Jauzajaani berkata: Kadzdzaab Muftar (pendusta lagi pembohong). (Al Ahwal Ar Rijaal, Hal. 97, No. 142) Imam Hammad bin Zaid juga mengatakan dia adalah pendusta. (Al Jarh wat Ta'dil, 1/178) Imam Abu Hatim dan Imam Abu Zur'ah mengatakan dhaif. (Ibid, 6/364) Imam Yahya bin Sa'id Al Qaththan meninggalkan hadits Abu Harun. (Adh Dhu'afa No. 295) Imam Yahya bin Ma'in mengatakan: tidak bisa dipercaya. Imam Ahmad dan Imam An Nasa'i mengatakan: matruk - ditinggalkan. (Adh Dhu'afa wal Matrukin No. 2427) Maka, jelaslah kelemahan riwayat ini bahkan dengan kelemahan yang cukup parah karena salah satu perawinya ada yang disebut sebagai pendusta. Kedua, yaitu dari Khalid Al Hidza, dari Iyas bin Mu'awiyah, dari Sa 'id bin Jubeir, beliau berkata: ..... Nah, hadits ini bukanlah ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melainkan dari Sa'id bin Jubeir seorang generasi tabi'in. Maka, hadits ini maqthu '(terputus sanadnya), sehingga Imam Asy Syafi'i mendhaifkannya, sebagaimana dikatakan Imam Al Baihaqi. Ini pun diketahui oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (An Nukat 'Ala Ibnish Shalah, 2/774) Oleh karena itu, dua riwayat ini tidak bisa dijadikan syahid (saksi yang menguatkan) hadits sutrah dengan membuat garis di atas.
Imam Al Qadhi 'Iyadh membantah kebolehkan membuat batas (sutrah ) sekedar garis karena hadits ini. Berikut ini keterangannya: 

واستدل القاضي عياض رحمه الله تعالى بهذا الحديث على أن الخط بين يدي المصلي لا يكفي 

"Al Qadhi 'Iyadh Rahimahullah berdalil dengan hadits ini bahwa membuat garis tidaklah cukup bagi orang yang shalat." (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 4 / 216) 

Sebab hadits yang menyebutkan sutrah hanya sekedar garis adalah dha'if menurutnya. Berikut keterangan selanjutnya dalam: 

ولم ير مالك رحمه الله تعالى ولا عامة الفقهاء الخط. هذا كلام القاضي, وحديث الخط رواه أبو داود وفيه ضعف واضطراب 

"Imam Malik dan kebanyakan fuqaha tidaklah berpendapat tentang garis." Demikianlah ucapan Al Qadhi. Dan hadits tentang garis diriwayatkan oleh Abu Daud, sanadnya idhtirab (goncang) "

Selasa, 27 Agustus 2013

MENGGERAKKAN JARI SAAT TASYAHUD SYADZ ???

Untuk mengetahui sebuah hadits syadz atau tidak kita harus melihat kembali apa itu definis syadz. Berikut adalah penjelasan dua imam besar tentang definisi syadz.
Pertama:
Syaikh al Albani berkata dalam mukadimah kitab beliau Tamamul Minnah tentang hadits syadz:
“Hadits syadz adalah (hadits) yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah yang diterima (periwayatannya, akan tetapi) periwayatannya menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya, sebagaimana yang dipegang oleh para ahlul hadits, dan Ibnu ash Shalah pun telah menerangkan hal itu.
Apabila seorang perawi menyendiri dalam suatu periwayatan, maka harus diperiksa, dan jika perawi yang menyendiri tersebut menyelisihi periwayatan perawi yang lebih utama darinya dari segi hafalan atau pun kedhabitannya maka apa yang diriwayatkannya itu syadz dan tertolak.
Namun apabila dalam (tambahan periwayatannya itu) tidak ada perselisihan dengan apa yang diriwayatkan oleh yang lain, hanya saja ia meriwayatkan sesuatu yang tidak diriwayatkan oleh yang lainnya, maka diperiksa keadaan perawi yang menyendiri ini, jika ia adalah seorang perawi yang adil, hafizh, terpercaya dalam kekokohan serta kedhabitannya maka diterima apa yang ia riwayatkan secara menyendiri tersebut”
Kedua:
Ibnu Shalah dalam Al-Muqaddimah, halaman 86:
إذا انفرد الراوي بشئ نظر فيه ، فإن كان مما انفرد به مخالفا لما رواه من هو أولى منه بالحفظ أو أضبط ، كان ما انفرد به شاذا مردودأ ، وإن لم تكن فيه مخالفة لما رواه غيره وإنما رواه هو ولم يروه غيره ، فينظر في هذا الراوي إلمنفرد ، فإن كان عدلا حافظا موثوقأ وإتقانه وضبطه ، قبل ما انفرد به ، ولم يقدح الانفراد به ، وإن لم يكن ممن يوثق بحفظه وإتقانه لذلك الذي انفرد به ، كان انفراده خارما له مزحزحا له عن حيز الصحيح ، ثم هو بعد ذلك دائر بين مراتب متفاوتة بحسب الحال ، فإن كان المنفرد به غير بعيد من درجة الحافظ الضابط المقبول تفرده ، استحسنا حديثه ذلك ولم نحطه إلى قبيل الحديث الضعيف ، وإن كان بعيدا من ذلك رددنا ما انفرد به وكان من قبيل الشاذ المنكر . . ”
“Jika seorang perawi menyendiri dengan sesuatu, perlu diamati. Jika riwayat tunggalnya bertentangan dengan riwayat orang yang lebih baik dan kuat hafalannya, maka tergolong riwayat syadz dan tertolak. Jika riwayat tunggalnya tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang lain, tetapi hanya dia sendiri yang meriwayatkan, sedang orang lain tidak, maka perlu diamati. Apakah perawi tunggal itu kuat hafalannya dan dapat dipercaya. (Jika yang terjadi seperti itu), maka diterimalah ia (dengan tambahan lafadhnya tersebut). Dan apabila ia tidak baik dan tidak kuat hafalannya, maka terputus dan terlempar jauh dari wilayah keshahihan. Dan setelah itu berada pada tingkat yang berbeda-beda sesuai keadaan. Artinya, jika perawi tunggal itu tidak jauh dari tingkat perawi lain yang kuat hafalan dan diterima kesendiriannya, maka kami golongkan hadits hasan dan kami tidak menjatuhkan pada kelompok hadits dla’if. Tetapi jika tidak, kami golongkan riwayat tunggal itu kepada hadits syadz yang munkar (teringkari)”. – selesai perkataan Ibnu Shalah -.
Setelah mengetahui definisi tentang hadits syadz di atas maka dua hal yang harus kita lakukan untuk memeriksa apakah hadits Zaaidah bin Qudamah tersebut syadz atau tidak:
Pertama: Memeriksa kondisi perawi hadits tersebut yang diperselisihkan oleh para ulama, dalam hal ini adalah Zaa-idah bin Qudamah. Berikut keterangan dua Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah:
1. al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani dalam Taqribut Tahzib no. 1046 berkata, “(Zaa-idah bin Qudamah ini) tsiqatun tsabtun (yakni seorang perawi yang tsiqah lagi tsabit/kuat)”
2. Imam Ibnu Hibban berkata dalam Kitab ats Tsiqat VI/239-240, “Ia (Zaa-idah bin Qudamah) termasuk dari imam yang mutqin, ia tidak menganggap suatu pendengaran, kecuali setelah mengulanginya sebanyak tiga kali dan ia tidak dan ia tidak memuji seorang pun kecuali mereka yang telah disaksikan keadilannya oleh seseorang (imam) dari Ahlus (Sunnah)”
Berkata Syaikh al Albani, “Oleh karena itu tidak mudah bagi kita untuk menganggap syadz riwayat yang disampaikan oleh Zaa-idah (bin Qudamah) ini, khususnya periwayatan yang ia terima dari gurunya ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya. karena apabila kita menganggap syadz, maka niscaya akan banyak sekali riwayat – riwayat yang harus dihukumi seperti itu” (Dinukil dari kaset Imam al Albani yang berjudul Laa Qusyura fil Islam no. 167/8037 al Istiqamah)
Demikianlah pendapat para Imam hadits tentang Zaa-idah bin Qudamah, yang artinya adalah periwayatan hadits yang dilakukan olehnya dapat diterima.
Kedua : Memeriksa apakah ada pertentangan antara lafadz tahrik bertentangan dengan lafadz Isyarat ? Jawaban yang tepat bahwasanya tidak ada pertentangan antara lafadz tahrik dan isyarat baik ditinjau secara lughoh maupun dari dalil.
Dari segi bahasa dapat difahami bahwa isyarat itu terkadang disertai dengan gerak dan terkadang tanpa disertai dengan gerak (jadi disini yang terjadi bukan pertentangan lafazh, tetapi hanya permasalahan lafazh umum dan lafazh khusus). Syaikh Al ash Sha’idi al ‘Adawi al Maliki dalam Kitab Hasyiyah al ‘Adawi ‘ala Syarbi Kifayatut Thalibur Rabbani I/356 berkata,
“Bahwa lafazh isyarat itu lebih umum daripada lafazh tahrik, mungkin berisyarat dengan cara menggerakkan (atau) mungkin tidak”.
Dan apabila ditinjau dari segi dalil, maka ada suatu hadits yang menarik untuk dibahas yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang kisah shalatnya para shahabat di belakang Rasulullah dengan cara berdiri, padahal Rasulullah shalat sambil dalam keadaan duduk, maka beliau pun mengisyaratkan kepada mereka untuk duduk semua (HR. al Bukhari dan Muslim)
Hadits yang dimaksud adalah:
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة أم المؤمنين أنها قالت صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيته وهو شاك فصلى جالسا وصلى وراءه قوم قياما فأشار إليهم أن اجلسوا فلما انصرف قال إنما جعل الإمام ليؤتم به فإذا ركع فاركعوا وإذا رفع فارفعوا وإذا صلى جالسا فصلوا جلوسا
Setiap orang pasti dapat dengan cepat memahami dari lafazh hadits tersebut bahwasannya isyarat beliau tidak hanya dengan mengangkat tangan saja, akan tetapi isyarat tersebut juga mengandung gerakan untuk menyuruh para sahabat agar shalat dalam keadaan duduk.
Ringkasnya adalah isyarat tidak menafikan atau meniadakan tahrik, maka pernyataan bahwa isyarat itu bertentangan dengan tahrik adalah tidak benar jika ditinjau dari segi lughah dan dalil.
Sehingga di dalam kitab Tamamul Minnah Syaikh al Albani memberikan kesimpulannya, “Menolak otensitas gerakan telunjuk dalam riwayat terkucil dari Zaid bin Qudamah tanpa perawi – perawi ‘Ashim bin Kulaib yang lain adalah suatu kesalahan besar karena dua alasan, Pertama : Mereka meriwayatkan isyarat dan isyarat tidak bisa menafikan adanya gerakan jari, Kedua : Kejujuran Zaidah (bin Qudamah) dan karena sudah tua, ia sangat teliti dalam meriwayatkan hadits. Para imam sepakat memberikan kesaksian atas dapat dipercayainya dan al Bukhari – Muslim pun berhujjah dengannya”
Kesimpulan: Bahwasanya hadits tahrik Zaaidah bin Qudamah bukanlah hadits syadz, justru hadits inilah yang menjelaskan tentang keumumam lafadz isyarat dalam hadits yang diriwayatkan dari selain Zaaidah bin Qudamah. Allahu A’lam
Pertanyaan: “Ada beberapa hadits yang justru menjelaskan bahwasanya Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ), bagaimana penjelasannya ?”
Maka dijawab: Memang benar ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Shollallahu Alaihi Sallam tidak menggerak-gerakkan jari (لا يحركها ) , setidaknya ada dua buah hadits yaitu hadits Abdullah bin Zubair dan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhum. Hadits tersebut adalah :
Hadits Pertama : Hadits Abdullah bin Zubair, yakni:
حدثنا حجاج عن بن جريج عن زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله عن عبد الله بن الزبير أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركهاقال بن جريج وزاد عمرو بن دينار قال أخبرني عامر عن أبيه أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى
Diriwayatkan dari Hajjaj dari Ibnu Juraij dari Ziyad dari Muhammad bin Ajlan dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair, sesungguhnya ia menerangkan, ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.” Berkata Ibnu Juraij, “Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya (Abdullah bin Zubair) : Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “ (HR Abu Dawud no 989)
Hadits Semakna juga diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dan Imam Baihaqi, berikut haditsnya :
Riwayat Imam Nasa’i 3/32:
حدثنا حجاج قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها
Riwayat Imam Baihaqi 2/131-132:
أخبرنا حجاج بن محمد قال قال بن جريج أخبرني زياد عن محمد بن عجلان عن عامر بن عبد الله بن الزبير عن عبد الله أنه ذكر أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا لا يحركها
Keterangan dan Takhrij Hadits :
1. Hajjaj disini ialah Hajjaj bin Muhammad sebagaimana yang tercantum di sanad Baihaqi yang lengkapnya : Hajjaj bin Muhammad al Mishishi. ( المصيصي حجاج بن محمد )
2. Ziyad disini adalah Ziyad bin Sa’ad bin Abdurrahman (زياد بن سعد بن عبد الرحمن ), seorang rawi yang tsiqat dan tsabit ( Taqribut Tahzhib 1/268 & Tahdzibut Tahdzib 3/369-370)
3. Perkataan Ibnu Juraij ” Dan Amr bin Dinar menambahkan, ia berkata, ‘Telah mengkhabarkan kepadaku Amir dari bapaknya dan seterusnya.” Menunjukkan bahwa Ibnu Juraij terima dari dua rawi :
a. Pertama, Ziyad dengan lafadz tegas “telah mengkhabarkan kepadaku” (أخبرني ). Coba lihat riwayat Imam Nasa’i dan Imam Baihaqi diatas.
b. Kedua, Amr bin Dinar dengan lafadz tadlisnya ” ia berkata” (قال ). Coba lihat riwayat Imam Abu Dawud diatas.
4. Demikian juga ada dua orang rawi yang terima dari Amir bin Abdullah yaitu Muhammad bin Ajlan dan Amr bin Dinar.
Jelasnya, hadits ini diriwayatkan dari Amir bin Abdillah dari bapaknya Abdullah bin Zubair dengan dua jalan.
Jalan pertama :
· حجاج Hajjaj –
· بن جريج Ibnu Juraij –
· زياد Ziyad –
· محمد بن عجلان Muhammad bin Ajlan -
· عامر بن عبد اللهAmir bin Abdillah –
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan Lafadz : أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها ” Bahwasanya Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan ia tidak menggerak-gerakkannya.”
Pada jalan ini terdapat dua illat/penyakit, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad, meskipun ia seorang rawi yang tsiqat dan tsabit, tetapi di akhir umurnya ia telah ikhtilat (bercampur atau telah berubah hafalannya). Dan dalam keadaan demikian ia masih saja menceritakan hadits. Sedangkan dalam riwayat ini tidak diketahui atau diragukan apakah ia meriwayatkan sebelum ikhtilat atau sesudahnya ? terhadap riwayat yang demikian hukumnya didiamkan atau dianggap lemah selama belum ada keterangan yang tegas atau ada rawi lain yang tsiqat yang menyetujui riwayatnya. Kenyataannya riwayat Hajjaj bin Muhammad telah menyendiri sehingga kalau kita periksa riwayat-riwayat dari Amir bin Abdillah dari Abdullah bin Zubair tidak kita dapati tambahan لا يحركها kecuali dari jalan Hajjaj ini ( Baca Tahdzibut Tahdzib 2/205-206 dan Taqribut Tahzhib 1/154)
Kedua : Muhammad bin Ajlan, rawi ini telah dianggap tsiqat oleh imam-imam : Ahmad, Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, al Ijli, As Saji, Ibnu Saad dan Ibnu Hibban dan lain-lain. Rawi yang dipakai oleh imam-imam : Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dan lain-lain. Adapun Imam Bukhari tidak memakainya dikitab Shahihnya sebagai ‘dasar atau hujjah’ kecuali dipakai di riwayat-riwayat muallaq sebagaimana telah diterangkan oleh al Hafizh Ibnu Hajar di Muqaddimah Faathul Baari hal 458.
Muhammad bin Ajlan ini meskipun ia seorang rawi tsiqat, tetapi ia juga seorang mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh Ibnu Hibban, Ibnu Abi Hatim dan lain-lain. Al Hafidz Ibnu Hajar dikitabnya Thabaqaatul Mudallisin hal 69 telah memasukkannya di martabat ketiga dari rawi-rawi mudallis, yaitu tentang seorang mudallis yang sering melakukan tadlis dan tidak dijadikan hujjah hadits-hadits mereka oleh para imam kecuali mereka menegaskan didalam hadits mereka yang menunjukkan mereka mendengar. Sedangkan dalam hadits diatas Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dengan lafadz tadlisnya yaitu ia ber-‘an’anah (memakai lafadz عن), dengan demikian riwayatnya tidak dapat diterima.
Pertanyaan : “Bukankah di Musnad Imam Ahmad, Muhammad bin Ajlan telah meriwayatkan dari Amir bin Abdillah dengan lafadz yang tegas yaitu : telah menceritakan kepadaku (حدثني) yang menunjukkan ia betul telah mendengar dan sekaligus hilanglah tadlisnya ?
Maka dijawab : ”Betul”, untuk lebih jelasnya silahkan lihat hadits berikut :
عن يحيى بن سعيد عن بن عجلان قال حدثني عامر بن عبد الله بن الزبير عن أبيه قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس في التشهد وضع يده اليمنى على فخذه اليمنى ويده اليسرى على فخذه اليسرى وأشار بالسبابة ولم يجاوز بصره إشارته
Dari Yahya bin Said dari Ibnu Ajlan, ia berkata, ” Telah menceritakan kepadaku Amir bin Abdillah bin Zubair, dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata , ‘Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam biasa apabila duduk tasyahud ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya dan tangan kirinya diatas paha kirinya sambil ia berisyarat dengan jari telunjuknya, sedangkan pandangannya tidak melampaui isyaratnya. (Dikeluarkan oleh Ahmad 4/3, Abu Dawud 990, Nasa’i 3/33 dan Ibnu Khuzaimah 718 dan ini adalah lafadz Ahmad. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Albani)
Pertanyaan: Adakah di hadits diatas disebut tambahan لا يحركها ? jawabnya, tidak ada ! maka sebetulnya hadits diatas menjadi hujjah yang memperkuat bahwa lafadz لا يحركها adalah syadz karena menyalahi rawi-rawi yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ajlan sendiri seperti : Yahya bin Said (hadits diatas), Abu Khalid al Ahmar, Laits (Muslim 2/90 dan Ibnu Hibban 1934) dan lain-lain. Dan menunjukkan bahwasanya lafadz لا يحركها tidak datang kecuali dari jalan Hajjaj dan Ibnu Juraij sebagai illat yang lain bagi hadits ini.
Jalan Kedua :
· حجاج Hajjaj –
· Ibnu Juraij – بن جريج
· عمرو بن دينار Amr bin Dinar –
· Amir bin Abdillah – عامر بن عبد الله
· Abdullah bin Zubair – عبد الله بن الزبير
Dengan lafadz, أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم يدعو كذلك ويتحامل النبي صلى الله عليه وسلم بيده اليسرى على فخذه اليسرى “Sesungguhnya ia telah melihat Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berdoa seperti itu dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kirinya.’ “
Pada jalan inipun terdapat dua illat, yaitu :
Pertama : Hajjaj bin Muhammad sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya
Kedua : Tadlisnya Ibnu Juraij dengan lafadz قال . Sudah maklum bahwsanya Ibnu Juraij adalah seorang rawi yang tsiqat akan tetapi mudallis dan telah disifatkan tadlisnya oleh banyak imam diantaranya : Ahmad bin Hambal, Nasa’i, Daruquthni, Ibnu Hibban dan lain-lain.Yahya bin Said berkata tentang Ibnu Juraij : Jika Ibnu Juraij didalam riwayatnya menggunakan lafadz حدثني maknanya ia telah mendengar hadits itu secara langsung dari Syaikh/gurunya. Dan apabila ia menggunakan lafadz أخبرني menunjukkan ia yang membaca dihadapan gurunya. Kalau ia meriwayatkan dengan lafadz قال maka disamakan dengan angin yakni tidak diterima riwayatnya
Walhasil dari uraian diatas tahulah kita bahwasanya hadits Abdullah bin Zubair dengan tambahan lafadz لا يحركها adalah hadits dhoif. Allahu A’lam
Hadits Kedua : Hadits Ibnu Umar
حدثنا عمر بن محمد الهمداني ثنا زيد بن أخزم ثنا أبو عامر العقدى ثنا كثير بن زيد عن مسلم بن أبى مريم عن نافع عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam mengerjakannya”. ( Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448)
Keterangan dan Takhrij Hadits :
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti (jujur tapi banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththa’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1. Tujuh rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Wallahu A’lam.
Kesimpulan: Dari uraian diatas maka pendapat yang tepat tentang hadits لا يحركها adalah Dhoif. Allahu A’lam.
Pertanyaan: “Kita dapati ada sebagian ulama yang menshahihkan hadits لا يحركها seperti Imam Nawawi dalam majmu’.”
Maka dijawab: Nyatanya hadits tersebut adalah dhoif sebagaimana penjelasan yang telah lalu. Kalaupun ada yang menganggap bahwasanya hadits diatas Shahih (walaupun pendapat yang lebih rajih bahwasanya hadits tersebut dhoif) maka hadits لا يحركها adalah Nafi’ sedangkan hadits يحركها adalah Musbit, sedangkan sudah ma’ruf dikalangan para Ulama akan kaidah المثبت مقدم على النافي ” Yang menetapkan (adanya gerak jari) didahulukan daripada yang meniadakan (tidak ada gerak jari). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh dua imam besar yaitu :
Pertama: al-Imam Ibnul Qayyim dikitabnya Zaadul Ma’aad 1/238-239 di ta’liq oleh Abdul Qadir Arnauth dan Syuaib Arnauth, beliau berkata:
وأما حديث أبي داود عَنْ عبد اللّه بن الزبير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يُشير بأصبعه إذا دعا ولا يُحركها فهذه الزيادة في صحتها نظر، وقد ذكر مسلم الحديث بطوله في ((صحيحه))عنه، ولم يذكر هذه الزيادة، بل قال: كان رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم إذا قَعَدَ في الصلاة، جعل قدمَه اليسرى بين فخذه وساقه، وفرش قدمه اليُمْنى، ووضع يَدَه اليُسرى على رُكبته اليسرى، ووضع يده اليمنى على فخذه اليمنى، وأشار بأصبعه.
وأيضاً فليس في حديث أبي داود عنه أن هذا كان في الصلاة.
وأيضاً لو كان في الصلاة، لكان نافياً، وحديث وائل بن حُجر مثبتاً،وهو مقدَّم، وهو حديث صحيح، ذكره أبو حاتم في ((صحيحه)).
Adapun hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair, Bahwa Nabi Shollallahu Alaihi wa Sallam berisyarat dengan jari (telunjuk)nya apabila beliau berdoa dan tidak menggerak-gerakannya. Maka tambahan (tidak menggerak-gerakkan) perlu diteliti keshahihannya. Karena sesungguhnya Imam Muslim telah menyebut hadits ini dengan panjang di(kitab) Shahihnya dari Abdullah bin Zubair dan ia tidak menerangkan tambahan ini, tetapi Abdullah bin Zubair berkata : “Adalah Rasulullah Shollallahu Alaihi wa Sallam apabila duduk di dalam sholat, ia jadikan kaki kirinya diantara paha dan betisnya dan ia hamparkan telapak kaki kanannya, dan ia letakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya dan ia letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya sambil beliau berisyarat dengan jari (telunjuk)nya.
Lagi pula, pada hadits Abu Dawud dari Abdullah bin Zubair ini tidak menunjukkan di dalam sholat. Kalaupun memang di dalam sholat keadaannya sebagai nafi’ (meniadakan menggerak-gerakkan) sedangkan hadits Wail bin Hujr mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari) dan mutsbit didahulukan, dan hadits Wail adalah hadits Shahih telah diterangkan oleh Abu Hatim (Ibnu Hibban) di kitab Shahihnya.
Penta’liq kitab Zaadul Ma’aad mengatakan tentang hadits Wail, sanadnya Shahih dan telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban. Tentang Abdullah bin Zubair dikatakan “Sanadnya hasan dan telah dishahihkan oleh an Nawawi di Majmu’ “
Kedua : Ahli Hadits besar Syaikh Albani di kitabnya Sifat Sholat Nabi hal 170, beliau mengatakan:
وحديث أنه كا ن لايحركهالا يثبت من قبل إسنا د ه كما حققته في ” ضعيف أبي داود ” ولو ثبت فهو نافي و حد يث الباب مثبت و المثبت مقدم على النافي كما هو معروف عند العلماء
Dan bahwasanya beliau tidak menggerak-gerakkan jari telunjuknya, tidaklah tsabit (tetap/kuat) dari jurusan sanadnya sebagaimana telah saya terangkan di Dhoif Abu Dawud, dan kalaupun tsabit, maka dia itu nafi’ (meniadakan), sedangkan hadits dalam bab ini (maksudnya hadits Wail) mutsbit (menetapkan adanya menggerak-gerakkan jari). Dan yang mutsbit itu didahulukan atas nafi’ sebagaimana telah ma’ruf dikalangan para ulama.
Kesimpulan: Bahwasanya menggerak-gerakkan jari telunjuk waktu Tasyahud adalah merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, karena telah tsabit dari beliau akan keterangannya. Oleh karena itu hendaklah kita menjaga dan melaksanakan segala sesuatu yang merupakan Sunnah Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam. Allahu A’lam

Selasa, 20 Agustus 2013

Perintah isti’adzah ketika kelahiran bayi BUKAN ADZAN


Hal ini  dilakukan oleh istrinya Imran, ketika dia melahirkan bayi yang kemudian dinamakan Maryam. Berikut ini ayatnya:

وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." (QS. Ali Imran: 36)

Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu aku mohon perlindungan Allah untuknya, serta untuk anak keturunannya, yaitu Isa dari kejahatan syetan. Maka Allah kabulkan permohonan itu.”  Lalu Imam Ibnu Katsir menyebutkan sebuah hadits dari Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Az Zuhry, dari Said bin Musayyib, dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah, bahwa Ia bersabda:
   
“Tidaklah satupun bayi ketika dilahirkan melainkan syetan mengganggunya, sehingga menjeritlah bayi itu. Kecuali Maryam dan anaknya, Isa.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 479)
   
Jadi, menurut keterangan ini, hanya dua bayi yang tidak mengalami gangguan syetan, yaitu Maryam dan anaknya, Isa ‘Alaihissalam.
   
Jika anaknya laki-laki maka kata ‘ha’ diganti menjadi ‘hu’, yakni menjadi Inni u’idzuhu bika wa dzurriyatahu minasyaithanir rajim.
   
Imam Al Qurthubi berkata:

قال علماؤنا: فأفاد هذا الحديث أن الله تعالى استجاب دعاء أم مريم، فإن الشيطان ينخس جميع ولد آدم حتى الأنبياء والأولياء إلا مريم وابنها
   
Berkata para ulama kita: “Maka faidah dari hadits ini, bahwa Allah Ta’ala telah mengabulkan doa Ummu Maryam, sesungguhnya syetan mengganggu semua anak Adam, sampai para nabi dan para wali, kecuali Maryam dan anaknya. (Al Jami Li Ahkamil Quran, 4/68)

Minggu, 18 Agustus 2013

MELURUSKAN METODE DA’WAH HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir menyeru masyarakat untuk menerapkan syari’at Islam dan ini adalah seruan yang mulia, akan tetapi sangat disayangkan selain menyeru masyarakat untuk menerapkan khilafah Hizb juga mem-provokasi masyarakat agar bersikap antipati terhadap penguasa-penguasa muslim saat ini yang pada akhirnya bisa menyebabkan masyarakat memberontak dengan melakukan kudeta.

Hizbut Tahrir telah melakukan kudeta di beberapa negara Islam, namun qadarullah bahwa Hizbut Tahrir belum pernah berhasil dalam gerakan kudeta mereka.

“ Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri arab, seperti Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedangkan sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan ”.

(SUMBER : Nasyrah Hizbut Tahrir, diterjemahkan dari kitab Mafhum al Adalah al Ijtima’iyah, Beirut, cetakan II, 1991, halaman 140-151, dan hal. 266-267, beberapa syabab HT menolak nasyrah ini dan menganggap ini bukan nasyrah karena tidak sesuai dengan definisi nasyrah, namun faktanya hampir semua syabab pernah diberi nasyrah ini karena nasyrah ini adalah acuan bagi daris HT yang ingin mengenal biografi Taqiyyuddin An Nabhani. Meskipun secara de jure menurut HT ini bukanlah nasyrah namun secara de facto ini adalah nasyrah HT).

Padahal kudeta-kudeta ini mereka lakukan bukan tanpa persiapan melainkan dengan persiapan yang cukup lama dan bahkan mereka mengklaim bahwa di Yordania waktu itu hampir di setiap kepala keluarga pasti terdapat minimal satu simpatisan Hizbut Tahrir, namun kenapa kudeta mereka mengalami kegagalan ? Jawabnya adalah karena Allah -subhanahu wa ta’ala- tidak meridhoi mereka, karena cara mereka mengundang pertumpahan darah sesama muslim sama sekali bertentangan dengan ajaran Islam.

Dapat kita lihat bahwa negara-negara yang akan dikudeta oleh Hizb merupakan negara yang dikuasai oleh penguasa-penguasa muslim.

Padahal Nabi bersabda :

“Akan ada sepeninggalku nanti para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada diantara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan namun berbadan manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas olehnya, maka dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman, 3/1476, no. 1847)
“Seburuk-buruk penguasa kalian adalah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, kalian mencaci mereka dan mereka pun mencaci kalian.” Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (memberontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian. Dan jika kalian melihat mereka mengerjakan perbuatan yang tidak kalian sukai, maka bencilah perbuatannya dan jangan mencabut/meninggalkan ketaatan (darinya).” (HR. Muslim, dari shahabat ‘Auf bin Malik, 3/1481, no. 1855)

Pendiri Hizbut Tahrir, yaitu Syeikh Taqiyyuddin an Nabhani mengajarkan kepada para aktifis Hizbut Tahrir bahwa cara da’wah Hizbut Tahrir adalah membuat opini buruk tentang Pemerintah dan disebarluaskan ke masyarakat. Jika pemerintah melakukan kebaikan maka haram disebarluaskan akan tetapi jika pemerintah melakukan kekeliruan maka wajib dicerca habis dan disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian diharapkan masyarakat akan benci pemerintah dan mendukung upaya kudeta Hizbut Tahrir jika telah tiba waktunya.

Taqiyyuddin berkata : “ … semestinya aktifitas Hizbut Tahrir yang paling menonjol adalah aktifitas menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan ummat dalam semua aspek, baik menyangkut cara penguasa tersebut mengurus kemaslahatan, seperti pembangunan jembatan, pendirian rumah sakit, atau cara melaksanakan aktifitas yang meyebabkan penguasa tersebut mampu melaksanakan (urusan ummat) seperti pembentukan kementrian dan pemilihan wakil rakyat. Yang dimaksud dengan penguasa disini adalah Pemerintah”.

Kemudian Taqiyyuddin melanjutkan : “ Oleh karena itu, kelompok berkuasa tadi seluruhnya harus diserang, baik menyangkut tindakan maupun pemikiran politiknya “.

(SUMBER : Terjun ke Masyarakat, Penulis : Taqiyyuddin an Nabhani, Judul Asli : Dukhul al Mujtama’ , Dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tahun 1377 H / 1958 M, Penerjemah : Abu Falah, Penerbit : Pustaka Thariqul ‘Izzah, Cetakan I, Syawal 1420 H, Pebruari 2000 M, halaman 8 dan 9).

Untuk itulah Hizbut Tahrir sering membuat surat kepada penguasa namun disebarluaskan secara umum (Surat Terbuka) yang isinya sebetulnya bukan semata-mata untuk menasehati penguasa namun juga agar masyarakat tahu keburukan-keburukan penguasanya.

Hizb juga kerap melakukan Demonstrasi bukan semata-mata untuk menasehati penguasa namun juga agar masyarakat tahu keburukan penguasa.

Padahal Nabi bersabda :

“Barangsiapa ingin menasehati sulthan (pemerintah) dengan suatu masalah, janganlah menampilkan kepadanya secara terang-terangan. Tetapi hendaknya menggandeng tangannya dan duduk berduaan dengannya. Apabila ia menerima darinya maka itulah (yang diharapkan). Kalau tidak, berarti telah melaksanakan kewajibannya”.

(Hadits hasan riwayat Tirmidzi 4/502 Musthafa al bab Cet II, ash Shahihah 5/376)

Demikianlah kontroversi da’wah Hizbut Tahrir yang sedikit dirahasiakan dari masyarakat agar jangan sampai tercium oleh Pemerintah, hakikat gerakan Hizbut Tahrir.

Bahkan dalam rangka keamanan anggota Hizbut Tahrir, maka dibuatlah struktur organisasi yang penuh kerahasiaan yang terbagi menjadi 3 (tiga) tingkat yaitu : Lajnah Mahaliyah, Lajnah al Wilayah, dan Lajnah al Qiyadah.

Dimana antar lajnah yang setingkat (misal antar lajnah Mahaliyah) dilarang untuk saling tahu identitas anggota-anggotanya agar apabila ditangkap pemerintah maka meskipun dipaksa bicara tetap tidak akan bisa membongkar jaringan mereka.

Semoga Hizbut Tahrir menyadari keanehan-keanehan pada metode da’wahnya, yang mana bertentangan dengan hadits-hadits Nabi dan menyelisihi cara da’wah Nabi ini.



Raport Merah Rancangan UU Khilafah Hizbut Tahrir

1. Dalam RUU Khilafah Bab Hukum-Hukum Islam pasal 4 dikatakan :

Khalifah tidak melegislasi hukum syara’ apapun yang berhubungan dengan ibadah, kecuali masalah zakat dan jihad. Khalifah juga tidak melegislasi pemikiran apapun yang berkaitan dengan akidah Islam.

Keterangan :

Bunyi pasal seperti ini jelas-jelas bukan hanya kebebasan dalam memilih madzhab fiqh akan tetapi kebebasan segala-galanya, kecuali urusan zakat dan jihad saja yang masih dipegang khalifah.

Hal ini berarti sekulerisasi dan liberalisasi terhadap syari’at Ibadah selain zakat dan jihad bahkan aqidah Islam. Padahal di zaman Nabi dan era Khulafaur rasyidin mereka jugalah yang menentukan batasan-batasan aqidah dan ibadah yang shohih, tidak hanya dalam perkara zakat dan jihad semata.

Terlihat jelas bahwa hizb berupaya mengakomodir semua perpecahan baik antara sunni dengan syi’i maupun dengan paham paham sempalan lain semisal mu’tazilah, jabbariyah, qadariyah,dan haruriyah (khawarij), namun dengan sistem separuh-separuh seperti ini tidak hanya akan menyelisihi sistem khilafah Nabi dan khulafaur rasyidin namun juga berbeda dengan sistem pemerintahan sehingga hal ini justru mengakibatkan polemik dan kontroversi di masyarakat.

2. Dalam RUU khilafah Bab Sistem Pemerintahan pasal 21 dikatakan :

Kaum Muslim berhak mendirikan partai politik untuk mengkritik penguasa; atau sebagai jenjang untuk menduduki kekuasaan pemerintahan melalui umat, dengan syarat asasnya adalah akidah Islam dan hukum-hukum yang diadopsi adalah hukum-hukum syara’. Pendirian partai tidak memerlukan izin negara. Dan negara melarang setiap perkumpulan yang tidak berasaskan Islam.

Keterangan :

Hal ini merupakan upaya memasukkan sistem partai dalam sistem pemerintahan khilafah Islam. Padahal sistem seperti ini tidak pernah ada di zaman Nabi, khulafaur rasyidin, atau bahkan di zaman daulah umayyah dan abbasiyah sekalipun. Maka jelas khilafah hizb tidak ittiba’ dengan khilafah pendahulu Islam dan menyelisihi khilafah ala manhaj nubuwwah.

Sistem partai disepanjang sejarah hanya terdapat pada pemerintahan parlemen modern dan hizbut tahrir mencampur adukkan konsep pemerintahan khilafah dengan sistem pemerintahan modern. Sebuah terobosan baru yang belum pernah dilakukan oleh negara manapun. Sebuah konsep yang menyelisihi konsep khilafah Nabi namun juga menentang konsep pemerintahan modern.

3. Dalam RUU Khilafah :

I. Bab Khalifah pasal 33 dikatakan :
… tata cara praktis untuk mengangkat dan membaiat Khalifah adalah sebagai berikut :
d. Para calon yang pencalonannya diterima oleh Mahkamah Mazhalim dilakukan pembatasan oleh anggota-anggota Majelis Umah yang muslim dalam dua kali pembatasan. Pertama, dipilih enam orang dari para calon menurut suara terbanyak. Kedua, dipilih dua orang dari enam calon itu dengan suara terbanyak.
e. Nama kedua calon terpilih diumumkan. Kaum Muslim diminta untuk memillih satu dari keduanya
f. Hasil pemilihan diumumkan dan kaum Muslim diberitahu siapa calon yang mendapat suara lebih banyak
g. Kaum Muslim langsung membaiat calon yang mendapat suara terbanyak sebagai Khalifah bagi kaum Muslim untuk melaksanakan kitabullah dan sunah rasul-Nya
II. Bab Majlis Ummat pasal 106 dikatakan :
Anggota Majelis Wilayah dipilih secara langsung oleh penduduk wilayah tertentu. Jumlah anggota Majelis wilayah ditentukan sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk setiap wilayah di dalam Daulah. Anggota-anggota Majelis Umat dipilih secara langsung oleh Majelis Wilayah. Awal dan akhir masa keanggotaan Majelis Umat sama dengan Majelis Wilayah.
III. Dalam Bab Majlis Ummat pasal 103 dikatakan :
Setiap warga negara yang baligh, dan berakal berhak menjadi anggota majelis umat atau Majelis wilayah, baik laki- laki maupun wanita, muslim ataupun non-muslim. Hanya saja keanggotaan orang non-muslim terbatas hanya pada penyampaian pengaduan tentang kedzaliman para penguasa atau penyimpangan dalam pelaksanaan hukum-hukum Islam.

Keterangan :

Meskipun hizb menegaskan menolak dan mengharamkan sistem demokrasi namun sistem pemilihan khalifah seperti diatas jelas tasyabbuh pada sistem demokrasi pemilihan umum atau sistem suara terbanyak. Nama nama calon Khalifah diusulkan oleh Majlis Ummat, padahal majlis ummat dipilih dengan suara terbanyak. Setelah itu para calon khalifah dipilih oleh masyarakat dengan sistem pemilu suara terbanyak pula.

Padahal di zaman pendahulu Islam tidak pernah ada tata cara seperti ini. Kita ambil contoh bagaimana pemilihan dan pengangkatan khalifah dimasa Khulafaur Rasyidin.

Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama :

Pemilihan khalifah pertama ini dilakukan di tempat kaum anshar Bani Sa’idah, yang dipimpin oleh Sa’ad bin Ubbadah kepala suku Khazradj. Abu Bakar sendiri pada mulanya menolak, bahkan beliau mengajukan dua calon khalifah yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah Amir bin Djarrah. Namun Umar dan Abu Ubaidah menolaknya, dengan mengatakan “tidak mungkin jadi, selama anda (Abu Bakar) masih berada di tengah-tengah kami”. Kemudian mereka SEPAKAT untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin Khattab maju kedepan langsung memberikan bai’atnya atas pengangkatan Abu Bakar.

Besok harinya dipanggilah seluruh rakyat ke Masjid Nabi untuk melakukan bai’at atas pemilihan dan pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah. Yang tidak hadir dalam bai’at itu ada empat tokoh utama, yaitu Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib, Fatimah putri Nabi dan Sa’ad bin Ubbadah. Beberapa hari Abu Bakar berikhitiar untuk memperoleh bai’atnya dari mereka.

Disini dapat dilihat dengan jelas bahwa pemilihan khalifah pertama adalah dipilih SECARA MUFAKAT oleh para alim ulama ahlul halli wal aqdi walaupun tidak lengkap, dan langsung semua rakyat melakukan bai’at tanpa ada pemilihan umum.

Pemilihan khalifah kedua yaitu Umar bin Khatthab :

Sebelum Khalifah Abu Bakar meninggal, dilakukan terlebih dahulu perundingan dengan beberapa alim ulama ahlul halli wal aqdi, diantaranya Abdur Rahman bin Auf. Dalam sidang ini Abu Bakar mengajukan calon khalifah yaitu Umar bin Khatthab, kemudian sidang ulil amri SEPAKAT menyetujui akan pencalonan Umar bin Khatthab untuk menjadi khalifah. Pada waktu itu juga Abu Bakar menandatangi suatu surat bai’at atas penganggkatan khalifah kedua ini. Disinipun kita lihat Khalifah Abu Bakar sebelum meninggal merundingkan dahulu dengan para alim ulama ahlul halli wal aqdi sehingga memperoleh KESEPAKATAN siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Bukan dengan melakukan pemilihan umum majlis ummat dan pemilihan umum calon khalifah.

Pemilihan khalifah ke tiga, Usman bin Affan:

Khalifah Umar bin Khatthab mengajukan enam calon khalifah yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zuber bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdur Rahman bin Auf. Dari enam calon ini setelah di konfirmasi hanya dua yang sanggup, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kedua-duanya siap untuk menggantikan khalifah Ummar bin Khatthab. Namun dalam sidang alim ulama ahlul halli wal aqdi yang dipimpin oleh Abdur Rahman bin Auf, dipilih secara MUFAKAT Usman bin Affan sebagai khalifah. Ali bin Abi Thalib juga sepakat menerima dan melakukan bai’at atas pengangkatan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga.

Pemilihan khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib:

Pemilihan khalifah ini diserahkan sepenuhnya kepada para alim ulama ahlul halli wal aqdi, karena Khalifah Usman bin Affan tidak sempat mengajukan pencalonannya, dikarenakan telah dibunuhnya oleh para pemberontak. Dalam pemilihan khalifah ini diajukan tiga calon yaitu, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Disinipun Ali bin Abi Thalib awalnya tidak menerima pencalonannya, namun setelah kedua calon lainnya mengundurkan diri dan memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka dipilihlah secara MUFAKAT Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.

Maka jelas bahwa sistem pemilihan khilafah pendahulu Islam adalah musyawarah mufakat antara ahlul halli wal aqdi dan bukan dengan cara pemilihan umum suara terbanyak .

Hizb berteriak mengharamkan demokrasi namun kenyataannya nilai-nilai demokrasi justru diterapkan kembali dalam RUU khilafahnya.

Maka Adakah Letak Kemiripan Khilafah Hizb Dengan Khilafah Nabi Dan Para Shahabat ???

Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak selalu ada pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat untuk membuktikan kekeliruan Hizbut Tahrir.

Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.

Semoga Allah –subhanahu wa ta’ala- menunjuki mereka pada kebenaran.

BAGAIMANAKAH KHILAFAH AKAN DATANG ?


AQIDAH HT VS AQIDAH NABI


Bismillah,

Sesungguhnya sebagian aqidah ummat Islam diambil dari hadits ahad yang shohih, aqidah tersebut antara lain :

- Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur.
- Keyakinan bahwa para pelaku dosa besar yang bertauhid tidak kekal di dalam neraka.
- Keyakinan akan turunnya Isa di akhir zaman.
- Keyakinan akan fitnah Dajjal di akhir zaman.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi yang terbesar di padang Mahsyar.
- Keyakinan atas syafa’at Nabi untuk para pelaku dosa besar dari ummatnya.
- Keyakinan terhadap 10 orang shahabat yang dijamin masuk surga.
- Keyakinan akan masuknya tujuh puluh ribu dari Ummat Islam ke Surga tanpa Hisab.
- Dan lain-lain.

Selain itu pada mushaf al Qur’an (mushaf utsmani) sebetulnya ada juga ayat yang AHAD periwayatannya yaitu QS at Taubah ayat terakhir. Sebagaimana Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”. (lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)

Sebagian besar aqidah yang disebutkan diatas (seperti Keyakinan adanya pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir didalam kubur dan seterusnya), terdapat dalam hadits ahad yang shohih dan semua aqidah yang terdapat dalam hadits ahad yang shohih adalah mutawatir ma’nawiy. Memang aqidah diatas tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun kesemuanya masuk kedalam butir rukun iman terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wa ala alihi wa salam, karena semua keyakinan diatas adalah diajarkan dan diyakini oleh Rasulullah.

Misalnya keyakinan kita adanya alam barzakh, ini juga tidak tersurat pada rukun iman yang enam, begitu pula keyakinan adanya surga dan neraka juga tidak tersurat dalam rukun iman yang enam, namun termasuk dalam butir rukun iman terhadap hari akhir.

Maka barangsiapa menolak mengimani aqidah- aqidah diatas jelas telah merusak pondasi keimanan yang terdapat dalam rukun iman.

Selama ini banyak sekali kalangan yang menolak mengimani aqidah- aqidah diatas dengan berbagai alasan yang canggih.

Berawal dari sosok Ibrahim bin Ismail bin Ulayyah (193 H) manusia di zaman tabi’in yang pertama kali mengajarkan pada pengikutnya untuk menolak seluruh hadits ahad sebagai sumber hukum Islam, sehingga ia menuai kecaman keras dari Imam Asy Syafi’ie, bahkan Imam Asy Syafi’ie sampai berkata tentang Ibrahim bin Ulayyah : “Dia orang yang sesat. Duduk dipintu As-Suwal untuk menyesatkan manusia”. (Lihat Lisaanul Mizan Ibnu Hajar I/34 (64) dan Lihat juga Mausu’ah Ahlis Sunnah I/513).

Saat ini beberapa kelompok cendekiawan muslim juga menyatakan penolakannya terhadap hadits ahad meskipun sedikit berbeda dengan Ibnu Ulayyah yang menolak total kandungan hadits ahad, mereka para cendekiawan muslim saat ini hanya menolak sebatas pada kandungan aqidahnya saja.

Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang memiliki cita- cita mulia menegakkan syari’at Islam amat disayangkan ternyata menyimpan dan menyebarluaskan penyimpangan aqidah yaitu meragukan keyakinan yang terdapat dalam hadits ahad meskipun hadits tersebut shohih.

Bahkan pendiri Hizbut Tahrir (Taqiyyuddin An Nabhani) mengharamkan mengambil aqidah kecuali pada riwayat yang mutawatir saja. Hal ini karena Taqiyyuddin menganggap hadits ahad meskipun shohih, hanya membuahkan Dhon dan SEMUA Dhon tidak bisa diimani (HARAM DIIMANI).

Taqiyyuddin mengharamkan meyakini aqidah selain dari riwayat yang mutawatir saja meskipun riwayat tersebut shohih. Taqiyyuddin juga berpendapat bahwa SEMUA Dhon tidak bisa dijadikan aqidah.

Taqiyyuddin berkata : “….Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…”

(Lihat Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas, dan lihat juga As-Syakhshiyah al-Islamiyah, Taqiyyudin An-Nabhani, Beirut : Al-Quds, 1953, cet. ke-2, Jilid 1 h.129).

Berikut ini sedikit ulasan tentang sejauh mana penyimpangan aqidah tersebut melekat pada Hizbut Tahrir. Semoga yang sedikit ini bisa memberi pencerahan baik bagi para syabab Hizbut Tahrir maupun untuk kaum muslimin yang saya cintai dimanapun berada :

PERTAMA :

Hibut Tahrir mengharamkan mengimani hadits ahad meskipun shohih dan mengharamkan semua jenis dhon aqidah padahal ayat ayat al Qur’an yang dijadikan dalil oleh Hizbut Tahrir, yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28,

Ayat-ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON lemah kaum kafir, seperti :

Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.

Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.

Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.

Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,

Allah berfirman yang artinya :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).

Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.

Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.

Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah kaum kufur saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.

Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :

QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.

Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :

“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)

“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)

“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)

Semua ayat diatas menunjukkan bahwa orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang rajih yang sesuai dengan ajaran Islam.

Adalah hal yang mengada-ada jika kemudian para syabab Hizbut Tahrir mengatakan bahwa ayat- ayat diatas tidak bisa dijadikan landasan hukum, padahal semua kalimat diatas dari sisi Allah datangnya. Dan secara jelas Allah mencantumkan kalimat “DHON” pada ayat-ayat tersebut. Bahkan para ulama ahli tafsir memaknai kalimat “DHON” dalam ayat- ayat diatas sebagai dhon yang kuat atau bahkan keyakinan.

Bahkan didalam Kamus Arab Indonesia karya Prof. H Mahmud Yunus pada halaman 249 disebutkan :

DHONNUN – DHUNUUNUN (j) berarti : Sangkaan, Dugaan, YAKIN, Syak.

Kamus ini dicetak dan diterbitkan oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir al Qur’an yang diketuai oleh Prof. H Bustami Abd. Gani pada tahun 1973 di Jakarta.

Jadi DHON dapat bermakna yakin dan tidak selalu bermakna syak.

Penyimpangan tafsir yang terjadi pada Hizbut Tahrir seperti diatas kemungkinan muncul karena adanya pendapat Taqiyyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir), yang tentu saja akan didukung pengikutnya mengingat pendapat tersebut tercantum dalam kitab mutabanat Hizbut Tahrir, yaitu kitab-kitab yang isinya merupakan harga mati bagi pengikut Hizbut Tahrir.

Berkata Taqiyyuddin (pendiri Hizbut Tahrir) :

“Jadi aqidah seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah terbukti kebenaran dasarnya oleh akal. Seorang muslim wajib meyakini (menjadikan sebagai aqidah) segala sesuatu yang telah terbukti dengan akal atau yang datang dari sumber berita yang yakin dan pasti (Qath’i), yaitu apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Qur’an dan hadits mutawatir. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan tadi, yaitu akal serta nash al qur’an dan hadits mutawatir, HARAM baginya untuk mengimaninya (menjadikan sebagai aqidah)…..”.

(SUMBER : Peraturan Hidup dalam Islam, Penulis: Taqiyyuddin an Nabhani, Judul asli: Nidzomul Islam, Penerjemah: Abu Amin dkk, Penerbit: Pustaka Thariqul ‘Izzah Indonesia, Cetakan II (revisi), April 1993, halaman 12, paragraf ke-4 , baris ke-7 dari atas).

Taqiyudin juga Berkata :

“… Khabar ahad tidak memiliki kedudukan pada masalah aqidah, (maka) sesungguhnya khabar ahad dengan syarat-syarat yang terkandung di dalamnya menurut ilmu ushul al-Fiqh tidak bermanfaat kecuali dhon (praduga), dan dhon tidak diperhitungkan dalam bab aqidah (keyakinan).

(Taqiyyudin An-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, (Beirut : Al-Quds, 1953), cet. ke-2, Jilid 1 h.129.)

KEDUA :

Hadits Nabi yang Mutawatir hanya berjumlah 324 buah saja (lihat http://hadith.al-islam.com/), dan dari 324 buah hadits yang mutawatir tersebut hanya sekitar 200-an hadits saja yang memuat materi aqidah.

Sementara hadits yang shohih dalam bukhari dan muslim mencapai sedikitnya 13.000 buah (Bukhari+Muslim: Menurut penomoran al-Alamiyah, terdapat 5352 hadits dalam Shahih Muslim. Sedangkan menurut Abdul Baqi, ada 3033 hadits. Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’al-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.)

, dan dari 13.000 buah hadits shohih tadi didalam Shahih Muslim terdapat sedikitnya 650 hadits tentang aqidah begitu pula didalam shahih bukhari lebih dari itu sehingga terdapat lebih dari 1.500 hadits tentang aqidah yang terjamin keshohihannya.

TERNYATA DARI 1.500-an HADITS AQIDAH YANG SHOHIH, HANYA 200-an SAJA YANG MUTAWATIR.

JADI 86,66 % HADITS NABI YANG MEMUAT AQIDAH (dalam Bukhori dan Muslim) ADALAH HADITS AHAD.

Jika mengimani hadits ahad itu haram hukumnya sebagaimana fatwa pendiri Hizbut Tahrir Taqiyyuddin an Nabhani, maka tentunya Nabi pun tidak akan meriwayatkan hadits aqidah secara ahad.

Namun kenyataannya 80 % hadits Nabi yang memuat aqidah justru diriwayatkan Nabi secara ahad ketika sedang berdua atau sedang bersama sedikit shahabat tanpa mengumpulkan shahabat.

Didalam Islam terdapat sebuah kaidah, jika sesuatu itu hukumnya haram maka jalan menuju sesuatu itu juga haram hukumnya.

Misalnya berzina itu haram maka ikhtilat (campur baur) dan khalwat (menyendiri) dengan lawan jenis yang bukan mahram secara umum haram hukumnya karena merupakan jalan menuju zina.

Begitu pula meminum khamr (mabuk) itu haram maka membuat khamr dan menjual khamr haram juga hukumnya.

Contoh lain berjudi itu haram maka membuat dan membeli peralatan judi (kasino) juga haram hukumnya.

Jika mengimani aqidah dari hadits ahad itu haram maka meriwayatkan hadits aqidah secara ahad pun seharusnya haram hukumnya. Namun kenyataannya sebagian besar hadits Nabi adalah diriwayatkan secara ahad. Maka apakah mungkin Nabi melakukan perbuatan yang haram ???

Sungguh aneh jika para syabab meyakini bahwa Nabi tidak mungkin meriwayatkan hadits aqidah pada beberapa gelintir orang saja, darimana keyakinan ini diperoleh ?.

Faktanya Nabi bahkan pernah mengajarkan aqidah kepada Muadz bin Jabal ketika berboncengan berdua saja diatas kendaraan.

Dari shahabat Muadz bin Jabal radliallahuanhu beliau menuturkan :

“Aku pernah dibonceng Nabi diatas seekor keledai. Lalu beliau bersabda kepadaku: “ Hai Muadz, tahukah kamu apa hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya dan apa hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah ?”. Aku menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” . Beliau pun bersabda: “Hak Allah yang wajib dipenuhi oleh para hamba Nya ialah supaya mereka beribadah kepada Nya saja dan tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya; sedangkan hak para hamba yang pasti dipenuhi Allah adalah: bahwa Allah tidak akan menyiksa orang yang tidak berbuat syirik sedikitpun kepada Nya”. Aku bertanya: “Ya Rasulullah, tidak perlukah aku menyampaikan kabar gembira ini kepada orang-orang?”. Beliau menjawab: “Janganlah kamu menyampaikan kabar gembira ini kepada mereka, sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri”.

(Lihat Shahih Muslim Kitabul Iman Bab Man LaqiyAllahu ta’ala bil Iman Ghaira Syakki fihi Dakholal Jannah dan Shahih Bukhari No.2856).

Jika alasannya karena Nabi tidak akan menyembunyikan ilmu pada beberapa orang saja maka bukankah Nabi telah bersabda “Sampaikan dariku walaupun satu ayat”, dengan adanya perintah ini maka Nabi tidak bersalah jika hanya meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa gelintir shahabat saja mengingat mereka punya kewajiban menyebarluaskannya.

Maka sunnah perbuatan Nabi mengatakan bahwa mengimani hadits ahad yang shohih adalah wajib hukumnya.

KETIGA :

Para shahabat dalam riwayat yang shohih juga me-WAJIB-kan mengimani hadits ahad meskipun tentang aqidah,

Simak riwayat berikut :

Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu). (Atsar shahih riwayat Bukhari, No.202)

Adapun riwayat-riwayat lain tentang Umar menolak penyampaian hadits dari shahabat adalah lemah dan bertentangan dengan ayat al Qur’an al Hujurat ayat 6 : “In jaa akum faasiqun binaba’in fatabayyanu”. Yang mafhum mukholafah nya jika yang menyampaikannya bukan orang fasik (termasuk shahabat tentunya bukan orang fasik) maka tidak wajib ada tabayyun.

Dalam periwayatan hadits aqidah Umar tidak pernah mempersyaratkan saksi penguat dari shahabat lain atau dengan kata lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi perawi lain, kecuali dalam perkara Qadha’ wa syahadah.

KEEMPAT :

Hizbut Tahrir berdalih dengan kemutawatiran ayat ayat dalam mushaf Utsmani dan fakta bahwa para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam pembukuan al Qur’an (mushaf utsmani).

Maka ini adalah pembodohan terhadap ummat Islam tanpa menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

Padahal para shahabat menolak masuknya riwayat ahad ke dalam al Qur’an bukan karena dalil aqidah itu wajib mutawatir akan tetapi semata-mata karena hal itu sunnah Nabi. Yaitu berdasar perilaku Nabi bahwa :

1. Nabi tidak pernah meriwayatkan wahyu (ayat al Qur’an) tanpa mengumpulkan shahabat.

2. Nabi selalu menyuruh juru tulis al Qur’an dan para shahabat untuk menulis wahyu yang turun tersebut.

3. Nabi selalu mengulang-ulang ayat-ayat al Qur’an didepan majelis shahabat dan ketika beliau menjadi imam Sholat.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan periwayatan hadits, baik masalah aqidah maupun hukum Islam lainnya, karena ketika meriwayatkan sebuah hadits :

1. Nabi tidak selalu mengumpulkan shahabat bahkan terkadang hanya berdua saja dengan seorang shahabat.

2. Nabi melarang menulis hadits akan tetapi mewajibkan menyebarluaskannya.

3. Nabi tidak mengulang hadits secara persis lafadz haditsnya akan tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sehingga jelas bahwa kemutawatiran al Qur’an tidak bisa dijadikan dalil mengharamkan meyakini hadits ahad yang shohih.

Karena al Qur’an pada asalnya memang mutawatir dan tidak mungkin ahad sedangkan hadits pada asalnya lazim secara ahad.

Selain itu ditemukan fakta bahwa sebenarnya justru pada mushaf utsmani ada ayat yang ahad periwayatannya yaitu at Taubah ayat terakhir.

Imam Bukhari menulis dalam shahihnya sebuah riwayat yang panjang dari Zaid bin Tsabit yang diminta abu bakar mengumpulkan al qur’an dst Zaid bin Tsabit berkata : “…. HINGGA AKU DAPATI AKHIR SURAT AT TAUBAH PADA ABU KHUZAIMAH AL ANSHARI DAN AKU TIDAK MENDAPATKAN ITU DARI SHAHABAT YANG LAIN, YAITU AYAT LAQAD JA’AKUM RASULUN …dst”.
(lihat al itqann fil ulumil qur’an bab tertib alqur’an dan penghimpunannya)

Maka kesimpulannya ternyata memang ada ayat yang tidak mutawatir dalam mushaf al Qur’an, misalnya dalam kasus ini adalah ayat dari abu khuzaimah al anshari yaitu ayat akhir surat at Taubah.

Jadi meskipun al Qur’an sendiri asalnya memang wajib mutawatir namun mushaf al Qur’an sendiri tidak semua ayatnya mutawatir karena dibukukan saat kondisi para shahabat penghafal banyak yang wafat dalam perang.

Demikian sedikit yang dapat saya sampaikan, kebenaran tidak selalu ada pada diri saya, namun dalil yang saya utarakan kiranya cukup kuat untuk membuktikan kekeliruan aqidah Taqiyyuddin dan jumhur syabab Hizbut Tahrir.

Hidayah kembali kepada Allah subhanahu wata’ala, semoga Allah memudahkan kita menggapainya.


SYUBHAT 1: 

Ada sebuah kisah dari bal-Miswar bin Makhramah, ia berkata bahwa Umar bin Khaththab bermusyawarah dengan para sahabat tentang janin seorang wanita, kemudian al-Mughirah bin Syu’bah berkata,

“Saya menyaksikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan (tentang diyat memukul perut seorang ibu sehingga sampai menjatuhkan janin yang ada di dalam perutnya) dengan budak laki-laki atau perempuan. al-Mughirah berkata, “Kemudian Umar berkata, ‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.’ al-Mughirah berkata, “Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian tentang keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu”

(HR. Muslim dalam Kitab Shahih Muslim halaman 1311, juz III.)

Perhatikan kata-kata Umar bin Khaththab ra: “‘DATANGKAN KEPADAKU ORANG YANG MENYAKSIKAN BERSAMAMU TERHADAP KEPUTUSAN NABI shallallahu ‘alaihi wa sallam ITU.”

Pertanyaan untuk antum mengenai penolakan Umar bin Khaththab radhiyaLlahu ‘anhu terhadap hadits dari al-Mughirah ini, apakah Umar bisa disebut sebagai orang yang mengingkari hadits dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sedangkan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang Adil termasuk al-Mughirah, bahkan Allah sendiri yang mengukuhkan keadilan para sahabat yang mulia..

Lantas apakah dengan kisah diatas antum masih meyakini bahwa para sahabat berpendapat bahwa hadits yang diriwayatkan oleh seorang itu sampai kepada tingkat yaqiniy? Kalau begitu, yang dilakukan oleh Umar itu bagaimana menurut anda?

BANTAHAN:
Saya heran dengan anda yang mengatakan HT tidak mengingkari aqidah dari hadits ahad yang shohih padahal anda kemudian menuliskan atsar Umar untuk menguatkan penolakan anda pada khabar ahad.
Saya tahu HT tidak mengingkari tapi HT juga tidak mengimani 100% kan ??? . Makanya dalam judul saya tulis MERAGUKAN AQIDAH NABI dan bukannya MENGINGKARI AQIDAH NABI.

Sebelum saya jawab ada satu hal yang ingin saya nasihatkan yaitu agar para syabab dan daris HT merubah pola pengambilan dalil mereka yaitu pertama harus merujuk dulu pada al Qur’an, baru kemudian as Sunnah, baru kemudian atsar shahabat, baru kemudian ulama.

Saya sudah sampaikan dalil ayat al Qur’an bahwa Allah memuji Dhon kuat kaum muslimin dalam aqidah yang lurus (lihat kembali tulisan diatas)

Saya juga sudah sampaikan dalil as sunnah yaitu Nabi terbiasa meriwayatkan hadits dengan satu orang atau dua orang shahabat saja, dan tidak ada perintah atau kewajiban bagi Nabi untuk meriwayatkan aqidah secara mutawatir, sehingga Nabi terbiasa meriwayatkan hadits aqidah kepada beberapa shahabat saja bahkan terkadang satu orang shahabat saja pun Nabi berkenan meriwayatkannya tanpa meminta para shahabat berkumpul terlebih dahulu, dan ini banyak dalilnya dalam hadits Nabi (lihat kembali tulisan diatas)

SEMENTARA anda berdalil dengan perbuatan shahabat belaka, MAKA dalil anda tidak bisa menandingi dalil al Qur’an dan as Sunnah. JADI TERTOLAK.

Namun baiklah saya tetap akan menjawab pernyataan saudara,
Jawaban saya sebagai berikut :

Jika anda mau jujur dalil atsar shahabat Umar yang anda bawakan sebenarnya tidak menyangkut materi aqidah akan tetapi berisi syariat hukum tata cara pengadilan dan persaksian dalam Islam (Qadha’ wa Syahadah) dan memang dalam perkara ini mengharuskan saksi sebagaimana QS Al Baqarah 282 dan hadits shohih dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah memutuskan perkara atas dasar sumpah dan saksi, sehingga sikap Umar sudah tepat yaitu meminta saksi karena ini perkara pengadilan, bukan karena Umar meragukan shahabat akan tetapi memang dalam syariat pengadilan Islam (Qadha’) mengharuskan saksi.
Sehingga dalil yang anda bawakan tidak ada kaitannya dengan dalil pengambilan aqidah dari hadits ahad dan tidak bisa digunakan pijakan meragukan aqidah dari hadits ahad yang shohih.

Dalil dalam perkara ini justru yang lebih relevan adalah riwayat shahih dari shahabat Umar dan putranya (abdullah bin Umar) sbb :
“Abdullah bin Umar bertanya pada ayahnya, yaitu Umar bin Khathab tentang hadits bertemakan ‘aqidah ru’yatullah yang disampaikan Sa’ad bin Abi Waqqash kepadanya, maka Umar berkata padanya : “Jika Sa’ad meriwayatkan sesuatu kepadamu dari Nabi, maka jangan engkau bertanya lagi kepada selainnya tentang sesuatu itu”(maksudnya ambilah riwayat itu)”. (Atsar shahih riwayat Bukhari, No.202)

Riwayat diatas jelas-jelas berisi perintah Umar kepada anaknya untuk mengimani aqidah dari hadits ahad, karena isi atsar diatas lebih tepat pada pokok permasalahan jadi inilah yang lebih kuat.

Saya berharap anda berkenan membandingkan atsar yang saya hadirkan sebagai dalil dengan atsar yang anda gunakan sebagai dalil.
Manakah dari keduanya yang lebih sesuai dalam perkara aqidah yang bersumber dari riwayat ahad ?
Jika kita mau jujur, maka kesimpulan sikap shahabat Umar bin Khathab menurut dalil-dalil yang saya bawa dan dalil-dalil yang anda bawa mestinya sebagai berikut :

1. Dalam periwayatan hadits untuk perkara hukum qadha’ wa syahadah maka Umar mengharuskan adanya saksi.
2. Dalam periwayatan hadits untuk perkara aqidah maka Umar tidak mengharuskan adanya saksi, bahkan melarang mencari saksi.

Jika anda masih menganggap bahwa adanya saksi perawi lain adalah persyaratan diterimanya hadits oleh Umar, maka mafhum mukholafahnya berarti anda juga menganggap setiap hendak meriwayatkan hadits maka sang periwayat wajib menghadirkan saksi.

Padahal faktanya, ketika anak-anak umar bin khathab meriwayatkan hadits dari Nabi dan hadits tersebut adalah hadits aqidah yang ahad, mereka tidak menghadirksn saksi saat meriwayatkannya, karena begitulah prinsip yang diajarkan Umar kepada mereka.

Berikut bukti-buktinya :

1. Ketika Hafshah bintu Umar meriwayatkan hadits dibawah ini, ia tidak menghadirkan saksi sebagai persyaratannya :
Hafshah bintu Umar berkata : Tidakkah kau tahu Rasulullah bersabda : “Dia (Dajjal) keluar hanyalah karena satu amarah yang ia rasakan”. (HSR Muslim No. 2932)

2. Ketika Abdullah Ibnu Umar meriwayatkan hadits dibawah ini, ia tidak menghadirkan saksi sebagai persyaratannya :
Abdullah bin Umar berkata : Rasulullah bersabda : “… Ketahuilah dia (dajjal) itu buta sebelah matanya, adapun Allah tidaklah demikian”. (HSR Bukhari Muslim No. 2930)

Hal tersebut diatas adalah bukti betapa Umar mengajarkan kepada anak-anaknya (Hafshah dan Abdullah) untuk tidak mempersyaratkan adanya saksi saat periwayatan hadits aqidah secara ahad.

Bahkan Umar sendiri tidak pernah menghadirkan saksi saat beliau meriwayatkan hadits dari Rasulullah.
Contoh :
Dari Umar bin Khathab, ia berkata : Rasulullah bersabda : “… Apabila (seseorang menjawab lafadz muadzin) dengan jawaban sepenuh hatinya maka ia akan masuk Surga”. (HSR Muslim)

Dalam meriwayatkan hadits diatas Umar tidak menghadirkan saksi atau dengan kata lain beliau tidak pernah mempersyaratkan adanya saksi, kecuali dalam perkara Qadha’ wa syahadah.

Nah, hal ini semakin membuat dalil anda tidak berguna sama sekali karena ada atsar shahih yang bertentangan dan lebih sesuai dengan pokok permasalahan.

Kesimpulannya adalah anda dan syabab Hizb menggunakan dalil bukan dari Al Qur’an dan as Sunnah dan parahnya dalil dalil yang anda dan para syabab bawa ternyata tidak sesuai dengan permasalahan dan penuh friksi (pertentangan).

SYUBHAT 2:
 
dalil-dalil al-Qur’an yang mencela orang-orang yang mengambil zhan dalam ‘aqidah adalah Firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلَائِكَةَ تَسْمِيَةَ الْأُنْثَى وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Sesungguhnya orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. (TQS. an-Najm [53]: 27-28)

Juga firman-Nya:

وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran… (TQS. Yunus [10]: 36)

Juga firman-Nya:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS. al-An’âm [6]: 116)

Juga firman-Nya:

كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا قُلْ هَلْ عِنْدَكُمْ مِنْ عِلْمٍ فَتُخْرِجُوهُ لَنَا إِنْ تَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta. (TQS. al-An’âm [6]: 148)

Maka semua ayat ini sharîh (jelas) mengecam orang-orang yang mengikuti zhann, dan jelas dalam mencela orang-orang yang tidak mengikuti hujjah, bukti dan dalil yang qath’i dalam masalah ‘aqidah. Kecaman terhadap mereka, pengungkapan aib mereka, dan celaan kepada mereka, merupakan dalil pelarangan yang bersifat pasti (tegas) agar tidak mengikuti zhann. Serta merupakan larangan yang pasti agar tidak mengikuti segala sesuatu yang tidak dibangun di atas dalil yang qâthi’ (memastikan). Hal ini khusus dalam perkara ‘aqidah, dan tidak meliputi perkara hukum syara. Demikianlah pendapat mayoritas ‘ulama kaum muslimin .

Al-Ghazâli mengatakannya dalam kitab Al-Mustashfa, juga al-Baghdadi dalam kitab Al-Faqîh wa al-Mutafaqih, serta pada kitab lainnya. Juga al-Qâdhi al-Baydhâwi dalam tafsirnya terhadap ayat surat an-Najm dan Yunus “Sesungguhnya persangkaan (Zhann) itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”

Juga ar-Râzi dalam tafsirnya terhadap ayat tadi. Juga an-Nawawi dalam kitab Tadrîb ar-Râwi li as-Suyûthi. Juga Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi zhilâl al-Qur’ân terhadap surat al-Falaq. Begitu juga mereka yang mengatakan bahwa khabar ahad tidak memiliki faedah qath’i. Dan juga mayoritas ‘ulama seperti al-Ghazali, al-Amidi, Abu Ishaq as-Syiyrâzi, serta para ‘ulama salaf selain mereka. Silahkan antum Lihat kitab-kitab mereka dalam bidang ushul.

BANTAHAN:
Ayat-ayat yang anda tulis diatas (yang juga sering di jadikan acuan HT), tidak bisa dijadikan hujjah haramnya semua DHON karena yang diharamkan dalam ayat ayat ini hanyalah DHON yang lemah atau syak yang berisi aqidah kaum kafir (lihat asbabun nuzul ayat juga), seperti :

- Persangkaan bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28),
- Persangkaan bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157),
- Persangkaan bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148),
- Persangkaan bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), .

Jadi tidak semua DHON lantas diharamkan, dipukul rata, disamakan dengan DHON2 lemah yang berisi kekufuran yang diharamkan pada ayat-ayat tersebut.

Adapun kaidah Ushul “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” menyebabkan ayat- ayat diatas yang asbabun nuzulnya diperuntukkan hanya untuk kaum kafir saja menjadi diperuntukkan juga bagi kaum muslimin yang mengikuti DHON lemah kaum kafir diatas.

Jadi kaidah tersebut tidak lantas mengubah makna ayat menjadi semua jenis DHON adalah haram diimani, sebagaimana kesimpulan penafsiran Hizbut Tahrir selama ini.

Dalam hal ini Hizbut Tahrir telah menafsirkan ayat secara aneh dengan memelintirkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” secara keliru sehingga sangat berbahaya bagi ummat Islam yang awwam dalam memahami kaidah ini.

Untuk jelasnya dalam memahami kaidah mulia ini mari kita lihat QS al Baqarah : 170,

Allah berfirman yang artinya :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang kafir) : “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”. (QS al Baqarah : 170).

Ayat ini berdasarkan kaidah “Al Ibratu bi Umuumil lafdhi la bi khushuushis Sabab” berarti peruntukan ayat ini tidak hanya ditujukan pada orang kafir sebagaimana asbabun nuzulnya, akan tetapi juga ditujukan pada kaum muslimin yang mengikuti perbuatan maksiat nenek moyangnya.

Namun tidak lantas ditafsirkan bahwa semua perbuatan nenek moyang adalah haram diikuti, karena yang dimaksud perbuatan nenek moyang dalam ayat ini adalah yang maksiat saja khususnya kesyirikannya. Adapun perbuatan nenek moyang yang sholih (misalnya perbuatan Ibrahim yang berkorban hewan ternak, menunaikan haji, serta mengkhitan anaknya), maka justru wajib diikuti.

Demikian pula tafsir ayat al Qur’an yaitu : Qs. an-Nisa’ : 157; Qs. al-An’am : 116, 148; Qs. Yunus : 36, 66; dan Qs. an-Najm : 23, 28, yang oleh Hizbut Tahrir disimpulkan kandungan ayat-ayat ini adalah “semua jenis DHON haram diimani”, ini adalah kesalahan fatal mengingat maksud DHON dalam ayat-ayat ini adalah terbatas pada DHON lemah yang berisi kekufuran saja, seperti misalnya; DHON bahwa Isa alaihis salam mati dibunuh (an Nisa’ 157), DHON bahwa Allah memiliki anak (al An’am 116, 148), DHON bahwa Allah tidak melarang kesyirikan (al An’am 148), DHON bahwa ada sekutu Rabb selain Allah (Yunus 36, 66 dan an Najm 23,28).

DHON lemah seperti inilah yang dilarang untuk diimani, dan bukan berarti semua jenis DHON adalah dilarang untuk diimani.

Bahkan al Qur’an secara jelas menyatakan bahwa DHON kuat yang bisa berubah menjadi keyakinan yang berasal dari aqidah tauhid ummat Islam WAJIB diimani, berdasarkan ayat ayat al Qur’an berikut :

QS al Baqarah 45-46, QS. at Taubah : 118, QS. al Haaqqah : 21-20 , dan QS. al Baqarah : 249.

Untuk jelasnya simak arti ayat-ayat al Qur’an berikut :

“ Sesungguhnya aku memiliki DHON, bahwa Sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridhai”. (QS. al Haaqqah : 20-21)

“……. orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. al Baqarah : 249).

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, dan mereka memiliki DHON bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. at Taubah : 118)

“……orang yang khusyu’ adalah orang-orang yang memiliki DHON bahwa mereka akan bertemu dengan Rabb mereka …..”. (QS al Baqarah 45-46)

Semua ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memuji orang orang yang beriman memiliki DHON kuat yang sesuai dengan ajaran Islam yang bisa menjadi bermakna keyakinan .