Selasa, 26 Juli 2016

Sunnah menyisir rambut kanan dahulu


hadits ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِي شَأْنِهِ كُلِّهِ فِي نَعْلَيْهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ

"Dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mendahulukan sebelah kanan dalam seluruh urusannya, dalam memakai sandal, menyisir dan bersucinya" [HR Muslim no 396]

Hati-hati..! Doa malaikat mustajab baik ataupun buruk


Asy-Syaikhani meriwayatkan dari Abu Hurairah pula ia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ.

“Jika seorang wanita tidur dengan meninggalkan tempat tidur suaminya, maka para Malaikat melaknatnya sampai pagi.”Dan di dalam riwayat yang lain:

حَتَّى تَرْجِعَ.

“Sehingga si istri itu kembali.”[Muttafaq ‘alaihi. Shahiih al-Bukhari kitab an-Nikah bab Idza Baatat al-Mar-ah Muhaajirah Firaasy Zaujiha (no. 5194) dan Sha-hiih Muslim kitab an-Nikaah bab Tahriim Imtinaa-iha min Fi-raasyi Zaujiha (II/1059 no. 120 (1436)), dengan lafazh miliknya.]

 Al-Imam Abu Hamzah mengungkapkan faidah lain dari hadits ini, beliau rahimahullah berkata, “Di dalamnya ada sebuah dalil bahwa do‘a Malaikat, yang baik atau yang buruk adalah sebuah do‘a yang diterima, karena di dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam dengan hal tersebut.”[di nukil dari kitab Fat-hul Baari (X/8).]

Istri yg dibenci suami tidak diterima sholatnya


Ada hadits lain lagi yang menunjukkan sikap seperti ini, di antaranya adalah:

Pertama: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثٌ لاَ تُقْبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ، وَلاَ تُصْعَدُ لَهُمْ إِلَى اللهِ حَسَنَةٌ: السَّكْرَانُ حَتَّى يُصْحَى، وَالْمَرْأَةُ السَّاخِطُ عَلَيْهَا زَوْجُهَا، وَالْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ فَيَضَعُ يَدَهُ فِي يَدِ مَوَالِيْهِ.

“Ada tiga orang yang shalatnya tidak akan diterima, dan kebaikan mereka tidak akan naik kepada Allah, (1) orang yang mabuk sehingga dia sadar, (2) seorang wanita yang dibenci oleh suaminya, dan (3) seorang hamba sahaya yang lari sehingga dia kembali dan meletakkan tangannya di tangan tuannya.”[ Dinukil dari kitab Majma’uz Zawaa-id wa Manbaul Fawaa-id kitab an-Nikaah bab Haqqul Zauj ‘alal Mar-ah (IV/313). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath, dan di dalamnya ada Muhammad bin Uqail, haditsnya hasan, di dalamnya ada kelemahan, sedangkan yang lainnya tsiqah.”]

Kedua: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan juga dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا: عَبْدٌ آبِقٌ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْهِمْ، وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ.

“Ada dua orang yang shalat mereka tidak pernah melewati kepala mereka: (1) seorang hamba sahaya yang lari dari tuan-tuannya sehingga ia kembali kepada mereka, dan (2) seorang wanita yang berbuat maksiat kepada suaminya sehingga ia kembali.”[. Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id. Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitab ash-Shagir dan al-Ausath dengan perawi yang tsiqah.]

Fenomena sayap dan ceker ayam

Ada yg menuduh disuntik dg bahan berbahaya.
Jangan berlebihan,jangan cepat mengvonis.telitilah..!
Dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyalllahu anhuma ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

...وَإِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِيْ الدِّيْنِ، فَإِنَّمَـا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِيْ الدِّيْنِ

‘... Dan jauhilah oleh kalian sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena sikap ghuluw (berlebihan) dalam agama.’”

TAKHRIJ HADITS :
Hadits ini shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (I/215, 347); An-Nasâi (V/268); Ibnu Mâjah (no. 3029); Ibnu Khuzaimah (no. 2867); Ibnu Hibbân (no. 3860-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân) dan (no. 1011-Mawâriduzh Zham'âan ila Zawâidi Ibni Hibbân); Ibnul Jârûd (no. 473); Al-Hâkim (I/466), ia menshahihkannya sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim dan adz-Dzahabi menyepakatinya; Al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (V/127).

`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[Hadits riwayat Muslim (2670).]

Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."[Hadits riwayat Abu Dâwud dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah (3124).]

Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."[ Hadits riwayat al-Bukhâri.]

Kalau tidak tahu maka kembalikan ke hukum asalnya.
Hukum asal makanan adalah halal,kecuali punya bukti keharamannya
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ قَرَارًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ

Allâhlah yang menjadikan bumi bagi kamu tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentuk kamu lalu membaguskan rupamu serta member kamu rezeki dengan sebagian yang baik-baik [al-Mukmin/40:64].

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

Dan di (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk [al-A’râf/7:157].

Mari kita perhatikan kaedah yang telah disimpulkan Syaikh Shaleh al-Fauzân mengenai manhaj Islam dalam menghalalkan dan mengharamkan yang menunjukkan salah satu keindahan Islam : 'Setiap barang yang thâhir (suci lawan dari najis), yang tidak mengandung bahaya sama sekali, seperti biji-bijian, buah-buahan, hewan-hewan hukumnya halal. Dan setiap barang najis, seperti bangkai dan darah, atau barang yang mutanajjis (terkena najis) dan setiap barang yang mengandung madharat (bahaya) semisal racun dan lainnya hukumnya haram (dikonsumsi)' (al-Ath'imah hlm. 28).

Jangan pula menuduh HOAX kalau tidak punya bukti ilmiah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَـا ؛ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لَادَّعَى رِجَالٌ أَمْوَالَ قَوْمٍ وَدِمَاءَهُمْ ، وَلَكِنِ الْبَيِّنَةُ عَلَـى الْـمُدَّعِيْ ، وَالْيَمِيْنُ عَلَـى مَنْ أَنْكَرَ 

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya (setiap) orang dipenuhi klaim (tuduhan) mereka, maka tentu akan ada orang-orang yang akan mengklaim (menuduh/menuntut) harta dan darah suatu kaum,namun barang bukti wajib bagi pendakwa (penuduh) dan sumpah wajib bagi orang yang tidak mengaku/terdakwa.”

TAKHRIJ HADITS
Imam Nawawi mengatakan, “Hadits ini hasan.” Diriwayatkan dalam kitab :
1. as-Sunanul Kubra karya al-Baihaqi (X/252, V/331-332)).
2. Shahîh al-Bukhari (no. 4552),
3. Shahîh Muslim (no. 1711),
4. Mushannaf ‘Abdurrazzâq (no. 15193),
5. Sunan Ibni Mâjah (no. 2321),
6. al-Mu’jamul Kabîr Ath-Thabrani (no. 11224),
7. Syarh Ma’ânil Aatsâr (III/191), dan
8. Shahîh Ibni Hibbân (no. 5059-5060-at-Ta’lîqâtul Hisân).
Intinya hukum asalnya halal kecuali ada bukti ilmiah yg jelas dari pemerintah seperti depkes.bukan fatwa dokter individu.

Senin, 25 Juli 2016

Setinggi apa cita-citamu...?


Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya cita-cita itu ada dua macam, (pertama) cita-cita yang kembalinya kepada dubur (makanan) dan qubul (seks); dan (ke dua) cita-cita yang terikat dengan yang berada di atas ‘Arsy, yaitu Allah Ta’ala.” [Al Fawaa-id, karya Ibnul Qoyyim rahimahullah. Dikutip dari Kaifa Tatahammasu li Tholabil ‘Ilmi Syar’i, hal. 16-17.]

Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,“Jika Engkau melihat ada seseorang yang menyaingimu dalam masalah dunia, maka saingilah dia dalam masalah akhirat.” [] Lathooiful Ma’aarif, hal. 428]

Wuhaib bin Warod rahimahullah mengatakan,“Jika Engkau mampu agar tidak ada seorang pun yang mendahuluimu menuju Allah, maka lakukanlah!” [Lathooiful Ma’aarif, hal. 428.]

Mencegah kemungkaran lebih berat dari menyuruh kebaikan


Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu mendengar orang berkata, “Binasalah orang yang tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak melarang dari kemungkaran,” kemudian Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata :

هَلَكَ مَنْ لَـمْ يَعْرِفْ قَلْبُهُ الْـمَعْرُوْفَ وَيُنْكِرُ قَلْبُهُ الْـمُنْكَرَ

Binasalah orang yang hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.[ Atsar shahih: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (IX/no. 8564) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 38577). Imam al-Haitsami berkata dalam Majma’uz Zawaa-id (VII/275), “Rawi-rawinya adalah rawi-rawi kitab ash-Shahiih.”]

Bencilah kemungkaran...! walau belum bisa mengubah


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا عُمِلَتِ الْـخَطِيْئَةُ فِـي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا كَرِهَهَا وَقَالَ مَرَّةً : أَنْكَرَهَا كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

Jika sebuah kesalahan dilakukan di muka bumi, maka orang yang melihatnya kemudian membencinya (Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda: lalu mengingkarinya) sama seperti orang yang tidak melihatnya sementara orang tidak melihatnya namun merestuinya maka sama seperti orang yang melihatnya.[Hasan: HR. Abu Dâwud (no. 4345) dari al-‘Urs bin ‘Amirah al-Kindi. Dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Hidâyatur Ruwât (no 5069).]

Minggu, 24 Juli 2016

Larangan berisik di majlis ilmu


Imam Adz Dzahabi menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata,“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Pena tak bersuara. Tidak ada yang bangkit. Seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat” [Tadzkiratul Hufadz 1/331]. Dan dalam riwayat yang lain,“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[Siyar A’lam Nubala 4/1470.]

Keturunan nabi belum tentu mewarisi ilmu nabi


ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal,“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ”. Demikian juga Imam Malik, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain,“Alhamdulillah, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.

Bid'ah sumber perpecahan,sunnah sumber persatuan


Perkataan ini diambil dari firman Allah.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk". [Ali Imran:103].

(Dalam ayat ini, Red.) Allah memulai dengan (perintah, Red.) berpegang teguh kepada al haq dan tali Allah, sebelum memerintahkan untuk bersatu …… Perhatikanlah !

Allah berfirman.

وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مَّآأَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ 

"Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka". [Al Anfal:63].

Namun setelah masa Khulafaur Rasyidin habis atau di akhir-akhir masa itu, mulai terjadi perpecahan dan keretakan. Kapankah hal itu terjadi? Jawabnya sangat jelas bagi orang yang mau merenungi dan berpikir, yaitu manakala bid’ah mulai muncul dan ketika hawa nafsu mulai keluar dari tempat persembunyiannya. Jadi bid’ah dalam agama merupakan sebab pertama terjadinya perpecahan umat ini, sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Allah berfirman.

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya". [Al An’am:153].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,“Perkara bid’ah itu diiringi oleh perpecahan, sebagaimana perkara sunnah pasti beriringan dengan jama’ah.” (Al Istiqamah, 1/2).

Larangan bermajlis dg ahli bid'ah


Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) rahimahullaah berkata mengomentari hadits ini, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan bermajelis dengan orang-orang shalih, orang-orang yang memiliki kebaikan, akhlak mulia, wara’, ilmu, dan adab. Dan (di dalamnya juga terdapat) larangan bermajelis dengan pelaku kejahatan, ahlul bid’ah, orang-orang yang membicarakan aib orang lain, dan yang selainnya dari berbagai macam perbuatan tercela.” [Syarah Shahiih Muslim lin Nawawi (XVI/178).]

Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu mengatakan,

لَا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْـرٍ مَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِـبَـلِ أَصْحَابِ مُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَكَابِرِهِمْ فَإِذَا أَتَاهُمُ الْعِلْمُ مِنْ قِبَلِ أَصَاغِرِهِمْ فَذَلِكَ حِيْنَ هَلَكُوْا.

“Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para Shahabat Nabi shallalaahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus Sunnah. Apabila mereka mengambil ilmu dari ahlul bid’ah, maka itulah saat kebinasaan mereka.”[Atsar shahih: Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dalam kitab az-Zuhd (no.764), ‘Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 20446, 20483), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/617, no. 1060).]

Obat lupa


Imam al-Bukhari (wafat th. 256 H) rahimahullaah pernah ditanya, “Apakah obat lupa itu?” Beliau menjawab, “Senantiasa melihat ke kitab.” (yaitu selalu membaca dan mengulangnya).[Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1227, no. 2414).]

ilmu agama berdasarkan pemahaman sahabat nabi


Imam al-Auza’i (wafat th. 157 H) rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang berasal dari para Shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang datang bukan dari seseorang dari mereka, maka itu bukan ilmu.” [ Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/618, no. 1067).]

ilmu dan ulama' mempunyai kedudukan tertinggi


Allah Subhanahu wa Ta’ala telah banyak memaparkan pentingnya menuntut ilmu dalam deretan firman-Nya yang mengagumkan.

"Artinya : Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." [Ali-Imran :18]

Berkata Imam Al Qurtubi rahimahullah dalam tafsirnya :
"Ayat ini adalah dalil tentang keutaman ilmu dan kemuliaan ulama. Seandainya ada orang yang lebih mulia dari ulama, sungguh Allah akan menyertakan nama-Nya dan nama malaikat-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman juga kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kemuliaan ilmu."

"Artinya : Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." [Thaha :114]

Maka seandainya ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta tambahan akan sesuatu itu, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan ilmu. [Tafsir Al-Qurthubi hal. 1283]

Disebut berilmu kalau diamalkan


Firman alloh:
"Artinya : Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui" [Az-Zumar : 9]

Imam Al Qurtubi rahimahullah berkata :
"Menurut Az-Zujaj Radhiyallahu ‘anhu, maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil manfaat dari ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmu serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak mengetahui" [Tafsir Al-Qurthubi hal. 5684]

Larangan berkata: saya belum dapat manfaat dari mencari ilmu ini...


Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Saya telah menuntut ilmu beberapa tahun, tetapi ilmu yang saya pelajari tidak dapat kokoh menetap (dalam hati) dan saya tidak merasakan faedahnya ?! Nasehatilah kami!

Jawaban
Jangan mengatakan saya tidak dapat faedahnya, karena seorang penuntut ilmu itu berada dalam suatu ibadah, dan tujuan menuntut ilmu itu adalah ridho Allah Jalla Jalaluhu atas hamba, dan kalian telah mengetahui (sebuah hadits) seorang lelaki yang datang dalam keadaan bertaubat dan malaikat maut datang untuk menjemput nyawanya. Maka malaikat rahmat dan malaikat azab berselisih tentang keadaan orang tersebut. Malaikat rahmat berkata : “Ia datang dalam keadaan bertaubat menghadapkan hatinya kepada Allah Jalla Jalaluhu, sedangkan malaikat azab berkata : “Ia belum beramal sedikitpun. Lalu datanglah malaikat dalam bentuk manusia, malaikat rahmat dan malaikat azab menjadikannya sebagai hakim. Malaikat itu berkata : “Ukurlah di antara dua tempat (tempat yang dituju dan tempat yang ditinggalkan), jika dekat dengan salah satu dari dua tempat itu maka ia termasuk golongannya. Merekapun mengukur dan didapati bahwa orang yang bertaubat lebih dekat dengan tempat yang dituju, maka malaikat rahmatpun membawanya. Lelaki yang bertaubat ini diampuni, Karena perginya ia (ke tempat kebaikan) dinilai baik baginya.

Dengan demikian langkah penuntut ilmu adalah ibadah, sebagaimana langkah seorang yang behijrah untuk bertaubat ke negeri yang baik. Dan menuntut ilmu lebih baik bagimu dari melakukan shalah sunnah, atau ibadah-ibadah sunnah lainnya. Oleh sebab itu kita harus mempunyai niat yang baik, dan bukanlah tujuan menuntut ilmu agar anda menjadi seorang alim atau tetap sebagai penuntut ilmu. Akan tetapi tujuan engkau menuntut ilmu adalah menghilangkan kebodohan dari dirimu, dan agar beribadah kepada Allah Jalla Jalaluhu dengan ibadah yang benar, dan anda selamat dari syubhat, selamat dari cinta kemashuran.

Allah berfirman.

“Artinya “ Pada hari harta dan anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” [Asy-Syu’araa : 88-89]

“Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, kami tidak menyia-nyiakan amal orang yang berbuat baik” [Al-Kahfi : 30]

Dan jika anda tidak dapat memberi manfaat kecuali hanya dirimu dan keluargamu, tentulah yang demikian itu terdapat kebaikan yang banyak.

Memaafkan itu tidak wajib, berhati-hatilah..Jangan mudah menyakiti


Allah berfirman :

"Artinya : Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" [Asy Syuura : 40]

Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?

Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".

Wajibnya berdiri walaupun bungkuk


Diwajibkan juga bagi orang yang mampu berdiri walaupun dengan menggunakan tongkat, bersandar ke tembok atau berpegangan tiang, berdasarkan hadits Ummu Qais Radhiyallahu 'anha yang berbunyi:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَسَنَّ وَحَمَلَ اللَّحْمَ اتَّخَذَ عَمُودًا فِي مُصَلَّاهُ يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ 

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berusia lanjut dan lemah, beliau memasang tiang di tempat shalatnya sebagai sandaran" [HR Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah Ash-Shohihah 319]

Demikian juga orang bungkuk diwajibkan berdiri walaupun keadaannya seperti orang rukuk.[ Lihat al-Mughnî 2/571]

Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Diwajibkan berdiri bagi seorang dalam segala caranya, walaupun menyerupai orang ruku’ atau bersandar kepada tongkat, tembok, tiang ataupun manusia”.[ Syarhu al-Mumti’ ‘Alâ Zâd al-Mustaqni’ 4/459]

Boleh bertanya: adakah dalilnya?


Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148 ,“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.

Berkurangnya penghafal alqur'an tanda dekat kiamat


‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata:

لَيُنْزَعَنَّ الْقُرْآنُ مِنْ بَيْنِ أَظْهُرِكُمْ، يُسْرَى عَلَيْهِ لَيْلاً، فَيَذْهَبُ مِنْ أَجْوَافِ الرِّجَالِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ.

“Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [HR. Ath-Thabrani, dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi kitab-kitab ash-Shahiih, selain Syaddad bin Ma’qal, ia adalah tsiqat (Majma’uz Zawaa-id VII/329-330).
Ibnu Hajar berkata, “Sanadnya shahih, akan tetapi hadits ini mauquf.” (Fat-hul Baari XIII/16).
Komentar saya, “Hadits seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan akal, maka hukumnya sama dengan hukum marfu’.]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” [. Majmuu’ al-Fataawaa (III/198-199).]

Tanda dekat kiamat: yg bodoh tidak mau belajar,yg berilmu tidak mengamalkan


Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ.

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [Shahiih al-Bukhari, kitab al-‘Ilmu bab Raf’ul ‘Ilmi wa Zhuhuurul Jahli (I/178, al-Fath), dan Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/222, Syarh an-Nawawi).]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [ Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).]

Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari:

وَيَنْقُصُ الْعَمَلُ.

“Dan berkurangnya pengamalan.” [Shahiih al-Bukhari, kitab al-Adab, bab Husnul Khuluq was Sakhaa’ wa Ma Yukrahu minal Bukhli (X/456, al-Fath).]

Sunnah membasuh tangan setelah bangun tidur


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلاَ يَغْمِسْ يَدَهُ فِى الإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلاَثًا فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ».

“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke bejana sampai dia membasuhnya tiga kali, karena sesungguhnya dia tidak mengetahui dimanakah tangannya bermalam.” (HR. Muslim).

Sabtu, 23 Juli 2016

Perbaharui iman ! karena bisa usang


Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhum, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ الإِيْمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ فَاسْأَلُوْا اللهَ تَعَالَى أَنْ يُجَدِّدَ الْإِيْمَانَ فِي قُلُوْبِكُمْ

Sesungguhnya keimanan itu bisa usang dalam hati salah seorang diantara kalian sebagaimana baju bisa usang, oleh karena itu, mohonlah kepada Allâh Azza wa Jalla agar Dia memperbaharui keimanan yang ada dalam hati kalian. [HR al-Hâkim (1/4) dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîhah, no. 1585]

Suatu ketika Umar bin al-Khattab Radhiyallahu anhu pernah mengatakan kepada para shahabat beliau Radhiyallahu anhu , “Marilah kita menambah keimanan kita.”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhuma juga pernah mengatakan, “Duduklah bersama kami untk menambah keimanan kita.” Beliau Radhiyallahu anhuma juga memanjatkan do’a :

اللَّهُمَّ زِدْنِي إِيْمَانًا وَيَقِيْنًا وَفِقْهًا

Wahai Allâh Azza wa Jalla ! Tambahkanlah untukku keimanan, keyakinan dan pemahaman.

Abdullah bin Rawâhah Radhiyallahu anhu pernah meraih tangan beberapa shahabatnya seraya mengatakan, “Ayo kita beriman sejenak! Mari kita mengingat Allâh Azza wa Jalla dan menambah keimanan dengan (melakukan) ketaatan! Semoga Allâh Azza wa Jalla mengingat kita dengan maghfirah-Nya.”

Abu Darda’ Radhiyallahu anhu mengatakan, “Diantara tanda faqihnya seseorang adalah dia mengetahui apakah dia termasuk yang bertambah ataukah berkurang imannya? Dan diantara tanda faqihnya seseorang yaitu dia mengetahui darimana tipu daya setan itu berdatangan?”

Umair bin Hubaib al-Khathami Radhiyallahu anhu mengetakan, “Iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Beliau ditanya, ‘Apa yang bisa menambahnya dan apa yang bisa menguranginya?’ Beliau Radhiyallahu anhu menjawab, “Jika kita berdzikir (mengingat) Allâh Azza wa Jalla , bertahmîd (memuji-Nya) dan bertasbih kepada-Nya. Itulah yang bisa menambahnya. Jika kita lalai, menyia-nyiakan-Nya dan melupakan-Nya, maka itu bisa menguranginya.”

Kikir bukan sifat seorang mukmin


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَـجْتَمِعُ الْإِيْمَانُ وَالشُّحُّ فِـيْ قَلْبِ عَبْدٍ أَبَدًا

Tidak akan pernah berkumpul antara keimanandan kekikirandi hati seorang hamba selama-lamanya[ Shahîh lighairihi : HR. Ahmad (II/342), al-Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad (no. 281), an-Nasa-i (VI/13-14), al-Baihaqi (IX/161), Ibnu Hibban (no. 3240-at-Ta’lîqâtul Hisân), dan al-Hakim (II/72), dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.].

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَثَلُ الْبَخِيْلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُنَّتَانِ مِنْ حَدِيْدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَىٰ تَرَاقِيْهِمَا، فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلَا يُنْفِقُ إِلَّا سَبَغَتْ، أَوْ وَفَرَتْ عَلَىٰ جَلْدِهِ حَتَّىٰ تُـخْفِـيَ بَنَانَهُ، وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ، وَأَمَّا الْبَخِيْلُ فَلَا يُرِيْدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلَّا لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا، فَهُوَ يُوَسِّعُهَا فَلَا تَتَّسِعُ

Perumpamaan orang yang kikir dan orang yang berinfak adalah seperti dua orang laki-laki yang memakai baju besi (perisai) yang menutup kedua susunya sampai ke tulang selangkanya. Adapun orang yang berinfak maka tidaklah dia berinfak melainkan akan berkembang baju besi yang dipakainya itu sampai menutupi bekas langkahnya. Sedangkan orang bakhil maka tidaklah dia hendak menginfakkan sesuatu melainkan akan semakin kuat lingkaran baju besi itu menempel pada setiap tempat-nya, dia berusaha melonggarkannya, tetapi baju besi itu tidak mau berkembang[Muttafaq ‘alaih : HR. al-Bukhâri (no. 5797), Muslim (no. 1021), dan an-Nasa-i (V/70-72).].

Bakhil, kikir, dan pelit termasuk perkara yang membinasakan, sebagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَـلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Tiga perkara yang membinasakan (yaitu) kikir (pelit) yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan takjubnya seseorang terhadap dirinya sendiri[. Hasan : HR. ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 5448), al-Baihaqi dalam asy-Syu’abul Îmân (no. 731), dan selainnya dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu ‘anhu . Diriwayatkan juga dari Shahabat yang lainnya. Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1802).]

Bantahan telak liberal: semua agama benar ?


إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَىٰ وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shâbi’un, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allâh dan hari akhir serta beramal shaleh mereka akan menerima pahala dari Rabb mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. [al-Baqarah/2:62]

SABAB NUZUL AYAT
as-Suddy rahimahullah mengatakan, “Ayat ini turun membahas tentang kawan-kawan Salmân al-Fârisy Radhiyallahu anhu, waktu itu Salman menceritakan keadaan kawan-kawannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, bahwa mereka dulu melaksanakan puasa, melaksanakan shalat, beriman kepadamu dan mereka juga bersaksi bahwa kamu akan diutus sebagai Nabi. Setelah Salman memuji mereka tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Wahai Salman mereka termasuk penduduk neraka”. Jawaban tersebut sangat menyedihkan hatinya, maka Allâh Azza wa Jalla menurunkan ayat tersebut sebagai jawabannya, yang pada intinya bahwa keimanan orang-orang Yahudi adalah dengan berpegang teguh terhadap Taurat dan tuntunan Nabi Musa sampai datang Isa. Ketika Nabi Isa datang, mereka yang berpegang teguh dengan Injil dan syariat Isa telah berada diatas keimanan yang sah sampai datang Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa tidak mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah kedatangannya dan tidak meninggalkan syariat Nabi Isa dan Injil maka dia akan celaka. Dan diriwayatkan pula dari Sa’id bin Jubair[Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, ‘Abdur Rahman bin Muhammad bin Idris al-Razy Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Juz 1 (KSA; Maktabah Mushtafa Baz, 1419 H), hlm. 127. Lihat Asbâb Nuzûl al-Qur’an, ‘Ali bin Ahmad bin Muhammad al-Wahidy (w. 468 H), (Dammam; Dar al-Ishlah, 1992 M / 1412 H), hlm. 24. Riwayat Dari Mujahid. Lihat Lubâbun Nuqûl fi Asbâbin Nuzûl, ‘Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalal al-Dien al-Suyuthy (w. 911 H), (Lebanon; Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), hlm. 9. Riwayat Dari Mujahid. Lihat al-Durr al-Mantsûr fit Tafsîr bil Ma’tsûr, al-Suyuthy, juz 1 (Beirut; Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 128. Dari Mujahid.].

Makrifat ala tasawuf tipu daya syetan


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Termasuk tipu daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy-syathahât (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukâsyafah (tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setanpun menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan (dusta) yang sangat besar. Setan membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang bersumber dari al-Qur'ân dan sunnah) ada sebuah jalan (lain) yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) al Qur'ân dan Sunnah (?!!)…maka ketika (mereka menempuh jalan yang) jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , setanpun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke (dalam) jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan tersebut seperti benar-benar nyata sebagai penyingkapan (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas…(?!!).”[Kitab Ighâtsatul Lahfân, hlm. 193 - Mawaaridul amaan).]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak boleh menyifati Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya (dalam al-Qur’ân) dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits-hadits yang shahih), kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.”[Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (5/26).]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh (yang benar) adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.”[Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ (17/104).]

Pemimpin penipu rakyat diharamkan syurga


Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ 

Tidak ada seorang hamba yang Allâh memberikan kekuasaan kepadanya mengurusi rakyat, pada hari dia mati itu dia menipu rakyatnya, kecuali Allâh haramkan surga atasnya. [HR. Muslim]

Larangan mengambil ilmu dari yg bukan ahlinya


Berkata Imam Malik, "Ilmu itu tidak boleh diambil kecuali dari ahlinya”. (Rijâlul Muwaththa’ oleh Imam Suyuthi)

Tidak cukup minta maaf,mintalah dihalalkan !


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ 

Barang siapa pernah berbuat zhalim kepada saudaranya terhadap kehormatannya atau yang lain, hendaknya meminta orang tersebut menghalalkan dirinya dari perbuatan aniaya tersebut hari ini sebelum datang hari tidak ada uang dinar dan dirham. Apabila ia memiliki amal shaleh, maka akan diambil amal shaleh darinya sebanding dengan perbuatan kezhalimannya. Apabila tidak memiliki amal shaleh, maka akan diambilkan dosa saudaranya dan dilimpahkan kepada dirinya [HR. al-Bukhâri no. 2269].

Dalam hal ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggoreskan keteladanan yang indah. Imam ath-Thabrâni rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang meluruskan barisan para Sahabat di (perang) Badr. Di tangan beliau ada sebatang anak panah yang beliau pakai untuk meluruskan barisan. Kemudian beliau melewati Sawâd bin Ghaziyyah dalam keadaan tampak lebih maju dari barisan. Maka beliau menusuk perutnya dengan anak panah sembari berkata, “Sawâd, luruskan”.

Ia menjawab, “Rasûlullâh, engkau menyakitiku. Padahal Allâh mengutusmu untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Saya minta engkau memberiku kesempatan untuk membalas”.

Lantas Rasûlullâh menyingkap perut beliau dan berkata, “Silahkan balas”. (Akan tetapi) dia malah memeluk beliau dan mencium perut beliau.

Maka Rasûlullâh bersabda, “Apa yang mendorongmu berbuat demikian wahai Sawâd?”.

Ia menjawab, “Wahai Rasûlullâh, telah terjadi apa yang engkau saksikan. Kuingin masa terakhirku bersamamu antara kulitku dan kulitmu saling bersentuhan”. Akhirnya, beliau mendoakan kebaikan baginya. [Dihasankan Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah].

Kapan imanmu sempurna?


مَنْ أَحَبَّ للهِ، وَأَبْغَضَ للهِ، وَأَعْطَى للهِ، وَمَنَعَ للهِ، فَقَدِ اسْتَكْمَلَ الْإِيْمَانَ

Barangsiapa cinta karena Allâh, marah karena-Nya, memberi karena-Nya serta mencegah karena-Nya, maka sungguh ia telah menyempurnakan imannya.[HR. Abu Dâwud, no. 4681 dan al-Baghawi, no. 3469.] dihasankan syeikh albani.

الراوي: عبدالله بن ضمرة السلولي المحدث: الألباني - المصدر: الإيمان لابن أبي شيبة - الصفحة أو الرقم: 128
خلاصة حكم المحدث: إسناده حسن رجاله ثقات رجال الشيخين

Jimat cincin nabi sulaiman?


PEMBAHASAN KISAH NABI SULAIMAN ALAIHISSALLAM DENGAN CINCINNYA
Kisah aneh ini disebutkan dalam beberapa literatur tafsir, tatkala memasuki pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan fitnah (ujian) yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,

وَلَقَدْ فَتَنَّا سُلَيْمَانَ وَأَلْقَيْنَا عَلَىٰ كُرْسِيِّهِ جَسَدًا ثُمَّ أَنَابَ

Artinya: "Sungguh Kami telah menguji Sulaiman dan kami letakkan sebuah jasad di atas singgasananya. Kemudian dia bertaubat". [Shâd/38:34]

Redaksi kisah tersebut cukup panjang, intinya: "Konon Nabi Sulaiman Alaihissallam menikahi seorang wanita yang sangat beliau cintai, namanya Jarâdah. Hanya saja ia menyembah berhala di rumah Nabi Sulaiman Alaihissallam , tanpa sepengetahuan beliau.

Dikisahkan bahwa kekuatan Nabi Sulaiman Alaihissallam , baik yang berkenaan dengan kerajaan maupun kenabian beliau, terletak pada cincin yang ia pakai. Pada suatu hari ketika hendak memasuki kamar kecil, beliau menitipkan cincinnya kepada salah seorang istrinya; Amînah. Sebelum beliau menyelesaikan hajatnya, datanglah setan yang menyamar dalam bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam dan mengambil cincin tersebut lalu menduduki singgasana Nabi Sulaiman Alaihissallam . Sehingga Nabi Sulaiman Alaihissallam kehilangan kekuatannya, dan berubah bentuk, kemudian terusir dari kerajaannya. Si iblis berkuasa dan 'menggagahi' para istri Nabi Sulaiman Alaihissallam , sampaipun pada masa haidh mereka. Hingga akhirnya Nabi Sulaiman Alaihissallam menemukan cincinnya kembali, dalam perut seekor ikan yang dia dapatkan dari seorang nelayan tempat beliau bekerja, dst".[ Lihat: kisah lengkapnya, dengan berbagai redaksi dan konteks yang beragam dalam: Tafsîr ath-Thabarî (XX/88-92), Tafsîr Ibn Abî Hâtim (X/3241-3243), Tafsîr al-Baghawî (VII/90-94), ad-Durr al-Mantsûr karya as-Suyûthî (XII/570-583) dan yang lainnya.]

Komentar Para Ulama Atas Kisah Tersebut:
Para pakar tafsir klasik dan kontemporer serta selain mereka, memvonis batilnya kisah tersebut seraya menyebutkan, kisah ini tidak lebih hanyalah isrâiliyyât (dongeng-dongeng yang dinukil dari bani Israil) yang batil.
Berikut statemen mereka  :

1. Ibnu Hazm rahimahullah (w. 456 H) menegaskan, "Ini semua khurafat kisah palsu dan dusta. Isnâdnya sama sekali tidak shahîh".[Sebagaimana dinukil al-Qâsimî dalam Mahâsin at-Ta'wîl (XIV/5105).]

2. Al-Qâdhî 'Iyâdh rahimahullah (w. 544 H) berkata, "Tidak shahîh".[Asy-Syifâ bi Ta'rîf Huqûq al-Mushthafâ (II/836).]

3. Ibn al-Jauzî rahimahullah (w. 597 H) menyebutkan kisah di atas "tidak absah dan tidak disebutkan oleh orang yang terpercaya"[ Zâd al-Masîr (VII/133).].

4. Al-Qurthubî rahimahullah (w. 671 H) mengomentari pendapat orang yang menafsirkan "ujian" dengan kisah di atas, "Pendapat ini dilemahkan (para Ulama)"[Tafsîr al-Qurthubî (XVIII/22).].

5. An-Nasafî rahimahullah (w. 710 H) menegaskan, "Ini termasuk kebatilan (yang dikarang) orang Yahudi".[Tafsîr an-Nasafî (III/156).]

6. Abu Hayyân rahimahullah (w. 745 H) bertutur, "Kisah ini tidak halal untuk dinukil dan termasuk karangan orang-orang Yahudi serta kaum zindiq"[Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/527).].

7. Ibn Katsîr rahimahullah (w. 774 H) menerangkan, "Ini termasuk isrâîliyyât , nampaknya ini termasuk kedustaan Bani Israil. Oleh karena itu di dalamnya banyak terdapat hal-hal munkar"[Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68-69), lihat pula al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).].

8. Al-Îjî rahimahullah (w. 894 H) menjelaskan, "Ketahuilah, tidak ada satupun hadits shahîh yang menyebutkan perincian kisah tersebut. Adapun apa yang dinukil dari salaf, kemungkinan besar termasuk isrâîliyyât".[Jâmi' al-Bayân fî Tafsîr al-Qur'ân (hal. 812)]

9. Al-Alûsî Abu ats-Tsanâ rahimahullah (w. 1270 H) berkata, "Allahu akbar! Ini kedustaan yang besar dan perkara yang serius. Keabsahan penisbatan cerita ini kepada Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu tidak kita terima"[Rûh al-Ma'ânî (XXIII/199).].

Dan masih banyak komentar lain yang senada , sengaja tidak kami nukil semua; khawatir berdampak pada terlalu panjangnya tulisan ini.
Semisal komentar az-Zamakhsyarî (w. 538 H) dalam al-Kasysyâf (IV/90-91), ar-Râzi (w. 606 H) dalam Tafsîrnya (XXVI/207), as-Suyûthî (w. 911 H) dalam Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), asy-Syinqîthî (w. 1393) dalam Adhwâ' al-Bayân (IV/101 dan VII/37), Abu Syahbah dalam al-Isrâ'îliyyât wa al-Maudhû'ât fi Kitub at-Tafsîr (hal. 272).

Adapun pernyataan sebagian Ulama yang menyebutkan bahwa sanad (jalur periwayatan) kisah tersebut hingga Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu kuat, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Katsîr rahimahullah[Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (VII/69).] , Ibnu Hajar al-'Asqalânî rahimahullah [ Lihat: Al-Kâfî asy-Syâf fî Takhrîj Ahâdîts al-Kasysyâf (IV/90) sebagaimana dalam Mausû'ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-'Asqalânî al-Hadîtsiyyah (IV/586).] dan as-Suyûthî rahimahullah [Lihat: Ad-Durr al-Mantsûr (XII/571). Tafsîr Ibn Katsîr (VII/68), dan al-Bidâyah wa an-Nihâyah (II/340-341).] ; hal tersebut tidaklah menafikan kebatilan kisah ini. Sebab andaikan sanad tersebut memang shahîh sampai ke Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu , beliau hanyalah menukil kisah batil tersebut dari Ahlul Kitab yang masuk Islam [ Ibnu Abbâs menukil kisah tersebut dari Ka'ab al-Ahbâr, sebagaimana dalam ad-Durr al-Mantsûr (XII/573).]. Jadi kisah tersebut tidak diambil Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Buktinya pada kesempatan lain, Ibnu Katsîr rahimahullah dan as-Suyûthî rahimahullah menegaskan bahwa kisah tersebut termasuk khurafat isrâîliyyât.[ Lihat: Manâhiuash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdîts asy-Syifâ (hal. 228 no. 1244), ]

Bedakan antara keabsahan penisbatan kisah tersebut kepada seseorang dengan kebatilan kisah itu sendiri. Perbedaan ini bisa kita analogikan dengan pemikiran-pemikiran sesat yang bermunculan di zaman ini. Penisbatan pemikiran tersebut kepada para kreatornya memang absah, tapi pemikiran itu sendiri sesat dan batil.

Kebatilan-Kebatilan Yang Terkandung Dalam Kisah Tersebut.
Selain kisah tersebut diragukan keabsahan sanadnya, alur ceritanya juga mengandung kebatilan-kebatilan yang berkonsekuensi menodai kesucian kenabian dan keyakinan-keyakinan batil lainnya:

1. Penyamaran setan dalam bentuk Nabiyullâh.

2. Setan berhasil 'menggagahi' para istri Nabiyullâh, bahkan di saat mereka haidh!

3. Kekuatan dan kenabian Sulaiman Alaihissallam tergantung pada cincin yang ia pakai dan bersumber darinya. Akan abadi jika cincin itu ada dan akan musnah jika cincin tersebut hilang.

4.Perubahan bentuk Nabi Sulaiman Alaihissallam .

5.Adanya penyembahan terhadap berhala di dalam rumah Nabiyullâh.

Tafsir Yang Benar Untuk Ayat 34 Dari Surat Shâd Di Atas.

Jika kita telah mengetahui bahwa kisah Nabi Sulaiman Alaihissallam dengan cincinnya batil, maka kisah tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tafsir dari ayat al-Qur'ân. Namun timbul pertanyaan, "Tafsir seperti apakah yang benar dari ayat tersebut?".

Para Ulama pakar[Lihat: Tafsîr ar-Râzî (XXVI/208), Tafsîr an-Nasafî (III/155-156), al-Bahr al-Muhîth (VII/527-528), Rûh al-Ma'ânî (XXIII/198) dan Adhwâ' ul-Bayân (IV/100-101).] menyebutkan, tafsir yang paling pas untuk "ujian" yang disebut ayat tersebut di atas, adalah hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Bukhâri dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قاَلَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "قَالَ سُلَيْمَانُ: َلأََطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِينَ امْرَأَةً كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ: قُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَلَمْ يَقُلْ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيعًا فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ بِشِقِّ رَجُلٍ، وَايْمُ الَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ لَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ".

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "(Pada suatu hari) Nabi Sulaiman Alaihissallam berkata, "Malam ini aku akan berhubungan badan dengan sembilan puluh istriku. Masing-masing (pasti) akan melahirkan lelaki penunggang kuda yang kelak berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla . Malaikat berkata padanya, "Katakan insyaAllah!". Tetapi Nabi Sulaiman k tidak mengucapkan insyaAllah. Lalu beliau berhubungan badan dengan seluruh istrinya tersebut, namun tidak seorangpun dari mereka yang mengandung, kecuali hanya satu. Itupun tatkala bersalin, melahirkan bayi hanya setengah badan [HR. Bukhâri dan Muslim]

Demi Allah, andaikan Nabi Sulaiman Alaihissallam mengucapkan insyaAllah; niscaya (akan lahir sembilan puluh anak laki-laki) seluruhnya menjadi penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah"[HR. Bukhâri (XI/524 no. 6639 –al-Fath) dan Muslim (III/1276 no. 1654).].

Kesimpulannya: kisah yang menyebutkan bahwa 'kesaktian' Nabi Sulaiman Alaihissallam bersumber dari cincin yang ia pakai, tidak bisa dipertanggungjawabkan, baik dari sisi sanad maupun alur ceritanya. Sehingga otomatis, tidak bisa dijadikan dalih untuk melegalisasi praktek pemakaian jimat.

Kamis, 14 Juli 2016

Peci atau mukena menutupi dahi maka sholat tidak sah?


Tidak wajib meletakkan anggota sujud secara langsung di lantai atau alas shalat. Namun dibolehkan sujud dalam keadaan anggota sujudnya tertupi pakaian yang dikenakan ketika shalat. Seperti, sujud dalam keadaan peci menutupi dahi. Ini adalah pendapat mayoritas ulama –Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambali– dan pendapat para ulama masa silam, seperti Atha’, Thawus, an-Nakha’i, asy-Sya’bi, al-Auza’i, dsb. Pendapat kedua ini insya Allah lebih kuat berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dari Anas bin Malik radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:

كُنَّا نُصَلِّي مَع النبيِّ صلّى الله عليه وسلّم في شِدَّة الحَرِّ، فإذا لم يستطع أحدُنا أن يُمكِّنَ جبهتَه مِن الأرض؛ بَسَطَ ثوبَه فَسَجَدَ عليه

Kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari yang sangat panas. Jika ada sahabat yang tidak mampu untuk meletakkan dahinya di tanah, mereka membentangkan ujung bajunya, kemudian bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، صَلَّى فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ مُتَوَشِّحًا بِهِ، يَتَّقِي بِفُضُولِهِ حَرَّ الْأَرْضِ وَبَرْدَهَا

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dengan satu pakaian, yang beliau gunakan untuk membungkus dirinya. Beliau gunakan ujung-ujung pakaiannya untuk menghindari panas dan dinginnya tanah. (HR. Ahmad dan dinilai hasan li ghairihi oleh Syuaib al-Arnauth).

Dan beberapa hadis lainnya.

Hadis ini menunjukkan bahwa sujud dengan kondisi dimana anggota sujud tertutupi pakaian shalat tidaklah membatalkan shalatanya. Namun perlu diingat bahwa hal ini diperbolehkan JIKA dibutuhkan.

Sahabat urwah berbuat bid'ah?


قال يعقوب بن سفيان في «المعرفة والتاريخ» : (1/552) حدثني سعيد بن أسد قال: حدثنا ضمرة عن ابن شوذب قال: كان عروة بن الزبير إذا كان أيام الرطب ثلم حائط فيدخل الناس فيأكلون ويحملون، وكان إذا دخله ردد هذه الآية فيه حتى يخرج منه: {ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله} [الكهف: 39]، حتى يخرج.
sahabat urwah saat musim kurma masuk ke kebun maka dia melihat banyak manusi makan dan membawa kurma,dan beliau saat memasukinya mengulang al kahfi ayat 39  ini hingga keluar dari kebun

وهذا سند جيد. ومن طريق يعقوب رواه البيهقي في «الشعب» (2038) وابن عساكر (40/259). ورواه أبو نعيم في «الحلية» (2/180) من طريق أخرى عن ضمرة
Dan ini sanadnya jayyid

Jawab: ini jelas tuduhan yg keliru.memang disyariatkan membaca maa syaalloh saat kagum dg sesuatu.
Yg dianggap bid'ah para ulama' adalah menjadikan itu doa saat masuk kebun.
Sedangkan dalam cerita urwah jelas beliau membaca ayat itu karena kagum bukan karena masuk kebun.boleh saja mengulang- ngulang selama sebabnya masih ada yaitu kekaguman.
Banyak ulama' yg menjadikan ayat ini doa kekaguman bukan doa masuk kebun.
Seperti ibnu taimiyyah,ibnu qoyyim,syeikh utsaimin,dsb.
وقال ابن تيمية كما في «المجموع» (13/321) :
وقال المؤمن لصاحبه: {ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله}؛ ولهذا يؤمر بهذا من يخاف العين على شيء, فقوله ما شاء الله تقديره ما شاء الله كان.

وقال ابن تيمية في «الكلم الطيب» ص99 :
في الشيء يعجبه ويخاف عليه العين، قال الله تعالى : {ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله}.

وقال ابن القيم في «زاد المعاد» (2/417) :
فصل في هديه صلى الله عليه وسلم فيما يقول من رأى ما يعجبه من أهله وماله .. ثم قال: وقد قال تعالى : {ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله}.

وقال أيضا (4/156):
ومما يدفع به إصابة العين قول : ما شاء الله لا قوة إلا بالله؛ روى هشام بن عروة عن أبيه أنه كان إذا رأى شيئًا يعجبه أو دخل حائطًا من حيطانه قال : ما شاء الله لا قوة إلا بالله.

وقال في «الوابل الصيب» ص115 :
الفصل الحادي والعشرون في الذكر الذي تحفظ به النعم وما يقال عند تجردها، قال الله سبحانه وتعالى في قصة الرجلين: {ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله}، 

Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan,

وينبغي للإنسان إذا أعجبه شيء من ماله أن يقول: “ما شاء الله لا قوة إلَّا بالله” حتى يفوض الأمر إلى الله لا إلى حوله وقوته، وقد جاء في الأثر أن من قال ذلك في شيء يعجبه من ماله فإنه لن يرى فيه مكروهاً

Selayaknya bagi seseorang, ketika dia merasa kagum dengan hartanya, agar dia mengucapkan, “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah” sehingga dia kembalikan segala urusannya kepada  Allah, bukan kepada kemampuannya. Dan terdapat riwayat, bahwa orang yang membaca itu ketika merasa heran dengan apa yang dimilikinya, maka dia tidak akan melihat sesuatu yang tidak dia sukai menimpa hartanya. (Tafsir Surat al-Kahfi, ayat: 39)

Kisah palsu : abu dzar VS bilal


Beberapa kali saya mendengar para penceramah di mimbar-mimbar masjid bertutur -juga saya baca di beberapa blog internet- mengenai kisah berikut:

اﺟﺘﻤﻊ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﻲ ﻣﺠﻠﺲ٬ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻌﻬﻢ اﻟﺮﺳﻮل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم٬ ﻓﺠﻠﺲ ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ اﻟﻮﻟﻴﺪ وﺟﻠﺲ اﺑﻦ ﻋﻮف وﺟﻠﺲ ﺑﻼل وﺟﻠﺲ أﺑﻮ ذر٬ ﻓﺘﻜﻠﻢ اﻟﻨﺎس ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻮع ﻣﺎ. ﻓﺘﻜﻠﻢ أﺑﻮ ذر ﺑﻜﻠﻤﺔ اﻗﺘﺮاح: أﻧﺎ أﻗﺘﺮح ﻓﻲ اﻟﺠﻴﺶ أن ﻳﻔﻌﻞ ﺑﻪ ﻛﺬا وﻛﺬا. ﻗﺎل ﺑﻼل: ﻻ٬ ﻫﺬا اﻻﻗﺘﺮاح ﺧﻄﺄ. ﻓﻘﺎل أﺑﻮذر: ﺣﺘﻰ أﻧﺖ ﻳﺎ اﺑﻦ اﻟﺴﻮداء ﺗﺨﻄﺌﻨﻲ؟!!! ﻓﻘﺎم ﺑﻼل ﻣﺪﻫﻮﺷﺎً ﻏﻀﺒﺎن أﺳﻔﺎً وﻗﺎل :واﻟﻠﻪ ﻷرﻓﻌﻨﻚ ﻟﺮﺳﻮل اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم. وأﻧﺪﻓﻊ ﻣﺎﺿﻴﺎً إﻟﻰ رﺳﻮل اﻟﻠﻪ ﺻﻞ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. وﺻﻞ ﺑﻼل ﻟﻠﺮﺳﻮل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم وﻗﺎل: ﻳﺎ رﺳﻮل اﻟﻠﻪ أﻣﺎ ﺳﻤﻌﺖ أﺑﺎ ذر ﻣﺎ ذا ﻳﻘﻮل ﻓﻲ؟ ﻗﺎل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم: ﻣﺎ ذا ﻳﻘﻮل ﻓﻴﻚ؟؟ ﻗﺎل ﺑﻼل: ﻳﻘﻮل ﻛﺬا وﻛﺬا. ﻓﺘﻐﻴﺮ وﺟﻪ اﻟﺮﺳﻮل ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ. وأﺗﻰ أﺑﻮ ذر وﻗﺪ ﺳﻤﻊ اﻟﺨﺒﺮ. ﻓﺎﻧﺪﻓﻊ ﻣﺴﺮﻋﺎً إﻟﻰ المسجد ﻓﻘﺎل: ﻳﺎ رﺳﻮل الله٬ اﻟﺴﻼم ﻋﻠﻴﻜﻢ ورﺣﻤﺔ اﻟﻠﻪ وﺑﺮﻛﺎﺗﻪ. ﻗﺎل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼة واﻟﺴﻼم: ﻳﺎ أﺑﺎ ذر أﻋﻴﺮﺗﻪ ﺑﺄﻣﻪ؟!!! إﻧﻚ اﻣﺮؤ ﻓﻴﻚ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ !!.ﻓﺒﻜﻰ أﺑﻮ ذر وأﺗﻰ اﻟﺮﺳﻮل ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺴﻼم وﺟﻠﺲ وﻗﺎل: ﻳﺎ رﺳﻮل اﻟﻠﻪ اﺳﺘﻐﻔﺮ ﻟﻲ٬ ﺳﻞ اﻟﻠﻪ ﻟﻲ اﻟﻤﻐﻔﺮة. ﺛﻢ ﺧﺮج ﺑﺎﻛﻴﺎً ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺠﺪ وأﻗﺒﻞ ﺑﻼل ﻣﺎﺷﻴﺎً. ﻓﻄﺮح أﺑﻮ ذر رأﺳﻪ ﻓﻲ ﻃﺮﻳﻖ ﺑﻼل ووﺿﻊ ﺧﺪﻩ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﺮاب وقال: واﻟﻠﻪ ﻳﺎ ﺑﻼل ﻻ ارﻓﻊ ﺧﺪي ﻋﻦ اﻟﺘﺮاب ﺣﺘﻰ ﺗﻄﺄﻩ ﺑﺮﺟﻠﻚ٬ أﻧﺖ اﻟﻜﺮﻳﻢ وأﻧﺎ اﻟﻤﻬﺎن!! ﻓﺄﺧﺬ ﺑﻼل ﻳﺒﻜﻲ٬ وأﻗﺘﺮب وﻗﺒﻞ ذﻟﻚ اﻟﺨﺪ وﻗﺎل: واﻟﻠﻪ ﻻ اﻃﺄ وﺟﻬﺎ ﺳﺠﺪ ﻟﻠﻪ ﺳﺠﺪﻩ واﺣﺪﻩ ﺛﻢ ﻗﺎﻣﺎ وﺗﻌﺎﻧﻘﺎ وﺗﺒﺎﻛﻴﺎ !!!

Para shahabat berkumpul dalam sebuah majelis. Saat itu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak bersama mereka. Khalid bin al-Walid ikut duduk di majelis itu, juga Ibn ‘Auf, Bilal, dan Abu Dzarr. Orang-orang terlibat dalam suatu pembicaraan, kemudian Abu Dzarr mengutarakan pendapatnya dengan mengatakan, “Menurut pandanganku, semestinya pasukan itu berbuat begini dan begitu!” Bilal menukas, “Tidak, itu merupakan pandangan yang salah!” Abu Dzarr berkata, “Sampai-sampai kau pun berani menganggap pendapatku salah, wahai Ibn as-Sauda’ (wahai anak si perempuan hitam)!?!” Bilal lantas berdiri dengan perasaan bingung dan marah. Ia menyesalkan perkataan Abu Dzarr terhadapnya itu seraya berkata, “Demi Allah, aku benar-benar akan menyampaikan (mengadukan) ucapanmu itu kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam!” Maka Bilal pun berlalu seraya berjalan cepat menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesampainya di hadapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bilal berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah kau mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Dzarr tentang diriku?” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Apa yang diucapkan oleh Abu Dzarr mengenai dirimu?” Bilal berkata, “Ia mengatakan demikian dan demikian (yakni menyebutku sebagai Ibn as-Sauda’!)” (Demi mendengar hal itu), berubahlah rona wajah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Tak lama kemudian), Abu Dzarr menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– setelah ia mendengar kabar bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– marah. Abu Dzarr berjalan cepat menuju masjid dan berkata, “Wahai Rasulullah, assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Wahai Abu Dzarr, apakah kau berbuat ta’yir terhadap Bilal dengan (menjelek-jelekkan dan mencela) ibunya?!? Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan!” Mendadak sontak menangislah Abu Dzarr. Ia pun mendekati Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu duduk dan berkata, “Wahai Rasulullah, mintakanlah ampun kepada Allah untukku. Mohonkanlah kepada Allah ampunan untukku.” Kemudian dalam keadaan masih menangis, Abu Dzarr keluar dari masjid dan menemui Bilal yang sedang berjalan. Di hadapan Bilal, Abu Dzarr membaringkan kepalanya dan menempelkan pipinya di atas tanah jalan yang dilalui Bilal. Ia berkata kepada Bilal, “Demi Allah, wahai Bilal! Aku tak akan mengangkat pipiku dari tanah sampai kau menginjak pipiku ini dengan kakimu! Kaulah orang yang mulia sedangkan aku orang yang hina!” (Melihat hal itu), menangislah Bilal dibuatnya. Ia mendekati Abu Dzarr dan mencium pipinya seraya berkata, “Demi Allah, aku tak akan menginjak wajah yang telah bersujud kepada Allah dengan sujud yang hanya ditujukan kepada-Nya.” Kemudian keduanya berdiri, saling berpelukan dan menangis … -SELESAI …

Kisah tersebut, dengan redaksi seperti itu, merupakan kisah yang MUNGKAR yang sama sekali tidak terdapat di dalam kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab sejarah meskipun pada dasarnya kisah tersebut –sebetulnya- memiliki ASAL yang sahih. Tampaknya para penceramah itu telah mengembangkan kisah tersebut dengan tambahan-tambahan sedemikian rupa sehingga menyimpang jauh dari kisah asalnya yang sahih.

Jika kita merujuk kepada KISAH ASALNYA YANG SAHIH, maka akan kita dapati bahwa kisah tersebut di atas (yang disebutkan oleh para penceramah) itu benar-benar dipenuhi dengan ziyadah (tambahan-tambahan) yang mungkar. Adapun KISAH ASALNYA YANG SAHIH adalah sebagai berikut:

Imam al-Bukhari berkata di kitab Shahih:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ وَاصِلٍ الأَحْدَبِ، عَنِ المَعْرُورِ بنِ سُوَيْدٍ، قَالَ: لَقِيتُ أَبَا ذَرٍّ بِالرَّبَذَةِ، وَعَلَيْهِ حُلَّةٌ، وَعَلَى غُلاَمِهِ حُلَّةٌ، فَسَأَلْتُهُ عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ: إِنِّي سَابَبْتُ رَجُلًا فَعَيَّرْتُهُ بِأُمِّهِ، فَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا أَبَا ذَرٍّ أَعَيَّرْتَهُ بِأُمِّهِ؟ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ، إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ، جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ، فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ، فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ، وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ، وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

Dari al-Ma’rur bin Suwaid, dia berkata:

Aku bertemu dengan Abu Dzarr di ar-Rabadzah. Saat itu Abu Dzarr mengenakan hullah (sepasang pakaian; pakaian luar dan dalam –pent), demikian juga pelayan (budak)nya memakai hullah. Maka aku pun bertanya mengenai hal itu (yakni mengenai alasan Abu Dzarr memakaikan pakaian yang sama dengan dirinya untuk pelayannya, padahal hal itu menyalahi kebiasaan yang berlaku di masyarakat –pent). Maka Abu Dzarr pun menjawab:

Sesungguhnya aku pernah mencaci seseorang seraya menjelek-jelekkan ibunya, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepadaku, “Wahai Abu Dzarr, apakah kau mencelanya dengan menjelek-jelekkan ibunya? Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan! Saudara-saudara kalian adalah pelayan-pelayan (budak-budak) kalian. Allah menjadikan mereka berada di bawah penguasaan kalian. Maka barangsiapa yang saudaranya berada di bawah penguasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari makanan yang ia makan, juga memberinya pakaian dengan pakaian (seperti ) yang ia pakai. Dan jangan kalian membebani mereka dengan perkara yang tak mampu mereka tanggung. Jika kalian membebani mereka dengan beban yang berat, hendaklah kalian membantunya!” (HRS. al-Bukhari)

Imam al-Bukhari juga berkata di kitab Shahih:

حَدَّثَنِي عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ الْمَعْرُورِ هُوَ ابْنُ سُوَيْدٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ رَأَيْتُ عَلَيْهِ بُرْدًا وَعَلَى غُلَامِهِ بُرْدًا فَقُلْتُ لَوْ أَخَذْتَ هَذَا فَلَبِسْتَهُ كَانَتْ حُلَّةً وَأَعْطَيْتَهُ ثَوْبًا آخَرَ فَقَالَ كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ كَلَامٌ وَكَانَتْ أُمُّهُ أَعْجَمِيَّةً فَنِلْتُ مِنْهَا فَذَكَرَنِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي أَسَابَبْتَ فُلَانًا قُلْتُ نَعَمْ قَالَ أَفَنِلْتَ مِنْ أُمِّهِ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ قُلْتُ عَلَى حِينِ سَاعَتِي هَذِهِ مِنْ كِبَرِ السِّنِّ قَالَ نَعَمْ هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ جَعَلَ اللَّهُ أَخَاهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا يُكَلِّفُهُ مِنْ الْعَمَلِ مَا يَغْلِبُهُ فَإِنْ كَلَّفَهُ مَا يَغْلِبُهُ فَلْيُعِنْهُ عَلَيْهِ

Dari al-Ma’rur, yakni Ibn Suwaid, dari Abu Dzarr; (al-Ma’rur ) berkata:

Aku melihat Abu Dzarr mengenakan burdah dan begitu juga pelayan (budak)nya mengenakan burdah, maka kukatakan kepadanya, “Seandainya kau ambil (burdah dari pelayanmu) itu lalu kaupakai sendiri, tentu itu akan jadi hullah (sepasang pakaian) yang kaukenakan sendiri. Kauberikan saja kepada pelayanmu itu pakaian yang lain untuk dikenakannya.” Maka Abu Dzarr pun berkata:

Dulu pernah terjadi pembicaraan antara diriku dengan seseorang yang ibunya adalah orang a’jam (non-Arab), lalu aku mencacinya seraya menjelek-jelekkan ibunya. Orang itu mengadukanku kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berkata kepadaku, “Apakah kau mencaci si Fulan?” Aku menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata lagi, “Apakah kau menjelek-jelekkan ibunya?” Aku menjawab, “Iya.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan!” Aku bertanya kepada beliau, “Masihkah terdapat (sifat kejahiliyahan) pada diriku saat usiaku telah setua ini?” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Ya. Mereka (pelayan-pelayanmu) adalah saudara-saudara kalian. Allah menjadikan mereka berada di bawah tangan-tangan (penguasaan) kalian. Maka barangsiapa yang Allah jadikan saudaranya berada di bawah penguasaannya, hendaklah ia memberinya makan dari makanan yang ia makan, juga memberinya pakaian dengan pakaian (seperti ) yang ia pakai. Dan jangan kalian membebani mereka dengan perkara yang tak mampu mereka tanggung. Jika ia membebani (pelayan)nya dengan beban yang berat, hendaklah ia membantunya!” (HRS. al-Bukhari)

Dengan melihat kedua hadits riwayat al-Bukhari yang sahih di atas, menjadi jelaslah bagi kita bahwa kisah yang dituturkan oleh para penceramah itu (yakni kisah pertama di atas) telah mengalami banyak ziyadah (tambahan-tambahan) dan bumbu-bumbu cerita yang MUNGKAR. Di antara kemungkaran-kemungkarannya adalah sebagai berikut:

Menyebutkan bahwa para shahabat berkumpul dan terlibat pembicaraan dalam suatu majelis …
Memasukkan nama Bilal ke dalam cerita dan penentangan Bilal terhadap pendapat Abu Dzarr …
Memasukkan nama para shabat lain ke dalam cerita, yaitu Khalid bin al-Walid dan (‘Abd ar-Rahman) bin ‘Auf …
Menyebutkan permasalahan yang tengah dibicarakan oleh para shahabat termasuk pendapat Abu Dzarr mengenai pasukan …
Menyebutkan bahwa Abu Dzarr mengejek Bilal dengan ucapan, “Wahai Ibn as-Sauda’ (wahai anak si perempuan hitam)!”
Menyebutkan bahwa Abu Dzar menempelkan pipinya ke tanah di hadapan Bilal …
Membubuhkan bumbu cerita berupa ucapan Abu Dzarr, “Demi Allah, wahai Bilal! Aku tak akan mengangkat pipiku dari tanah sampai kau menginjak pipiku ini dengan kakimu! Kaulah orang yang mulia sedangkan aku orang yang hina!”
Membubuhkan bumbu cerita berupa ucapan Bilal, “Demi Allah, aku tak akan menginjak wajah yang telah bersujud kepada Allah dengan sujud yang hanya ditujukan kepada-Nya.”
Masih banyak lagi tambahan-tambahan mungkar lainnya seperti tangis Abu Dzarr dan Bilal, juga bahwa keduanya saling berpelukan di akhir cerita …

Betapa jauh perbedaan di antara KISAH ASAL YANG SAHIH itu dengan KISAH REKAAN YANG MUNGKAR tersebut. Jelas sekali bahwa kisah rekaan yang dituturkan oleh para penceramah itu telah mengalami banyak penambahan redaksi dan bumbu-bumbu cerita, dan semua itu merupakan kemungkaran …

Mungkin saja beberapa tambahan mungkar dalam kisah itu diambil dari beberapa riwayat DHA’IF (LEMAH) berikut ini:

(PERTAMA): Imam al-Baihaqi meriwayatkan di kitab Syu’ab al-Iman sebagai berikut:

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَبْدَانَ، أنا أَحْمَدُ بْنُ عُبَيْدٍ، ثنا أَبُو شُعَيْبٍ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ أَبِي شُعَيْبٍ، ثنا مُوسَى بْنُ أَعْيَنَ، عَنْ خَالِدِ بْنِ يَزِيدَ، ثنا أَبُو عَبْدِ الْمَلِكِ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ: عَيَّرَ أَبُو ذَرٍّ بِلالا بِأُمِّهِ، فَقَالَ: يَا ابْنَ السَّوْدَاءِ، وَإِنَّ بِلالا أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ فَغَضِبَ، فَجَاءَ أَبُو ذَرٍّ وَلَمْ يَشْعُرْ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا أَعْرَضَكَ عَنِّي إِلا شَيْءٌ بَلَغَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: أَنْتَ الَّذِي تُعَيِّرُ بِلالا بِأُمِّهِ؟ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ عَلَى مُحَمَّدٍ، أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَحْلِفَ، مَا لأَحَدٍ عَلَيَّ فَضْلٌ إِلا بِعَمَلٍ، إِنْ أَنْتُمْ إِلا كَطَفِّ الصَّاعِ



Dari Abu Umamah, ia berkata:

Abu Dzarr mencela Bilal seraya menjelek-jelekkan ibunya, dan ia mengatakan, “Wahai Ibn as-Sauda’ (wahai anak si perempuan hitam)!” Dan sesungguhnya Bilal mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan mengabarkan (celaan Abu Dzarr) itu kepada beliau. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun marah karenanya. Abu Dzarr datang kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyadari bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– marah kepadanya. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berpaling dari Abu Dzarr, lalu Abu Dzarr berkata, “Tidaklah engkau akan berpaling dariku kecuali karena suatu kabar yang sampai kepadamu, wahai Rasulullah.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Kaukah yang telah mencela Bilal dengan menjelek-jelekkan ibunya? Demi Allah yang menurunkan kitab kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam (atau beliau bersumpah dengan sumpah yang dikehendaki Allah), tak ada keutamaan bagi seorang pun bagiku kecuali lantaran amalnya. Tidaklah kalian itu melainkan saling berdekatan satu sama lain (sebagai keturunan Adam -pent).” –SELESAI …

Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman ini tidak bisa dijadikan pegangan karena sangat lemah. Pada sanadnya ada perawi Abu ‘Abd al-Malik ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal al-Hani yang dikatakan matruk oleh Imam an-Nasa-i dan Imam ad-Daraquthni, sementara Imam al-Bukhari mengatakannya sebagai munkar al-hadits. Dengan demikian, dari riwayat yang sangat lemah inilah nama Bilal disebutkan, dan jelaslah bagi kita bahwa penyebutan nama Bilal ini merupakan tambahan yang mungkar dan menyimpang dari kisah asalnya yang sahih …

(Kedua): riwayat yang disebutkan oleh Ibn Baththal dalam Syarh Shahih al-Bukhari (1/87; Maktabah ar-Rusyd, tahqiq: Yasir bin Ibrahim dan Ibrahim ash-Shabihi) sebagai berikut:

روى الوليد بن مسلم، عن أبي بكر، عن ضمرة بن حبيب، قال: كان بين أبى ذر وبين بلال محاورة، فعيره أبو ذر بسواد أمه، فانطلق بلال إلى رسول الله – صلى الله عليه وسلم -، فشكي إليه تعييره بذلك، فأمره رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن يدعوه، فلما جاءه أبو ذر، قال له رسول الله -صلى الله عليه وسلم: شتمت بلالاً وعيَّرته بسواد أمه؟ قال: نعم، قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم: تمت ما كنت أحسب أنه بقى في صدرك من كبر الجاهلية شيء، فألقى أبو ذر نفسه بالأرض، ثم وضع خده على التراب، وقال: والله لا أرفع خدي من التراب حتى يطأ بلال خدي بقدمه، فوطأ خده بقدمه

Al-Walid bin Muslim meriwayatkan dari Abu Bakr dari Dhamrah bin Habib, ia berkata:

Perdebatan terjadi antara Abu Dzarr dengan Bilal, lalu Abu Dzarr mencaci Bilal dengan menyebut-nyebut kulit ibunya yang hitam. Bilal pun menemui Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan mengadukan ta’yir (perbuatan menjelek-jelekan dan mencela) yang dilakukan oleh Abu Dzarr terhadapnya. (Mendengar itu), Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyuruh Bilal untuk memanggil Abu Dzarr. Tatkala Abu Dzarr datang, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepadanya, “Kau mencaci Bilal dan menghinanya dengan kehitaman kulit ibunya?” Abu Dzarr menjawab, “Iya.” Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata, “Telah pasti dugaanku bahwa di dalam dadamu masih tersisa sesuatu dari kesombongan jahiliyah!” (Mendengar itu), Abu Dzarr lantas menjatuhkan dirinya ke bumi, lalu menempelkan pipinya ke tanah dan berkata, “Demi Allah, aku tak akan mengangkat pipiku ini dari tanah sampai Bilal menginjak pipiku ini dengan kakinya!” Maka Bilal pun menginjakkan kakinya ke pipi Abu Dzarr … -SELESAI …

Riwayat yang dibawakan oleh Ibn Baththal ini tidaklah bisa dijadikan pegangan karena haditsnya DHA’IF (LEMAH) dan memuat redaksi-redaksi mungkar yang tidak terdapat di dalam hadits yang sahih. Dhamrah bin Habib adalah seorang tabi’in yang tidak bertemu dengan para pelaku dalam kisah yang disebutkannya sehingga bisa dikatakan bahwa riwayatnya ini mursal. Selain itu, ada perawi al-Walid bin Muslim yang dikenal suka melakukan tadlis taswiyah, sementara dalam riwayat itu ia tidak menyebutkan penyimakan hadits secara jelas sehingga haditsnya dianggap lemah. Ada kelemahan lain bagi hadits tersebut, yaitu perawi Abu Bakr (bin ‘Abdillah) bin Abi Maryam yang dilemahkan oleh para ualama. Abu Zur’ah berkata tentang Abu Bakr bin ‘Abdillah bin Abi maryam ini:

ضعيف ، منكر الحديث

“Lemah, munkar al-hadits.”

Ibn Hajar berkata tentangnya di kitab at-Taqrib:

ضعيف وكان قد سرق بيته فاختلط
“Lemah. Dulu rumahnya pernah kecurian lalu hafalannya mengalami takhlith (campur aduk).”



Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits yang disebutkan oleh Ibn Baththal ini merupakan hadits yang mungkar. Jelas pulalah bagi kita bahwa penuturan tentang Abu Dzarr yang menempelkan pipinya di tanah agar diinjak oleh Bilal itu merupakan ziyadah (tambahan-tambahan) yang mungkar dan menyimpang dari kisah asalnya yang sahih. Bahkan semua tambahan yang terdapat dalam kisah pertama di atas (yang dituturkan oleh para penceramah) jelas-jelas merupakan tambahan-tambahan yang mungkar dan menyimpang dari kisah asalnya yang sahih …

Di antara orang-orang yang menbawakan kisah mungkar sebagaimana kisah pertama di atas adalah Syaikh Doktor ‘A-idh al-Qarni -sebagaimana saya temukan di link berikut:

 http://islamport.com/w/amm/Web/1539/4610.htm …

Adapun Syaikh Doktor Yusuf al-Qardhawi, beliau telah pula keliru menisbatkan kisah yang disebutkan di dalamnya nama Bilal kepada Imam al-Bukhari. Doktor Yusuf al-Qardhawi berkata di kitab al-Halal wa al-Haram -sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh al-Albani di kitab Ghayah al-Maram (halaman 188)- sebagai berikut:

روى البخاري: أن أبا ذر وبلالاً الحبشي تغاضبا وتسابا، وفي ثورة الغضب قال أبو ذر لبلال: يا ابن السوداء، فشكاه بلال إلى النبي صلى الله عليه وسلم! فقال النبيّ صلى الله عليه وسلم لأبي ذر: أعيرته بأمه، إنك امرؤ فيك جاهلية
Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Abu Dzarr dan Bilal al-Habsyi bertengkar dan saling mencaci. Dalam kemarahannya, Abu Dzarr berkata kepada Bilal, “Wahai Ibn as-Sauda’ (wahai anak si perempuan hitam)!” maka Bilal pun mengadukan Abu Dzarr kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata kepada Abu Dzarr, “Apakah kau mencela ibunya? Sungguh kau adalah lelaki yang pada dirimu masih terdapat sifat kejahiliyahan!” –SELESAI …

Penisbatan kisah tersebut oleh Doktor Yusuf al-Qardhawi kepada Imam al-Bukhari –juga dengan redaksi seperti itu- merupakan penisbatan yang keliru karena dalam riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya tidaklah disebutkan nama Bilal di dalamnya dan tidak pula ungkapan, “Wahai Ibn as-Sauda’ (wahai anak si perempuan hitam)!” …

Adapun jika kita melihat zahir hadits pada riwayat yang sahih, maka sepertinya, orang yang dicela oleh Abu Dzarr –radhiyallahu ‘anhu– itu adalah pelayan (budak)nya sendiri dan bukannya Bilal –radhiyallahu ‘anhu. Hal itu bisa terlihat dari pertanyaan al-Ma’rur bin Suwaid kepada Abu Dzarr saat ia melihat bahwa Abu Dzarr memakaikan pakaian yang sama dengan pakaiannya kepada pelayannya itu. Saat itu al-Ma’rur bin Suwaid berkata kepada Abu Dzarr, “Seandainya kau ambil (burdah dari pelayan/budakmu) itu lalu kaupakai sendiri, tentu itu akan jadi hullah (sepasang pakaian) yang kaukenakan sendiri. Kauberikan saja kepada pelayanmu itu pakaian yang lain untuk dikenakannya.” Oleh karena itulah Imam al-Bukhari meletakkan juga hadits ini di kitab al-‘Itq (kitab memerdekakan budak), pada bab ucapan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Budak-budakmu adalah saudara-saudaramu maka berilah mereka makan dengan makanan yang kau makan.”

Wallahu a’lamu …

Sahabat bilal melakukan bid'ah ?


Sebagian orang ada yang berpikir –keliru- dengan mengatakan bahwa Bilal –radhiyallahu ‘anhu– telah mengada-adakan suatu perbuatan bid’ah yang kemudian (perbuatan bid’ahnya itu) disetujui dan ditetapkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagai suatu amal perbuatan yang baik. Bid’ah yang dilakukan oleh Bilal (dan disetujui oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– itu) adalah shalat sunah dua rakaat setiap kali selesai wudu (dikenal dengan sebutan shalat syukrul wudu). Menurut mereka, perbuatan Bilal tersebut menunjukkan bahwa bid’ah itu tidaklah selalu dhalalah (buruk), tetapi adakalanya malah hasanah (baik). Mereka berdalil dengan hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ نَصْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ أَبِي حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الْإِسْلَامِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ –صحيح البخاري

 Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bertanya kepada Bilal pada waktu shalat subuh, “Wahai Bilal, kabarkan kepadaku tentang amal yang paling kauharapkan (pahalanya) yang telah kau kerjakan di dalam Islam, karena sesungguhnya aku mendengar (dalam mimpiku tadi malam) suara ketukan kedua sandalmu di depanku di dalam surga.” Bilal menjawab, “Tidaklah aku mengerjakan suatu amal yang lebih kuharapkan pahalanya selain bahwa setiap kali aku telah berwudu, baik pada malam hari atau pada siang hari, maka aku pun melaksanakan shalat dengan wuduku itu sesuai yang dituliskan bagiku untuk kulakukan.” (HR. al-Bukhari)

Kata mereka, hadits ini menunjukkan bahwa Bilal telah mengada-adakan suatu amal yang baru (bid’ah), yaitu melakukan shalat sunah selepas wudu padahal tidak ada petunjuk dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai perbuatan tersebut sebelumnya. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sendiri baru mengetahui amalan tersebut setelah beliau bertanya kepada Bilal. Ini menunjukkan bahwa Bilal telah mengada-adakan suatu amal (bid’ah), sementara Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sama sekali tak mengingkarinya. Dengan demikian, bid’ah itu tak selamanya dhalalah, tetapi ada juga yang hasanah. Terbukti hasanah karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun menyetujui perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal.

Sanggahan:

Benarkah demikian? Apakah Bilal –radhiyallahu ‘anhu– memang mengada-adakan bid’ah dengan melakukan shalat sunah dua rakaat setelah wudu? Apakah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas menetapkan taqrir (menyetujui) perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal tersebut?

Tidak, sama sekali tidak seperti yang mereka katakan …

(1) Apakah Bilal –radhiyallahu ‘anhu– memang mengada-adakan bid’ah dengan melakukan shalat sunah dua rakaat setelah wudu? Tidak. Bilal –radhiyallahu ‘anhu– sama sekali tidak mengada-adakan bid’ah shalat sunah selepas wudu. Hal itu dikarenakan bab shalat mutlak itu luas dan terbuka lebar, kapan saja boleh dilakukan selama berada di luar waktu-waktu yang terlarang. Selain itu, syariat shalat selepas wudu itu secara khusus telah disebutkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– sebagaimana dalam hadits dari shahabat ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu– berikut:

حدّثني أَبُو الطّاهِرِ أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ سَرْحٍ، وَ حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَىَ التّجِيبِيّ. قَالاَ: أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنّ عَطَاءَ بْنَ يَزِيدَ اللّيْثِيّ أَخْبَرَهُ أَنّ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنّ عُثْمَانَ بْنَ عَفّانَ رَضِي اللّهُ عنه دَعَا بوَضُوءٍ. فَتَوَضّأَ. فَغَسَلَ كَفّيْهِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ. ثُمّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمّ مَسَحَ رَأْسَهُ. ثُمّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرّاتٍ. ثُمّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ. ثُمّ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللّهِ صلى الله عليه وسلم تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا. ثُمّ قَالَ رَسُولُ اللّهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ تَوَضّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ، لاَ يُحَدّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدّمَ مِنْ ذَنْبِهِ –صحيح البخاري

‘Utsman –radhiyallahu ‘anhu– berkata:

Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– berwudu sebagaimana wudu yang kulakukan ini. Kemudian Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Barangsiapa yang berwudu seperti wuduku ini, kemudian dia shalat sebanyak dua rakaat tanpa membiarkan pikiran jiwanya melayang-layang dalam shalatnya, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. al-Bukhari)

Ibn Hajar al-Asqalani berkata di dalam Fath al-Bari:

 قوله: (ثم صلى ركعتين) فيه استحباب صلاة ركعتين عقب الوضوء

Ucapan beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… kemudian dia shalat sebanyak dua rakaat,” di dalamnya terkandung anjuran untuk shalat dua rakaat selepas wudu.

Dengan demikian, shalat selepas wudu itu bukanlah bid’ah yang diada-adakan oleh Bilal –radhiyallahu ‘anhu, melainkan Sunnah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam …

(2) Apakah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas menetapkan taqrir (menyetujui) perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh Bilal tersebut? Tidak. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– hanya bertanya tentang amal perbuatan yang dilakukan oleh Bilal yang dengan perbuatan tersebut Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mendengar suara langkah kaki Bilal (yaitu suara sandalnya) di dalam surga. Kemudian Bilal menjawab bahwa dirinya melakukan suatu amal berupa shalat setelah wudu. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak mengingkari amalan Bilal tersebut karena memang amalan tersebut pada hakikatnya telah tertera di dalam Sunnah beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam …

Faidah: Shalat sunnah selepas wudu (atau yang dikenal dengan sebutan shalat syukrul wudu) itu merupakan amalan yang diambil dari Sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– dan memiliki ganjaran yang sangat besar berupa dihapuskannya dosa-dosa yang telah dilakukan …

Syubhat ibnu hazm pengingkar sifat alloh


Imam al-Bukhari –rahimahullah– berkata di kitab Shahih-nya:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنَا عَمْرٌو عَنْ ابْنِ أَبِي هِلَالٍ أَنَّ أَبَا الرِّجَالِ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَكَانَتْ فِي حَجْرِ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ

Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Shalih, telah bercerita kepada kami (‘Abdullah) bin Wahb, telah bercerita kepada kami ‘Amr bin al-Harits, dari (Sa’id) bin Abi Hilal, bahwa Abu ar-Rijal Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman telah bercerita kepadanya (hadits) dari ibunya, (yaitu) ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman yang dulu berada dalam pemeliharaan ‘Aisyah istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengutus seorang lelaki (untuk memimpin) sebuah ekspedisi militer. Lelaki tersebut setiap kali memimpin shalat jamaah, selalu saja menutup bacaan shalatnya (setelah membaca surah lainnya) dengan surah al-Ikhlash (Qul huwallaahu ahad). Setelah ekspedisi berakhir dan mereka kembali (ke Madinah), orang-orang melaporkan hal itu kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berkata, “Kalian tanyakanlah kepadanya tentang alasan yang menjadikannya berbuat seperti itu!” Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, lalu lelaki tersebut menjawab, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman, dan aku sangat suka untuk membacanya (dalam shalatku).” (Setelah mengetahui alasan lelaki tersebut), Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Kalian kabarkanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.”

Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Muslim –rahimahullah– dalam Shahih-nya, yaitu di kitab Shalah al-Musafirin wa Qashriha, bab Fadhl Qira-ah Qul Huwallahu Ahad (hadits no. 813) …

*

**

Kemarin saya membaca pendapat Ibn Hazm –rahimahullah– dalam masalah sifat-sifat Allah yang dituangkannya dalam kitab al-Fashl wa al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal. Ternyata beliau termasuk orang yang menafikan sifat-sifat Allah –ta’ala. Tentu saja pendapat beliau itu keliru dan sama sekali tidak benar, dan dalam hal ini beliau bertentangan dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, tetapi malah mencocoki pendapat Jahmiyyah …

Berikut saya nukilkan ucapan Ibn Hazm tersebut:

قال أبو محمد: وأما إطلاق لفظ الصفات لله عز وجل فمحال لا يجوز لأن الله تعالى لم ينص قط في كلامه المنزل على لفظ الصفات، ولا على لفظ الصفة ولا جاء قط عن النبي – صلى الله عليه وسلم – بأن الله صفة أو صفات، نعم ولا جاء قط ذلك عن أحد من الصحابة – رضي الله عنهم – ولا عن أحد من خيار التابعين، ولا عن أحد تابعي التابعين، وما كان هكذا فلا ينبغي لأحد أن ينطق به.

ولو قلنا: إن الإجماع قد تيقن على ترك هذه اللفظة لصدقنا، فلا يجوز القول بلفظ الصفات، ولا إعتقاده بل ذلك بدعة منكرة، قال تعالى : إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان إن يتبعون إلا الظن وما تهوى الأنفس ولقد جاءهم من ربهم الهدى)

قال أبومحمد: وإنما اخترع لفظة الصفات المعتزلة، وسلك سبيلهم قوم من أصحاب الكلام، سلكوا غير مسلك السلف الصالح ، ليس فيهم أسوة ولا قدوة ، وحسبنا الله ونعم الوكيل (( ومن يتعد حدود الله فقد ظلم نفسه))

وربما أطلق هذه اللفظة من المتأخرى الأئمة من الفقهاء من لم يحقق النظر فيها، فهي وهلة من الفاضل، وزلة من العالم، وإنما الحق في الدين ما جاء عن الله تعالى نصا أو عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك، أو صح إجماء الأمة كلها عليه، وما عدا هذا فضلال

فإن اعترضوا بالحديث الذي رويناه من طريق عبد الله بن وهب عن عمرو بن الحارث عن سعيد بن أبي هلال عن أبي الرجال محمد بن عبدالرحمن عن أمه عَمره عن عائشة – رضي الله عنها – في الرجل الذي يقرأ: (قل هو الله أحد) في كل ركعة مع سورة أخرى، وأن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أمر أن يسأل عم ذلك فقال: هي صفة الرحمن فأنا أحبها. فأخبره رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن الله يحبه.

فالجواب وبالله التوفيق: أن هذه اللفظة انفرد بها سعيد بن أبي هلال وليس بالقوي، قد ذكره بالتخليط يحيى واحمد بن حنبل، وأيضا فإن إحتجاج خصومنا بهذا لا يسوغ لهم على أصولهم، لأنه خبر واحد لا يوجب عندهم العلم، وأيضا فلو صح لما كان مخالفا لقولنا، لأننا إنما أنكرنا قول من قال إن أسماء الله تعالى مشتقة من صفات ذاتية فأطلق ذلك على (العلم) و (والقدرة) و (والقوة) و (الكلام) أنها صفات، وعلى من أطلق (إرادة وسمعا وبصرا وحياة) وأطلق انها صفات، فهذا الذي أنكرنا غاية الإنكار، وليس في الحديث المذكور، ولا في غيره شيئ من هذا أصلا، وإنما فيه أن (قل هو الله أحد) خاصة صفة الرحمن، ولم ننكر هذا نحن بل هو خلاف لقولهم لأنهم لا يخصون (قل هو الله أحد) بذلك دون الكلام والعلم وغير ذلك و (قل هو الله أحد) خبر عن الله تعالى بما هو حق، فنحن نقول فيها هي صفة الرحمن، بمعنى انها خبر عنه تعالى حق، فظهر أن هذا الخبر حجة عليهم لنا … وقد قال الله تعالى: (سبحان ربك رب العزة عما يصفون) فأنكر إطلاق الصفات جملة فبطل تمويه من موّه بالحديث المذكور ليستحل بذلك ما لا يحل من إطلاق لفظ الصفات حيث لم يأت بإطلاقها فيه نص ولا إجماع إصلا، ولا أثر عن السلف

Ibn Hazm –rahimahullah– berkata di kitab al-Fashl wa al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (juz 2, halaman 283-285, cetakan Dar al-Jil, Beirut:

Pemutlakkan lafaz “sifat-sifat” yang dikaitkan kepada Allah –‘Azza wa Jalla– (yakni bahwa Allah memiliki sifat-sifat –pent) merupakan hal yang mustahil, dan itu tidak boleh karena Allah –ta’ala– sama sekali tidak menurunkan dalil dalam al-Quran tentang lafaz “sifat-sifat” bagi diri-Nya, baik itu penyebutan dalam bentuk jamak (sifat-sifat) maupun dalam bentuk tunggal (sifat). Dan sama sekali tidak ada pula penetapan yang datang dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai lafaz “sifat” yang dikaitkan kepada Allah, baik penyebutan dalam bentuk jamak (sifat-sifat) maupun dalam bentuk tunggal (sifat). Ya, sama sekali tidak ada pula penetapan itu datang dari salah seorang shahabat –radhiyallahu ‘anhum– atau dari tabi’in atau dari tabi’ tabi’in. Oleh karena itu, tidaklah patut bagi seseorang untuk mengucapkan perkataan tersebut …

Seandainya kami mengatakan, “Sesungguhnya ijma’ telah memastikan untuk tidak menggunakan lafaz tersebut dan menyandarkannya kepada Allah,” tentulah ucapan kami itu benar adanya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang untuk mengucapakan perkataan, “Sifat Allah atau sifat-sifat Allah,” dan tidak boleh pula dia meyakini hal itu (yakni tidak boleh meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat). Sesungguhnya (ucapan dan keyakinan) seperti itu merupakan kebid’ahan yang mungkar. Allah –ta’ala– berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian ada-adakan; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun mengenai hal itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan-persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23) …

Lafaz “sifat-sifat” itu hanyalah merupakan ungkapan yang diada-adakan oleh kelompok Muktazilah yang kemudian jalan tempuh Muktazilah itu diikuti oleh orang-orang dari kalangan ahli kalam. (Sesungguhnya) mereka menempuh jalan selain jalan yang ditempuh oleh Salaf as-Shalih, dan mereka tidak memiliki uswah dan qudwah dari para Salaf dalam penempuhan yang mereka lakukan itu. Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. (Allah berfirman), “Dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. ath-Thalaq: 1) …

Terkadang lafaz ini (yakni “sifat” atau “sifat-sifat”) digunakan oleh para imam dan fuqaha belakangan yang tak melakukan penelaahan secara teliti mengenai penggunaan ungkapan tersebut. Dengan demikian, itu merupakan kelalaian dan ketergelinciran orang-orang yang utama dan berilmu. Padahal kebenaran dalam agama itu hanyalah berdasarkan dalil yang datang dari Allah –ta’ala-, atau berdasarkan dalil yang datang dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau berdasarkan ijma’ umat seluruhnya yang sahih mengenai suatu perkara. Apa pun yang tak bersesuaian dengan ini, maka itu merupakan kesesatan …

Apabila mereka (yakni orang-orang yang menetapkan adanya sifat bagi Allah) menyanggah (apa yang kami kemukakan) dengan hadits yang telah kami kemukakan dari jalan ‘Abdullah bin Wahb, dari ‘Amr bin al-Harits, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Abu ar-Rijal Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman, dari ibunya, yaitu ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– mengenai seorang lelaki yang membaca surah al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) dalam setiap rakaat setelah membaca surah yang lain, dan bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyuruh agar orang-orang menanyakan alasannya, lalu lelaki itu menjawab, “Karena surah al-Ikhlas itu sifat ar-Rahman, dan aku sangat suka untuk membacanya (dalam shalatku).” Setelah mengetahui alasan lelaki tersebut, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun mengabarkan kepada lelaki itu bahwa Allah mencintainya …

Maka jawaban kami (terhadap sanggahan mereka itu) –dengan memohon taufiq Allah- adalah sebagai berikut:

Sesungguhnya lafaz yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah infirad (kesendirian dalam periwayatan) Sa’id bin Abi Hilal, sementara Sa’id bin Abi Hilal itu bukanlah perawi yang kuat. Yahya dan Ahmad bin Hanbal telah menyebutkan bahwa Sa’id bin Abi Hilal ini mengalami ikhtilath. Selain itu, sesungguhnya argumentasi mereka dalam membantah kami dengan menggunakan hadits tersebut, telah dilarang oleh pokok-pokok ajaran mereka sendiri karena menurut pokok-pokok ajaran mereka, khabar ahad itu tidaklah mengandung faidah ilmu. Selain itu juga, seandainya memang sahih hadits yang dijadikan hujjah untuk membantah pendapat kami itu, maka sesungguhnya kami hanyalah mengingkari ucapan orang yang mengatakan, “Sesungguhnya nama-nama Allah –ta’ala- itu merupakan musytaqah dari sifat-sifat dzatiyah,” lalu orang tersebut memutlakkan kaidahnya tersebut terhadap al-ilmu, al-qudrah, al-quwwah, dan al-kalam sebagai sifat-sifat Allah, demikian juga dengan iradah, sam’an, basharan, dan hayah bahwasanya semua itu merupakan sifat-sifat Allah. Maka, inilah perkara yang kami ingkari dengan sebenar-benar pengingkaran. Tidak ada dalam hadits yang disebutkan tadi (yakni hadits tentang orang yang membaca surah al-Ikhlas), dan tidak ada pula dalam hadits-hadits lainnya, suatu keterangan yang menetapkan (sifat-sifat Allah) tersebut. Hadits yang tersebut di atas itu hanyalah menjelaskan bahwa khusus Qul Huwallahu Ahad (yakni surah al-Ikhlas) saja yang menyebutkan gambaran sifat ar-Rahman, dan kami tidak mengingkari hal itu, bahkan hadits tersebut telah menyalahi pendapat mereka sendiri karena mereka tidak mengkhususkan Qul Huwallahu Ahad itu dengan hal tersebut dan malah menetapkan al-kalam, al-ilmu, dan lain-lainnya sebagai sifat Allah. Dan Qul Huwallahu Ahad itu merupakan pengabaran tentang Allah –ta’ala– mengenai hakikat-Nya yang benar. Maka kami katakan bahwa surah al-Ikhlas itulah sifat ar-Rahman, dengan pengertian bahwa hal itu merupakan kabar tentang hakikat diri Allah –ta’ala– secara benar. Dengan demikian, maka kabar ini merupakan hujjah yang menguatkan pendapat kami dan menyerang pendapat mereka … dan Allah –ta’ala– telah berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), “Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,” di sini Allah mengingkari pemutlakan ungkapan “sifat atau sifat-sifat” terhadap diri-Nya lalu membatalkan penyampaian gambaran yang salah dan tak semestinya dari orang yang berbuat semena-mena dengan hadits tersebut untuk menghalalkan lafaz “sifat atau sifat-sifat” dalam hal yang tidak ada dalilnya, tidak ada ijma’ tentangnya, dan atsar dari Salaf mengenai hal itu … SELESAI …
*
**
Penjelasan atas Kekeliruan Ibn Hazm –rahimahullah …
Pertama: Ibn Hazm menganggap bahwa tidak ada dalil dari al-Quran maupun dari as-Sunnah yang menyebutkan lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” yang ditujukan bagi Allah –ta’ala. Dan beliau keliru karena lafaz tersebut terdapat dalam al-Quran dan hadits. Allah –ta’ala– berfirman:
سبحان ربك رب العزة عما يصفون

“Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. ash-Shaffat: 180)
Adapun dari hadits, jelas disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim yang telah disebutkan di atas. Dalam hadits itu, disebutkan bahwa shahabat berkata, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak menyalahkannya bahkan menyetujuinya …

Kedua: Ibn Hazm menganggap bahwa hadits tersebut tidak sahih karena Sa’id bin Abi Hilal itu dha’if, bukan perawi yang kuat. Tentu saja anggapan beliau ini tidak benar karena para ulama telah menjadikan riwayatnya sebagai hujjah sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari berikut:

وسعيد متفق على الاحتجاج به فلا يلتفت إليه في تضعيفه

“Dan Sa’id (bin Abi Hilal) ini telah disepakati untuk berhujjah dengan riwayatnya, maka tak perlu mengambil perhatian terhadap pendha’ifan Ibn Hazm terhadapnya.”

Ketiga: Ibn Hazm beranggapan bahwa surah ash-Shaffat ayat 180 itu mengandung pengingkaran Allah terhadap lafaz “sifat” atau “sifat-sifat”. Ibn Hazm mengatakan, “… dan Allah –ta’ala- telah berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), ‘Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,’ di sini Allah mengingkari pemutlakan ungkapan “sifat atau sifat-sifat” terhadap diri-Nya.”

Tentu saja ucapan Ibn Hazm itu tidak benar. Dalam ayat itu, Allah bukanlah mengingkari lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” bagi diri-Nya, melainkan Allah mengingkari pemerian sifat yang berkekurangan yang diucapkan manusia tentang diri-Nya. Ibn Hajar telah mengingkari ucapan Ibn Hazm tersebut dengan berkata sebagai berikut:

وقد قاله سبحانه وتعالى (سبحان ربك رب العزة عما يصفون) فنزه نفسه عما يصفونه به من صفة النقص، ومفهومه أن وصفه بصفة الكمال مشروع، وقد قسم البيهقي وجماعة من أئمة السنة جميع الأسماء المذكورة في القرآن وفي الأحاديث الصحيحة على قسمين: أحدهما صفات ذاته: وهي ما استحقه فيما لم يزل ولا يزال، والثاني صفات فعله: وهي ما استحقه فيما لا يزال دون الأزل، قال ولا يجوز وصفه إلا بما دل عليه الكتاب والسنة الصحيحة الثابتة أو أجمع عليه …

Allah –subhanahu wa ta’ala– berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), “Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,” maka –di dalam ayat ini- Allah menyucikan diri-Nya dari sifat-sifat kekurangan yang disifatkan kepada-Nya oleh manusia. Bisa dipahami dari ayat ini bahwa sesungguhnya Allah menetapkan sifat-sifat yang sempurna dan layak bagi diri-Nya sendiri. Imam al-Baihaqi dan para Imam dari kalangan ulama Sunnah telah membagi semua nama-nama Allah yang terdapat di dalam al-Quran dan hadits-hadits yang sahih ke dalam dua bagian, salah satunya adalah sifat dzatiyah Allah, yaitu sifat yang layak bagi-Nya dan senantiasa melekat pada diri-Nya. Yang kedua adalah sifat fi’liyah, yaitu sifat yang layak bagi-Nya dan melekat dengan-Nya selain yang azali (yakni terkait dengan kehendak-Nya). Dan tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah yang sahih atau yang disepakati …

Keempat: Ibn Hazm mengatakan bahwa kalaupun hadits tentang orang yang membaca surah al-Ikhlas di atas itu shahih, maka hanya khusus Qul Huwallahu Ahad (yakni surah al-Ikhlas) sajalah yang menyebutkan sifat ar-Rahman itu (yakni: kalaupun boleh menyebut lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” bagi Allah, maka hanya boleh mengaitkannya dengan surah al-Ikhlas saja, tidak boleh menyifati Allah dengan selain itu seperti sifat al-ilmu, al-qudrah, al-quwwah, dan al-kalam, dan lain-lain –pent).

Ucapan Ibn Hazm itu tentu saja tidak benar dan sangat ganjil. Beliau menyatakan bahwa ungkapan “sifat” bagi Allah itu hanya boleh diterapkan terhadap surah al-Ikhlas saja berdasarkan hadits tersebut. Padahal dalam hadits tersebut, jelas sekali adanya persetujuan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tentang kebolehan menyebut sifat bagi Allah untuk selain surah al-Ikhlas tersebut. Hal itu karena lelaki dalam hadits tersebut mengatakan, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyetujuinya dan mengabarkan kepada lelaki itu bahwa Allah mencintainya. Lelaki itu menyebut ungkapan “sifat” karena memang dalam surah al-Ikhlas itu terdapat nama dan sifat Allah, dan bukanlah maksudnya sifat Allah itu hanya khusus terdapat di dalam surah al-Ikhlas saja. Ibn Hajar menukil ucapan Ibn at-Tin sebagai berikut:

إنما قال إنها صفة الرحمن؛ لأن فيها أسماءه وصفاته، وأسماؤه مشتقة من صفاته …

Hanyalah lelaki itu mengatakan, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” lantaran memang di dalam surah itu terdapat nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sementara nama-nama-Nya itu merupakan musytaq dari sifat-sifat-Nya …

Ibn Hajar juga berkata sebagai berikut:

وكلامه الأخير مردود باتفاق الجميع على إثبات الأسماء الحسنى، قال الله تعالى ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وقال بعد أن ذكر منها عدة أسماء في آخر سورة الحشر له الأسماء الحسنى والأسماء المذكورة فيها بلغة العرب صفات ففي إثبات أسمائه إثبات صفاته ؛ لأنه إذا ثبت أنه حي مثلا فقد وصف بصفة زائدة على الذات وهي صفة الحياة …

Dan ucapan Ibn Hazm tersebut tertolak berdasarkan kesepakatan ulama terhadaps penetapan al-Asma’ al-Husna. Allah –ta’ala- berfirman (QS. al-A’raf: 180), “Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya itu,” dan Allah juga berfirman setelah menyebutkan sejumlah nama di akhir surah al-Hasyr (24), “Dia memiliki al-Asma’ al-Husna,” dan nama-nama-Nya yang disebutkan tersebut menurut lughah Arab adalah sifat-sifat-Nya, maka dalam penetapan nama-nama-Nya terdapat pula penetapan sifat-sifat-Nya karena apabila telah kukuh bahwa –sebagai contoh- Allah itu Hayyu, maka Allah pun disifati dengan sifat tambahan terhadap dzat-Nya, yaitu sifat al-Hayyah …

Dengan demikian, boleh memutlakkan “sifat” atau “sifat-sifat” bagi Allah dengan “sifat” atau “sifat-sifat” yang datang atau disebutkan dalam al-Quran dan hadits yang sahih. Adapun menyifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits yang sahih, maka itu tidak boleh …

Demikianlah pendapat Ibn Hazm –rahimahullah– dalam masalah sifat-sifat Allah, dan beliau mencocoki Jahmiyyah dalam hal tersebut sehingga tentu saja menyelisihi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah …

Terakhir, saya teringat akan ucapan Syaikh al-Albani –rahimahullah– dalam kitab al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima’ al-Amwat (91) mengenai Ibn Hazm –rahimahullah:

علي بن أحمد بن سعيد بن حزم الأندلسي القرطبي٬ من كبار حفاظ الحديث وأئمة الظاهرية٬ ولكن في الأسماء والصفات جهمي جلد٬ وله أوهام كثيرة في الرواة وتجهيلهم. توفى سنة (٤٥٦) … – الآيات البينات في عدم سماع الأموات (٩١) …

‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi al-Qurthubi, termasuk kalangan ulama besar hafizh hadits, dabn dia termasuk ulama kalangan zhahiriyah. Akan tetapi dalam masalah Asma dan Shifat, Ibn Hazm itu termasuk Jahmiyyah tulen. Beliau juga banyak melakukan kekeliruan dalam masalah perawi-perawi hadits dan sering menganggap mereka majhul. Beliau wafat pada tahun 456 Hijriyah …

Wallahu a’lamu …
tipongtuktuk.wordpress

Kisah palsu: imam bukhori membuang 1000 dinar ke laut


Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri –rahimahullah– menulis sebuah kitab dalam bahasa Urdu mengenai perjalanan hidup Imam al-Bukhari –rahimahullah. Kitab tersebut kemudian dialihbahasakan oleh Syaikh ‘Abd al-‘Alim bin ‘Abd al-‘Azhim al-Bastawi ke dalam bahasa Arab dengan judul Sirah al-Imam al-Bukhari. Ada satu kisah dalam kitab tersebut yang menyebutkan bahwa Imam al-Bukhari sengaja membuang uang sebanyak 1.000 (seribu) dinar ke laut untuk menghindari fitnah dari tipu daya salah seorang penumpang kapal. Adapun kisah yang dituturkan oleh Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri adalah sebagai berikut (setelah dialihbahasakan dari bahasa Urdu ke bahasa Arab):

وقد ذكر العلامة العجلوني قصة تدل على ورع الإمام البخاري وبعده عن مواضع التهم وهي:

أن الإمام البخاري ركب البحر مرة في أيام طلبه وكان معه ألف دينار٬ فجاءه رجل من أصحاب السفينة وأظهر له حبه ومودته وأصبح يقاربه ويجالسه٬ ولما رأى الإمام حبه وولاءه مال اليه وبلغ الأمر أنه بعد المجالسات أخبره عن الدنانير الموجودة عنده .

وذات يوم قام صاحبه من النوم فأصبح يبكي ويُعَوِّل ويُمَزِّقُ ثيابه ويلطم وجهه ورأسه، فلما رأى الناس حالته تلك أخذتهم الدهشة والحيرة وأخذو يسألونه عن السبب وألحوا عليه في السؤال، فقال لهم :كانت عندي صرة فيها ألف دينار وقد ضاعت٬ فأصبح الناس يفتشون ركاب السفينة واحدا واحدا، وحينئذ أخرج البخاري صرة دنانيره خفية وألقاها في البحر، ووصل المفتشون إليه وفتشوه أيضا حتى انتهوا من جميع ركاب السفينة، ولم يجدوا شيئا فرجعوا إليه ولاموه ووبَّخوه أشد توبيخ.

ولما نزل الناس من السفينة جاء الرجل إلى الإمام البخاري وسأله عماذا فعل بصرة الدنانير؟ فقال: ألقيتها في البحر. قال: كيف صبرت على ضياع هذا المال العظيم؟ فقال له الإمام: ياجاهل٬ ألا تدري أنني أفنيت حياتي كلها في جمع حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم، وعرف العالم ثقتي، فكيف كان ينبغي لي أن أجعل نفسي عرضة لتهمة السرقة؟ وهل الدرة الثمينة (الثقة والعدالة) التي حصلت عليها في حياتي أضيعها من أجل دنانير معدودة؟

Al-‘Allamah al-‘Ajluni menyebutkan sebuah kisah yang menunjukkan sikap wara’ Imam al-Bukhari dan jauhnya Imam al-Bukhari dari tempat-tempat (keadaan-keadaan atau posisi-posisi) yang menimbulkan tuduhan buruk. Adapun kisahnya adalah sebagai berikut:

Bahwasanya Imam al-Bukhari pernah berlayar mengarungi lautan pada masa-masa menuntut ilmu. Saat itu Imam al-Bukhari membawa uang sebanyak 1.000 (seribu) dinar. Lalu datanglah kepada beliau seorang lelaki dari kalangan awak kapal. Lelaki tersebut menampakkan rasa suka dan kecintaan terhadap Imam al-Bukhari, lalu bersikap dekat dan duduk membersamai Imam al-Bukhari. Tatkala Imam al-Bukhari melihat kecintaan dan jiwa persahabatan lelaki tersebut, Imam al-Bukhari pun merasa senang berteman dengan lelaki itu dan setelah beberapa kali duduk berbincang bersama, Imam al-Bukhari pun memberitahukan kepada lelaki itu tentang uang 1.000 (seribu) dinar yang dibawanya.

Pada suatu hari, lelaki awak kapal itu terbangun dari tidurnya. Ia menangis dan meratap seraya merobek-robek pakaiannya dan memukul-mukul wajah dan kepala sendiri. Tatkala orang-orang (yang berada di dalam kapal) melihat keadaan lelaki itu, mereka pun menjadi heran dan bingung, lalu mereka bertanya kepada lelaki itu dengan pertanyaan yang mendesak dan berulang-ulang tentang hal yang menyebabkannya menangis dan meratap seperti itu. Lalu lelaki itu berkata kepada mereka, “Kantongku yang berisi uang seribu dinar hilang!” (Mendengar alasannya), orang-orang pun melakukan penggeledahan satu persatu terhadap para penumpang kapal. Pada saat penggeledahan sedang dilakukan (terhadap penumpang lain), Imam al-Bukhari secara sembunyi-sembunyi mengeluarkan kantongnya yang berisi uang 1.000 (seribu) dinar, lalu melemparkannya ke laut. Setelah itu, orang-orang mulai menggeledah Imam al-Bukhari, lalu berlanjut kepada penumpang lain hingga penumpang terakhir, tetapi mereka tak menemukan barang yang mereka cari. Akhirnya, para pemeriksa itu kembali kepada lelaki awak kapal (yang managis tadi) seraya mencela dan menegurnya dengan teguran yang keras. Ketika (kapal berlabuh) dan orang-orang turun dari kapal, lelaki itu menghampiri Imam al-Bukhari dan bertanya kepada beliau tentang, “Apa yang diperbuat dengan kantong berisi uang dinar itu?” Imam al-Bukhari menjawab, “Aku melemparkannya ke laut.” Lelaki itu berkata, “Bagaimana kau bisa bersabar atas kehilangan uang yang sangat besar ini?” Maka Imam al-Bukhari berkata kepadanya, “Wahai orang bodoh! Tidak tahukah kau bahwa diriku telah menghabiskan seluruh hidupku untuk mengumpulkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam? Dunia telah mengenalku sebagai orang yang tsiqah (tepercaya), maka bagaimana mungkin aku membiarkan diriku sebagai sasaran tuduhan atas pencurian? Apakah ad-Durrah ats-Tsaminah (mutiara berharga; yakni ketepercayaan dan keadilan dalam periwayatan hadits) yang telah kucapai dalam hidupku harus kubuang demi mempertahankan dinar-dinar yang bisa dihidung?” –Shirah al-Imam al-Bukari (122-123) … SELESAI …

Setelah membawakan kisah tersebut, Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri –rahimahullah– mengomentari kisah tersebut sebagai berikut:

تفرد بذكر هذه الرواية العجلوني في الفوائد الدراري …

“Syaikh al-‘Ajluni menyendiri dalam meriwayatkan kisah ini di kitab al-Fawa-id ad-Darari.” –SELESAI …

Dari ucapan Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri, bisa diketahui bahwa beliau tidak menemukan kisah tersebut dituturkan dalam kitab-kitab yang memuat biografi Imam al-Bukhari selain kitab al-Fawa-id ad-Darari karya al-‘Ajluni saja. Sementara, kitab al-Fawaid ad-Darari itu termasuk kitab yang muncul pada kurun waktu yang jauh setelah masa kehidupan Imam al-Bukhari. Komentar Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri ini menimbulkan kesan pada diri saya bahwa kisah tersebut tidak sahih …

Penerjemah kitab Sirah al-Imam al-Bukhari (dari bahasa Urdu ke bahasa Arab), Syaikh ‘Abd al-‘Alim bin ‘Abd al-‘Azhim al-Bastawi, memberi catatan kaki terhadap kisah tersebut:

وهذا السياق للقصة هو ترجمة متطابقة لما ذكره المؤلف رحمه الله في كتابه بالأردية. أما كتاب العجلوني فلم اطلع عليه حتى الآن …

“Redaksi kisah ini  merupakan (redaksi Arab) dari hasil penerjemahanku secara letterlijk (harfiah) terhadap kisah yang dituturkan oleh Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri dalam kitabnya yang berbahasa Urdu. Adapun kitab al-Ajluni (yang menjadi sumber dari pengambilan kisah tersebut) belum pernah kuperiksa hingga saat ini.” –SELESAI …

Dari ucapan Syaikh ‘Abd al-‘Alim al-Bastawi tersebut bisa diketahui bahwa redaksi kisah sebagaimana yang ditampilkan di atas bukanlah redaksi asli sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Fawa-id ad-Darari karya al-‘Ajluni sebagai kitab sumbernya. Hal itu dikarenakan Syaikh ‘Abd al-‘Alim al-Bastawi hanya mengalihbahasakan secara letterlijk (harfiah) saja dari tulisan Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri yang menulisnya dalam bahasa Urdu. Pada awalnya, Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri mengalihbahasakan redaksi kisah itu dari kitab al-‘Ajluni yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Urdu. Setelah itu, kisah yang ditulis oleh Syaikh ‘Abd as-Salam al-Mubarakfuri dalam bahasa Urdu itu dialihbahasakan lagi ke dalam bahasa Arab oleh Syaikh ‘Abd al-‘Alim al-Bastawi tanpa mengacu kepada kitab al-‘Ajluni …

Lantas bagaimanakah redaksi kisah di kitab al-Fawa-id ad-Darari karya al-‘Ajluni yang merupakan kitab sumbernya? Bagaimana pula metode penuturannya? Apakah al-‘Ajluni menyebutkan sanad bagi kisah tersebut?

Setelah saya cari di kitab al-Fawa-id ad-Darari, maka saya temukan redaksi dan penuturan al-‘Ajluni akan kisah tersebut sebagai berikut:

وحُكِيَ عنه –رضي الله عنه-: أنه ركب في سفينة لطلب الحديث٬ ومعه كيس فيه ألف دينار٬ فجعل بعض من في السفينة يخدم الشيخ ويتلطف به حتى ركن الشيخ إليه٬ وأطلعه على ما معه٬ فتناوم الرجل٬ ثم استيقظ٬ فصاح وشق ثيابه٬ فقال له الناس: ويحك ما لك؟ قال: كان معي كيس فيه ألف دينار٬ وقد سرق مني٬ فجعلوا يفتشون السفينة٬ ويفتش بعضهم بعضا٬ فألقى الشيخ الكيس في البحر من غير أن يشعر به أحد٬ فلما فتشوا البخاري٬ ولم يجدوا معه الكيس٬ سبوا ذلك الرجل وضربوه٬ ثم لما خرجوا٬ خلا الرجل بالشيخ٬ وقال له: ما فعلت بالكيس؟ قال: ألقيته في البحر٬ قال: هل سمحت نفسك بذهاب ألف دينار؟ فقال له الشيخ: يا قليل العقل! أنا أذهبت عمري ومالي في طلب الحديث٬ وقد ثبت عند الناس أني ثقة٬ أفلا أنفي عني اسم السرقة؟

Dan dihikayatkan dari Imam al-Bukhari –radhiyallahu ‘anu, bahwasanya beliau pernah berlayar dengan kapal untuk mencari hadits, dan beliau membawa kantong yang berisi uang sebanyak 1.000 (seribu) dinar. Lalu salah seorang lelaki yang berada di kapal melayani Imam al-Bukhari dan bersikap ramah kepada beliau sampai-sampai beliau pun memercayainya dan memberitahukan kepadanya tentang kantong berisi uang dinar yang dibawa oleh beliau. Lalu lelaki itu berpura-pura tidur dan kemudian terbangun seraya berteriak dan merobek-robek pakaiannya. Orang-orang pun berkata kepadanya, “Celaka kau! Ada apa denganmu?” Lelaki itu menjawab, “Kantongku yang berisi uang seribu dinar terlah dicuri dariku.” Maka mulailah orang-orang menggeledah kapal dan saling memeriksa satu sama lain. Tanpa sepengetahuan para penumpang kapal, Imam al-Bukhari melemparkan kantong berisi uang 1.000 (seribu) dinar ke laut. Maka tatkala mereka menggeledah Imam al-Bukhari dan tak mendapati kantong berisi uang itu, mereka pun mencerca lelaki tadi dan memukulnya. Setelah itu, ketika mereka turun dari kapal, lelaki itu mendekati Imam al-Bukhari dan berkata kepada Imam al-Bukhari, “Apa yang kau lakukan dengan kantong uangmu?” Imam al-Bukhari menjawab, “Aku melemparkannya ke laut.” Lelaki itu berkata, “Apakah jiwamu bisa merasa lapang dengan kehilangan uang seribu dinar?” Maka Imam al-Bukhari berkata, “Wahai orang yang sedikit akalnya! Aku telah menghabiskan umur dan hartaku untuk mencari hadits. Telah kukuh dalam pandangan manusia bahwa aku ini merupakan orang yang tsiqah (tepercaya). Apakah aku tidak mencegah tuduhan-tuduhan dari diriku sebagai pencuri?” –al-Fawa-id ad-Darari (51-52) … SELESAI …

Ternyata al-‘Ajluni –rahimahullah– tidaklah membawakan sanad bagi kisah tersebut. Bahkan beliau memulai kisah tersebut dengan shighah tamridh (ungkapan yang mengindikasikan bahwa riwayat tersebut lemah), yaitu dengan ungkapan, “Hukiya ‘an (dihikayatkan dari).”

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa kisah tersebut TIDAK BENAR dan tidak bisa disandarkan kepada Imam al-Bukhari dengan alasan sebagai berikut:

Imam al-‘Ajluni menyendiri dengan riwayat tersebut. Tidak ada kitab-kitab lain yang ada sebelum kitab al-‘Ajluni yang menyebutkan kisah tersebut …
Imam al-‘Ajluni tidak menyertakan sanad bagi kisah tersebut dan tidak pula menyebutkan dari kitab apa beliau mengambil kisah tersebut …
Saat menuturkan kisah tersebut, Imam al-‘Ajluni menggunakan shighah tamridh yang mengindikasikan bahwa kisah yang disebutkannya itu merupakan kisah yang lemah …
Imam al-‘Ajluni itu lahir pada tahun 1087 Hijriyah dan wafat pada tahun1162 Hijriyah sehingga tidak mungkin beliau bisa mengetahui hikayat Imam al-Bukhari yang hidup jauh di masa-masa sebelum beliau kecuali melalui kabar-kabar yang terdapat dalam kitab-kitab sebelum beliau atau melalui kabar-kabar yang bersanad sampai kepada Imam al-Bukhari, sementara tidak terdapat kitab-kitab sebelum beliau yang memuat kisah tersebut dan tidak pula beliau menyebutkan sanadnya …
Seandainya memang Imam al-Bukhari pernah mengalami peristiwa tersebut, maka tentu kisah itu akan disebutkan di dalam kitab-kitab yang memuat tentang manaqib Imam al-Bukhari …