Rabu, 25 Desember 2019

Tidak ada pengembaraan dalam islam

Pertanyaan

Sejauh mana keshahihan hadits ‘Tidak ada wisata dalam Islam’?
Teks Jawaban
Alhamdulillah
Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam kitab Mushonnaf-nya dari Laits, dari Thawus, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “... Dan tidak ada wisata, tidak    ada kebiri  (agar tidak menikah) dan tidak ada kependetaan (hanya beribadah saja) dalam Islam.” Al-Albany berkata dalam Kitab Dhaif Al-Jami, (hadits) ini lemah, no. 6287.
Yang shahih adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya hadits dari Abu Umamah, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Wisata umatku adalah berjihad di jalan Allah.” Dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih Al-Jami’ no. 2093. Sedangkan makna kata (سائحات)  dalam firman Allah,
مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا   (سورة التحريم: 5)
"…Dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan." (QS. At-Tahrim: 5)
adalah orang-orang yang berpuasa. Jadi wisata bermakna jihad dan puasa dalam nash agama.

Selasa, 24 Desember 2019

Imam malik membenci membaca yasin saat sekarat


وذهب الإمام مالك رحمه الله إلى كراهة قراءة سورة يس أو غيرها عند المحتضر ، لضعف الحديث الوارد في ذلك ، ولأنه ليس من عمل الناس .
Imam malik berpendapat dibencinya bacaan yasin atau selainnya saat sakarotul maut karena lemahnya hadits yg datang ttg itu dan itu bukan amalan manusia
انظر : الفواكه الدواني" (1/284) ، "شرح مختصر خليل" (2/137) .

Rabu, 20 November 2019

Kisah dhoif surat khalifah umar kepada sungai nil


Kisah surat khalifah Umar bin khathab kepada sungai nil ini adalah suatu kisah yang sangat masyhur , sehingga kisah ini
banyak dibawakan oleh para ulama dalam
kitab-kitab mereka. Begitu juga di zaman
sekarang , kisah tersebut sering di
bawakan para ustadz maupun para da'i
penceramah di mesjid-mesjid maupun
dalam kajiannya.

Akan tetapi jika diteliti lagi atsar dari kisah
tersebut, ternyata adalah tidak benar disandarkan kepada khalifah Umar bin Khatab radiallahuanhum.

Berikut ini adalah atsar yang sering dibawakan tersebut :

أنا محمد بن أبي بكر قال : ثنا محمد بم مخلد قال :
ثنا محمد بن إسحاق قال : ثنا عبدالله بن صالح
حدثني  ابن لهيعة عن قيس حجاج عمن حدثه  قال :
لما فتحت مصر اتى أهلها إلى عمرو بن العاص حين
دخل بؤونة من أشهر العجم فقالوا : أيها الأمير إن لنيل
زهذا سنة لا يجري الا بها ، فقال : وما ذاك ؟ قالوا :
إذاكان ثنتا عشرة ليلة خلون من هذا الشهر عمدنا إلى
جارية بكر من أبويها فأرضينا أبويها وجعلنا عليها من
الحلى والثياب أفضل ما يكون ثم ثم ألقينا ها قي هذا
النيل ، فقال لهم عمرو : إن هذا مما لا يكون في
 الإسلام إن الإسلام يهدم ما قبله...................
فلما رأى ذلك عمرو كتب بذلك إلى عمر بن الخطاب
فكتب  : إنك قد أصبت بالذي فعلت وإنالإسلام
 يهدم ما قبله وإني قد بعث اليك ببطاقة داخل
كتابي هذا فألقها في النيل. فلما قدم كتاب عمر
 إلى عمرو أخذ البطاقة ففتحها فإذ فيها :
"من عبدالله عمر أمير المؤمنين إلى نيل مصر،
 أما بعد فأن كنت إنما تجري من قبلك فلا تجر ، 
وإن كان الله الواحد القهار هوالذي يجريك،
 فئسأالله الواحد القهار أن يحريك......

Menceritakan pada kami Muhamad bin
Abi Bakr berkata : menceritakan pada
kami Muhamad bin Makhlad berkata :
menceritakan pada kami Muhamad bin
Ishaq berkata : menceritakan pada kami
Abdullah bin Shooleh menceritakan
padaku Ibnu Lahi'ah dari qais bin Hajaj
dari seseorang  yang menceritakan ia
berkata : Ketika Amru bin 'Ash
menaklukkan mesir maka penduduk
mesir mendatanginya ketika telah
 memasuki bulan kesepuluh dari
penanggalan mesir, kemudian mereka
berkata : wahai Amir, sungguh kami
memiliki tradisi dengan sungai nil
kami ini, dan sungai nil tidak akan
mengalir kecuali dengan melakukan
tradisi tersebut. Amru bi Ash bertanya ;
Apa tradisi tersebut ? mereka menjawab:
Jika telah berlalu 12 bulan dari bulan ini
Kami akan mengambil seorang gadis
perawan dari kedua orang tuanya, setelah
sebelumnya kami membuat kedua orang
tuanya menjadi rela ( mengorbankan anak
gadisnya ).Kami mempercantik gadis
tersebut dengan perhiasan dan pakaian
yang terbaik, lalu kami melemparkannya
ke sungai nil ini , sehingga sungai nil
kembali mengalir. Amru bin Ash
berkata : perbuatan tersebut tidak
diperbolehkan dan sungguh islam
datang untuk menghancurkan ajaran
yang ada sebelumnya................dst.
Ketika Amru bin Ash melihat hal tersebut
maka ia menulis surat kepada khalifah
Umar bin Al khathab, maka khalifah
umar membalas surat tersebut : kamu
telah bertindak benar, sungguh islam
itu datang untuk menghancurkan ajaran
yang ada sebelumnya, Aku lampirkan
sehelai surat dalam surat balasanku ini,
jika surat ini telah engkau terima maka
lemparkanlah surat tersebut ke sungai nil.
Setelah surat Khalifah umar diterima
Amru nin Ash Ia pun membuka isi dari
surat tersebut :
Dari hamba Allah Umar amirul mu'minin
kepada sungai nil mesir, amma ba'du :
Jika engkau mengalir karena 
kehendakmu maka janganlah engkau
mengalir.
Jika engkau mengalir itu karena Allah 
Al wahidil qohhar, maka aku memohon
kepada Allah Al Wahidil Qohhar untuk
mengalirkanmu.........................dst.

( Al laalikaiy : Karomatil Aulia Allah
  Hal.119. no.66 )

Atsar ini diriwayatkan juga oleh :
⏩Ibnu Asaakir dalam tarikh dimsyiq
   44/336.
⏩Abu Asy-syaikh : al uzmah :4/1424.
⏩Ibnu Abdul hakim ; futuh mesir:1/150

Semuanya dari jalan ibnu lahi'ah.

Atsar ini juga dinukil oleh :

-↔ibnu katsir dalam Al bidayah: 3/27
↔Abu Rabi'al kula'i: al iktifa': 2/354
↔muhibbudin Ath thobari : riyadhun
  Nadhirah : 3/323
↔As subkiy : thobaqat syafi'iyah:2/326
↔As suyuthiy: tarikh khulafa' : 1/ 102-103

Atsar ini dhoif dengan dua sebab :

⭕ Abdullah bin lahi'ah bin uqbah
    Abu abdurrahman al bashriy

Mengenai perawi ibnu lahi'ah ini maka jumhur muhaditsin mendhoifkannya ,seperti:
Waki'bin Jarrah, ibnu qathan, ibnu ma'in
abu zur'ah, abu haatim, ibnu hanbal ,ibnu
sa'ad, Al jauzaniy, An Nasaaiy, ibnu hibban,
Al hakim dll.

akan tetapi para ahli hadist berbeda
pendapat dalam menyingkapi riwayat
Abdullah bin Lahi'ah ini.

Pertama :♻ Mereka yang menolak secara
mutlak periwayatan ibnu lahi'ah ini, baik
sebelum kitab-kitabnya terbakar maupun
setelah kitab-kitabnya terbakar, semua
periwayatannya lemah.


Kedua :♻ Mereka mendhoifkan riwayat
ibnu lahi'ah ini jika perawi yang menerima
hadist darinya itu setelah kitabnya
terbakar. Akan tetapi jika perawi
mengambil riwayat dari ibnu lahi'ah
sebelum kitabnya terbakar  maka mereka
menerima riwayatnya hanya sebagai
I'tibar dan ulama yang lain menerima
secara mutlak akan tetapi dengan Syarat :


🔵 jika yang meriwayatkan dari beliau
  Orang-orang seperti : Ibnu mubarak
  Ibnu wahb , abdullah bin yazid al muqri
  Abdullah bin maslamah al qa'nabiy
  Yahya bin ishaaq, abdurrahman bin
  mahdi, ishaq bin isa, al laits bin sa'ad
  dan Bisyr bin bakr.

Maka selain orang-orang diatas maka
riwayat ibnu lahi'ah semuanya Dhoif.

Riwayat ibnu lahi'ah diatas adalah dari
perawi Abdullah bin shaaleh yang tidak
termasuk dalam jajaran orang yang
diterima riwayatnya dari ibnu lahi'ah.

Disamping itu juga ibnu lahi'ah ini
adalah seorang mudallis seperti yang
dikatakan oleh ibnu hibban dalam
Al Majruhin.

Ibnu hajar rahimahullah memasukkan
ibnu lahi'ah dalam thobaqat mudalisin
pada tingkatan yang ke-5.
Artinya , riwayatnya tidak diterima
walaupun ia telah menceritakan dengan
lafadz tahdist penyimakan hadist.



⭕. Mubham-nya perawi yang diriwayatkan
    Oleh Qais bin Hajaaj.

Mubham adalah seorang perawi yang
tidak disebutkan namanya atau hanya
disebutkan kunyah dan laqabnya saja
ini adalah sebuah indikasi akan
kedhoifan  suatu hadist.


Oleh karena itu walaupun kisah ini
masyhur di kalangan ulama tidak lantas
menjadi  kisah yang shahih yang
disandarkan  kepada khalifah amirul
mu'minin Umar  bin khathab
radiallahuanhu.

Rabu, 06 November 2019

Kisah palsu nabi tidur depan pintu


Suatu hari Aisyah dicengkram rasa khawatir. Hingga menjelang shubuh ia tidak menjumpai suaminya tersebut tidur di sebelahnya. Dengan gelisah Aisyah pun mencoba berjalan keluar. Ketika pintu dibuka, Aisyah terbelalak kaget. Rasulullah sedang tidur di depan pintu.  "Mengapa Nabi tidur di sini?" "Aku pulang larut malam. Karena khawatir mengganggu tidurmu, aku tak tega mengetuk pintu. Itulah sebabnya aku tidur di depan pintu," jawab Nabi.

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/42921/alasan-rasulullah-tidur-di-depan-pintu
Konten adalah milik dan hak cipta www.islam.nu.or.id

Tidak ada riwayat tersebut di semua kitab hadits
lebih lengkap lihat
https://www.islamweb.net/ar/fatwa/307462/

Sabtu, 02 November 2019

wanita jamaah di masjid tidak dilipatgandakan pahalanya


Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan,

وفي حديث أبي هريرة رضي الله عنه الذي خرجه البخاري : ( صلاة الرجل في الجماعة تضعف ) وهو يدل على أن صلاة المرأة لا تضعف فِي الجماعة ؛ فإن صلاتها فِي بيتها خير لها وأفضل

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan Bukhari, ‘Shalatnya lelaki secara berjamaah itu dilipatkan’ ini menunjukkan bahwa shalat wanita berjamaah di masjid tidak dilipatkan pahalanya. Karena shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih afdhal. (Fathul Bari, 6/19)

Puasa hari maulid

Terdapat banyak puasa sunah yang dianjurkan dalam Islam. Dan secara umum, puasa sunah dalam islam dibagi menjadi dua:
1. Puasa sunah mutlak
Puasa sunah mutlak  adalah puasa sunah yang dikerjakan tanpa dibatasi waktu maupun tempat tertentu. Artinya bisa dikerjakan kapanpun selama tidak bertepatan dengan hari terlarang puasa, seperti hari raya, hari tasyrik, hari Jumat saja, atau hari Sabtu saja.
2. Puasa sunah muqayad
Puasa sunah muqayad adalah puasa sunah yang dikerjakan pada hari tertentu, berdasarkan anjuran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Puasa ini ada yang tahunan, ada yang bulanan, dan ada yang mingguan. Seperti puasa Asyura di setiap tanggal 10 Muharam, puasa Arafah di setiap tanggal 9 Dzulhijjah, puasa Senin-Kamis setiap pekan, puasa hari putih (tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan), 6 hari di bulan Syawal, puasa Sya’ban, dst.
Dari sekian banyak puasa sunah muqayad yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang namanya puasa hari maulid. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan puasa tahunan. Demikian pula, tidak kita jumpai beliau atau para sahabat melaksanakan puasa di hari maulid. Ini semua menunjukkan bahwa puasa maulid jatuh pada tanggal 12 rabi’ul awal, bukan termasuk puasa yang disyariatkan. Terlebih, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal lahirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kecuali jika tanggal 12 rabiul awal jatuh pada hari kamis, seperti saat ini (24 januari 2013). Kita dianjurkan untuk melaksanakan puasa kamis, bukan karena ini hari maulid, namun karena hari ini adalah hari kamis. Namun satu catatan, tidak boleh kita yakini, puasa hari kami saat ini memiliki nilai lebih atau keutamaan tambahan, karena  alasan bertepatan dengan hari maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Banci dosa besar

Dalam Badaa-i’ As-Shonaa-i’ (9/21),
ولا عدالة للمخنث، لأن فعله وعمله كبيرة.
“Orang menyengaja banci, tidak bisa dinilai sholih. Karena perbuatannya, termasuk dosa besar.”

Adakah makhluk sebelum nabi adam ke bumi?


Sebelum Adam, Allah telah menciptakan jin dan meminta mereka untuk memakmurkan bumi. Lalu mereka banyak maksiat dan saling membunuh. Ketika Allah hendak menciptakan manusia, Malaikat meng-qiyaskan makhluk ini dengan makhluk sebelumnya yang sudah pernah berbuat kerusakan di muka bumi.

Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abul Aliyah, dan Muqatil. (Zadul Masir, 1/61)

Imam Ibnu Utsaimin mengatakan,

Terkait perkataan malaikat, “Apakah Engkau akan menjadikan makhluk di muka bumi yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?”

يرجِّحُ أنهم خليفة لمن سبقهم ، وأنه كان على الأرض مخلوقات قبل ذلك تسفك الدماء وتفسد فيها ، فسألت الملائكة ربها عزّ وجلّ : ( أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ) كما فعل من قبلهم

Pendapat yang lebih kuat, bahwa mereka adalah pengganti makhluk sebelumnya. Di mana, dulu ada makhluk di bumi sebelum mereka yang menumpahkan darah, dan berbuat kerusakan. Lalu malaikat bertanya kepada Rabnya, “Apakah Engkau akan menjadikan makhluk di muka bumi yang berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?” maksudnya, sebagaimana yang pernah dilakukan makhluk sebelumnya. (Tafsir al-Quran al-Karim, al-Baqarah: 30).

Hukum bermakmum dg imam sholat sunnah


Pertanyaan : Jika seseorang sedang sholat sunnah, kemudian datang seseorang bermakmum kepadanya apakah ini dibolehkan ?” pernah diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Ustaimin :

فأجاب فضيلته بقوله: نعم يجوز ذلك, فإذا دخل معه القادم نوى الجماعة, ولا ينبغي له أن يأبى فيحرم نفسه ويحرم الداخل ثواب الجماعة, وقد ثبت أن النبي صلي الله عليه وسلم قام يصلي من الليل وحده فجاء ابن عباس – رضي الله عنهما – فصلى معه ,وما جاز في النفل جاز في الفرض؛ لأن الأصل تساوي أحكامهما إلا بدليل يدل على الخصوصية

“Maka Syaikh menjawab: Iya hal tersebut dibolehkan, apabila seseorang sholat sunnah sendirian kemudian datang orang lain berniat sholat berjamaah maka tidak sepantasnya ia menghalangi dirinya dan orang yang datang untuk mendapatkan pahala sholat berjamaah, dan telah disebutkan bahwa suatu ketika Nabi ﷺ pernah sholat malam sendirian, maka Ibnu Abbas rhadiyallahu ‘anhuma datang dan bermakmum kepada Nabi ﷺ. Dan apapun yang dibolehkan pada sholat sunnah maka hal yang sama pun dibolehkan pada sholat fardhu, karena pada dasarnya adanya kesamaan hukum antara keduanya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkan.” (Majmu’ Fatawa wa Rosail al-Utsaimin: 15/171).

Senin, 28 Oktober 2019

Syeikh utsaimin menyatakan albani gak berilmu?

Syubhat: al-’Utsaimin sendiri, sangat marah al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali:
ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم.”
Artinya: “Ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki ilmu agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja!
Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani).
Beliau (Utsman R.A) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat: al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al- Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) hal 638.)

Jawaban: 
Kalau kita rujuk ke teks asli kita tidak akan menemukan syeikh utsaimin menyebut syeikh albani sedikitpun.
Itu hanya hayalan mereka.
Karena memang syeikh albani membolehkan adzan jumat kedua dg syarat terpenuhi syaratnya diantaranya waktunya tidak berdekatan sebagaimana adzan utsman.

العلامة الألباني
قال في رسالته " الأجوبة النافعة " :
[لا نرى الاقتداء بما فعله عثمان رضي الله عنه على الإطلاق ودون قيد ، فقد علمنا مما تقدم أنه إنما زاد الأذان الأول لعلة معقولة ، وهي كثرة الناس وتباعد منازلهم عن المسجد النبوي ، فمن صرف النظر عن هذه العلة وتمسك بأذان عثمان مطلقا ، لا يكون مقتديا به رضي الله عنه ، بل هو مخالف له حيث لم ينظر بعين الاعتبار إلى تلك العلة التي لولاها لما كان لعثمان أن يزيد على سنته عليه الصلاة والسلام وسنة الخليفتين من بعده.
متى يشرع الأذان العثماني؟:
فإذن إنما يكون الاقتداء به رضي الله عنه حقا عندما يتحقق السبب الذي من أجله زاد عثمان الأذان الأول وهو "كثرة الناس وتباعد منازلهم عن المسجد" كما تقدم.

Dalil pakai sayyidina

Syubhat:
(حديث ابن عمر: ” أنه كان إذا دعى ليزوج قال: الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد , إن فلانا يخطب إليكم فإن أنكحتموه فالحمد لله وإن رددتموه فسبحان الله ” (2/145) .
* صحيح.
أخرجه البيهقى (7/181)
Hadis Ibnu Umar bahwa jika beliau diundang untuk menikahkan, beliau berkata: “Segala puji milik Allah. Rahmat Allah semoga dihaturkan pada JUNJUNGAN kita Muhammad. Sungguh fulan melamar pada kalian. Jika kalian menikahkam maka alhamdulillah. Jika kalian menolak maka subhanallah” (Dikeluarkan oleh al-Baihaqi)
Syaikh Albani: “SAHIH” (Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Manar as-Sabil, 6/221)
Jawaban:sejak kapan ahli bid'ah taqlid kepada syeikh albani.
Kalau ahlussunnah jelas tidak pernah taqlid kepada albani.
Dan beliau syeikh albani telah menjelaskan bahwa di teks aslinya tidak ada kata sayyidina.
Kalau orang itu adil pasti merujuk ke kitab aslinya kalau mau berhujjah dengannya.
(1822) - (حديث ابن عمر: " أنه كان إذا دعى ليزوج قال: الحمد لله وصلى الله على سيدنا محمد , إن فلانا يخطب إليكم فإن أنكحتموه فالحمد لله وإن رددتموه فسبحان الله " (2/145) .
* صحيح.
أخرجه البيهقى (7/181) من طريق مالك بن مغول قال: سمعت أبا بكر بن حفص قال: " كان ابن عمر إذا دعى إلى تزويج قال: لا تفضضوا (وفى نسخة: تعضضوا) علينا الناس , الحمد لله , وصلى الله على محمد , إن فلانا خطب إليكم فلانة , إن أنكحتموه ... ".
قلت: وإسناده صحيح , وأبو بكر بن حفص هو عبد الله بن حفص بن عمر

Dalil peringatan haul lemah

Riwayat berikut ini sering dibawakan oleh sebagian orang yang memperingati kematian tokoh agama atau orang shalih secara rutin setiap tahun atau disebut juga dengan ritual haul.
Dikeluarkan oleh Ibnu Syubbah dalamTarikh Al Madinah (350),
قال أبو غسان : حدثني عبد العزيز بن عمران ، عن موسى بن يعقوب الزمعي ، عن عباد بن أبي صالح ، ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يأتي قبور الشهداء بأحد على رأس كل حول ، فيقول : سلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار (سورة الرعد آية 24) ، قال : وجاءها أبو بكر ، ثم عمر ، ثم عثمان رضي الله عنهم …
“Abu Ghassan menuturkan, Abdul Aziz bin Imran menuturkan kepadaku, dari Musa bin Ya’qub Az Zam’i, dari Abbad bin Abi Shalih, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya mendatangi kuburan para syuhada setiap awal tahun. Kemudian Nabi mengatakan: Assalamu ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbad daar (semoga keselamatan atas kalian atas kesabaran kalian, sungguh bagi kalian sebaik-baik tempat kembali) [QS, Ar Ra’du: 24]. Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum juga melakukan demikian“.
Riwayat ini munqathi’ atau terputus sanadnya, karena Abbad bin Abi Shalih atau Abbad bin Dzakwan Al Madini ini termasuk tabi’ut tabi’in, murid dari Sa’id bin Jubair. Abbad bin Shalih termasuk perawi thabaqah ke 6 maka tentunya tidak mungkin meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Bahkan hadits ini mu’dhal karena ada beberapa perawi yang digugurkan dalam sanadnya secara berurutan.
Namun terdapat jalan lain yang bersambung, dikeluarkan Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah (1228),
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ بْنُ الْفَضْلِ الْقَطَّانُ بِبَغْدَادَ , قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو سَهْلِ بْنُ زِيَادٍ الْقَطَّانُ ، قَالَ : حَدَّثَنَا عَبْدُ الْكَرِيمِ بْنُ الْهَيْثَمِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ الطَّبَّاعِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا ابْنُ عِمْرَانَ ، عَنْ مُوسَى بْنِ يَعْقُوبَ ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي الشُّهَدَاءَ ، فَإِذَا أَتَى فُرْضَةَ الشِّعْبِ , يَقُولُ : ” السَّلامُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ” ، ثُمَّ كَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ ، وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ أَبِي بَكْرٍ يَفْعَلُهُ ، وَكَانَ عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ عُمَرَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
“Abul Husain bin Al Fadhl Al Qathan di Baghdad mengabarkan kepadaku, ia berkata, Abu Sahl bin Ziyad Al Qathan mengabarkan kepadaku, Abdul Karim bin Al Haitsam menuturkan kepadaku, Muhammad bin Isa bin At Thabba’ menuturkan kepadaku, Ibnu Imranmenuturkan kepadaku, dari Musa bin Ya’qub dari Abbad bin Abi Shalih, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasa mendatangi kuburan para syuhada. Keitka Nabi mendatangi celah antara kuburan beliau mengatakan: Assalamu ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbad daar (semoga keselamatan atas kalian atas kesabaran kalian, sungguh bagi kalian sebaik-baik tempat kembali). Kemudian Abu Bakar radhiallahu’anhu juga melakukan demikian sepeninggal Nabi, Umar radhiallahu’anhu juga melakukan demikian sepeninggal Abu Bakar dan Utsman radhiallahu’anhu juga melakukan demikian sepeninggal Umar“.
Namun riwayat ini sangat lemah karena terdapat Abdul Aziz bin Imran, perawi yang matruk.
  • Ibnu Hajar mengatakan: “ia matruk, kitab-kitabnya terbakar lalu ia meriwayatkan hadits dari hafalannya sehingga semakin parah kesalahannya, dan ia pakar dalam bidang nasab”.
  • Adz Dzahabi mengatakan: “ulama meninggalkannya”
  • Al Bukhari mengatakan: “munkarul hadits, haditsnya tidak ditulis”
  • An Nasa’i mengatakan: “matrukul hadits”
  • Abu Zur’ah Ar Razi mengatakan: “terlarang mendengarkan hadits darinya, ditinggalkan periwayatan darinya”
Selain itu, dalam riwayat ini tidak ada lafadz على رأس كل حول (pada setiap awal tahun) yang menjadi syahid (alasan inti) dari masalah peringatan kematian tahunan atau haul.
Diriwayatkan dengan jalan lain, dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah (1233),
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ بُطَّةَ , قَالَ : حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الْجَهْمِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ الْفَرَجِ ، قَالَ : حَدَّثَنَا الْوَاقِدِيُّ ، قَالَ : قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهُمْ فِي كُلِّ حَوْلٍ ، وَإِذَا تَفَوَّهَ الشِّعْبَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُولُ : ” سَلامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ” ، ثُمَّ أَبُو بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ ، ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ ، ثُمَّ عُثْمَانُ
“Abu Abdillah Al Hafidz mengabarkan kepadaku, ia berkata, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Buthah mengabarkan kepadaku, ia berkata, Al Hasan bin Al Jahm menuturkan kepadaku, ia berkata, Al Husain bin Al Faraj menuturkan kepadaku, ia berkata,Al Waqidi menuturkan kepadaku, ia berkata, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya mendatangi kuburan para syuhada setiap awal tahun. Kemudian Nabi mengatakan: Assalamu ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbad daar (semoga keselamatan atas kalian atas kesabaran kalian, sungguh bagi kalian sebaik-baik tempat kembali) [QS, Ar Ra’du: 24]. Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum juga melakukan demikian“.
Riwayat ini juga munqathi‘, bahkanmu’dhal. Al Waqidi adalah perawi thabaqah ke-9 yang lahir tahun 130H, tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Al Waqidi juga perawi yang matruk.
  • Imam Al Bukhari mengatakan: “iamatrukul hadits
  • An Nawawi mengatakan: “ia dhaif secara ittifaq (sepakat) diantara para ulama”
  • Al Hakim mengatakan: “dzahibul hadits
  • Abu Zur’ah Ar Razi mengatakan: “matrukul hadits”
  • Imam Ahmad mengatakan: “ulama meninggalkannya”, beliau juga mengatakan: “ia pendusta”
  • Ishaq bin Rahwiyah mengatakan: “menurut saya ia adalah pemalsu hadits”
Juga masalah lainnya, terdapat Al Husain bin Al Faraj yang juga matruk dan Al Hasan bin Al Jahm statusnya majhul hal. Jelaslah dari ini bahwa riwayat ini sangat lemah.
Diriwayatkan dengan jalan lain dalamMushannaf Abdurrazzaq (6545),
عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ ، عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي قُبُورَ الشُّهَدَاءِ عِنْدَ رَأْسِ الْحَوْلِ ، فَيَقُولُ : ” السَّلامُ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ ، فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ ” ، قَالَ : وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ ، وَعُمَرَ ، وَعُثْمَانَ ، يَفْعَلُونَ ذَلِكَ
“Dari seorang lelaki penduduk Madinah, dari Suhail bin Abi Shalih, dariMuhammad bin Ibrahim At Taimi, ia berkata: bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya mendatangi kuburan para syuhada setiap awal tahun. Kemudian Nabi mengatakan: Assalamu ‘alaikum bimaa shabartum fani’ma ‘uqbad daar (semoga keselamatan atas kalian atas kesabaran kalian, sungguh bagi kalian sebaik-baik tempat kembali). Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiallahu’anhum juga melakukan demikian“.
Riwayat ini juga sangat lemah karena:
  1. Terdapat perawi yang mubham
  2. Muhammad bin Ibrahim At Taimi adalah seorang tabi’in, yang ia bertemu dengan Sa’ad bin Abi Waqqash. Oleh karena itu riwayat inimursal.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas, hadits ini memiliki 4 jalan yang keadaannya:
  1. Munqathi’ bahkan mu’dhal 
  2. Menyambungkan riwayat 1 yang munqathi’ namun terdapat perawi yang matruk
  3. Terdapat dua perawi yang matruk
  4. Mursal
Maka dengan keadaan seperti ini, jalan-jalan yang ada tidak bisa saling menguatkan satu sama lain. Sehingga kesimpulannya hadits inisangat lemah.
Selain itu, andaikan riwayat ini shahih, sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk melegalkan peringatan haul atau semacamnya. Karena:
  1. Riwayat ini berbicara mengenai ziarah kubur. Disebutkan di sana bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kubur, beliau tidak membuat acara atau ritual tertentu yang bertujuan memperingati kematian seseorang
  2. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada para syuhada secara umum bukan kepada 1 orang syuhada. Berbeda dengan peringatan haul yang khusus ditujukan untuk berziarah atau memperingati kematian satu orang yang dianggap orang shalih.
Maka, orang yang beralasan dengan riwayat ini untuk melegalkan peringatan haul selain berdalil dengan riwayat yang sangat lemah, juga merupakan pendalilan yang terlalu dipaksakan.

Dalil haul terpatahkan


Syubhat :
Pembahasan tentang upacara kematian ini sebenarnya cukup luas dan syubhat-syubhat tentangnya juga cukup banyak.[25] Namun, di sini saya akan mencantumkan satu syubhat secara khusus tentang acara peringatan haul yang dijadikan dalil oleh sebagian orang yang merayakannya. Berikut kutipan ucapan mereka:
Diriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam selalu berziarah ke makam para syuhada di Bukit Uhud pada setiap tahun. Demikian juga para sahabat:
وَ رَوَى الْبَيْهَقِي فِي الشَّعْبِ، عَنِ الْوَاقِدِي، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَزُوْرُ الشُّهَدَاءَ بِأُحُدٍ فِي كُلِّ حَوْلٍ. وَ إذَا بَلَغَ رَفَعَ صَوْتَهُ فَيَقُوْلُ: سَلاَمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّار
Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Wakidi mengenai kematian, bahwa Nabi SAW senantiasa berziarah ke makam para syuhada di bukit Uhud setiap tahun. Dan sesampainya di sana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salamun alaikum bima shabartum fani’ma uqbad daar” — QS Ar-Ra’d: 24 — Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Inilah yang menjadi sandaran hukum Islam bagi pelaksanaan peringatan haul atau acara tahunan untuk mendoakan dan mengenang para ulama, sesepuh dan orang tua kita.
Lanjutan riwayat:
ثُمَّ أبُوْ بَكْرٍ كُلَّ حَوْلٍ يَفْعَلُ مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ. وَ كاَنَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا تَأتِيْهِ وَ تَدْعُوْ. وَ كاَنَ سَعْدُ ابْنِ أبِي وَقَّاصٍ يُسَلِّمُ عَلَيْهِمْ ثُمَّ يَقْبَلُ عَلَى أصْحَابِهِ، فَيَقُوْلُ ألاَ تُسَلِّمُوْنَ عَلَى قَوْمٍ يَرُدُّوْنَ عَلَيْكُمْ بِالسَّلَامِ
Abu Bakar juga melakukan hal itu setiap tahun, kemudian Umar, lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, “Mengapa kalian tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam kalian?”
Demikian dalam kitab Syarah Al-Ihya juz 10 pada fasal tentang ziarah kubur. Lalu dalam kitab Najhul Balaghah dan Kitab Manaqib As-Sayyidis Syuhada Hamzah RA oleh Sayyid Ja’far Al-Barzanji dijelaskan bahwa hadits itu menjadi sandaran hukum bagi orang-orang Madinah untuk yang melakukan Ziarah Rajabiyah (ziarah tahunan setiap bulan Rajab) ke maka Sayidina Hamzah yang ditradisikan oleh keluarga Syeikh Junaid al-Masra’i karena ini pernah bermimpi dengan Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.[http://www.nu.or.id/]
Jawaban:
Sebetulnya syubhat seperti ini sangat nyata sekali kelemahannya bagi seorang yang dikaruniai oleh Alloh ilmu agama. Namun karena khawatir adanya saudara kami yang kurang berilmu tertipu dengan syubhat ini maka izinkanlah kami memberikan komentar terhadap syubhat ini:
  1. Kami telah mengecek kitab Syu’abul Imankarya al-Imam al-Baihaqi, bahkan kami juga melacaknya melalui program “Maktabah Syamilah”, namun sayangnya hadits dengan redaksi di atas tidak kami temukan. Oleh karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat kami berharap kepada saudara kami yang membawakan hadits di atas untuk mencantumkan sumbernya secara jelas juz dan halamannya, agar kita lihat sanad hadits ini, sebab bila tanpa sanad, maka semua orang bisa berbicara, sebagaimana kata al-Imam Ibnul Mubarok rahimahulloh.
  2.  Kalau kita cermati nukilan di atas, kita akan merasakan kejanggalan, bagaimana al-Waqidi langsung meriwayatkan dari Rosululloh shalallahu ‘alayhi wa sallam, padahal beliau (al-Waqidi) wafat tahun 207 H. Berarti ada mata rantai sanad yang terputus. Apalagi, al-Waqidi telah dilemahkan haditsnya oleh mayoritas ulama ahli hadits seperti al-Bukhori, an-Nasa‘i, ad-Daroquthni, dan lain-lain, sehingga al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahulloh berkata menyimpulkan statusnya, “Matruk (ditinggalkan haditsnya) sekalipun dia luas ilmunya.[Tahdzib Tahdzib: 9/364–365. Lihat pula as-Siroh an-Nabawiyyah Fi Dhou‘i al-Mashodir Ashliyyah: 1/32–33 oleh Dr. Mahdi Rizqulloh.]
  3. Anggaplah hadits ini shohih, tetap bisa dijadikan dalil tentang perayaan haul? Coba anda bayangkan, dari arah mana segi perdalilan hadits ini? Bukankah yang terdapat dalam hadits ini hanya berbicara tentang ziarah kubur saja, lantas bagaimana bisa disamakan dengan perayaan haul yang lazim diamalkan manusia zaman sekarang dengan aneka variasi acaranya yang khas? Pernah model perayaan seperti diamalkan oleh Nabi dan para sahabatnya?! Sungguh, ini adalah penyesatan yang sangat nyata dalam berdalil.
  4. Kami tambahkan di sini bahwa mimpi Syaikh Junaid al-Masro’i di atas adalah bukanlah hujjah sama sekali, karena mimpi bukanlah landasan dalam agama Islam[Lihat masalah ini secara bagus dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat as-Salafiyyat Fi Tafsir Ru‘a wal Manamat hlm. 247–276 oleh Masyhur Hasan Salman dan Umar Abu Tholhah, dan kitabUshulun Bila Ushulin hlm. 63–76 oleh Dr. Muhammad bin Isma’il al-Muqoddam.]itu hanyalah bualan kaum sufi belaka yang beribadah dengan impian dan hawa nafsu. Demikian juga ritual rojabiyyah itu tidak ada dasarnya dalam agama, bahkan termasuk bid’ah dalam agama.[Lihat Bida’un wa Akhtho‘ 3 hlm. 18 oleh Ahmad as-Sulami.]

Minggu, 15 September 2019

Tingkatan manusia sesuai isi bicaranya


1. Orang mulia bicara selalu dikaitkan dg alloh dan penuh solusi
2. Orang biasa bicara soal peristiwa apa aja yg di temui
3. Orang rendahan bicaranya cuma mengeluh, tidak ridho takdir
4.orang dangkal, bicaranya aku dan aku terus, menonjolkan dirinya
kenali, dekati yg baik, waspadai yg buruk !

Syubhat: alloh ada tanpa tempat

Syubhat:
Al-Shaykh al-Imām ^Abdul-^Azīz ibn ^Abdis-Salām (w. 660 H) yang dikenali sebagai Sulţānul-^Ulamā' menyebutkan:

"ليس - أي الله - بجسم مصوَّر، ولا جوهر محدود مُقدَّر، ولا يشبه شيئا، ولا يُشبهه شىءٌ، ولا تحيط به الجهات، ولا تكتنفه الأرضون ولا السموات، كان قبل أن كوَّن المكان ودبَّر الزمان، وهو الآن على ما عليه كان". ا.هـ

Maknanya: "Allah bukan suatu jisim yang dapat dibayangkan, bukan pula jawhar yang memiliki batasan dan ukuran. Dia tidak seperti sesuatu apapun, dan tidak ada sesuatu apapun yang seperti-Nya. Dia tidak diliputi oleh segala arah, Dia tidak diangkat oleh semua bumi mahupun semua langit, Dia ada sebelum Dia menciptakan tempat dan waktu, dan setelah tempat diciptakan Dia kekal seperti sebelum tempat diciptakan iaitu ada tanpa tempat”. Intaha.

Rujukan:

Ţabaqātush-Shāfi^iyyah al-Kubrā, dalam biografi ^Abdul-^Azīz ibn ^Abdis-Salām, j. 8, hlm. 219.

Jawaban:
Mana teks "ADA TANPA TEMPAT" itu dari kantong ente doang, ahli bidah suka nambahin seenaknya

Jumat, 06 September 2019

Dimana alloh sebelum ada arsy?

Tsumma istawa 'ala al-'Arsy = Kemudian Dia ber-istiwa di atas singgasana. Di sana ada kata tsumma (kemudian), yg menunjukkan ada peristiwa sebelumnya. Di manakah Allah sebelum Dia menciptakan 'Arsy? Di manakah Allah sebelum Dia menciptakan 1 makhluk pun?

Sulaimaan At-Taimiy berikut :

لو سئلت : أين الله تبارك وتعالى ؟ قلت : في السماء. فإن قال : فأين عرشه قبل أن يخلق السماء ؟ قلت : على الماء. فإن قال لي : أين كان عرشه قبل أن يخلق الماء ؟ قلت : لا أدري.

“Apabila aku ditanya : ‘Dimanakah Allah tabaaraka wa ta’ala ?’. Maka aku akan menjawab : ‘Di (atas) langit’. Apabila ia bertanya : ‘Dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan langit ?’. Maka akan aku jawab : ‘Di atas air’. Jika ia kembali bertanya kepadaku : ‘Lantas, dimana ‘Arsy-Nya sebelum Ia menciptakan air ?’. Maka akan aku jawan : ‘Aku tidak tahu” [Shahih; diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 671, Ibnu Abi Syaibah dalam Kitaabul-‘Arsy no. 15, Ibnu Jarir dalam Tafsir-nya no. 30609, dan Abusy-Syaikh dalam Al-‘Adhamah no. 194. Dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul-Mantsur 7/337 dan ia menisbatkannya pada ‘Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Abusy-Syaikh – takhrij dinukil dari Aqwaalut-Taabi’in fii Masaailit-Tauhiid wal-Iman oleh ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Mubdil, hal. 941; Daarut-Tauhiid, Cet. 1/1424 H].
Mudah bukan ?. Kita hanya dibebani dengan sesuatu yang telah Allah ta'ala dan Rasul-Nya jelaskan kepada kita, dan kita sama sekali tidak dibebani dengan sesuatu yang Allah ta'ala dan Rasul-Nya tidak jelaskan kepada kita.

Apakah istri harus memasak, mencuci?

بسم الله الرحمن الرحيم

Apakah istri mesti beres-beres rumah, menyiapkan makanan, membersihkan rumah, mencuci dan menjemur pakaian, memandikan anak, dan menyuapkan mereka makan? Jika istri tidak mau melakukan pekerjaan-pekerjaan tadi, apa hukumnya?
.
Jawab:
.
Yang benar, istri wajib melakukan hal-hal tadi sebagai pengabdian pada suaminya. Demikianlah (di masa) para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, istri-istri mereka mengabdi pada suaminya. Sampai-sampai Fatimah radhiyallahu ‘anha (puteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengabdi pada suaminya (‘Ali bin Abi Tholib). Ia pun menggiling, menyapu, dan memasak. Karena ini semua termasuk bentuk memberikan pelayanan pada suami dengan cara yang baik. Bahkan asalnya memang seperti ini. Dikecualikan di sini jika istri berasal dari lingkungan yang biasa dilayani, bukan melayani orang lain, ini berlaku untuk setiap negara dan setiap waktu. ‘Urf (kebiasaan) mereka yang jadi patokan. Karena Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Layanilah istri-istri kalian dengan cara yang baik” (QS. An Nisa’: 19). Karenanya, jika istri adalah orang yang biasa dilayani dan bukan kebiasaan masyarakat jika istri mesti beres-beres rumah,  maka hendaklah suami mendatangkan pembantu di rumah. Semuanya terserah istri jika ia bersedia ataukah tidak, walhamdulillah.
.
Namun sekali lagi, asalnya istri mesti melayani suami dalam segala hal seperti yang disebutkan penanya yaitu membersihkan rumah, memasak makanan, mencuci dan menjemur pakaian, dan semacam itu. Inilah ‘urf (kebiasaan) yang berlaku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa sesudahnya. Namun jika didapati di suatu negeri, ‘urf yang berlaku itu berbeda dan ini sudah masyhur serta suami pun mengetahuinya, maka ‘urf tersebut yang dipakai. Karena ‘urf ini seperti sesuatu yang sudah disyaratkan. Namun jika istri meninggalkan kebiasaan tersebut dan ingin melayani suami sendiri, maka ia pun telah  melakukan suatu yang baik. Jadi boleh saja ia mengikuti kebiasaan masyarakat. Namun asalnya adalah dialah yang melayani suami dalam hal memperhatikan rumah dan pakaian suami. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, 21: 113]

Rabu, 04 September 2019

Motivasi akhirat dg hadiah


Memotivasi dengan memberi hadiah bagi anggota keluarga yang rajin membaca atau menghafal ayat-ayat al-Qur-an. Ini diperbolehkan dan dilakukan oleh sebagian dari ulama salaf terhadap anak-anak mereka.

Imam al-Khathiib al-Bagdaadi menukil ucapan salah seorang ulama salaf dari generasi Atbaa’ut taabi’iin, Ibrahim bin Adham, beliau berkata: “Bapakku berkata kepadaku: “Wahai anakku, tuntutlah (ilmu) hadits, setiap kali kamu mendengar sebuah hadits dan menghafalnya maka untukmu (uang) satu dirham”. Maka akupun menuntut (ilmu) hadits karena motivasi tersebut”[Kitab “Syarafu ashhaabil hadiits” (hal. 66)].

Minggu, 01 September 2019

Benarkah kapal nabi nuh mendarat hari asyuro?


وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى

“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if]

BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA


1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."

Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”

Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.

مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.

Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.

Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122

Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.

غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ

“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.

Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,

ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا

“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”

Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).

Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.

Sabtu, 31 Agustus 2019

Rahmat Alloh memberi tempo 6 jam pelaku maksiat


اِنَّ صَاحِبَ الشَّمَالِ لَيَرْفَعُ الْقَلَمَ سِتَّ سَاعَاتٍ عَنِ الْعَبْدِ الْمُسْلِمِ الْمُخْطِئِ فَإِنْ نَدِمَ وَاسْتَغْفَرَ اللهَ مِنْهَا اَلْقَاهَا وَاِلاَّ كُتِبَتْ وَاحِدَةً

“Sesungguhnya malaikat yang berada di sebelah kiri mengangkat pena (tidak mencatat) selama enam jam ketika seorang hamba  muslim melakukan dosa. Jika ia menyesali perbuatannya dan meminta ampunan Allah, maka dilepaslah pena itu, namun jika tidak demikian, maka akan dicatat satu dosa.” (HR. Thabrani dalam al-Kabir dan Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dihasankan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (1209)).

Kamis, 22 Agustus 2019

Tidak menjawab adzan itu teledor

Ibnu Mas’ud menilai, tidak menjawab adzan termasuk tindakan teledor.
أربع من الجفاء …، وأن يسمع المؤذن فلا يجيبه في قوله
“Ada 4 perbuatan yang termasuk sikap teledor (terhadap agama), (diantaranya),… ada orang mendengar muadzin, namun dia tidak menjawab ucapannya.” (Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, no. 3552).

Adzan walaupun shalat wajib sendirian


Hadis dari Abu Sha’sha’ah al-Anshari, bahwa beliau pernah dinasehati sahabat Abu Said al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu,

إِنِّي أَرَاكَ تُحِبُّ الْغَنَمَ وَالْبَادِيَةَ، فَإِذَا كُنْتَ فِي غَنَمِكَ، أَوْ بَادِيَتِكَ، فَأَذَّنْتَ بِالصَّلاَةِ، فَارْفَعْ صَوْتَكَ بِالنِّدَاءِ، فَإِنَّهُ لاَ يَسْمَعُ مَدَى صَوْتِ الْمُؤَذِّنِ جِنٌّ وَلاَ إِنْسٌ، وَلاَ شَيْءٌ، إِلاَّ شَهِدَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم

Saya lihat, kamu suka menggembala kambing dan berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Ketika kamu jauh dari pemukiman, (ketika masuk waktu shalat), lakukanlah adzan dan keraskan suara adzanmu. Karena semua jin, manusia atau apapun yang mendengar suara muadzin, akan menjadi saksi kelak di hari kiamat. Seperti itu yang aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari 3296, Ahmad 11393 dan yang lainnya).

Meskipun Abu Sha’sha’ah sendirian, beliau tetap dianjurkan adzan ketika hendak shalat wajib.

Doa orang yang menjawab adzan mustajab


Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau bercerita,

Ada seseorang yang bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Ya Rasulullah, para muadzin mengalahkan kami dalam menggapai keutamaan..

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قُلْ كَمَا يَقُولُونَ فَإِذَا انْتَهَيْتَ فَسَلْ تُعْطَهْ

Ucapkan seperti yang diucapkan muadzin, jika kamu telah selesai, berdoalah maka kamu akan diberi. (HR. Abu Daud 524, Ibn Hibban 1695 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth dan albani)

Syurga bagi orang yang menjawab adzan dengan penuh keyakinan


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita,

Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Bilal mengumandangkan adzan. Ketika beliau sudah selesai, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَالَ مِثْلَ مَا قَالَ هَذَا يَقِينًا، دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Siapa yang mengucapkan seperti yang dilantunkan orang ini – Bilal – dengan yakin maka dia akan masuk surga. (HR. Ahmad 8624, Nasai 674 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth dan syaikh albani)

Minggu, 18 Agustus 2019

Syiah mencela hasan bin ali


umat sunni hingga saat ini meyakini bahwa sikap Al Hasan ini sebagai wujud nyata dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya:

“Sejatinya putraku ini adalah seorang pemimpin, dan semoga dengannya Allah menyatukan dua kelompok besar dari umat Islam.” (Bukhari)

Namun tahukah anda bahwa umat sunni yang mengapresiasi kebesaran jiwa Al Hasan ini ternyata tidak diteladani oleh penganut Syi’ah. Beberapa referensi Syi’ah malah menukilkan sikap yang berlawan arah. Beberapa tokoh Syi’ah malah menganggap sikap Al Hasan ini sebagai bentuk pengkhianatan.

Pada suatu hari, seorang  tokoh Syi’ah bernama Sufyan bin Laila berkunjung ke rumah Al Hasan bin Ali. Didapatkan beliau sedang duduk-duduk sambil berselimut di depan rumahnya. Sepontan Sufyan bin Laila mengucapkan salam kepada Al Hasan dengan berkata: “Semoga keselamatan atasmu, wahai orang yang telah menghinakan kaum mukminin! Karena merasa ganjil dengan ucapan selamat yang disampaikan oleh Sufyan, Al Hasan bertanya: Darimana engkau mengetahui hal itu? Ia menjawab: Engkau telah memangku kepemimpinan, lalu engkau melepaskannya dari bahumu. Selanjutnya engkau sematkan kepemimpinan itu di bahu penjahat ini agar ia leluasa menerapkan hukum selain hukum Allah.”

Kisah ini bisa anda temui pada beberapa refensi agama Syi’ah, semisal: Al Ikhtishash karya As Syeikh Al Mufid wafat thn: 413 H, hal: 82,  Ikhtiyaar Ma’rifat Ar Rijal, karya As Syeikh At Thusi wafat thn: 460, hal: 1/327 & Bihaarul Anwaar karya Muhammad Baqir Al Majlisi wafat thn: 1111 H, hal: 44/24.

Sabtu, 17 Agustus 2019

Salam kepada wanita muda,cantik itu makruh



Imam Malik bin Anas ditanya tentang hukum mengucapkan salam kepada wanita, maka beliau menjawab, “Kepada wanita tua tidak apa-apa. Sedangkan kepada wanita muda, saya tidak menyukainya.”[Al-Muwaththa` no. 1.722] Jawaban serupa juga diberikan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.[Al-Adab asy-Syar’iyyah 1/352.] Imam an-Nawawi berkata,” Adapun salam antara wanita dengan pria, jika si wanita adalah istri, budak atau mahramnya, maka hukumnya seperti salam antara pria dengan pria ; sunnah memulai salam dan wajib menjawabnya. Adapun jika si wanita bukan mahram, jika ia cantik sehingga dikhawatirkan ada yang tergoda, lelaki tidak usah mengucapkan salam kepadanya. Dan jika itu terjadi, si wanita tidak perlu menjawab salamnya. Demikian pula sebaliknya.” [Al-Adzkâr, hlm. 407.]

Selasa, 13 Agustus 2019

TAKHRIJ HADITS MAN JADDA WAJADA


Tersebar ucapan : “من جدّ وجد” (Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka ia akan mendapatkan). Apakah ini adalah hadits Nabawi?

Jawab : ini bukan hadits nabawi, Imam Al Ghoziy dalam “Al Jaddu Al Hatsiis” berkata :

من جد وجد وربما قيل  من طلب وجد وجد هو بمعنى  لكل مجتهد نصيب وليسا في الحديث

“Hadits Man Jadda wajada, terkadang dikatakan Man Tholaba wa Jadda wajada adalah semakna dengan (Setiap orang yang bersungguh-sungguh, akan mendapatkan bagian), itu semuanya bukan hadits”.

Berkata penulis “Kasyful Khufaa’” :

في التمييز ليس بحديث بل هو من الأمثال السائرة وقال القاري لا أصل له بل هو من كلام بعض السلف وكذا حديث من لج ولج

“Dalam kitab “At Tamyiiz” : ‘ini bukan hadits, namun sajak’. Imam Al-Qooriy berkata : ‘tidak ada asalnya, ini adalah ucapan sebagian ulama Salaf, demikian juga dengan hadits Man Lajja walaja”.

IBNU ABBAS RADHIYALLAHU ANHU DIDUGA MELAKUKAN TAKWIL -KURSIY ADALAH ILMU-


Telah masyhur ayat kursi yang berbunyi :
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia yang Maha Kekal lagi terus menerus mengurus makhlukNya, tidak mengantuk dan tidak tidur KepunyaanNya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izinNya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang meraka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendakiNya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS : Al-Baqarah : 255).


Sebagian ahli bid’ah bergembira ketika menemukan takwil Ibnu Abbas radhiyallahu anhu terhadap makna Firman Allah subhanahu wa ta’aalaa “وَسِعَ كُرْسِيُّهُ”, dikatakan beliau menakwilnya dengan Ilmu Allah. Mereka menemukan takwil tersebut dalam kitab tafsir ulama, diantaranya tertera dalam Tafsir Imam ath-Thabari (5/397-398, cet. Muasasah ar-Risalah) beliau menulis :
حدثنا أبو كريب وسلم بن جنادة، قالا حدثنا ابن إدريس، عن مطرف، عن جعفر بن أبي المغيرة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس:”وسع كرسيه” قال: كرسيه علمه.
حدثني يعقوب بن إبراهيم، قال: حدثنا هشيم، قال: أخبرنا مطرف، عن جعفر بن أبي المغيرة، عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس، مثله. وزاد فيه: ألا ترى إلى قوله:”ولا يؤوده حفظهما”؟
Semuanya sanadnya bermuara kepada Ja’far bin Abil Mughiroh, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas beliau berkata : “kursi-Nya adalah Ilmu-Nya”.

Namun antum wahai mubtadi’ jangan gembira dulu, karena yang mempelopori pernyataan ini adalah kaum Jahmiyyah. Bisyir bin Ghiyaats al-Mariisiy (w. 218 H) dengan “pede” mengatakan :
فَمَعْنَى الْكُرْسِيِّ الْعِلْمُ، فَمَنْ ذَهَبَ إِلَى غَيْرِ الْعِلْمِ أَكْذَبَهُ كِتَابُ اللَّهِ تَعَالَى
“makna kursiy adalah ilmu, maka barangsiapa yang mengatakan selain ilmu, berarti ia telah mendustakan Kitabullah Ta’aalaa”.

Siapakah Bisyir al-Mariisiy ini?, Imam adz-Dzahabi dalam Mizaanul I’tidaal (1/322) berkata tentangnya :
مبتدع ضال، لا ينبغي أن يروى عنه ولا كرامة.
“ahlu bid’ah sesat, tidak selayaknya meriwayatkan darinya dan tidak ada kemulian baginya”.
Sedangkan Imam az-Zrekliy dalam “al-A’laam” (2/55) berkata tentangnya :
فقيه معتزلي عارف بالفلسفة، يرمى بالزندقة. وهو رأس الطائفة (المريسية) القائلة بالإرجاء، وإليه نسبتها. أخذ الفقه عن القاضي أبي يوسف، وقال برأي الجهمية،
“faqiih, mu’taziliy, jago filsafat, dituduh dengan zindik, dia adalah gembongnya sekte “al-Mariisiyyah” yang mengusung murji’ah, dan paham ini dinisbatkan kepadanya. Belajar fiqih kepada Qodhi Abu Yusuf, dan dikatakan dia menganut Jahmiyyah”.
Jadi dari penilaian Imam az-Zrekliy semua aliran kesesatan masuk dalam dirinya.

Perkataan Bisyir diatas, dinukil oleh Imam Utsman bin Sa’id ad-Daarimiy penulis kitab sunan yang dimasukkan sebagai Kutubut Tis’ah, dalam kitabnya yang memang ditulis untuk membantah Bisyir al-Mariisiy yang berjudul “Naqd Imam ad-Darimiy ‘alaa Bisyir al-Mariisiy” (1/411, cet. Maktabah ar-Rusydiy). Kemudian setelah menukil ucapan yang penuh percaya diri dari Bisyir diatas, Imam ad-Daarimiy berkata :
فَيُقَالُ لِهَذَا الْمَرِيسِيِّ: أَمَّا مَا رَوَيْتَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ جَعْفَرٍ الْأَحْمَرِ وَلَيْسَ جَعْفَرٌ مِمَّنْ يُعْتَمَدُ عَلَى رِوَايَتِهِ، إِذْ قَدْ خَالَفَتْهُ الرُّوَاةُ الثِّقَاتُ الْمُتْقِنُونَ. وَقَدْ رَوَى مُسْلِمٌ الْبَطِينُ، عَنْ سَعِيدِ بن جُبَير، عَن ابْنِ عَبَّاسٍ فِي الْكُرْسِيِّ خِلَافَ مَا ادَّعَيْتَ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ.
حَدثنَا يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، عَنْ وَكِيعٍ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عَمَّارٍ الدُّهْنِيِّ، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: “الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ الْقَدَمَيْنِ، الْعَرْش لَا يُقَدِّرُ قَدْرَهُ إِلَّا اللَّهُ”
“maka dikatakan kepada al-Mariisiy : “adapun apa yang engkau riwayatkan dari Ibnu Abbas, maka itu berasal dari riwayat Ja’far al-Ahmar, bukan Ja’far yang dijadikan pegangan riwayatnya, yangmana dia telah menyelisihi para perowi tsiqoh lagi mutqiin. Muslim al-Bathiin telah meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas tentang penafsiran Kursiy yang berbeda dengan apa yang engkau klaim.
Telah menceritakan kepada kami Yahya dan Abu Bakar ibnu Abi Syaibah, dari Wakii’, dari Sufyan, dari ‘Ammaar ad-Duhniy, dari Muslim al-Bathiin, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas rodhiyallahu ‘anhumaa, beliau berkata : “Kursiy adalah tempat kedua telapak kaki Allah, sedangkan al-‘Arsy tidak ada yang tahu ukurannya kecuali Allah”.

Imam Al Albani dalam “ash-Shahihah” (1/226) berkata :
وما روي عن ابن عباس أنه العلم، فلا يصح إسناده إليه لأنه من رواية جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد بن جبير عنه. رواه ابن جرير. قال ابن منده: ابن أبي المغيرة ليس بالقوي في ابن جبير.
“apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Kursiy adalah ilmu, tidak shahih sanadnya, karena itu berasal dari riwayat Ja’far bin Abil Mughiiroh dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Ibnu Jariir. Imam Ibnu Mandah berkata : “ibnu Abil Mughiiroh, tidaklah kuat didalam riwayat Ibnu Jubair”.

Imam ibnu Abil Izzi telah mengisyaratkan kelemahan riwayat Ibnu Abbas bahwa Kursiy adalah ilmu, dan merajihkan bahwa Kursiy adalah tempat kedua Telapak Kaki, dalam kitabnya “Syarah Aqidah ath-Thahawiyyah” (hal. 280, cet. Daarus Salaam) :
وَقِيلَ: كُرْسِيُّهُ عِلْمُهُ، وَيُنْسَبُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ وَالْمَحْفُوظُ عَنْهُ مَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِي شَيْبَةَ، كَمَا تَقَدَّمَ
“dikatakan bahwa Kursi-Nya adalah Ilmu-Nya, dan dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, namun yang mahfuudh (yang rajih) dari Ibnu Abbas adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah sebagaimana telah berlalu (yakni Kursiy adalah tempat kedua Telapak Kaki Allah-pent.)”.

Bagi yang menginginkan takhrij atsar Ibnu Abbas yang mentakwil Kursiy dengan Ilmu Allah, dapat merujuk di tautan berikut :
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=22720
Ada penjelasan yang sangat lengkap tentang kelemahan atsar tersebut.

Majalah al-Bukhuts al-Islamiyyah dibawah naungan dewan fatwa Saudi Arabia, juga menurunkan sebuah artikel dan didalamnya terdapat tulisan :
أما الرواية التي ذكر عن ابن عباس – رضي الله عنهما – من أن الكرسي هو العلم، فهي لا تصح عن ابن عباس لأنه لم يرد في اللغة العربية أن معنى الكرسي هو العلم .
قال ابن منظور : الكرسي: معروف واحد الكراسي، والكرسي في اللغة الشيء الذي يعتمد عليه ويجلس عليه ،
“adapun riwayat yang disebutkan dari Ibnu Abbas bahwa Kusriy adalah ilmu, maka ini tidak benar dari Ibnu Abbas, karena tidak ada dalam bahasa arab makna kursiy adalah ilmu.
Ibnu Mandhuur berkata : “Kursiy adalah ma’ruf, bentuk tunggal dari al-Karoosiy. Kursi secara bahasa adalah sesuatu yang digunakan untuk bersandar atau duduk”.

Kemudian majalah juga menulis :
وفيه دليل على إثبات القدمين لله – عز وجل – وقد جاءت بذلك الأحاديث الصحيحة.
“didalamnya terdapat dalil penetapan kedua Telapak kaki bagi Allah Azza wa Jalla, telah datang hadits-hadits yang shahih berkaitan dengan hal tersebut…”.
Setelah disebutkan haditsnya, lalu mereka berkata :
ولا يلزم من إثبات القدمين لله – عز وجل – التجسيم، ولا التشبيه، فهو سبحانه ليس له شبيه ولا مثيل في أسمائه ولا في صفاته.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“tidak melazimkan penetapan kedua Telapak Kaki bagi Alllah adalah tajsiim dan juga tasybiih, karena Allah tidak ada yang serupa dan semisal dengan-Nya dalam Asmaa’ dan sifat-Nya. Firman-Nya : {tidak ada yang semisal dengan-Nya sedikit pun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat}”.
Lihat selengkapnya di tautan berikut :
http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?View=Page&PageID=11981&PageNo=1&BookID=2

Kesimpulannya, pihak yang pro takwil dengan mengklaim itu berasal dari salaf / sahabat, pada point ini mereka harus gigit jari dulu.Wallahul A’lam

Senin, 12 Agustus 2019

Lafadz takbir hari raya 2x atau 3x?


Riwayat 2x shahih

 كان عبدُ اللهِ بنُ مسعودٍ يكبِّرُ من صلاةِ الفجرِ يومَ عرفةَ إلى صلاةِ العصرِ من يومِ النحرِ يقول اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ لا إلهَ إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ

الراوي : ظالم بن عمرو بن سفيان أبو الأسود الديلي.
المحدث : الزيلعي.
المصدر : نصب الراية.
الصفحة أو الرقم: 2/223.
خلاصة حكم المحدث : إسناده جيد

كان عبد الله يكبِّرُ من صلاة الفجر يومَ عَرفةَ إلى صلاة العصر من يوم النَّحرِ، يقول: الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله، والله أكبر الله أكبر ولله الحمد

الراوي : الأسود بن يزيد.
المحدث : الكمال بن الهمام.
المصدر : شرح فتح القدير.
الصفحة أو الرقم: 2/80.
خلاصة حكم المحدث : مسنده جيد.

عن ابنِ مسعودٍ رضي اللهُ عنهُ أنهُ كان يُكبِّرُ أيامَ التشريقِ اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ لا إلهَ إلا اللهُ واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ وللهِ الحمدُ

الراوي : -.
المحدث : الألباني.
المصدر : إرواء الغليل.
الصفحة أو الرقم: 3/125.
خلاصة حكم المحدث : إسناده صحيح.

Riwayat 2x dho'if lemah,fiihi tashif dan wahm

كان النبيُّ إذا صلى الصبحَ من غداةِ عرفةَ أقبل على أصحابِه ويقولُ : على مكانِكم ويقولُ : اللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ لا إلهَ إلا اللهُ ، واللهُ أكبرُ اللهُ أكبرُ ، وللهِ الحمدُ

الراوي : جابر بن عبدالله.
المحدث : الألباني.
المصدر : إرواء الغليل.
الصفحة أو الرقم: 654.
خلاصة حكم المحدث : ضعيف جداً

 أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كانَ إذا صلَّى غداةَ عرفةَ قالَ لأصحابِهِ : علَى مَكانِكُم ثمَّ يقولُ : اللَّهُ أَكْبرُ اللَّهُ أَكْبرُ ، اللَّهُ أَكْبرُ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ ، واللَّهُ أَكْبرُ اللَّهُ أَكْبرُ وللَّهِ الحمدُ ، فيُكَبِّرُ عن غداةِ عرفةَ إلى صلاةِ العصرِ من أيَّامِ التَّشريقِ

الراوي : جابر بن عبدالله.
المحدث : البيهقي.
المصدر : فضائل الأوقات.
الصفحة أو الرقم: 100.
خلاصة حكم المحدث : إسناده فيه ضعف.
التخريج: أخرجه الدارقطني (2/ 50)، والبيهقي في ((الدعوات الكبير (2/ 165)، وفي ((فضائل الأوقات)) (ص: 420)

Sabtu, 10 Agustus 2019

Nikmatnya punya anak lembut hatinya


Anugrah nabi ibrahim adalah nabi ismailnyg lembut hatinya

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ

Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat lembut hatinya

lembut hati suka memaafkan, Jangan didik anak menjadi senggol bacok,senggol dikit pukul.

Makna sholih hanya baik sendiri tidak baik kepada yg lain???


Ini pemahaman yg menyimpang dari pemahaman para ulama'
al hafidz ibnu hajar menyatakan:

الْقَائِم بِمَا يَجِب عَلَيْهِ مِنْ حُقُوق اللَّه وَحُقُوق عِبَاده وَتَتَفَاوَت دَرَجَاته

“Orang yang menjalankan kewajiban terhadap Allah dan kewajiban terhadap sesama hamba Allah. Kedudukan shalih pun bertingkat-tingkat.” Demikian kata Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 2: 314.

Jadi orang sholih tidak cukup baik sendiri,
Adapun mushlih adalah orang yg memperbaiki kerusakan di sekitarnya.

Benarkah tidak makan sebelum idul adha hanya bagi shohibul qurban?


Yang rojih Tidak makan sampai selesai sholat Iedul Adha adalah umum tidak hanya khusus bagi yang berkurban, hal inilah yang terpahami dikalangan Tabi'in atau bahkan di kalangan sahabat, karena Imam Syafi'i dalam kitabnya "al-Umm" (I/266) meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada al-Imam Sa'id bin al-Musayyib Rahimahullah yang berkata :
كَانَ الْمُسْلِمُونَ يَأْكُلُونَ فِي يَوْمِ الْفِطْرِ قَبْلَ الصَّلَاةِ وَلَا يَفْعَلُونَ ذَلِكَ يَوْمَ النَّحْرِ
"Kaum muslimin mereka makan pada Iedul Fitri sebelum sholat, namun mereka tidak makan sebelum sholat pada hari Iedul Adha." -selesai-.

Al-Imam Sa'id bin al-Musayyib rahimahullah adalah Tabi'i senior, menantunya Shohabi Jalil Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sehingga pernyataan beliau dengan "kaum muslimin", bisa jadi mencakup juga para sahabat, dan sekurang-kurangnya itu adalah para Tabi'in juga sama seperti dirinya.

Memang masalah makan-minum menunggu sampai sholat hukumnya sekedar sunnah saja, artinya jika mau makan dan minum sebelum sholat, maka ini tidak mengapa. Al-Imam Syafi'i rahimahullah dalam kitabnya diatas mengatakan :
وَلَا نَأْمُرُهُ بِهَذَا يَوْمَ الْأَضْحَى، وَإِنْ طَعِمَ يَوْمَ الْأَضْحَى فَلَا بَأْسَ عَلَيْهِ
"Kami tidak memerintahkan (makan sebelum sholat Ied)  pada hari Iedul Adha, jika ia makan (sebelum sholat) pada hari Iedul Adha, maka tidak mengapa." -selesai-.

Kamis, 08 Agustus 2019

syaikh Ibnu taimiyyah ikutan qunut shubuh bid'ah???

syubhat : Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan kaum Wahabi juga berkata:
إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه ، سواء قنت قبل الركوع أو بعده ، وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ، ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لايستحبونه ، فتركه لأجل الإتفاق والإئتلاف كان قد أحسن … وكذلك لو كان رجل يرى الجهر بالبسملة فأمّ قوماً لا يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد أحسن ”
“Apabila makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut dalam shalat shubuh atau witir, maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia membaca qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca qunut, maka ia juga tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan. Demikian pula apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan membaca basmalah dalam shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak menganjurkannya, atau sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab mereka, maka ia benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 22 hlm 268).
Komentar : hanya orang jahil alias pengekor yg bisa ditipu dg tipuan murahan.baca baik2! Ibnu taimiyah mensyaratkan Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan,fahaaaam???beda kasus jika makmum menganggap itu bid’ah tidak perlu mengikuti,jadi makmum tidak menganggapnya sunnah tidak mesti bid’ah tapi mubah.dan juga konteksnya adalah imam meninggalkan yg dia anggap sunnah bukan imam ikut melakukan bid’ah karena makmum menyangka itusunnah.jadi jangan dibalik2 kecuali akal ente terbalik,he..

Sabtu, 25 Mei 2019

Kesalahan doa lailatul qodar

Adakah tambahan “kariimun”?
Kita sering mendengar orang membaca doa yang mirip dengan ini, namun dengan tambahan:
اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيْــمٌ تُـحِبُّ …
ALLAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBU…
Benarkah tambahan ini?
Disebutkan dalam Silsilah Ahadits as-Shahihah:
Dalam Sunan Turmudzi, setelah ‘afuwun, terdapat tambahan “kariimun”! Tambahan ini sama sekali tidak terdapat dalam referensi cetakan lama, tidak juga dalam cetakan lain yang menukil darinya. Kelihatannya, ini adalah tambahan dari sebagian pentranskrip atau penerbit. Tambahan ini tidak ada dalam cetakan al-Hindiyah untuk Sunan Turmudzi yang ada syarahnya Tuhfatul Ahwadzi karya Mubarokfuri dan tidak pula dalam cetakan lainnya. Diantara yang menguatkan hal itu, bahwa Imam an-Nasai meriwayatkan doa ini dengan jalur sanad sebagaimana yang ada dalam sunan Turmudzi, keduanya berasal dari gurunya: Quthaibah bin Said dengan sanadnya dan tidak ada tambahan tersebut (Silsilah Ahadits as-Shahihah, catatan untuk hadis no. 3337)
Kesimpulannya bahwa tambahan “kariim” tidak ada dalam hadis. Kemungkinan, itu adalah tambahan proses transkrip atau dari penerbit. Allahu a’lam.