Sabtu, 07 November 2015

syubhat: Imam Qurtubhi Bersumpah Melihat Nabi Secara Yaqazah




SYUBHAT: bukti pengakuan dari Imam besar ahli tafsir, yang shaleh, zuhud dan wira’i, yang menjadi rujukan para ulama besar Ahlus sunnah, yaitu imam al-Qurthubi (578-656 H). Beliau dalam salah satu kitabnya BERSUMPAH dengan nama Allah pernah berjumpa kepada Nabi shallahu‘alaihi wa sallam secara sedar (bukan tidur) yang sebelumnya beliau mimpi terlebih dahulu. Berikut redaksinya dari kitab al-Mufhim karya beliau :
قلت : وقد وقع لي هذا مرات . منها : أني لما وصلت إلى تونس قاصدًا إلى الحج سمعت أخبارًا سيِّئةٍ عن البلاد المصرية من جهة العدو الذي غلب على دمياط ، فعزمت على المقام بتونس إلى أن ينجلي أمر العدو ، فأُريت في النوم كأني في مسجد النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وأنا جالس قريبًا من منبره ، وأُناس يسلمون على النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فجاءني بعض من سلَّم عليه ، فانتهرني وقال : قم فسلِّم على النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فقمت فشرعت في السلام على النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فاستيقظت ، وأنا أسلِّم عليه ، فجدَّد الله تعالى لي عزمًا ، ويَسَّر عليَّ فيما كان قد صعب من أسبابي ، وأزال عني ما كنت أتخوَّفه من أمر العدو ، وسافرت إلى أن وصلت إلى الإسكندرية عن مدة مقدارها ثلاثون يومًا في كنف السلامة ، فوجدتها والديار المصرية على أشد خوف ، وأعظم كرب ، والعدو قد استفحل أمره ، وعظمت شوكته ، فلم أكمل في الإسكندرية عشرة أيام حتى كسر الله العدو ، ومنهن منه من غير صُنع أحد من المخلوقين ، بل : بلطف أكرم الأكرمين ، وأرحم الراحمين . ثم : إن الله تعالى كمَّل عليَّ إحسانه ، وإنعامه ، وأوصلني بعد حجِّ بيته إلى قبر نبيه ومسجده ، فرأيته والله في اليقظة على النحو الذي رأيته في المنام من غير زيادة ولا نقصان
“ Sungguh hal ini (mimpi lalu menjadi kenyataan) SERING terjadi padaku beberapa kali, di antaranya : Ketika aku sampai ke Tunis, bermaksud untuk berangkat haji, aku mendengar khabar buruk tentang negeri Mesir dari musuhnya yang telah menguasai Dimyath. Maka aku rencanakan untuk menetap sementara di Tunis hingga sampai selesai dari urusan musuh. Kemudian aku bermimpi berada di masjid Nabi dan aku duduk di sisi Mimbarnya. Dan beberapa orang memberi salam kepada Nabi shallahu ‘alaihiwa sallam. Tiba-tiba seseorang mendatangiku dan menegurku “ Berdirilah dan ucapkan salam kepada Nabi “. Maka terburu-buru aku ucapkan salam kepada Nabi dan aku terbangun dari tidurku dan sementara lisanku masih mengucapkan salam kepada Nabi. Maka Allah memberikan kemudahan kepadaku dan hilanglah rasa takutku terhadap musuh di luar sana. Kemudian aku bersafar (melakukan perjalanan) hingga sampai Iskandariyyah dengan perjalanan selama lebih kurang  30 hari dalam keadaan selamat. Dan aku mendapati Iskandariyyah dan kota-kota Mesir dalam keadaan mencengkam, susah dan banyak musibah. Aku menetap di sana sepuluh hari dan Allah telah mengalahkan pasukan musuh dan menetapkan kota aku tempati dengan tanpa gangguan sedikit pun dari musuh dengan kelembutan Allah yang Maha Pengasih dari Dzat yang Maha Pengasih. Kemudian Allah menyempurnakan anugerah kebaikan dan nikmat-Nya padaku, dan menyampaikanku setelah mengunjungi baitullah (haji) hingga makam Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dan masjidnya nabi, DAN SUNGGUH DEMI ALLAH, AKU MELIHAT NABI DALAM KEADAAN SEDAR PERSIS KEADAANNYA SEBAGAIMANA AKU MELIHATNYA DALAM MIMPIKU TANPA ADA TAMBAHAN DAN PENGURANGAN SEDIKIT PUN “.
 (AL-Mufhim lima asykala min talkhish kitabMuslim, juz 6 hal. 24-25, cetakan Dar Ibn Katisr dan Dar al-Kalim ath-Thayyib,Beirut)
JAWABAN: he..terjemah yang dipaksakan…melihat nabi???mana teksnya???dasar ahli bid’ah suka menambah asal dimatanya indah padahal itu fitnah..he
Kalau ente ilmiah seharusnya diterjemahkan melihatNYA..nya itu apa atau siapa?apa nabi?
Dari segi bahasa jelas hokum asalnya dhomir itu kembali ke yang terdekat.disitu yaitu masjid bukan nabi
Bagi yang melihat teks lengkapnya akan tertawa melihat terjemah ente..
Contoh-contoh yg dibawakan al qurtubi ini semua berkaitan sesuatu yang akan ditemui di alam nyata bukan yang telah wafat..faham??
Disini al qurtubi membawakan 3 contoh:
1.cerita mimpi nabi tentang ‘aisyah yg akan dinikahinya
ثم المطابقة قد تظهر في اليقظة على نحو ما أدركت في النوم ، كما قد صح عنه ؛ أنه قال لعائشة : (( أريتك في المنام في سَرَقَةٍ من حرير ، فإذا هي أنت )) ، ومعناه : أنه رآها في نومه على نحو ما رآها في يقظته
2.cerita diatas
3. cerita beliau tentang wanita yg telah dinikahinya namun belum berhubungan dengannya lalu terlintaslah tentangnya dihati hingga terbawa mimpi.saat bertemu ternyata sama dg dalam mimpi
ومنها : أني تزوجت امرأة ، وقبل الدخول بها حذثت عن صفتها ما أوقع في قلبي نُفرة ، فاريتها في النوم على الصفة التي كانت عليها في بيتها ، ثم إنن لما اجتمعت بها وجدتها هي التي أريتها في النوم . ونحو هذا كثير
 Jadi jelas sekali sejak awal beliau menceritakan  masjid nabi bukan nabi
فأُريت في النوم كأني في مسجد النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ وأنا جالس قريبًا من منبره
Apalagi ditambah penegasan dalam kitab yg sama :
اختلف في معنى هذا الحديث ؛ فقالت طائفة من القاصرين : هو على ظاهره ، فمن رآه في النوم رأى حقيقته ، كما يرى في اليقظة . وهو قول يُدرَك فساده بأوائل العقول ؛ فإنَّه يلزم عليه ألا يراه أحدٌ إلا على صورته التي توفي عليها ، ويلزم عليه ألا يراه رائيان في وقت واحد في مكانين ، ويلزم عليه أن يحيا الآن ، ويخرج من قبره ، ويمشي في الناس ، ويخاطبهم ، ويخاطبونه كحالته الأولى التي كان عليها ، ويخلو قبره عنه ، وعن جسده ، فلا يبقى منه فيه شيء فيزار غير جدث ، ويُسلَّم على غائب ؛ لأنَّه يُرى في الليل والنهار مع اتصال الأوقات على حقيقته ، في غير قبره . وهذه جهالات لا يبوء بالتزام شيء منها من له أدنى مسكة من المعقول
Imam al-Qurthûbi rahimahullah berkata: "Dalam makna hadits ini terdapat perbedaan; sebagian berpendapat sebagaimana lahirnya, yaitu barangsiapa yang melihat dalam mimpi, maka ia telah melihat secara hakiki sama seperti orang melihatnya di waktu terjaga. Pendapat ini dapat diketahui kekeliruannya dengan dalil akal yang mengharuskan:

1. Bahwa, tidak seorang pun yang melihatnya melainkan dalam bentuk saat beliau meninggal.

2. Tidak mungkin ada dua orang yang mimpi melihatnya dalam waktu yang sama dalam dua tempat.

3. Bahwa ia hidup keluar dari kuburnya dan berjalan di pasar serta berbicara dengan manusia.

4. Bahwa kuburnya kosong dari jasadnya, sehingga tidak tertinggal sesuatu dalamnya, maka yang diziarahi hanya kubur semata (tanpa jasad) dan memberi salam kepada sesuatu tidak ada.

Karena ia bisa dilihat di sepanjang waktu; pagi dan sore secara hakiki di luar kuburnya. Pendapat ini adalah kebodohan, tidak akan berpegang dengannya siapa saja yang memiliki sedikit akal sehat”  (AL-Mufhim lima asykala min talkhish kitabMuslim, juz 18 hal. 128)
SYUBHAT: Sungguh benar sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
” Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku di waktu terjaga, dan syaitan tak dapat menyerupaiku ” (HR. Bukhari no: 6993)
 JAWABAN: imam al qurthubi sendiri telah menjelaskan maksud di kitab yg sama:
ويكون من فوائد ذلك : تسكين شوق الرائي ، لكونه مُستهتِرًا بمحبته ، وليعمل على مشاهدته وهذا هو الذي أشار إليه النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ لَمَّا قال : (( من رآني في المنام فسيراني في اليقظة )) ؛ أي : من رآني رؤية معظِّمٍ لحرمتي ، ومُشتاقٍ لمشاهدتي ؛ وصل إلى رؤية محبوبه ، وظفر بكل مطلوبه
Dan adapun termasuk manfaat itu: menenangkan kerinduan pelihat, karena luluh dg cintanya, supaya beramal berdasarkan penglihannya, dan ini yg diisyaratkan oleh Nabi, ketika dia mengatakan: ((Barangsiapa melihatku dalam mimpi melihat saya ketika dia terjaga)); yaitu: Siapapun yang melihat saya dg penglihatan pengagungan untuk mnghormatiku, dan rindu melihat saya, sampailah kepada penglihatan yg dicintainya, dan mendapatkan apa yang di inginkan
(AL-Mufhim lima asykala min talkhish kitabMuslim, juz 18 hal. 131)
SYUBHAT: Masihkah kaum Sufahaa ul Ahlaam (wahhabi-salafi) memungkiri kisah di atas dan mengatakan Imam Qurthubi telah berdusta atau sesat? sungguh mereka tidak menyedari telah mendustakan hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam tersebut secara tidak langsung, naudzu billahi min dzaalik…
JAWABAN : he..justru ahli bid’ah yg mengobok-obok perkataan imam al qurthubi dibawa menurut hawa nafsunya..justru yang berdusta atas nama nabi yang seharusnya menyiapkan tempat duduknya di neraka..nas-alulloha al’afiyah

Mbah maimun : Kembalikan islam ke timur agar tidak hillang



KH Maimun Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah menolak dicalonkan jadi Rais Aam PBNU. “Wong kulo sampun tuwo (saya sudah tua), umur 87,” kata Mbah Maimun, panggilan akrab Kiai Maimun Zubair saat menerima KH Ir Salahuddin Wahid (Gus Solah) kemarin (15/3).
Gus Solah didampingi KH Abdurrahman Utsman, ustadz senior Tebuireng, silaturahim ke Mbah Maimun di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah. Meski kondisi kesehatan Mbah Maimun agak terganggu tapi kiai kharismatik itu tetap bersemangat ketika berbicara tentang NU. Sekitar satu jam Gus Solah bersama Mbah Maimun di dalemnya di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Jawa Tengah.
“Kembalikan NU ke Timur, agar NU tak hilang,” kata Mbah Maimun. Apa maksud isyarat kiai kharismatik ini? Ternyata yang dimaksud Mbah Maimun agar NU dikembalikan ke Pesantren Tebuireng. Artinya, Mbah Maimun mendukung Gus Solah sebagai ketua umum PBNU.
Ada beberapa alasan Mbah Maimun mendukung Gus Solah, antara lain, PBNU kini kurang bisa meneruskan ide Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari. Selain itu, kata Mbah Maimun, PBNU kini sulit diarahkan karena ada orang seperti Ulil Abshar Abdalla.
Kenapa dengan Ulil? Mbah Maimun mengaku mendapat banyak pengaduan dari masyarakat.
Gus Solah kemarin menyampaikan informasi munculnya beberapa nama yang disebut-sebut pantas menjabat Rais Aam, antara lain KH Tholhah Hasan, KH Ma’ruf Amin, KH Hasyim Muzadi, dan KHA Mustofa Bisri (Gus Mus). Tapi ketika menyebut nama Gus Mus, Mbah Maimun langsung menukas, “Tiang-tiang (orang-orang) lapor karena ada Ulil,” katanya.
Ulil adalah menantu Gus Mus yang selama ini dikenal sebagai tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL). Berkali-kali Ulil menjadi topik pembicaraan nasional karena pemikirannya yang kontroversial, terutama karena menganggap semua agama sama.
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar,” kata Ulil seperti dikutip Majalah Gatra edisi 21 Desember 2002.
“Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pecinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya,” kata Ulil seperti dikutip Kompas edisi 18 Nopember 2002.
Islam, menurut Ulil, adalah sebuah “organisme” yang hidup dan dinamis sesuai dengan perkembangan manusia. Bukan monumen yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah tak boleh disentuh tangan sejarah.
Intinya, menurut Ulil, diperlukan penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsur-unsur di dalamnya yang merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental. ”Mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh kultur Arab dan mana yang tidak.” tulis Ulil.
Ulil mencoba membuat contoh aspek Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab yang tak perlu diikuti. Misalnya jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah, tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal partikular Islam di Arab.
Jilbab intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum. Kepantasan sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ulil juga memperbolehkan nikah beda agama. Karena, menurut Ulil, Al-Quran memperbolehkan. Ia menunjuk Surat Al-Maidah ayat 5. Intinya, seorang lelaki diperbolehkan nikah dengan perempuan Nasrani dan Yahudi.Dalam ayat ini, kata Ulil, tidak ada keterangan, perempuan muslimat dilarang nikah dengan laki-laki non muslim. Jadi boleh saja.
Menurut dia, kalangan pesantren atau akademisi Islam, tidak melihat ada yang aneh dalam pemikirannya itu. Termasuk mertuanya sendiri, Gus Mus, tidak mempermasalahkan substansi yang dia lontarkan. Hanya metode dan cara penyampaiannya berbeda dari apa yang disampaikan kalangan kiai sepuh. ”Mertua saya tak keberatan atas substansi yang saya sampaikan,” ujarnya seperti dikutip Suara Merdeka (Rabu,18/12/2002).
Apa yang disampaikan Ulil soal Gus Mus bisa jadi benar. A Dardiri Zubairi, seorang penulis di Kompasiana mengaku mengikuti dialog Gus Mus di sebuah pondok pesantren di Sumenep Madura. Menurut dia, ada peserta dialog yang mempertanyakan keterlibatan Ulil di JIL. Apa jawab Gus Mus?
”Gus Mus (semoga saya tidak salah mendengar) menjawab begini: Saya tidak merisaukan keterlibatan Ulil di JIL, yang penting Ulil tidak boleh berhenti belajar. Jika berhenti belajar, orang akan jatuh pada kesombongan,” tulis Dardiri Zubairi di Kompasiana, 17 Maret 2011.

Gus sholah : NU berjuang untuk Negara RI berdasarkan islam


Pernyataan ngawur katib ‘Amm PBNU Yahya Staquf dan aktivis liberal Musdah Mulia mendapat tanggapan dari cucu Hadhrotussyaikh pendiri NU KH. Sholahuddin Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Sholah sebagaimana dimuat Republika.co.id
Menilai Kebijakan Masa Lalu
04 November 2015
Dalam NU Online ada berita bahwa Yahya Staquf dalam sebuah acara menyampaikan, NU keluar dari Partai Masyumi dan menjadi Partai NU untuk mencegah Partai Masyumi menjadi pemenang lebih dari separuh suara pada Pemilu 1955. Alasan lain karena NU tidak setuju tujuan Masyumi menjadikan Indonesia negara berdasarkan Islam.
Saya tidak tahu Yahya Staquf mendapat informasi itu dari mana. Setahu saya saat NU keluar dari Masyumi pada 1952, NU masih memperjuangkan negara RI berdasarkan Islam. Perjuangan itu bisa kita lihat ketika NU bersama Masyumi, PSII, Perti, dan lainnya memperjuangkan negara berdasarkan Islam di persidangan Konstituante 1956-1959. Perjuangan itu tidak berhasil setelah pada pemungutan suara pendukung negara berdasarkan Islam hanya memperoleh 43 persen suara. Kira-kira, suara Partai Masyumi kalau NU masih bergabung di dalamnya tidak akan jauh dari angka itu.
Kalau NU tidak mendukung negara berdasarkan Islam dalam pemungutan suara di Konstituante, tentu UUD yang sedang disusun Konstituante akan bisa disahkan karena jumlah suara pendukung dasar negara Pancasila akan melampaui 2/3 jumlah suara. Kalau itu terjadi, UUD kita saat ini bukan UUD 1945, tapi UUD 1959.
Perjuangan itu dilanjutkan saat Bung Karno meminta dukungan NU ketika akan mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Ketua Umum PBNU Idham Chalid dan Sekjen Saifuddin Zuhri meminta supaya Piagam Jakarta diberi posisi menentukan.
Bung Karno menempatkan masalah Piagam Jakarta sebagai salah satu butir pertimbangan: Piagam Jakarta menjiwai dan menjadi bagian tak terpisahkan dari UUD 1945. Tafsiran kalimat dari butir pertimbangan itu masih menjadi perdebatan dalam waktu yang lama setelah keluarnya dekrit itu.
Karena Partai NU masih berjuang untuk negara berdasarkan Islam, pada Pemilu 1971 pemerintahan Orde Baru dan TNI menekan supaya perolehan suara NU tidak tinggi. Saya masih ingat pada masa kampanye Pemilu 1971, saya bertanya kepada mertua saya, Saifuddin Zuhri, mengapa NU tidak menerima negara berdasarkan Pancasila.
Menurut saya, negara berdasarkan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Sejak kampanye Pemilu 1955 saya sudah setuju negara berdasarkan Pancasila. Beliau menjawab, hampir semua kiai masih menginginkan negara berdasarkan Islam. Saat NU bergabung ke PPP pada awal 1973, partai ini juga masih berjuang untuk negara RI berdasarkan Islam.
NU menerima sepenuhnya negara berdasarkan Pancasila pada Munas Ulama 1983 dan kemudian disetujui pada Muktamar NU 1984. Dalam Munas dan Muktamar itu pun masih terjadi debat tajam mengenai setuju atau tidaknya muktamar menerima Pancasila.
Bersyukur, KH Ahmad Siddiq yang menyusun naskah Dokumen Hubungan Islam dan Pancasila didukung sejumlah kiai sepuh bisa meyakinkan para muktamirin untuk menerima Pancasila. KH Ahmad Siddiq sudah sejak lama mengusulkan supaya NU menerima, secara penuh dan sukarela, Pancasila sebagai dasar negara.

SYUBHAT : KISAH LABA-LABA



SYUBHAT: Dalam kitab Sirah al-Qaul al-Mubin fi Sirah Sayyidil Mursalin karya Muhammad Thayyib an-Najjar, dalam ta’liq-nya, saat menyebutkan hadits hasan riwayat Ahmad bin Hanbal tentang laba-laba di mulut goa, disebutkan:

المسند” 2/ 279، وقد حسن الحافظ ابن كثير سند الحديث في “البداية” 3/ 181 و
كذلك وقع ذكر العنكبوت والحمامتين، في حديث عن أنس بن مالك، وزيد بن أرقم، والمغيرة بن شعبة، عند البيهقي في “الدلائل” 2/ 482، وابن سعد 1/ 229 وأبي نعيم رقم 229، وابن عساكر كما عند ابن كثير في “السيرة” 3/ 181، وقال: هذا حديث غريب جدًّا من هذا الوجه، قلت: وهو ضعيف وقد جاء ذكر نسج العنكبوت من مرسل الحسن، كما في “البداية” 3/ 181 وحسنه الحافظ في الشواهد.
“(Hadith tentang labah-labah di mulut gua ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah ke Madinah) diriwayatkan Imam Ahmad dalam al-Musnad (II/279) dan sanadnya dihasankan oleh al-Hafizh Ibnu Katsir dalam al-Bidayah (III/181), begitu juga masalah labah-labah dan dua burung merpati dalam hadits riwayat dari Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, dan Mughirah bin Syu’bah sebagaimana dalam Dalail an-Nubuwwah karya al-Baihaqi (II/482), Ibnu Sa’ad (I/229), Abu Nu’aim (hadits no: 229), dan  Ibnu Asakir, sebagaimana dalam Sirah Ibni Katsir, dan disebut sebagai hadits gharib”. Kemudian dikatakan oleh Muhammad Thayyib Najjar: “Hadits ini dhaif, dan hadits yang menyebut tentang labah-labah dan merpati adalah mursal dari Hasan, sebagaimana dalam al-Bidayah (III/181) dan kemudian dihasankan oleh al-Hafizh dalam syawahid”
JAWABAN: dari uraian diatas jelas sekali bahwa aslinya itu dho’if lemah.adapun penghasan  alhafidz itu karena syawahid.apalagi itu hanyalah mauquf perkataan sahabat saja yang itu hukum asalnya bukan hujjah.apalagi di dalam jalur sanad riwayat ahmad ini ada utsman al jazari perawi majhul kata ibnu hajar.
Berkata Ibnu Abi Hatim dalam Jarh wat Ta’dil 2/162 : Dia tidak bisa dijadikan sebagai hujjah
Dia pun dilemahkan oleh Adz Dzahabi dalam Mizan 5510 dan Ibnu Hajar dalam Lisan : 5526. 
Soal mursalnya hasan maka Mursalnya Hasan al Basri lemah.Berkata Imam Ahmad : Tida ada hadits mursal yang lebih lemah dibandingkan mursalnya Hasan. (Lihat Tadribur Rowi oleh As Suyuthi 1/204)
SYUBHAT: Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar hijrah pada siang hari atau malam hari? Demikianlah terkadang pertanyaan muncul ketika membaca kitab-kitab hadits. Maka jawabnya adalah sebagaimana riwayat yang dibawakan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (VII/278) yang menukil dari Musnad Ahmad dari Abdullah bin Abbas:
تَشَاوَرَتْ قُرَيْشٌ لَيْلَةً بِمَكَّةَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ إِذَا أَصْبَحَ فَأَثْبِتُوهُ بِالْوَثَاقِ يُرِيدُونَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ اقْتُلُوهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ أَخْرِجُوهُ فَأَطْلَعَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ذَلِكَ فَبَاتَ عَلِيٌّ عَلَى فِرَاشِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَحِقَ بِالْغَارِ وَبَاتَ الْمُشْرِكُونَ يَحْرُسُونَ عَلِيًّا يَحْسَبُونَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Kaum Quraisy bermusyawarah pada satu malam di Makkah. Dari mereka ada yang mengusulkan, jika pagi tiba: “Maka tangkap dia dengan tali!”. Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alai wasallam. Sebagian dari mereka usul: “Bunuh saja Muhammad!”. Ada lagi yang usul: “Usir saja Muhammad!”. Maka kemudian Allah Azza wa Jalla memperlihatkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rencana tersebut, maka Ali bin Abi Thalib bermalam (tidur) di tempat tidur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sampai (dan Abu Bakar) di gua sementara orang-orang musyrik bermalam menjaga Ali, mereka menyangka itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam(HR. Ahmad bin Hanbal)
Hadits ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberangkatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hijrah adalah dimalam hari.
Kemudian dalam lanjutan hadits diatas:

فَلَمَّا أَصْبَحُوا ثَارُوا إِلَيْهِ فَلَمَّا رَأَوْا عَلِيًّا رَدَّ اللَّهُ مَكْرَهُمْ فَقَالُوا أَيْنَ صَاحِبُكَ هَذَا قَالَ لَا أَدْرِي فَاقْتَصُّوا أَثَرَهُ فَلَمَّا بَلَغُوا الْجَبَلَ خُلِّطَ عَلَيْهِمْ فَصَعِدُوا فِي الْجَبَلِ فَمَرُّوا بِالْغَارِ فَرَأَوْا عَلَى بَابِهِ نَسْجَ الْعَنْكَبُوتِ
“Maka tatkala pagi hari,orang-orang musyrik menyergap Ali. Ketika mereka tahu bahwa itu adalah Ali, Allah mengembalikan makar mereka. Mereka berkata: “Manakah temanmu ini?”. Ali menjawab: “Aku tidak tahu”. Kemudian mereka mencari bekas-bekas pergi Rasulullah, dan ketika sampai di di gunung mereka dibuat bingung kemudian naik ke gunung dan melewati gua, dan melihat di pintu gua ada sarang labah-labah”. (HR. Ahmad bin Hanbal)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari (VII/278) menilai hadits ini sanadnya hasan.

وَذَكَرَ أَحْمَدُ مِنْ حَدِيْثِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
“Ahmad menyebutkan dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad hasan”.
JAWABAN: sekali lagi penghasan karena syawahid.itu pun kalau syawahidnya diterima.namun aslinya lemah apalagi hanya mauquf sampai sahabat saja tidak marfu’.riwayat mauquf bukan hujjah.asal dari hadits mauquf adalah tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Hal itu disebabkan karena hadits mauquf hanyalah merupakan perkataan atau perbuatan dari shahabat saja. Namun jika hadits tersebut telah tetap, maka hal itu bisa memperkuat sebagian hadits dla’if – sebagaimana telah dibahas pada hadits mursal – karena yang dilakukan oleh shahabat adalah amalan sunnah. Ini jika tidak termasuk hadits mauquf yang dihukumi marfu’ (marfu’ hukman). Adapun jika hadits mauquf tersebut dihukumi marfu’ (marfu’ hukman), maka ia adalah hujjah sebagaimana hadits marfu’.
[Taisiru Musthalahil-Hadits  oleh Dr. Mahmud Ath-Thahhan, hal. 98 – 100, Iskandariyyah, 1415 H].
SYUBHAT: Adapun dalam riwayat lain yang kemudian difahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pergi hijrah disiang hari dari rumah Abu Bakar:
قَالَتْ عَائِشَةُ فَبَيْنَمَا نَحْنُ يَوْمًا جُلُوسٌ فِي بَيْتِ أَبِي بَكْرٍ فِي نَحْرِ الظَّهِيرَةِ قَالَ قَائِلٌ لِأَبِي بَكْرٍ هَذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَقَنِّعًا فِي سَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ يَأْتِينَا فِيهَا فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ فِدَاءٌ لَهُ أَبِي وَأُمِّي وَاللَّهِ مَا جَاءَ بِهِ فِي هَذِهِ السَّاعَةِ إِلَّا أَمْرٌ قَالَتْ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَ فَأُذِنَ لَهُ فَدَخَلَ
“Aisyah berkata: “Ketika kami pada suatu hari duduk-duduk di rumah Abu Bakar di waktu pagi hari mendekati siang, seseorang berkata kepada Abu Bakar: “Ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” dalam keadaan bertutup yang datang ke kami di waktu yang tidak biasa”. Kemudian Abu Bakar berkata: “Tebusan baginya bapakku dan ibuku. Demi Allah, beliau tidak datang di waktu ini kecuali ada perkara penting”. Aisyah berkata: “Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang meminta izin dan kemudian Rasulullah di beri izin dan lalu beliau masuk” (HR. Bukhari).
Hadits ini dan kelanjutannya yang berkisah tentang kedatangan Rasulullah kepada Abu Bakar pada pagi mendekati siang bahwa Rasulullah sudah diberi izin untuk hijrah, setelah Rasulullah keluar pada malam hari dari rumah beliau yang dikepung. Hal itu karena sebelumnya Abu Bakar meminta izin untuk hijrah terlebih dahulu tetapi Rasulullah melarangnya karena beliau berkehendak supaya Abu Bakar menemani hijrah. Demikian dapat difahami dari hadits yang disampaikan oleh as-Samhudi dalam Khulashah al-Wafa’ (I/593) berikut:
قَالَ لِعَلِيّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ نَمْ عَلَى فِرَاشِي وَتَسَجّ بِبُرْدِي هَذَا الْأَخْضَرِ ، فَنَمْ فِيهِ فَلَنْ يَخْلُصَ إلَيْك مِنْهُمْ أَمْرٌ وَأَتَى اَبَا بَكْرٍ فَاَعْلَمَهُ وَقَالَ : قَدْ أُذِنَ لِي
“Rasulullah berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Tidurlah di atas alas tidurku dan tutupilah dengan selimutku ini yang berwarna hijau. Tidurlah didalamnya maka tidak akan sampai sesuatu dari mereka kepadamu”. Rasulullah lalu datang kepada Abu Bakar dan mengkhabarkan: “Aku telah diberi izin”.
Apa yang dilakukan oleh Imam as-Samhudi dan lain-lain merupakan penghimpunan dua hadits yang sama-sama diboleh dibuaT hujjah, yaitu hadits dalam shahih Bukhari dan hadits dalam Musnad Ahmad.
Dengan demikian dakwaan sebahagian Wahabi bahwa Rasulullah hijrah di siang hari dari rumah beliau dan riwayat tentang Ali yang tidur menggantikan Rasulullah adalah lemah telah tertolak.
JAWABAN : he lucu..menjama’ itu jika sama2 shohih.jelas riwayat imam bukhori terbukti kebenarannya.
berbeda sekali dengan pernyataan yang diajukan oleh riwayat Bukhari sebagai berikut: 
1.      Hijrah ke Madinah terjadi dari rumah Abu Bakar pada waktu tengah hari bukannya pada waktu malam hari.
2.      Dalam riwayat Bukhari, Nabi tidak memerintahkan Ali agar tidur di atas tempat tidur Beliau pada malam terjadinya hijrah itu. Juga tidak disebutkan bahwa Nabi menaburkan pasir diatas  kepala orang-orang kafir yang menanti kesempatan untuk menyerbu rumah Rasulullah  dengan maksud untuk membunuh Nabi .
3.      Aisyah bersama Asma’ menyiapkan bekal untuk perjalanan Rasulullah dengan cepat-cepat karena awal hijrah terjadi saat itu juga.
4.      Semua anggota keluarga Abu Bakar punya andil besar dalam menyukseskan langkah-langkah hijrah yang terjadi pada saat yang genting itu.
5.      Dalam riwayat Bukhari, tidak disebutkan kisah setan yang menyamar sebagai orang tua Najdi dan menghadiri majelis musyawarah pembesar-pembesar Quraisy yang merencanakan untuk membinasakan Rasulullah .
Melihat perbedaan pendapat diatas ada beberapa analisa yang dapat diberikan mengenai pendapat-pendapat tersebut:
1.      Nabi Muhammad sebenarnya melakukan hijrah pada siang hari dikarenakan kondisi di Arab pada siang hari sangat panas dimana orang-orang beristirahat dan tidak akan keluar rumah. Sedangkan pada malam hari justru digunakan bangsa Arab untuk keluar rumah dan melakukan kegiatan. Disinilah kesempatan Nabi untuk bisa berhijrah pada siang hari.
2.      Sebenarnya Ali tidak diperintahkan untuk tidur diatas tempat tidur Rasulullah. Hal ini dikarenakan orang-orang Arab yang hendak melakukan serangan ke dalam rumah adalah haram dilakukan jika mereka mengetahui terdapat wanita di dalam rumah. Jadi buat apa Rasulullah memerintahkan Ali untuk tidur diatas tempat tidurnya padahal Beliau sendiri bisa tidur nyenyak tanpa gangguan musuh.
3.      Sebenarnya Nabi tidak mengetahui tentang adanya musyawarah yang dilakukan orang-orang kafir untuk membunuh Beliau. Apalagi musyawarah dihadiri oleh Iblis yang menyamar sebagai Najdi. Musyawarah tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Jika musyawarah tersebut dilakukan secara terang-terangan dan mengundang Najdi, bisa dipastikan Nabi mengetahui apa yang dimusyawarahkan dan diputuskan.
SYUBHAT: Adapun hadits yang mengkisahkan labah-labah dan merpati dimulut gua Tsur yaitu:
قَالَ: أَدْرَكْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ. وَزَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ. وَالْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ، فَسَمِعْتُهُمْ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “أَمَرَ اللَّهُ شَجَرَةً لَيْلَةَ الْغَارِ فَنَبَتَتْ فِي وَجْهِي، وَأَمَرَ اللَّهُ الْعَنْكَبُوتَ فَنَسَجَتْ فَسَتَرَنِي، وَأَمَرَ اللَّهُ حَمَامَتَيْنِ وَحْشِيَّتَيْنِ فَوَقَفَتَا بِفَمِ الْغَارِ
“Abu Mush’ab al-Makki berkata: “Aku bertemu Anas bin Malik, Zaid bin Arqam, dan Mughirah bin Tsu’bah, aku mendengar dari mereka yang bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Allah memerintahkan pohon di malam saat berada di gua, maka pohon tersebut tumbuh dihadapanku. Dan Allah juga memerintahkan labah-labah dan kemudian ia menyulan dan menutupiku. Dan Allah juga memerintahkan dua merpati yang gesit dan berhenti di mulut gua”. (HR. Baihaqi dalam Dalalil an-Nubuwwah, Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Bazzar dalam Musnad)
Dalam hadits diatas terdapat perawi yang bernama Awin bin Amr al-Qaisi yang dinilai sangat lemah oleh beberapa huffazh. Tetapi al-Hafizh al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawaid (VI/65) berkata:
رَوَاهُ البَزَّارُ وَالطَّبَرَانِي وَفِيْهِ جَمَاعَةٌ لَمْ أَعْرِفْهُمْ
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabarani dan didalam sanadnya terdapat segolongan perawi yang tidak aku kenal (majhul)”.
Al-Hafizh al-Haitsami juga berkata dalam hadits lain:
رَوَاهُ الطَّبَرَانِي فِي الكَبِيْرِ وَمُصْعَبٌ المكِّي وَالذِي رَوَى عَنْهُ وَهُوَ عَوِيْنٌ بن عَمْرو القَيْسِي لَمْ أَجِدْ مَنْ تَرْجَمَهُمَا وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
“Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Kabir, dan Mush’ab al-Makki dan yang meriwayatkan darinya, yaitu Awin bin Amr al-Qaisi aku tidak menemukan biografinya (majhul). Dan perawi selebihnya adalah tsiqah.

Dengan demikian, al-Hafizh al-Haitsami menilai Awin bin Amr al-Qaisi dan Mush’ab al-Makki sebagai perawi yang majhul yang berarti haditsnya masih dhaif biasa. Meski tak dipungkiri al-Uqaili menyebut Awin bin Amr al-Qaisi adalah sangat lemah sekali, hingga sebaghagian ulama menyebut hadits merpati di mulut gua sangat lemah dan tak bisa dibuat dalil dalam kisah sekalipun.
JAWABAN: Tentang Aun bin Amr Al Qoisi Berkata Imam Adz Dzahabi dalam Mizanul i’tidal : 6535 : Berkata Ibnu Ma’in : Tidak ada apa-apanya, berkata Imam Bukhori : dia seorang yang munkar hadits dan majhul.”

Imam Adz Dzahabi kemudian membuat contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh Aun, dan hadits ini adalah salah satunya.
Dan ada juga Abu Mush’ab  Dia seorang yang majhul ain sebagimana yang dikatakan oleh Bazzar dan Al Uqoili. Dan majhul ain adalah seorang yang rowi yang hanya diriwayatkan oleh seorang rowi dan tidak diketahui ketsiqohannya. Hukum hadits majhul ain adalah lemah
Al-Hafizh Ibnu Katsir meriwayatkan hadits diatas dalam as-Sirah an-Nabawiyyah (II/241) dan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah (III/222) berkata:
وَفِيْهِ أَنَّ جَمِيْعَ حَمَّامِ مَكَّةَ مِنْ نَسْلِ تِيْكَ الحَمَّامَتَيْنِ
“Dan dalam hadits ini, semua merpati di Mekkah adalah keturunan dari dua merpati tersebut”
Ini merupakan penegasan bahwa al-Hafizh Ibnu Katsir menerima riwayat dua merpati dalam gua tersebut. Apalagi cerita ini sudah seperti mutawatir diriwayatkan oleh banyak ulama.
JAWABAN : jelas sekali itu hanya berdasarkan hadits aun yg jlas lemah apalagi ghorib jiddan dmikian kata ibnu katsir sendiri dalam bidayah wa nihayah(2/223):
وهذا حديث غريب جدا من هذا الوجه

Selasa, 03 November 2015

UST BADRUSSALAM VS SANTRI ABANGAN SEPUTAR JENAZAH


UST BADRUSSALAM: 
1. Tidak ada sunnah menyedekapkan tangan jenazah.
2. Tidak ada sunnah membuka wajah mayit ketika dikuburkan.
3. Tidak harus membuka tali pocong.
4. Tidak ada dalil untuk memimpin do’a setelah mayit dikuburkan, yang ada ialah doa sendiri-sendiri.
5. Tidak disunnahkan mengangkat tangan dalam takbir KECUALI TAKBIR PERTAMA ketika shalat jenazah.
6. Tidak sunnah menutup mayat dengan keranda.
7. Tidak usah mengganti dhamir hu menjadi ha karena dalam doa tersebut kembali kepada mayat, bukan jenis kelamin mayat.
8. Tidak disunnahkan adzan dan iqomah di liang lahat, adzan adalah panggilan untuk sholat.
SYUBHAT :Terkait mayat itu sedekap atau tidak


السؤال: ذكر ابن عبد الهادي في كتابه: مغني ذوي الأفهام, أن الميت عند التكفين توضع يداه على صدره, وقد بحثت المسألة في أكثر من عشرين كتابًا من كتب أهل العلم, ولم أجد لها ذكرًا, ولا حتى إشارة, بل في كتب غير الحنابلة لم أجد شيئًا, لذا آمل تكرمكم بتوضيح صحة هذا القول, وهل عليه إثبات من الأدلة الشرعية المعتبرة, أو أنه اجتهاد من ابن عبد الهادي رحمه الله؟

الجواب: لا بأس بوضع يدي الميت عند تكفينه على صدره أو عن جانبيه, فالأمر في هذا واسع والحمد لله. وبالله التوفيق, وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

So’al:

“Ibnu Abdil Hadi menyebutkan dalam kitabnya “Mughni Dzawil Afhaam”, bahwasanya ketika mengkafani mayat, kedua tangannya diletakkan di atas dadanya, lalu aku mencari masalah ini dalam 20 kitab para ulama namun aku tidak menemukan penjelasan tentang hal ini, jangankan penjelasan isyarat pun tidak ada, bahkan di kitab2 selain madzhab hambali aku tidak menemukannya juga, oleh karena itu saya berharap penjelasan tentang benar atau tidaknya hal ini, dan apakah pendapat ini ada dalil shahih dari syari’at, atau hanya sebatas ijtihad dari Ibnu Abdil Hadi?,

Jawaban:

“Tidak mengapa meletakkan kedua tangan mayat di atas dadanya ketika dikafani dan tidak mengapa pula menjulurkan di sisi badannya, walhamdulillah Wabillahit taufiq.

Dalam kitab “Nihayatul Muhtaaj” dikatakan:

(ويوضع الميت فوقها) أي اللفائف برفق (مستلقيا) على قفاه ويجعل يداه على صدره يمناه على يسراه أو يرسلان في جنبه, أيما فعل منهما فحسن.

“(Mayat diletakkan di atasnya) yaitu di atas kain kafan (dalam keadaan terlentang) bertumpu pada tengkuknya, dan hendaknya kedua tangan mayat diletakkan di atas dadanya, yg kanan di atas yg kiri atau -boleh juga- kedua tangannya diirsalkan maksudnya dijulurkan- di sisi badannya,”. (Nihayatul Muhtaaj:2/264, cet.Daarul Fikr)

2. Membuka penutup muka mayit dan tali kafan dalilnya sebagai berikut:

a- Membuka kain kafan kepala, kemudian meletakkan pelipis kanan menempel pada bantalan atau langsung menyentuh tanah, kemudian memberikan bantalan di kepala merupakan perkara yg dianggap sunnah / mustahab oleh mayoritas Ulama’.

Telah berkata Saiyyida Umar Bin Khottob : “ apa bila kalian menguburkanku, ketika telah menurunkan aku di liang lahat, maka tempelkan pelipisku ke tanah”.

Imam Ad-dhohak juga telah berwasiat agar ketika dirinya di kubur, tali tali kafannya di lepaskan dan pipi kanannya di buka dengan membuka kain kafan yg menutupi pelipisnya. (Fiqhus Sunnah Juz 1 hal. 322 – syaih Sayyid Sabiq –cet.Darulfikr beirut)

واستحب العلماء ان يوسد راس الميت بلبنة او حجر او تراب , ويفضى بخده الايمن الى اللبنة ونحوها , بعد ان ينحى الكفن عن خده . قال عمر: اذا انزلتموني الى اللحد فافضوا بخدي الى التراب. واوصى الضحاك أن تحل عنه العقد ويبرز خده من الكفن. واستحبوا ان يوضع شيئ خلفه من لبن او تراب يسنده . ( كتاب فقه السنة جز 1-322 , دار الفكر ).

b - Dan dianjurkan meletakkan bantalan di bawah kepala atau menyandarkan kepala pada sesuatu dari pada bata atau tanah. (Al-fiq ala Madzahib al-arba’ah - Syaikh Abdurrohman al-jaziri Juz -1 hal. 452 .cet. Darulfikr )

ويستحب ان يسند رأس الميت ورجلاه بسيئ من التراب او اللبن في قبره. (كتاب الفقه على مذاهب الاربعة جز -1 - 452 –دار الفكر ).

c - Dan merupakan perkara sunnah yaitu meletakkan pelipis kanan mayyit (setelah di bukanya kain kafan penutupnnya) di atas tanah. (Kitab Inarotud duja syarh nadzom safinatun najah - Syaikh Muhammad Ali bin Husain Al-makki al-maliki - hal. 158 – cet. Al hidayah surabaya)

( ووضع خده ) أي الايمان بعد ازالة الكفن عنه ( على التراب ندب ) اي يسن ان يفضى بخده الى الارض او الى نحو اللبنة . ( كتاب انارة الدجى شرح تنوير الحجا نظم سفينة النجا – رقم : 158 )

d - Dan termasuk perkara sunnah yaitu meletakkan pelipis kanan mayat ke tanah setelah di bukanya kain kafan penutup pelipis tersebut. (Kitab I’anatut Thalibin juz 2-hal 117 Cet.Thoha Putra Semarang)

( ويندب الافضاء بخده الايمن بعد تنحية الكفن عنه الى نجو تراب ورفع رأسه بنحو لبنة ) اي يندب الصاق خده الأيمن بالتراب وقوله بعد تنحية الكفن عنه اي بعد ازالة الكفن عن خده وقوله نحو تراب متعلق بافضاء ودخل تحت نحو الحجر واللبن . (كتاب اعانة الطالبين على حل الفاظ فتح المعين – جز 2 رقم 117 – السيد ابي بكر الدمياطي ).

e - Dan hendaknya menyandarkan wajah mayat dan kakinya dan punggungnya pada dinding lahat. Dan meletakkan bantalan seperti bata atau batu agar posisi mayat tidak berubah menjadi terlentang. Dan juga mengangkat kepala mayat dengan bantalan dari tanah sehingga pelipis mayat menempel pada bantalan tanah tadi, dan kain penutup pelipis dianjurkan untuk di buka. (Kitab Fathul Wahab syarh Minhajut Thullab juz-1 hal. 99)

( و ) ان ( يسند وجهه ) ورجلاه ( الى جداره ) اي القبر ( وظهره بنحو لبنة ) كحجر حتى لا ينكب ولا يستلقي ويرفع رأسه بنحو لبنة ويفضى بخده الأيمن اليه او الى التراب. – (كتاب فتح الوهاب شرح منهج الطـلاب – شيخ الامام أبي يحي زكريا الانصاري – جز 1 رقم : 99 مكتبة طه فوترا ) .

f - Melepas ikatan kafan mayit pada kepala mayit dan membuka kafan yg menutupi pipi mayit lalu menempelkannya ke tanah. Meletakkan bantalan dari tanah (biasanya berbentuk bulat) pada bagian belakang tubuh mayit seperti belakang kepala dan punggung, kemudian menekuk sedikit bagian tubuh mayit ke arah depan supaya tidak mudah untuk terbalik atau menjadi terlentang. (Kitab Hawasyai As- Syarwani Juz 3- hal.130 cet. Thoha Putra)

سئل الشيخ حمد بن عبد العزيز: عن كشف الكفن عن وجه الميت؟
Syaikh Hamd bin Abdul Aziz pernah mendapat pertanyaan mengenai hukum menyingkap kain kafan yg menutupi wajah mayit saat pemakaman?

فأجاب: لم يبلغني فيه شيء، ولكن الظاهر أن الأمر فيه واسع، إن كشف عنه فلا بأس وإن ترك فكذلك.
Jawaban beliau, “Tidak ada satu pun yg kuketahui tentang masalah ini. Kesimpulan yg tepat dalam masalah ini adalah adanya kelonggaran dalam masalah ini. Jika tali pocong dilepas sehingga wajah mayit tersingkap hukumnya tidak mengapa. Sebaliknya jika dibiarkan begitu saja hukumnya juga tidak mengapa”

3. Hukum membuka tali pocong.

Bolehlah kita amati keterangan Syekh Romli dalam Nihayatul Muhtaj.

فإذا وضع الميت في قبره نزع الشداد عنه تفاؤلا تحل الشدائد عنه، ولأنه يكره أن يكون معه في القبر شيء معقود وسواء في جميع ذلك الصغير والكبير
Bila mayit sudah diletakkan di kubur, maka dilepaslah segenap ikatan dari tubuhnya berharap nasib baik yg membebaskannya dari kesulitan di alam Barzakh. Karenanya, makruh hukumnya bila mana ada sesuatu yg mengikat bagian tubuh jenazah baik jenazah anak2 maupun jenazah dewasa.

Terus buat apa melepas ikat tali kafan jenazah anak kecil. Dia kan belum punya dosa? Syekh Ali Syibromalisi dalam Hasyiyah atas Nihayah menyebutkan, mencopot segala ikatan dari tubuh memang tidak mesti bertujuan melonggarkannya dari siksaan dosanya. Tetapi juga untuk perlu untuk menambah kesejahteraannya di kubur.

لايقال: العلة منتفية في حق الصغير لأنا نقول التفاؤل بزيادة الراحة له بعد فنزل ما انتفى عنه من عدم الراحة منزلة رفع الشدة
Kendati demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa illat melepas tali pengikat jenazah sudah tidak berlaku pada jenazah anak kecil mengingat ia belum punya dosa yg menyusahkannya di alam kubur. Pasalnya, kita bisa berkata bahwa “berharap nasib baik” dimaknai sebagai tambahan kebahagiaan bagi jenazah si kecil, satu tingkat di atas pembebasan dari kesulitan kubur. Karena, illat tiada kebahagiaan yg hilang dari jenazah itu, menempati pembebasannya dari kesulitan.

4. Dalil untuk memimpin do’a dan talqin setelah mayit dikuburkan
Nabi Muhammad sendiri menyuruh amalan doa talqin yg diriwayatkan oleh Imam At-Tobroni dalam Mu’jam Sighir dan Mu’jam Kabir daripada Abi Umamah Al-Bahili berkata :

[إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نصنع بموتانا، أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل: يا فلان ابن فلانة فإنه يسمعه ولا يجيب، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يستوي قاعداً، ثم يقول: يا فلان ابن فلانة فإنه يقول أرشدنا يرحمك الله ولكن لا تشعرون، فليقل: اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً عبده ورسوله وأنك رضيت بالله رباً وبالإسلام ديناً وبمحمد نبياً وبالقرءان إماماً فإن منكراً ونكيراً يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول: انطلق بنا ما يقعدنا عند من لُقّن حجته، قال [أي أبو أمامة]: فقال رجل: يا رسول الله فإن لم يُعرف أمه، قال: ينسبه إلى أمه حواء، يا فلان ابن حواء” .

Yang bermaksud : “Apabila aku mati nanti, lakukan padaku sepertimana yg disuruh oleh Rasulullah agar dilakukan kepada mayat, Rasulullah telah memerintah kita dengan sabda baginda: “ Apabila matinya seorang daripada kalanganmu, maka tanahlah dan berdirilah seorang dikalangan kamu semua pada bahagian kepala dikuburnya kemudian katakan Wahai si fulan anak si fulanah, orang itu mendengarnya tetapi dia tidak akan menjawab, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia duduk, kemudian katakan Wahai fulan anak fulanah maka dia berkata semoga Allah merahmati kamu tetapi kamu semua tidak merasai (apa yang telah berlaku pada si mayat), maka hendaklah dikatakan : Ingatlah apa yg telah menyebabkan kamu dilahirkan kedunia iaitu syahadah tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu hamba-Nya dan rasul-Nya dan engkau telah meredhoi dengan allah sebagai tuhanmua dan islam itu agamamu dan Muhammad itu nabimu dan al-quran itu petunjukmu maka malaikat mungkar dan nakir akan mengambil tangannya lantas berkata Ayuh bersama kami bawakan kepada siapa yang telah ditalqinkan hujahnya”. Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah Wahai Rasulullah! bagaimana sekiranya tidak diketahui nama ibunya? Rasulullah menjawab “Maka hendaklah dinasabkan kepada ibu manusia yaitu Hawa dengan mengatakan Wahai si fulan anak Hawa.” (HR. Imam Al-Hafiz Tobroni Dalam kitabnya Mu’jam Soghir Wal Kabir).

5. Sunnahnya mengangkat tangan dalam takbir ketika shalat jenazah.

Hujjah sunnahnya mengangkat tangan saat takbir sbb:

a - Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ عَلَى جَنَازَةٍ فَرَفَعَ يَدَيْهِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ وَوَضَعَ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat jenazah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya pada awal takbir, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (HR. At-Tirmidzi: 1077,Ad-Daruquhni (2/75), Abu Umar Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid (20/79).

b - Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhu:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ عَلَى الْجَنَازَةِ فِى أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ ثُمَّ لاَ يَعُود
“Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah pada takbir pertama, kemudian beliau tidak mengulanginya.” (HR. Daruquthni: (2/75), Al-Uqaili dalam kitab Adh-Dhu’afa’ (1500)

6. Sunnah menutup mayat dengan keranda.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan bagi mayat wanita dibuatkan keranda (peti). Keranda adalah tempat diletakkan wanita diatas ranjang. Dan ditutup dengan baju untuk menutupi dari pandangan orang2. Mereka berdalil dengan kisah jenazah Zainab Umul Mukminin radhiallahu anha, dikatakan: beliau adalah orang yg pertama kali dibawa dengan menggunakan keranda dari kalangan wanita muslimah.

Diriwayatkan oleh Baihaqi rahimahullah bahwa Fatimah binti Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam radhiallahu ’anha memberi wasiat agar dibuatkan (keranda) untuknya, dan mereka melaksanakannya. Jika (atsar) ini shahih, maka beliau (telah melaksanakan) beberapa tahun yg lalu sebelum Zainab.
(Syarh Al-Muhadzab, 5/234)

Terdapat dalam kitab Hasyiyah Ad-Dasuqi, 1/418, “Dianjurkan menutupi mayat wanita dengan meletakkan kubah diatas keranda. Karena hal itu lebih menutupi mayat.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Dianjurkan memakaikan diatas dipan wanita sesuatu dari kayu atau tikar. Seperti kubah, dibiarkan diatasnya ada baju agar lebih tertutup (Al-Mughni, 2/211)

Al-Bahuti rahimahullah mengatakan, “Dianjurkan menutupi keranda mayat dengan penutup.” (Daqoiq Ulin Nuha, 1/369).

7. Kebolehan mengganti dhamir hu (laki2) menjadi ha (wanita)

Memang tidak disyaratkan ta'yin mayyit yg hadir dicukupkan dgn ta'yin solat jenazah atau ta'yin fardhu/fardhu kifayah

قوله ويكبر ) الي ان قال وأركانها سبعة أحدها النية ويجب فيها القصد والتعيين كصلاة الجنازة ونية الفرضية وإن لم يعترض للكفاية وغيرها ولا يشترط تعيين الميت الحاضر
Adapun rukun dari solat jenazah ialah 7 salah satunya niat dan diwajibkan untuk menyegaja niat dan ta'yin niat contoh solat jenazah dan niat fardhu walaupun tidak menyinggung/mengucapkan kifayah atau selainnya dan tidak disyaratkan menta'yin mayyit yg hadir. [Hasiyah Albajuri juz 1 hal 249]

فإن عينه كزيد أو رجل ولم يشر اليه ,أخطأ في تعيينه كأن بان عمر أو إمرأة لم تصح صلاته فأن أشار اليه كأن ٌقال نويت الصلاة علي زيد هذا فبان عمرا صحت صلاته تغليبا للإشارة ويلغو التعيين
Seandainya seorang yg menyolati jenazah menta'yin contoh mayat bernama zaid atau mayat laki2 dan tidak men-isyarohi/memakai lafazh hadza maka demikian apabila salah pada ta'yinnya dlm contoh kenyataannya mayatnya umar atau kenyataannya mayatnya perempuan maka tidak sah solatnya berbeda seandainya orang yg solat jenazah tersebut mengisyarohi /melafzhkan hadza seperti niat nawaitu as sholata 'ala zaidin hadza, maka apabila kenyaataannya salah maka sah sholatnya karena yg dimenangkan adalah isyarohnya dan tidak dianggap ta'yinnya. [Hasiyah Albajuri juz 1 hal 249].

ويؤنث الضمائر ويجوز تذكيرها بقصد الشخص
Dan dhomir dijadikan ta’nits (dalam mayat wanita) dan boleh juga memudzakkarkannya.

[Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah VI/97]

ويؤنث الضمائر في الأنثى ويجوز تذكيرها بإرادة الميت أو الشخص( قوله ويؤنث الضمائر في الأنثى ) كأن يقول اللهم اغفر لها وارحمها إلخ اللهم اجعلها فرطا لأبويها إلخ ( قوله ويجوز تذكيرها ) أي الضمائر في الأنثى ( وقوله بإرادة الميت أو الشخص ) يعني أنه إذا ذكر الضمير وكان الميت أنثى جاز ذلك بتأويلها بالشخص أو بالميت أي اللهم اغفر له أي هذا الميت أو الشخص أي أو الحاضر

Dan dhomir dijadikan ta’nits dalam mayat wanita dan boleh juga memudzakkarkannya dengan menghendaki kembalinya dhomir pada ‘mayat’ atau ‘orang’.

(Keterangan Dan dhomir dijadikan ta’nits dalam mayat wanita) seperti ucapan ALLAAHUMMA IGHFIR LAHAA WARHAMHAA dst..

(Keterangan dengan menghendaki kembalinya dhomir pada ‘mayat’ atau ‘orang’) artinya bila mayat wanita boleh juga memudzakkarkan dhomir dengan mentakwil kembalinya dhomir tersebut pada ‘mayat’ atau ‘orang’, dengan demikian doanya berbunyi ALLAAHUMMA IGHFIR LAHUU /Ya Allah ampunilah dia (artinya ‘mayat’ atau ‘orang’ atau janazah yg hadir).
[I’aanah at-Thoolibiin II/128]

8. Dibolehkan adzan dan iqomah di liang lahat.

Adzan dan Iqamah untuk Mayit

Terdapat sebuah hadits yang menyatakan,

لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
“Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum ditimbun dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587) Hadits ini sebagian ulama mengatakan lemah sanadnya.

Para ulama 4 imam madzhab memang sepakat bahwa tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Namun tidak juga ada larangan atasnya, yang terjadi hanyalah khilafiyah dalam melakukannya sebagai amalan bid’ah, sunnah atau mubah/jawaz saja. Berikut beberapa keterangan mereka

Pertama, Madzhab Hanafi

Ibnu Abidin mengatakan,

أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)

Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,

مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?
Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami: Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).


Kedua, Madzhab Maliki

Disebutkan dalam kitab Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:

هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .

Apakah terdapat khabar (hadits) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)

Ketiga, Madzhab Hambali

Ibnu Qudamah berkata,

أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .

“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)

Keempat, Madzhab Syafi’i

Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,

واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .

“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)

Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:

وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)

Dalam pandangan ulama Syafiiyah, adzan dan iqamah tidak hanya diperuntukkan sebagai penanda masuknya shalat, baik berdasarkan hadits maupun mengimplementasikan makna hadits. Oleh karenanya ada sebagian ulama yang memperbolehkan adzan saat pemakaman, dan sebagian yang lain tidak menganjurkannya. Dalam hal ini ahli fikih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata:

قَدْ يُسَنُّ الْأَذَانُ لِغَيْرِ الصَّلَاةِ كَمَا فِي آذَانِ الْمَوْلُودِ ، وَالْمَهْمُومِ ، وَالْمَصْرُوعِ ، وَالْغَضْبَانِ وَمَنْ سَاءَ خُلُقُهُ مِنْ إنْسَانٍ ، أَوْ بَهِيمَةٍ وَعِنْدَ مُزْدَحَمِ الْجَيْشِ وَعِنْدَ الْحَرِيقِ قِيلَ وَعِنْدَ إنْزَالِ الْمَيِّتِ لِقَبْرِهِ قِيَاسًا عَلَى أَوَّلِ خُرُوجِهِ لِلدُّنْيَا لَكِنْ رَدَدْته فِي شَرْحِ الْعُبَابِ وَعِنْدَ تَغَوُّلِ الْغِيلَانِ أَيْ تَمَرُّدِ الْجِنِّ لِخَبَرٍ صَحِيحٍ فِيهِ ، وَهُوَ ، وَالْإِقَامَةُ خَلْفَ الْمُسَافِرِ (تحفة المحتاج في شرح المنهاج – ج 5 / ص 51)
“Terkadang adzan disunahkan untuk selain stalat, seperti adzan di telinga anak yang lahir, orang yang kesusahan, orang yang pingsan, orang yang marah, orang yang buruk etikanya baik manusia maupun hewan, saat pasukan berperang, ketika kebakaran, dikatakan juga ketika menurunkan mayit ke kubur, dikiaskan terhadap saat pertama datang ke dunia. Namun saya membantahnya di dalam kitab Syarah al-Ubab. Juga disunahkan saat kerasukan jin, berdasarkan hadits sahih, begitu pula adzan dan iqamah saat melakukan perjalanan” (Tuhfat al-Muhtaj 5/51)

Di kitab lainnya Ibnu Hajar Al-Haitamii secara khusus menjelaskan masalah ini:

( وَسُئِلَ ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ بِمَا لَفْظُهُ مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ . (الفتاوى الفقهية الكبرى – ج 3 / ص 166)
“Ibnu Hajar ditanya: Apa hukum adzan dan iqamat saat menutup pintu liang lahat? Ibnu Hajar menjawab: Ini adalah bid’ah. Barangsiapa yang mengira bahwa adzan tersebut sunah ketika turun ke kubur, dengan diqiyaskan pada anak yang lahir, dengan persamaan akhir hidup dengan permulaan hidup, maka tidak benar. Dan dari segi apa persamaan keduanya? Kalau hanya antara permulaan dan akhir hidup tidak dapat disamakan” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra 3/166)

Tentu yang dimaksud bid’ah disini tentu bukan bid’ah yang sesat, sebab Ibnu Hajar ketika menyebut bid’ah pada umumnya menyebut dengan kalimat “al-Madzmumah”, atau “al-Munkarah” dan lainnya dalam kitab yang sama. Beliau hanya sekedar menyebut bid’ah karena di masa Rasulullah Saw memang tidak diamalkan.

Adzan Pertama Kali untuk Mayit di Kubur

Sejauh referensi yang saya ketahui tentang awal mula melakukan adzan saat pemakaman adalah di abad ke 11 hijriyah berdasarkan ijtihad seorang ahli hadis di Syam Syria, sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh al-Muhibbi:

محمد بن محمد بن يوسف بن أحمد بن محمد الملقب شمس الدين الحموي الأصل الدمشقي المولد الميداني الشافعي عالم الشام ومحدثها وصدر علمائها الحافظ المتقن : وكانت وفته بالقولنج في وقت الضحى يوم الاثنين ثالث عشر ذي الحجة سنة ثلاث وثلاثين وألف وصلى عليه قبل صلاة العصر ودفن بمقبرة باب الصغير عند قبر والده ولما أنزل في قبره عمل المؤذنون ببدعته التي ابتدعها مدة سنوات بدمشق من افادته إياهم أن الأذان عند دفن الميت سنة وهو قول ضعيف ذهب إليه بعض المتأخرين ورده ابن حجر في العباب وغيره فأذنوا على قبره (خلاصة الأثر في أعيان القرن الحادي عشر – ج 3 / ص 32)
“Muhammad bin Muhammad bin Yusuf bin Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar Syamsuddin al-Hamawi, asalnya ad-Dimasyqi, kelahiran al-Midani, asy-Syafii, seorang yang alim di Syam, ahli hadis disana, pemuka ulama, al-hafidz yang kokoh. Beliau wafat di Qoulanj saat waktu Dhuha, hari Senin 13 Dzulhijjah 1033. Disalatkan sebelum Ashar dan dimakamkan di pemakaman ‘pintu kecil’ di dekat makam orang tuanya. Ketika janazahnya diturunkan ke kubur, para muadzin melakukan bid’ah yang mereka lakukan selama beberapa tahun di Damaskus, yang diampaikan oleh beliau (Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Yusuf) kepada mereka bahwa ‘adzan ketika pemakaman adalah sunah’. Ini adalah pendapat lemah yang dipilih oleh sebagian ulama generasi akhir. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar dalam kitab al-Ubab dan lainnya, maka mereka melakukan adzan di kuburnya” (Khulashat al-Atsar 3/32)

Khilaf Ulama Syafiiyah

Diantara kalangan madzhab Syafiiyah sendiri masalah ini merupakan masalah yang diperselisihkan, ada yang tidak menganjurkan (namun tidak melarang) dan ada pula yang menganjurkan, sebagaimana yang diamalkan oleh umat Islam di Indonesia:

• Syaikh asy-Syarwani:

ولا يندب الآذان عند سده خلافا لبعضهم برماوي اه (حواشي الشرواني – ج 3 / ص 171)
“Tidak disunahkan adzan saat menutup liang lahat, berbeda dengan sebagian ulama. Dikutip dari Syaikh Barmawi” (Hawasyai asy-Syarwani 3/171)

• Syaikh Sulaiman al-Jamal:

وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ وِفَاقًا لِلَأْصْبَحِيِّ وَخِلَافًا لِبَعْضِهِمْ ا هـ . بِرْمَاوِيٌّ . (حاشية الجمل – ج 7 / ص 182)
“Tidak disunahkan adzan saat menutup liang lahat, sesuai dengan al-Ashbahi dan berbeda dengan sebagian ulama. Dikutip dari Syaikh Barmawi” (Hasyiah asy-Jamal 3/171)

• Syaikh Abu Bakar Syatha:

واعلم أنه لا يسن الاذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها. قال ابن حجر: ورددته في شرح العباب، لكن إذا وافق إنزاله القبر أذان خفف عنه في السؤال. (إعانة الطالبين – ج 1 / ص 268)
“Ketahuilah bahwa tidak disunahkan adzan ketika masuk dalam kuburan, berbeda dengan ulama yang menganjurkannya, dengan dikiyaskan keluarnya dari dunia terhadap masuknya kea lam dunia (dilahirkan). Ibnu Hajar berkata: Tapi saya menolaknya dalam Syarah al-Ubab, namun jika menurunkan mayit ke kubur bertepatan dengan adzan, maka diringankan pertanyaan malaikat kepadanya” (Ianat ath-Thalibin 1/268)
JAWABAN: GAK  FAHAM APA ITU SUNNAH
 As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ (pensyari’atan) bagi ummat Islam.[Qawaa’idut Tahdits (hal. 62), Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Ushul Hadits, Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, cet. IV Darul Fikr 1401 H, Taisir Muthalahil Hadits (hal. 15), Dr. Mahmud ath-Thahhan.]

Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru.
Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama.

Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif (sinonim) dengan hadits.

As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir (penetapan) yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i.

Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut.

As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih (fuqaha’) ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah.[ Lihat kitab Irsyaadul Fuhuul asy-Syaukani (hal. 32), Fat-hul Baari (XIII/245-246), Mafhuum Ahlis Sunnah wal Jama’ah ‘inda Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (hal. 37-43).]



SEJAK KAPAN PERKATAAN ULAMA' JADI DALIL KESUNNAHAN???
DALIL ITU ALQUR'AN HADITS IJMA' QIYAS

1. Terkait mayat itu sedekap atau tidak..MURNI PENDAPAT ..TIDAK ADA SUNNAH..
ITUPUN DIAKUI IBNU ABDIL HADI ..DAN JAWABAN DALAM KITAB ITU TIDAK MEMBAWAKAN RIWAYAT APAPUN..ITU BERARTI MENGAKUI TIADANYA HUJJAH
2.Membuka penutup muka mayit dan tali kafan/TALI POCONG
MENEMPELKAN KE TANAH BUKAN BERARTI PAKAI BANTALAN TANAH YANG DI BUAT-BUAT..DAN JELAS IMAM NAWAWI MEMBENCI BANTALAN TANAH ATAU SEJENISNYA..LIHAT MAJMU' 5/251
ويكره أن يجعل تحته مضربة أو مخدة أو في تابوت لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : إذا انزلتموني في اللحد فأفضوا بخدي إلى الأرض وعن أبي موسى رضي الله عنه : لا تجعلوا بيني وبين الأرض شيئا وينصب اللبن


3.Hukum membuka tali pocong..ALASANNYA menyusahkannya di alam kubur...INI TERKAIT ALAM GHOIB..BOLEHKAH BICARA TENTANG GHOIB HANYA KATANYA-KATANYA????
4. Dalil untuk memimpin do’a dan talqin setelah mayit dikuburkan..
Kisah ini Munkar
Takhrij kisah :
  • Diriwayatkan oleh Thobroni dalam Ad Du’a dan Mu’jam al Kabir 8/289 no : 7979 berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Uqoil Anas Al Khoulani berkata : ” Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ibrohim al Ala’ berkata : “Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin ‘Ayyasy, berkata : “Telah menceritakan kepada kami Abdulloh bin Muhammad Al Qurosyi dan Yahya bin Abi Katsir dari Sa’id bin Abdulloh al Audi.
  • Kisah ini juga diriwayatkan oleh Al Khol’i dalam Al Fawa’id 2/55 dari Abu Darda’ Hasyim bin Muhammad al Anshori berkata : “Telah menceritakan kepada kami Utbah bin Sakan dari Abu Zakariya dari Jabir bin Sa’id Al Azdi berkata : Saya masuk menemui Abu Umamah Al Bahili saat beliau sedang sakarotul maut, – Kemudian beliau menyebutkan kisah diatas-.
Sisi kelemahan kisah ini :
  • Adapun sanad riwayat Ath Thobroni, maka sisi kelemahannya adalah banyaknya rowi yang majhul, sebagaimana dikatakan oleh Al Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 3/45.
  • Sedangkan riiwayat Al Khol’i, maka lebih parah lagi, karena selain banyaknya beberapa rowi yang majhul, ternyata Utbah bin Sakan adalah seorang yang ditinggalkan hadisnya bahkan tertuduh memalsukan hadits, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Daruquthni dan Baihaqi.
  • Oleh karena itulah,  hadits ini dilemahkan oleh para ulama’.
  • Berkata al Haitsami dalam al Majma’ 3/45 : Dalam sanadnya banyak perowi yang tidak saya kenal.
  • Berkata Ibnu Sholah : Sanadnya tidak bisa dijadikan hujjah.
  • Al Imam An Nawawi juga melemahkannya, sebagaima dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzab 5/304 dan al Fatawa hal : 54.
  • Berkata Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 24/296 : Hadits ini tidak dihukumi shohih.
  • Berkata Imam Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad 1/523 : “Tidak shohih secara marfu’.” Beliau juga berkata dalam Tahdzibus Sunan : “Hadits ini disepakati akan kelemahannya.”
  • Imam Al Iroqi juga melemahkannya dalam takhrij Ihya’ 4/420.
  • Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Nata’ijul Afkar dan Fathul Bari 10/563 : Lemah sekali.
  • Hadits ini juga dilemahkan oleh Zarkasyi dalam Al La’ali al Manstsuroh hal : 59, As Suyuthi dalam Ad Duror al Manstsuroh hal : 25 .
  • Berkata Imam Ash Shon’ani dalam Subulus Salam 2/114 : Dari keterangan para ulama’ tersebut dapat disimpulkan bahwa hadits ini lemah, maka janganlah ada yang tetipu dengan banyaknya orang yang mengamalkannya.”
  • Berkata Syaikh Al Albani : Kesimpulannya bahwa hadits ini munkar, jika bukan malah palsu.
  • Berkata Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : “Matan hadits ini juga munkar karena bertentangan dengan hadits yang shohih bahwa seseorang dipanggil dengan nama bapaknya, sebagaimana dalam hadits
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْغَادِرَ يُرْفَعُ لَهُ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ
Dari Ibnu Umar bahwa Rosululloh bersabda : “Sesungguhnya seorang pengkhianat akan diangkat benderanya pada hari kiamat dan dikatakan : Inilah pengkhianatan Fulan bin Fulan.”
(HR. Bukhori Muslim)
  • Berkata Imam Al Bukhori : “Bab manusia dipanggil dengan nama bapak-bapak mereka.”
(Lihat Adh Dho’ifah Syaikh Al Albani : 599, majallah At Tauhid Mesir edisi 8 tahun 29 rubrik hadits asuhan Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini, serta rubrik Tahdzirud Da’iyah oleh Syaikh Ali Hasyisy dalam Majalah Tauhid Mesir juga edisi Robiul Awal tahun 1428)

INI TALQIN YANG SUNNAH
 Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لقنوا موتاكم لا إله إلا الله
"Talqinlah (tuntunlah) orang yang mau meninggal (untuk mengucapkan) Laa ilaaha illallah" (HR. Muslim, dari Abu Sa'id Al-Khudry)
Berkata An-Nawawy:
مَعْنَاهُ مَنْ حَضَرَهُ الْمَوْت ، وَالْمُرَاد ذَكِّرُوهُ لَا إِلَه إِلَّا اللَّه لِتَكُونَ آخِر كلامه
"Maknanya: Orang yang sedang didatangi kematian, maksudnya: Ingatkan dia laa ilaaha illallah supaya itu menjadi akhir ucapannya" (Syarh Muslim 6/219)

5. Sunnahnya mengangkat tangan dalam takbir ketika shalat jenazah.
ITULAH ENTE GAK DENGER KAJIANNYA..LANGSUNG KOAR-KOAR..
Para ulama sepakat bahwa disyariatkan mengangkat kedua tangan pada takbir yang pertama dalam shalat jenazah.Kesepakatan ini disebutkan oleh Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’:42.
Adapun hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam shalat jenazah, lalu beliau mengangkat kedua tangannya pada awal takbir, dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.
Ini adalah hadits yang sangat lemah, sebab hadits ini berasal dari jalan Yahya bin Ya’la dari Yazid bin Sinan dari Zaid bin Abi Unaisah dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah secara marfu’. Dan dalam sanad hadits ini terdapat kelemahan dari dua sisi:
Pertama: perawi yang bernama Yahya bin Ya’la Al-Aslami Al-Qathawani, Abu Zakaria Al-Kufi, beliau adalah seorang perawi yang lemah. Imam Bukhari berkata tentangnya: goncang haditsnya. Dan juga dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Hibban, dan Al-Bazzar.
Kedua: perawi yang bernama Yazid bin Sinan Al-Jazari, Abu Farwah Ar-Rahawi, juga perawi yang lemah, bahkan Imam An-Nasaai mengatakan tentangnya: lemah, ditinggalkan haditsnya. Dan juga dilemahkan oleh Imam Ahmad,dan Yahya bin Ma’in. Ibnu Hibban berkata: dia banyak salah, aku tidak senang berhujjah dengannya jika ia meriwayatkan hadits yang sesuai dengan riwayat para perawi yang tsiqah (terpercaya), maka apalagi jika ia menyendiri dalam periwayatan. Maka dengan ini sebab kelemahan ini menyebabkan riwayat ini sangat lemah.
Oleh karena itu, At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits ini: ini adalah hadits gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini. Demikian pula Imam Adz-Dzahabi menyebutkan dalam Mizanul I’tidal (4/415): di antara hadits-hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Yahya bin Ya’la adalah hadits ini. Ad-Daruquthni juga berkata bahwa hadits ini tidak tsabit. Hadits ini juga dilemahkan oleh Ibnul Mulaqqin dan Al-Hafidz Ibnu Hajar.(Al-‘Ilal,Ad-Daruquthni (9/150), Nashbur Rayah (2/285) ,At-Talkhis Al-Habir (2/146-147),Al-Badr al-Munir (5/387))
 Adapun hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya pada shalat jenazah pada takbir pertama, kemudian beliau tidak mengulanginya.
Hadits ini berasal dari jalan Al-Fadhl bin As-Sakan dari Hisyam bin Yusuf dari Ma’mar dari Abdullah bin Thawus dari ayahnya dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Dan hadits ini juga termasuk hadits yang lemah, Al-Fadhl bin As-Sakan adalah perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ad-Daruquthni. Al-Uqaili mengatakan: dia tidak teliti dalam haditsnya, di samping itu pula dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Hadits ini juga dilemahkan oleh Ibnul Mulaqqin dan Al-Hafidz .( Nashbur rayah (2/285), At-Talkhis Al-Habir (2/146-147),Al-Badr al-Munir (5/387).)
Maka kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tidak ada satu pun hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa mengangkat tangan hanya dilakukan pada takbir pertama. Berkata Al-Hafidz setelah menyebutkan kelemahan dua riwayat tesebut di atas:
ولا يصح فيه شيئ
“dan tidak ada satu pun yang shahih dalam hal ini.”(At-Talkhis Al-habir (2/146-147).)
6. Sunnah menutup mayat dengan keranda
IMAM NAWAWI SENDIRI MASIH MERAGUKAN KESAHIHAN ATSAR ITU
 
Diriwayatkan oleh Baihaqi rahimahullah bahwa Fatimah binti Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam radhiallahu ’anha memberi wasiat agar dibuatkan (keranda) untuknya, dan mereka melaksanakannya. Jika (atsar) ini shahih, maka beliau (telah melaksanakan) beberapa tahun yg lalu sebelum Zainab. (Syarh Al-Muhadzab, 5/234)
TUNJUKKAN KESAHIHANNYA KALAU MAMPU..
7. Kebolehan mengganti dhamir hu (laki2) menjadi ha (wanita)
MURNI PENDAPAT..ITUKAH SUNNAH NABI???
8. Dibolehkan adzan dan iqomah di liang lahat.
SIAPA YANG BERHAK MEMBOLEHKAN???ULAMA'????
SUDAH JELAS LEMAH MASIH MAKSAIN DIJADIKAN DALIL..ANEH
KALAUPUN SHOHIH..ADAKAH INDIKASI PENSYARIATAN ADZAN DISITU???
Adapun adzan ketika menguburkan mayat maka ini menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan tidak boleh diqiyaskan dengan adzan di telinga bayi yang baru lahir karena adzan ketika itu juga tidak ada dasar yang shahih dan seandainya shahihpun tidak boleh diqiyaskan karena qiyas tidak boleh masuk dalam ibadah.
Berkata Ibnu Hajar Al-Haitamy (wafat tahun 974 H, termasuk ulama Syafi'iyyah)pernah ditanya tentang permasalahan ini maka beliau menjawab:
هو بدعة ومن زعم أنه سنة عند نزول القبر قياسا على ندبهما في المولود إلحاقا لخاتمة الأمر بابتدائه فلم يصب وأي جامع بين الأمرين ومجرد أن ذاك في الابتداء وهذا في الانتهاء لا يقتضي لحوقه به
"Ini adalah bid'ah, dan barangsiapa yang menyangka bahwa ini sunnah ketika selesai menguburkan, dengan mengqiyaskan adzan ketika dia lahir, dan menghubungkan akhir hidupnya dengan awalnya, maka dia telah terjatuh dalam kesalahan, apa yang mengumpulkan kedua perkara ini? kalau hanya karena ini di awal kehidupan dan itu di akhir kehidupan maka ini tidak mengharuskan ini disamakan dengan itu" (Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra 2/24).