Kamis, 24 Januari 2019

Syubhat dalil jimat


وروينا في سنن أبي داود ، والترمذي ، عن عمرو بن شعيب ، عن أبيه ، عن جده ، " أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يعلمهم من الفزع كلمات : أعوذ بكلمات الله التامة من غضبه وشر عباده ، ومن همزات الشياطين ، وأن يحضرون " ، وكان عبد الله بن عمرو يعلمهن من عقل من بنيه ، ومن لم يعقل كتبه فعلقه عليه. قال الترمذي حديث حسن.

Artinya, “Sebuah hadits diriwayatkan oleh Sunan Abu Dawud dan At-Turmudzi dari Amr bin Syu‘aib, dari bapaknya, dari kakeknya bahwa mengajarkan mereka sejumlah kalimat ketika rasa takut mencekam. ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari murka-Nya, kejahatan para hamba-Nya, dan godaan setan. Aku pun berlindung kepada-Nya dari kepungan setan itu.’

Abdullah bin Amr mengajarkan kalimat ini kepada anak-anaknya yang sudah bisa mengerti pelajaran. Kepada anak-anak balitanya yang belum bisa menangkap pelajaran, Abdullah menulis kalimat (yang diajarkan Rasulullah SAW) itu, lalu menggantungkannya di tubuh mereka. Imam At-Turmudzi mengatakan, hadits ini hasan,” (Lihat Imam An-Nawawi, Al-Adzkar Al-Muntakhabah min Kalami Sayyidil Abrar, Mesir, Darul Hadits, tahun 2003 M/1424 H, halaman 102).
Jawaban:
riwayat ini lemah,tidak bisa dijadikan dalil karena dalam sanadnya ada muhammad bin ishaq seorang mudallis dan telah memakai lafadz 'an

Selasa, 22 Januari 2019

Nama yg cocok untuk kitab ihya' ulumiddin

Imam adz-Dzahabi rahimahullah menukil ucapan Imam Muhammad bin al-Walid ath-Thurthûsyi rahimahullah yang mengatakan bahwa kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn (yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama) lebih tepat jika dinamakan Imâtatu Ulûmiddîn (mematikan/merusak ilmu-ilmu agama).

Kesesatan kitab ihya' ulumiddin

Di antara kesesatan besar yang dikandung buku ini adalah pembenaran ideologi (keyakinan) wihdatul wujûd (bersatunya wujud Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan wujud makhluk), yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Dzat Ilahi (Allah Subhanahu wa Ta’ala) – maha suci Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari segala keyakinan rusak ini –.
Keyakinan sangat menyimpang bahkan kufur ini dibenarkan secara terang-terangan oleh penulis kitab ini di beberapa tempat dalam kitab ini, misalnya pada jilid ke 4 halaman 86 dan halaman 245-246 (cet. Darul Ma’rifah, Beirut).

Dalil dzikir berjamaah dg keras???


Syubhat

Dzikir bersama dengan suara keras dijelaskan dalam hadits berikut:


وعن ابن عباس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال قال الله تبارك وتعالى يا ابن آدم إذا ذكرتني خالياً ذكرتك خالياً وإذا ذكرتني في ملأ ذكرتك في ملأ خير من الذين ذكرتني فيهم رواه البزار ورجاله رجال الصحيح غير بشر بن معاذ العقدي وهو ثقة 

Nabi bersabda bahwa Allah berfirman: “Wahai manusia, jika kamu menyebut-Ku menyendiri, maka Aku menyebutmu menyendiri. Jika kamu menyebut-Ku dalam perkumpulan mulia, maka Aku menyebutmu dalam perkumpulan mulia yang lebih baik” (HR al-Bazzar, perawinya sahih selain Bisyr bin Mu'adz ia terpercaya)

Hadis ini adalah dalil mengeraskan dzikir secara berjamaah seperti yang ditafsirkan oleh ulama ahli hadis terkemuka Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani:

ﻭاﻟﺘﻘﺪﻳﺮ ﺇﻥ ﺫﻛﺮﻧﻲ ﻓﻲ ﻧﻔﺴﻪ ﺫﻛﺮﺗﻪ ﺑﺜﻮاﺏ ﻻ ﺃﻃﻠﻊ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺣﺪا ﻭﺇﻥ ﺫﻛﺮﻧﻲ ﺟﻬﺮا ﺫﻛﺮﺗﻪ ﺑﺜﻮاﺏ ﺃﻃﻠﻊ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻤﻸ اﻷﻋﻠﻰ

Makna hadis itu adalah: "Jika ia menyebut-Ku dalam hatinya, maka Aku menyebut dengan pahala yang tidak Aku perlihatkan pada siapapun. Dan jika dia menyebut-Ku dengan suara keras (di hadapan jamaah) maka Aku menyebut dia dengan pahala yang Aku perlihatkan kepada sekelompok jamaah yang lebih tinggi" 
(Lihat : Fathul Bari 13/386)
Jawab:
Justru itu dalil bahwa yg dimaksud berjamaah bukan bersama satu suara tapi cukup di keraskan sendiri bukan bareng-bareng.

Dalil istighosah dzikir bersama?



وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيَبْعَثَنَّ اللهُ أَقْوَامًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي وُجُوْهِهِمُ النُّوْرُ عَلَى مَنَابِرِ اللُؤْلُؤِ يَغْبِطُهُمُ النَّاسُ لَيْسُوْا بِأَنْبِيَاءَ وَلَا شُهَدَاءَ قَالَّ فَجَثَّى أَعْرَابِيٌ عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ حِلَّهُمْ لَنَا نَعْرِفْهُمْ قَالَ هُمُ الْمُتَحَابُّوْنَ فِي اللهِ مِنْ قَبَائِلَ شَتَّى وَمِنْ بِلَادٍ شَتَّى يَجْتَمِعُوْنَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ يَذْكُرُوْنَهُ. رواه الطبراني وإسناده حسن.

“Sungguh Allah akan membangkitkan kaum di hari kiamat, wajahnya bersinar, dikelilingi umat manusia. Mereka bukan Nabi dan Syahid”. Lalu seorang sahabat bertanya: “Tunjukkan siapa mereka?”. Nabi menjawab: “Mereka orang yang saling cinta karena Allah, dari suku dan daerah berbeda, berkumpul untuk dzikir kepada Allah” (HR al-Thabrani, hadis hasan)
Jawab:
1. Dalil-dalil di atas tidak menunjukkan disyariatkannya dzikir jama’i, itu hanya menunjukkan anjuran berdzikir dan mengingat Alloh dengan cara yang dituntunkan oleh Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam-.
2. Penyebutan Majlis dzikir dalam nash di atas, bukan berarti menunjukkan bolehnya dzikir jama’i, karena harus dipahami bahwa ada perbedaan antara Majlis Dzikir dengan Dzikir Jam’i
Hubungan antara keduanya adalah umum dan khusus mutlak, maksudnya: istilah majlis dzikir lebih luas cakupannya dari pada istilah dzikir jama’i dari segala sisi… Yakni, setiap dzikir jama’i pasti ada majlis dzikirnya… tapi tidak setiap majlis dzikir itu ada dzikir jama’inya… Dengan kata lain, adanya majlis dzikir, tidak otomatis menunjukkan adanya dzikir jamai, karena dua hal tersebut bukanlah dua hal yang saling melazimkan, wallohu a’lam.
Intinya dalil di atas hanya menunjukkan anjuran untuk mengadakan majlis dzikir, bukan menunjukkan anjuran untuk mengadakan dzikir jama’i… Maksudnya: Kita dianjurkan untuk mengadakan majlis dzikir, asal tidak ada dzikir jama’inya…
3. Istilah Majlis dzikir tidak khusus untuk majlis yang membaca dzikir, atau doa, atau wirid, akan tetapi bisa juga bermakna majlis ilmu.
Lihatlah jawaban Atho’ -rohimahulloh- ketika ditanya apakah majlis dzikir itu?, ia menjawab: (Yang dimaksud dengan majlis dzikir adalah) Majlis yang membahas tentang halal dan harom, bagaimana kamu sholat, bagaimana kamu puasa, bagaimana kamu nikah, bagaimana kamu mentalak, dan bagaimana mengadakan jual-beli…” (Al-Hilyah 3/313).
Lihat pula bagaimana Alloh menamai khotbah jum’at sebagai dzikir, yakni dalam firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika telah diseru untuk melaksanakan sholat pada hari jum’at, maka segeralah kamu pergi menuju dzikrulloh dan tinggalkanlah jual beli”. (Al-Jum’ah:9). Maksud dari dzikrulloh di sini adalah khutbah jum’at. (Lihat Tafsir Thobari 22/642). Jelas ini menunjukkan bahwa majlis ilmu juga disebut majlis dzikir.
Bahkan dalam ayat lain Alloh menyebut ahli ilmu dengan sebutan ahli dzikir, yakni dalam firman-Nya: “Bertanyalah kepada ahli dzikir, jika kamu tidak mengetahui” (Al-Anbiya’:7), maksud dari ahli dzikir di ayat ini adalah ahli ilmu, yakni para ulama’. (Lihat Tafsir Sa’di, hal: 519). Walhasil, sebagaimana ahli ilmu bisa di sebut ahli dzikir, majlis ilmu juga bisa disebut majlis dzikir, wallohu a’lam…
4. Dalil tersebut tidak menunjukkan dianjurkannya dzikir jama’i, tapi hanya menunjukkan anjuran berkumpul untuk berdzikir.
Kita harus bedakan antara dzikir bersama dengan bersama untuk dzikir. Dzikir bersama itu bid’ah, sedang bersama untuk berdzikir itu dianjurkan bila dilakukan sesuai syariat, sebagaimana dipahami oleh para sahabat…
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Dahulu para sahabat Rosululloh jika kumpul bersama, mereka menyuruh salah seorang dari mereka membaca, kemudian yang lain mendengarkan. Umar dulu mengatakan kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Ingatkanlah kami pada Tuhan kami!”, lalu dia (yakni Abu Musa al-Asy’ari) membaca, sedang yang lain mendengarkan bacaannya”. (Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 11/523).
5. Imam At-Thorthusyi mengatakan: “Nash-nash (tentang keutamaan majlis dzikir dan berkumpul untuknya) ini, menunjukkan bolehnya berkumpul untuk membaca Alquran, seperti mempelajarinya, mengajarkannya, dan mengulang-ngulangnya. Seperti misalnya seorang murid membaca kepada gurunya, atau seorang guru membaca untuk muridnya, atau saling bergantian membaca untuk mudzakarohdan mudarosah. Beginilah belajar dan mengajar, bukannya dengan membaca bersama-sama.
Intinya keterangan-keterangan ini adalah umum dalam menerangkan bolehnya sekelompok orang membaca bersama dengan cara bergilir, atau mereka membaca kepada guru Alqur’an… Sebagaimana diketahui, dalam bahasa arab, bila orang arab melihat sekelompok orang yang berkumpul untuk membaca Alquran kepada gurunya, dan ada satu orang saja yang membaca (kepada gurunya), maka bisa dikatakan: “Mereka itu jamaah yang sedang belajar ilmu… mereka itu jamaah sedang membaca ilmu dan hadits” meski pembacanya hanya satu orang. (al-Hawadits wal Bida’, hal. 166)

Al khallal melegalkan membaca alquran di kuburan?


Dalil membaca al-Quran di kuburan dilakukan sejak masa sahabat:
قَالَ الْخَلاَّلُ وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَرَّاقُ حَدَّثَنِى عَلِىُّ بْنُ مُوْسَى الْحَدَّادُ وَكَانَ صَدُوْقًا قَالَ كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ وَمُحَمَّدٍ بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِى فِي جَنَازَةٍ فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيْرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ يَا هَذَا إِنَّ اْلقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنَ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ ِلأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلَ يَا أَبَا عَبْدِ اللهِ مَا تَقُوْلُ فِي مُبَشِّرٍ الْحَلَبِيّ قَالَ ثِقَةٌ قَالَ كَتَبْتَ عَنْهُ شَيْئًا ؟ قَالَ نَعَمْ فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اْلعَلاَءِ اللَّجَّاجِ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّهُ أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يُقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا وَقَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوْصِي بِذَلِكَ فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ فَارْجِعْ وَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ (الروح لابن القيم 1 / 10)
"Ali bin Musa al-Haddad (orang yang sangat jujur) berkata: Saya bersama Ahmad bin Hanbal dan Muhammad Ibnu Qudamah al-Jauhari menghadiri pemakaman janazah. Setelah dimakamkan, ada orang laki-laki buta membaca al-Quran di dekat kubur tersebut. Ahmad berkata kepadanya: Wahai saudara! Membaca di dekat kubur adalah bid'ah. Setelah kami keluar dari kuburan, Muhammad ibnu Qudamah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal: Wahai Abu Abdillah. Apa penilaianmu tentang Mubasysyir al-Halabi? Ahmad menjawab: Ia orang terpercaya. Ibnu Qudamah bertanya lagi: Apakah engkau meriwayatkan hadis dari Mubasysyir? Ahmad bin Hanbal menjawab: Ya. Saya mendapatkan riwayat dari Mubasysyir bin Abdirrahman dari ayahnya, bahwa ayahnya berpesan agar setelah dimakamkan dibacakan di dekat kepalanya dengan pembukaan al-Baqarah dan ayat akhirnya. Ayahnya berkata bahwa ia mendengar Ibnu Umar berwasiat seperti itu juga. Kemudian Imam Ahmad berkata kepada Ibnu Qudamah: Kembalilah, dan katakan pada lelaki tadi agar membacanya!" (al-Ruh, Ibnu Qoyyim, I/11)
Jawab:

An-Nawawiy rahimahullah berkata :
وروينا في سنن البيهقي بإسناد حسن؛ أن ابن عمر استحبَّ أن يقرأ على القبر بعد الدفن أوّل سورة البقرة وخاتمتها‏. ‏ 
“Dan kami telah meriwayatkan dalam Sunan Al-Baihaqiydengan sanad hasan, bahwasannya Ibnu ‘Umar menyukai agar dibacakan di atas kubur setelah penguburan bagian awal dan akhir surat Al-Baqarah” [Al-Adzkaar, hal. 137, tahqiq : ‘Abdul-Qaadir Al-Arna’uth; terbitan khusus untuk Dr. Muhammad Fayyaadl Al-Baaruudiy, Daarul-Mallaah, 1391 H].
Penghasanan riwayat oleh An-Nawawiy rahimahullahtersebut perlu ditinjau kembali. Berikut riwayat yang dibawakan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: سَأَلْتُ يَحْيَى بْنَ مَعِينٍ عَنِ الْقِرَاءَةِ عِنْدَ الْقَبْرِ، فَقَالَ حَدَّثَنَا مُبَشِّرُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْحَلَبِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلاءِ بْنِ اللَّجْلاجِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ قَالَ لِبَنِيهِ: " إِذَا أَدْخَلْتُمُونِي قَبْرِي فَضَعُونِي فِي اللَّحْدِ وَقُولُوا: بِاسْمِ اللَّهِ وَعَلَى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسُنُّوا عَلَيَّ التُّرَابَ سَنًّا، وَاقْرَءُوا عِنْدَ رَأْسِي أَوَّلَ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتَهَا فَإِنِّي رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يَسْتَحِبُّ ذَلِكَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Yahyaa bin Ma’iin tentang qiraa’ah di sisi kubur, maka ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mubasysyir bin Ismaa’iil Al-Halabiy, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-‘Alaa’ bin Al-Lajlaaj, dari ayahnya, bahwasannya ia pernah berkata kepada anak-anaknya : “Apabila kalian memasukkan aku ke kuburku, maka letakkanlah aku dalam liang lahad dan ucapkanlah : ‘bismillaahi wa ‘alaa sunnati Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu letakkanlah di atas (mayat)-ku tanah, dan bacalah di atas kepalaku awal dan akhir surat Al-Baqarah. Karena sesungguhnya aku melihat Ibnu ‘Umar menyukai hal tersebut” [As-Sunan Al-Kubraa, 4/56-57].
Diriwayatkan juga oleh Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad[1] no. 2174, Al-Khallaal dalam Al-Qiraa’atu ‘indal-Qubuur[2] no. 1 & 3 dan dalam Al-Amru bil-Ma’ruuf wan-Nahyi ‘anil-Munkar[3] hal. 123 & 124-125, dan Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah[4] no. 757; semuanya dari jalan Mubasysyir bin Ismaa’iil, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-‘Alaa’ bin Al-Lajlaaj, dan selanjutnya seperti riwayat Al-Baihaqiy.[5]
Riwayat ini lemah dengan sebab ‘Abdurrahmaan bin Al-‘Alaa’ bin Al-Lajlaaj, majhuul. Tidak ada yang mentsiqahkannya kecuali Ibnu Hibbaan yang memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Termasuk penduduk Syaam, meriwayatkan dari ayahnya, dan darinya Mubasysyir Al-‘Aamiriy Asy-Syaamiy”. Al-Bukhaariy menyebutkannya dalam Al-Kabiir tanpa memberikan penilaian jarh ataupun ta’diil. Sementara itu hanya ada satu orang perawi yang meriwayatkan darinya (yaitu Mubasysyir). Tautsiq Ibnu Hibbaan tidaklahmu’tamad karena ia dikenal sebagai ulama yang tasaahulmentautsiq para perawi majhuul. Oleh karena itu Ibnu Hajar dalam At-Taqriib menyimpulkan : “Maqbuul” – yaitu jika ada mutaba’ah, jika tidak, maka dla’iif. Dan di sini, ia tidak mempunyai mutaba’ah yang memadai.
Ada ‘illat lain yang (semakin) menjatuhkan riwayat ini. Diriwayatkan juga secara marfuu’ oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir[6] 19/220-221 no. 491 dari tiga jalan, semuanya dari Mubasysyir bin Ismaa’iil, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-‘Alaa’ bin Al-Lajlaaj, dan selanjutnya seperti riwayat Al-Baihaqiy.

Adanya perbedaan ini sangat besar kemungkinannya berasal dari ‘Abdurrahmaan bin Al-‘Alaa’ yang sekaligus menandakan kredibilitas hapalannya diragukan.

Syubhat: syeikh utsaimin membolehkan transfer pahala alquran

Syubhat:
مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين - (ج 2 / ص 240)
وسئل فضيلة الشيخ - حفظه الله تعالى-: عن حكم إهداء القراءة للميت؟ فأجاب بقوله : هذا الأمر يقع على وجهين : أحدهما : أن يأتي إلى قبر الميت فيقرأ عنده ، فهذا لا يستفيد منه الميت ؛ لأن الاستماع الذي يفيد من سمعه إنما هو في حال الحياة حيث يكتب للمستمع ما يكتب للقارئ ،وهنا الميت قد انقطع عمله كما قال النبي ، صلى الله عليه وسلم : "إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية ، أو علم ينتفع به ، أو ولد صالح يدعو له"
الوجه الثاني : أن يقرأ الإنسان القرآن الكريم تقرباً إلى الله - سبحانه وتعالى - ويجعل ثوابه لأخيه المسلم أو قريبه فهذه المسألة مما اختلف فيه أهل العلم: فمنهم من يرى أن الأعمال البدنية المحضة لا ينتفع بها الميت ولو أهديت له ؛ لأن الأصل أن العبادات مما يتعلق بشخص العابد ، لأنها عبارة عن تذلل وقيام بما كلف به وهذا لا يكون إلا للفاعل فقط ، إلا ما ورد النص في انتفاع الميت به فإنه حسب ما جاء في النص يكون مخصصاً لهذا الأصل.
ومن العلماء من يرى أن ما جاءت به النصوص من وصول الثواب إلى الأموات في بعض المسائل ، يدل على أنه يصل إلى الميت من ثواب الأعمال الأخرى ما يهديه إلى الميت. ولكن يبقى النظر هل هذا من الأمور المشروعة أو من الأمور الجائزة بمعنى هل نقول : إن الإنسان يطلب منه أن يتقرب إلى الله- سبحانه وتعالى - بقراءة القرآن الكريم ، ثم يجعلها لقريبه أو أخيه المسلم ، أو أن هذا من الأمور الجائزة التي لا يندب إلى فعلها .
الذي نرى أن هذا من الأمور الجائزة التي لا يندب إلى فعلها وإنما يندب إلى الدعاء للميت والاستغفار له وما أشبه ذلك مما نسأل الله- تعالى - أن ينفعه به، وأما فعل العبادات وإهداؤها فهذا أقل ما فيه أن يكون جائزاً فقط وليس من الأمور المندوبة ، ولهذا لم يندب النبي ، صلى الله عليه وسلم ، أمته إليه بل أرشدهم إلى الدعاء للميت فيكون الدعاء أفضل من الإهداء.
“Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya tentang hukum menghadiahkan bacaan al-Quran untuk mayit? Ia menjawab: Masalah ini ada dua bentuk. Pertama: Seseorang mendatangi makam mayit kemudian membaca al-Quran di dekatnya. Dalam hal ini mayit tidak dapat manfaat dari bacaan. Sebab yang bisa mendengarkan dari bacaan al-Quran hanya ketika masih hidup, sebagaimana (dalam hadis) orang yang mendengarkan dicatat pahalanya seperti orang yang membacanya. Sementara disini amal mayit telah terputus, sebagaimana sabda Nabi Saw: “Jika anak Adam mati maka terputus amalnya kecuali dari 3, sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, atau anak sholeh yang mendoakannya” (HR Muslim)
Kedua, seseorang membaca al-Quran yang mulia sebagai pendekatan diri kepada Allah dan menjadikan pahalanya kepada saudaranya yang muslim atau kerabatnya, maka dalam masalah ini para ulama beda pendapat. Sebagian berpendapat bahwa amal ibadah yang bersifat fisik tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh mayit, meskipun dihadiahkan, Sebab dasar ibadah termasuk hal yang berkaitan dengan diri seseorang. Karena ibadah adalah ibarat ketundukan dan mendirikan ibadah yang ia jalankan. Hal ini hanya didapatoleh pelakunya saja, kecuali hadis yang menjelaskan bahwa mayit dapat menerima manfaatnya (haji, puasa dan sedekah).
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalil-dalil hadis tentang sampainya pahala kepada orang yang meninggal (haji, puasa dan sedekah) menunjukkan sampainya pahala amal ibadah yang lain yang dihadiahkan kepada mayit. Tetapi tetap dilihat apakah hal ini bagian dari hal-hal disyariatkan ataukah hal-hal yang diperbolehkan yang tidak sunah untuk dilakukan. Menurut pendapat kami hal ini tergolong hal-hal yang diperbolehkan yang tidak sunah untuk dilakukan. Yang disunahkan adalah mendoakan mayit, memintakan ampunan untuknya dan sebagainya. Sedangkan melakukan ibadah dan menghadiahkan kepada mayit, minimal hukumnya adalah boleh, tidak sunah. Oleh karenanya Nabi Saw tidak menganjurkannya kepada umatnya, tetapi memberi petunjuk untuk mendoakan mayit. Maka doa lebih utama daripada menghadiahkan bacaan al-Quran” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 2/240)
Jawab:

Ada dua point yang ingin kami sampaikan dalam jawaban pertanyaan kali ini.

Point pertama:
Fatwa yang anda bawakan tertulis dalam kitab Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 17/220-221.
Kami memperhatikan banyak orang yang memakai fatwa ini untuk menunjukkan bahwa ulama' Saudi pun juga membolehkan kirim pahala Al-Qur'an kepada mayit, fatwa ini kelihatannya dijadikan bantahan untuk pengangum syaikh Utsaimin yang membid'ahkan acara kirim pahala Al-Qur'an dengan bentuk tertentu sebagaimana yang banyak tersebar di negeri kita.

Orang-orang yang berdalih dengan fatwa syaikh Utsaimin tersebut untuk perbuatan mereka telah salah faham. Mereka sangat disayangkan hanya membaca potongan dari fatwa tersebut, seandainya membaca sampai akhir fatwa tersebut niscaya fatwa tersebut bukanlah pendukung ritual yang biasa mereka lakukan untuk mengirim pahala bacaan Qur'an kepada mayit. Berikut ini potongan fatwa yang tidak disebutkan:

ثم إن اتخاذ القراءة في اليوم السابع خاصة أو على رأس السنة من موته بدعة ينكر على فاعلها، لقول النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إياكم ومحدثات الأمور".
“Kemudian, mengadakan pengiriman bacaan hanya pada hari ketujuh atau pada awal tahun dari kematiannya (haul.pent) maka ini adalah Bid'ah yang pelakunya harus diingkari, ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam: 
إياكم ومحدثات الأمور
berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan.
Majmu' Fatawa wa Rasail Al-Utsaimin 17/221
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa fatwa syaikh Utsaimin tidak bisa dijadikan pembenar atas pengiriman bacaan untuk mayit dari hari pertama sampe ketujuh, hari ke empat puluh, hari keseratus atau keseribu.


Point kedua:

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama' mengenai sampainya pahala bacaan Qur'an yang dihadiahkan kepada mayit. Kebanyakan ulama' berpendapat bahwa pahala tersebut sampai dan bermanfaat untuk mayit, dan ulama' lain berpendapat sebaliknya. Pendapat yang kuat adalah tidak mengirimkan pahala Qira'ah ke mayit dan itu tidak disyariatkan karena 
1. Tidak ada contoh dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam
2. Ibadah hukum asalnya haram sampai ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal tersebut, dan tidak ada dalil dalam masalah itu.
3. Adapun orang yang menganalogikan bacaan Qur'an untuk mayit dengan shadaqah untuk mayit maka dia salah karena tidak boleh analogi dalam masalah Ibadah.
Kalau seseorang ingin memberi manfaat kepada orang yang telah meninggal, dia bisa melaksanakan amalan yang memang ada dalilnya dalam syariat seperti berdo'a, bershadaqah atau memohon ampunan untuk mereka.

Meski demikian tidak dikatakan bahwa orang yang membaca Al-Qur'an kemudian menghadiahkan pahala bacaannya kepada mayit dianggap telah melakukan Bid'ah karena pendalilan mereka juga lumayan kuat. Diterjemahkan secara bebas dari fatwa syaikh Ibnu Baz, lih.Fatawa Nur Ala Ad-Darb 14/196-197

Perlu diingat bahwa penghadiaahan pahala bacaan Qur'an bisa dikatakan bid'ah jika disertai dengan penentuan hari, tempat atau tatacara tertentu yang dianggap masuk dalam Ibadah tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan oleh syaikh Utsaimin diatas.

Sabtu, 12 Januari 2019

Hukum mengkritik pemerintah terang-terangan


Syaikh Muhammad Bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berikut ini:

مسألة مناصحة الولاة، من الناس من يريد أن يأخذ بجانب من النصوص وهو إعلان النكير على ولاة الأمور، مهما تمخض عنه من المفاسد، ومنهم من يقول: لا يمكن أن نعلن مطلقاً، والواجب أن نناصح ولاة الأمور سراً كما جاء في النص الذي ذكره السائل، ونحن نقول: النصوص لا يكذب بعضها بعضاً، ولا يصادم بعضها بعضاً، فيكون الإنكار معلناً عند المصلحة، والمصلحة هي أن يزول الشر ويحل الخير، ويكون سراً إذا كان إعلان الإنكار لا يخدم المصلحة، لا يزول به الشر ولا يحل به الخير.
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegang dengan sebagian dalil yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah/kerusakan. Di sisi lain ada pula sebagian orang yang beranggapan bahwa mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya. Namun demikian, saya menyatakan bahwa dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Oleh karena itu, Boleh Mengingkari Penguasa Secara Terbuka Bila Dianggap Dapat Mewujudkan Maslahat, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan boleh pula mengingkari secara tersembunyi atau rahasia bila hal itu dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan.
(Liqa’ Al-Baabul-Maftuh)

Contoh Tawassul Bid’ah


1. Sebuah papan di makam Mbah Sayyid Sulaiman di Jombang, Jawa Timur yang bertuliskan :

اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِوَلِيِّكَ يا وَلِيَ اللهِ يَا امبَاهْ سيِّدَ سُلَيْمَان أَتَوَسَّلُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ لِقَضَاءِ حَاجَتِيْ هَذِهِ

Wahai Allâh, sungguh aku bertawassul kepada Mu dengan wali Mu. Wahai wali Allâh wahai mbah sayyid sulaiman aku bertawassul denganmu kepada Rabbku untuk menunaikan kebutuhanku ini.

2. Contoh tawassul yang benar menurut KH. Sirajuddin Abbas, padahal sebenarnya ini masuk dalam kategori tawasul bid’ah:
“Ya Allâh, Ya Tuhan yang Pengasih dan Penyayang, saya mohon keampunan dan keredhaan-Mu berkah beliau yang bermakam di sini (maksudnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani), karena beliau ini saya tahu seorang ulama besar yang Engkau kasihi. Berilah permohonan saya, Ya Allâh yang Rahman dan Rahim!”.[I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah karya KH. Siradjuddin Abbas (hal. 326).]
“Ya Allâh, berkat jah (tuah/wibawa) Nabi Besar Muhammad Saw berilah permohonan saya”.[ I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah karya KH. Siradjuddin Abbas (hal. 326).]
Demikian dalam buku aslinya tertulis “Saw”. Amat disayangkan memang, banyak orang mengklaim dirinya cinta Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun untuk bershalawat kepada beliau saja, enggan untuk menuliskan redaksi shalawat secara lengkap. Mereka mencukupkan diri dengan singkatan “saw” saja! Jauh panggang dari apinya,. Jauh klaim dari pembuktiannya.
3. Tawassul yang ada dalam Shalawat Badar yang sangat masyhur di kalangan masyarakat Indonesia.

تَوَسَّلْنَا بِبِسْمِ اللهِ وَبِالْهَادِي رَسُوْلِ اللهِ
وَكُلِّ مُجَاهِدٍ لِلّهِ بِأَهْلِ الْبَدْرِ يَا اللهُ

Kami bertawassul dengan nama Allâh, dan dengan sang pembawa petunjuk; Rasûlullâh

Serta dengan setiap orang yang berjihad karena Allâh, dengan ahli Badar, wahai Allâh. [Tuntunan Ziarah Walisongo (hal. 131).]

4. Lantunan “Ya Rabbi bil Mushthofa” yang tidak kalah terkenal, dan seringkali didendangnkan dalam berbagai acara,

"يَا رَبِّ بِالْمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا واغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الْكَرَمِ"

Ya Rabbi, dengan al-Musthofa sukseskanlah tujuan kami. Serta ampunilah dosa kami yang telah lampau, wahai Yang luas karunia-Nya.

5. Doa dalam Diba’an yang berbunyi:

اللَّهُمَّ بِحُرْمَةِ هَذَا النَّبِيِّ الْكَرِيْمِ وَاسْتُرْنَا بِذَيْلِ حُرْمَتِكَ وارْزُقْنَا

Ya Allâh, dengan kehormatan Nabi yang mulia ini, tutupilah kami dengan kehormatan-Mu dan berilah kami rizki.

Sebuah ungkapan yang tertulis besar di salah satu dinding pemakaman Troloyo di kota Mojokerto, Jawa timur:

"إِذَا تَضَايَقَتِ الْأُمُوْرُ فَتَوَسَّلُوْا بِأَهْلِ الْقُبُوْرِ"

“Jika dililit kesulitan bertawassullah dengan ahli kubur”.

6. Awal kitab “Dalail al-Khoirot” yang berbunyi:

إِلَهِيْ بِجَاهِ نَبِيِّكَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عِنْدَكَ وَ مَكَانَتِهِ لَدَيْكَ و مَحَبَتِكَ لَهُ و مَحَبَّتِهِ لَكَ و بالسِّرِّ الَّذِيْ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ أَسْأَلُكَ أن تُصلِّيَ وَ تُسَلِّمَ عَلَيْهِ و عَلَى آلِهِ و صَحْبِهِ ....

“Tuhanku, dengan jah (wibawa) Nabi-Mu Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi-Mu dan kedudukannya di samping-Mu, kecintaan-Mu kepadanya dan kecintaannya pada-Mu serta dengan rahasia antara-Mu dengannya, Aku memohon kepadaMu untuk melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau , keluarganya dan para sahabatnya.

Contoh Tawassul Syirik


1. Doa Shalawat Tawassul yang tercantum dalam sebagian buku Tuntunan Ziarah Walisongo, yang berbunyi:

الصَّلاَةُ وَ السَّلاَمُ عَلَيْكَ يَا سَيِّدِيْ يَا شَيْخَ عَبْدَ الْقَادِرِ الْجَيْلاَنِيْ مَحْبُوْبَ اللهِ أَنْتَ صَاحِبُ الإِجَازَةِ إِجَازَة مُحَمَّدٍ مُحَمَّدٌ إِجَازَةُ اللهِ أَنْتَ صَاحِبُ الْكَرَامَةِ كَرَامَةُ مُحَمَّدٍ مُحَمَّدٌ كَرَامَةُ الله أنْتَ صَاحِبُ الشَّفاعَةِ شَفَاعَةُ مُحَمَدٍ مُحَمَّدٌ شَفَاعَةُ الله يا شَيْخَ عَبْدِ الْقَادِرِ الْجَيْلاَنِيْ أَغِثْنِيْ أَغِثْنِيْ أَغِثْنِيْ سَرِيْعًا بِعِزَّةِ الله

Semoga sholawat dan salam dilimpahkan kepada engkau wahai tuanku wahai Syeikh Abdulqadir Jailani, orang yang dicintai Allâh. Engkaulah pemilik ijazah, ijazah Muhammad dan Muhammad adalah ijazah Allâh. Engkaulah pemilik karamah, karamah Muhammad dan Muhammad adalah karamah Allâh. Engkaulah pemilik syafaat, syafaat Muhammad, Muhammad syafaat Allâh. Wahai Syeikh Abdulqadir al-Jaelani tolonglah aku tolonglah aku tolonglah aku segera, dengan kemulian Allâh”.[Tuntunan Ziarah Walisongo karya Abdul Muhaimin (hal. 142-143).]

2. Sebagian bait-bait “Burdah” yang berisi istighatsah, permohonan perlindungan dan bantuan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antaranya:

يَا أَكْرَمُ الْخَلقِ مَا لِيْ مَنْ أَلوذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمَمِ
ما سَامَنِيْ الدَّهْرُ ضَيْمًا و اسْتَجَرْتُ بِهِ إلاَّ وَ نِلْتُ جِوَارًا مِنْهُ لَمْ يُضَمِ
وَمَنْ تَكُنْ بِرَسُوْلِ الله نُصْرَتُهُ إِنْ تَلْقَهُ الأُسْدُ فِيْ آجَامِهَا تَجِمُ

“Wahai makhluk termulia (maksudnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam), aku tidak memiliki tempat berlindung kecuali engkau saat bahaya melanda.

Setiap zaman menganiaya diriku, lalu aku berlindung kepadanya (Nabi Muhammad), akupun mendapatkan keselamatan dan perlindungan darinya, tidak teraniaya.

Barangsiapa yang menjadikan Rasûlullâh sebagai penolongnya, jika bertemu singa di kandang pun akan diam saja”.

Berbagai kalimat di atas yang digarisbawahi bermuatan doa dan permohonan kepada selain Allâh, dan ini adalah kesyirikan, walaupun dinamakan oleh para pelakunya sebagai tawassul.

tawasul bid'ah


Imam Abu Hanifah (w. 150 H) mengingatkan, “Tidak diperkenankan bagi orang yang berdoa untuk mengucapkan, ‘Aku memohon pada-Mu dengan hak fulan, atau hak para nabi dan rasul-Mu…’ “.[Syarh al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyyah karya Ibn Abi al-‘Izz (I/362), It-hâf as-Sâdah al-Muttaqîn karya az-Zabidy (II/285) dan Syarh al-Fiqh al-Akbar karya Ali al-Qary (hal. 198).]