Sabtu, 28 Februari 2015

PENYIMPANGAN AQIDAH PARA ISTRI


MENGANGGAP GAJI ISTRI TIDAK BOLEH DI PEGANG SUAMI
emang anti kerja atas izin siapa?sahkah anti bekerja tanpa izin suami?
salahkah jika suami mensyaratkan anti boleh bekerja asal gaji di pegang suami?
KEWAJIBAN ISTRI BEKERJA ADALAH 0 %
KEWAJIBAN SUAMI BEKERJA ADALAH 100%
SUAMI BERHAK MELARANG ISTRI BEKERJA
anti salah faham,yg dimaksud uang istri hak mutlak istri adalah MAHAR DAN HADIAH karena tidak perlu izin suami.adapun nafkah/keuangan keluarga tetap di tangan suami.jadi gaji istri hak yg terbatasi dg izin suami.
betapa bodoh dan menderitanya suami yg istri bekerja tapi gaji dipegang sendiri,tapi gaji suami dibagi untuk anak istri.lebih menderita lagi kalau semua gaji suami diberikan semua ke istri di awal bulan.
salah besar anak minta jajan ke ibunya,tapi kalau belajar minta ditemani ayahnya.keterbalikan inilah sumber kehancuran keluarga

 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَآأَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ

"Kaum lelaki itu adalah pemimpin kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka". [an Nisaa`/4 : 34].

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, sudah menjadi Ijma' ulama, ayah (suami)lah yang menafkahi anak-anak, tanpa dibarengi oleh ibu (isteri).[Zaadul Ma'ad (5/448)]

 Al Bukhari meriwayatkan hadits Abu Sa'id Radhiyallahu 'anhu dalam Shahihnya, ia berkata:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه : ...جَاءَتْ زَيْنَبُ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ تَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ زَيْنَبُ فَقَالَ أَيُّ الزَّيَانِبِ فَقِيلَ امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ نَعَمْ ائْذَنُوا لَهَا فَأُذِنَ لَهَا قَالَتْ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ وَكَانَ عِنْدِي حُلِيٌّ لِي فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهِ فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُودٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَ ابْنُ مَسْعُودٍ زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيْهِمْ

"Dari Abu Sa'id al Khudri Radhiyallahu anhu : … Zainab, isteri Ibnu Mas'ud datang meminta izin untuk bertemu. Ada yang memberitahu: "Wahai Rasulullah, ini adalah Zainab," beliau bertanya,"Zainab yang mana?" Maka ada yang menjawab: "(Zainab) isteri Ibnu Mas'ud," beliau menjawab,"Baiklah. Izinkanlah dirinya," maka ia (Zainab) berkata: "Wahai, Nabi Allah. Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedangkan aku mempunyai perhiasan dan ingin bersedekah. Namun Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa dirinya dan anaknya lebih berhak menerima sedekahku," Nabi bersabda,"Ibnu Mas'ud berkata benar. Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu." Dalam lafazh lain, Nabi Shallallahu 'alaihi wa salllam menambahkan:

نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

"Benar, ia mendapatkan dua pahala, pahala menjalin tali kekerabatan dan pahala sedekah."

Penempatan hadits di atas oleh al Bukhari dalam (Bab zakat terhadap kaum kerabat, bab zakat kepada suami dan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasannya), menunjukkan hal itu mencakup zakat yang wajib maupun yang bersifat tathawwu' (sukarela). Mayoritas ulama berpendapat, zakat yang wajib tidak boleh diserahkan kepada orang yang nafkah hidupnya menjadi kewajiban muzakki (yang berkewajiban membayar zakat). Dan tidak ada keraguan lagi, bahwa nafkah suami bukan kewajiban isteri, maka ia boleh memberikan zakatnya kepada suaminya, tetapi tidak sebaliknya.

 Ada pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Baz. Isi pertanyaannya : "Saya telah menikahi seorang guru. Apakah saya berhak mengambil dari gajinya dengan ridhanya untuk suatu kebutuhan dan keperluan berdua, misalnya membangun rumah?"

Beliau menjawab : Tidak masalah bagimu untuk mengambil gaji isterimu atas dasar ridhanya, jika ia seorang wanita rasyidah (berakal sehat). Begitu pula segala sesuatu yang ia berikan kepadamu untuk membantu dirimu, tidak masalah, bila engkau pergunakan. Dengan catatan, ia rela dan dewasa. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفَسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا

"Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya". [an Nisaa`/4 : 4].[Al Fatawa, Kitab ad Da'wah, 2/217. Dikutip dari Fatawa al Mar`ah al Muslimah, hlm. 672-673. ]
syaikh Utsaimin berkenaan dengan perkara tersebut yang kami terjemahkan:
Seseorang wajib untuk berinfak kepada keluarganya (kepada istri dan anaknya)dengan baik, meski istrinya adalah orang kaya.....apabila istri, sebelumnya menjadi guru, dan ia mensyaratkan (sebelum atau saat akad.pen) agar suami mengizinkannya untuk mengajar, maka suami tidak berhak untuk mengambil gajinya, baik itu setengah, lebih dari itu atau kurang dari itu. Gajinya adalah miliknya, selama hal itu telah disyaratkan saat akad dan suami rela dengan persyaratan tersebut. Kala itu suami tidak boleh melarangnya untuk mengajar dan tidak boleh pula mengambil gajinya sedikitpun.

Apabila istri belum mensyaratkan agar suami mengizinkannya untuk mengajar, kemudian ketika menikah suami berkata jangan mengajar, maka di sini keduanya boleh membuat kesepakatan sekehendak mereka, maksudnya: Misalnya suami boleh berkata: Aku membolehkanmu mengajar dengan syarat aku memperoleh setengah, sepertiga, tiga perempat, seperempat atau yang semisalnya dari gajimu, sesuai dengan kesepakatan. http://www.islamqa.info/ar/ref/126316

Jumat, 27 Februari 2015

SYUBHAT TRADISI MBAH IDRUS


syubhat : Tradisi menurut al-Qur’an.
Allah subhanahu wata’ala berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyuruh umatnya mengerjakan yang ma’ruf. Maksud dari ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik. Syaikh Wahbah al-Zuhaili berkata:
وَالْوَاقِعُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْعُرْفِ فِي اْلآَيَةِ هُوَ الْمَعْنَى اللُّغَوِيُّ وَهُوَ اْلأَمْرُ الْمُسْتَحْسَنُ الْمَعْرُوْفُ
“Yang realistis, maksud dari ‘uruf dalam ayat di atas adalah arti secara bahasa, yaitu tradisi baik yang telah dikenal masyarakat.” (Al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, 2/836).

Komentar: sejak kapan al amr diartikan tradisi????

syubhat :  Penafsiran ‘urf dengan tradisi yang baik dan telah dikenal masyarakat dalam ayat di atas, sejalan dengan pernyataan para ulama ahli tafsir. Al-Imam al-Nasafi berkata dalam tafsirnya:


(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) هُوَ كُل ُّخَصْلَةٍ يَرْتَضِيْهَا الْعَقْلُ وَيَقْبَلُهَا الشَّرْعُ.
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf , yaitu setiap perbuatan yang disukai oleh akal dan diterima oleh syara’.” (Tafsir al-Nasafi, juz 2 hlm 82).

Komentar:sejak kapan yartadhi diartikan disukai???

syubhat :  Al-Imam Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqa’i juga berkata:


(وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ) أَيْ بِكُلِّ مَا عَرَفَهُ الشَّرْعُ وَأَجَازَهُ، فَإِنَّهُ مِنَ الْعَفْوِ سُهُوْلَةً وَشَرَفاً
“Suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf, yaitu setiap perbuatan yang telah dikenal baik oleh syara’ dan dibolehkannya. Karena hal tersebut termasuk sifat pemaaf yang ringan dan mulia.” (Al-Biqa’i, Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar, juz 3 hlm 174).

Komentar: jadi yang dibolehkan syar’ saja

syubhat :  Oleh karena yang dimaksud dengan ‘urf dalam ayat di atas adalah tradisi yang baik, al-Imam al-Sya’rani berkata:


وَمِنْ أَخْلاَقِهِمْ أَي السَّلَفِ الصَّالِحِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ تَوَقُّفُهْم عَنْ كُلِّ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ حَتَّى يَعْرِفُوْا مِيْزَانَهُ عَلىَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ أَوِ الْعُرْفِ، لأَنَّ الْعُرْفَ مِنْ جُمْلَةِ الشَّرِيْعَةِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ (الأعراف: 199)
“Di antara budi pekerti kaum salaf yang shaleh, semoga Allah meridhai mereka, adalah penundaan mereka terhadap setiap perbuatan atau ucapan, sebelum mengetahui pertimbangannya menurut al-Qur’an dan hadits atau tradisi. Karena tradisi termasuk bagian dari syari’ah. Allah SWT berfirman: ““Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ‘urf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”. (QS. al-A’raf : 199).” (Al-Imam al-Sya’rani, Tanbih al-Mughtarrin, hlm 14).
Komentar:kitab dan sunnah tetap pertimbangan pertama bukan?
Imam at-Thobari dalam tafsirnya 13/331 menjelaskan :
كل ما أمر الله به من الأعمال أو ندب إليه، فهو من العرف. ولم يخصص الله من ذلك معنى دون معنى
Setiap apa yg diperintah alloh dari suatu perbuatan atau dianjurkan kepadanya maka itu termasuk ‘urf.dan alloh tidak lah mengkhususkan dari suatu makna itu tanpa makna yg lain
Imam al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya 7/301 :
{ وأمر بالعرف } صلة الأرحام وتقوى الله في الحلال والحرام وغض الأبصار والاستعداد لدار القرار
Ayat alloh : dan perintahkan yg ma’ruf,maksudnya menyambung silaturrahim dan ketaqwaan kepada alloh dalam halal dan harom dan menundukkan pandangan dan persiapan untuk rumah keabadian yaitu akhirat
Imam Ibnu katsir menjelaskan dalam tafsirnya 3 /532
وحكى ابن جرير أنه يقال: أوليته عرفًا، وعارفًا، وعارفة، كل ذلك بمعنى: "المعروف". قال: وقد أمر الله نبيه صلى الله عليه وسلم أن يأمر عباده بالمعروف، ويدخل في ذلك جميع الطاعات
Dan meriwayatkan ibnu jarir sesungguhnya dikatakan : perubahan kata ‘urfan,’arifan dan ‘arifatan,semua itu maknanya al ma’ruf.beliau berkata : dan sungguh alloh telah menyuruh nabinya Muhammad untuk menyuruh hamba alloh dg yg ma’ruf.dan masuk didalam ma’ruf itu adalah semua jenis ketaatan

syubhat : Islam itu datang tidak untuk menghapus tradisi, tetapi dalam rangkamemperbaiki dan menyempurnakan tradisi. Dalam hadits diterangkan:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ. أخرجه أحمد ، وابن سعد والحاكم وصححه على شرط مسلم. والبيهقى و الديلمى.
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia.” (HR. Ahmad [8939], Ibnu Sa’ad (1/192), al-Baihaqi [20571-20572], al-Dailami [2098], dan dishahihkan oleh al-Hakim sesuai dengan syarat Muslim (2/670 [4221]).
Dalam banyak tradisi, seringkali terkandung nilai-nilai budi pekerti yang luhur, dan Islam pun datang untuk menyempurnakannya. Oleh karena itu, kita dapati beberapa hukum syari’ah dalam Islam diadopsi dari tradisi jahiliah seperti hukum qasamah, diyat ‘aqilah, persyaratan kafa’ah (keserasian sosial) dalam pernikahan, akad qiradh (bagi hasil), dan tradisi-tradisi baik lainnya dalam Jahiliyah. Demikian diterangkan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana puasa Asyura, juga berasal dari tradisi Jahiliyah dan Yahudi, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim.

Komentar : semua itu setelah adanya taqrir/penetapan syariat dari nabi bukan tiba-tiba semau gue.




syubhat : Islam juga sangat toleran terhadap tradisi. Dalam hadits lain diterangkan:


عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.
“Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732]).
Hadits di atas memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.

Komentar : itu kesimpulan dari kantong ente sendiri, barometer kebaikan itu islam sendiri bukan anggapan ente terhadap system luar yg gak jelas itu.

syubhat :  Oleh karena itu dalam konteks ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ يَسْأَلُونِي خُطَّةً يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلاَّ أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا. رواه البخاري
“Dari Miswar bin Makhramah dan Marwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, mereka (kaum Musyrik) tidaklah meminta suatu kebiasaan (adat), dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, kecuali aku kabulkan permintaan mereka.” (HR. al-Bukhari [2581]).
Dalam riwayat lain disebutkan:
أَمَّا وَاللهِ لاَ يَدْعُونِي الْيَوْمَ إِلَى خُطَّةٍ ، يُعَظِّمُونَ فِيهَا حُرْمَةً ، وَلاَ يَدْعُونِي فِيهَا إِلَى صِلَةٍ إِلاَّ أَجَبْتُهُمْ إِلَيْهَا. رواه ابن أبي شيبة
“Ingatlah, demi Allah, mereka (orang-orang musyrik) tidak mengajakku pada hari ini terhadap suatu kebiasaan, dimana mereka mengagungkan hak-hak Allah, dan tidak mengajukku suatu hubungan, kecuali aku kabulkan ajakan mereka.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, [36855]).
Hadits di atas memberikan penegasan, bahwa Islam akan selalu menerima ajakan kaum Musrik pada suatu tradisi yang membawa pada pengagungan hak-hak Allah dan ikatan silaturrahmi. Hal ini membuktikan bahwa Islam tidak anti tradisi.”

Komentar : sejak khuttoh diartikan adat kebiasaan??? Pengagungan hak-hak alloh itu mewakili apa yg ditetapkan syarian dalam hal hablum minalloh bukan perkara bid’ah,menyambung hubungan mewakili apa yg diakui dalam syariat dalam hal hablum minannas bukan tradisi nenek moyang yg tidak pernah diakui syariat.
Ibnu hajar menjelaskan dg menukil perkataan ibnu qoyyim :
قاله بن القيم في الهدى قوله لا يسألونني خطة بضم الخاء المعجمة أي خصلة يعظمون فيها حرمات الله أي من ترك القتال في الحرم
Fathul bari 5/336
Ibnu qoyyim dalam al huda bahwa perkataan nabi : tidaklah mereka meminta suatu khuttoh dg huruf  kho’ bertitik maksudnya adalah suatu sikap yg mereka mengagungkan didalamnya kehormatan alloh yaitu termasuk meninggalkan peperangan di bulan harom

syubhat : Perhatian Islam terhadap tradisi juga ditegaskan oleh para sahabat, antara lain Abdullah bin Mas’ud yang berkata:


قال عبد الله بن مسعود : مَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَآَهُ الْمُسْلِمُوْنَ سَيِّئاً فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيِّءٌ. رواه أحمد وأبو يعلى والحاكم
Abdullah bin Mas’ud berkata: “Tradisi yang dianggap baik oleh umat Islam, adalah baik pula menurut Allah. Tradisi yang dianggap jelek oleh umat Islam, maka jelek pula menurut Allah.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la dan al-Hakim).”

Komentar : lagi2 ente asal comot dalil,ditafsiri seenak ente,sejak kapan maa diartikan tradisi.ini dijadikan para ulama sebagai dalil ijma’ bukan perkara ijtihadiyah apalagi bid'ah.
اتفق إجماع الصحابة في زمن عمر على الثمانين في حد الخمر ولا مخالف لهم منهم وعلى ذلك جماعة التابعين وجمهور فقهاء المسلمين والخلاف في ذلك كالشذوذ المحجوج بالجمهور وقال ابن مسعود ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وقال عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
Telah bersepakat para sahabat nabi dizaman umar hokum had khomr 80 cambukan dan tidak ada yg menyelisihi mereka dan sepakat pula jamaah tabi’in serta jumhur ahli fiqh.dan yg menyelisihinya dianggap syadz.dan yg dijadikan pegangan adalah perkataan jumhur dan berdasarkan perkataan ibnu mas’ud : apa yg dipandang kaum muslimin baik maka disisi alloh baik,perkataan nabi:wajib bagi kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah khulafa’ arrosidin setelahku
‘umdatul qori syarh shohih bukhori 34/177
Imam ibn abdil bar alqurtubi dalam al istidzkar hal.1785



syubhat : banyak contohnya. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ صَلَّى عُثْمَانُ بِمِنًى أَرْبَعًا فَقَالَ عَبْدُ اللهِ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُمَرَ رَكْعَتَيْنِ وَمَعَ عُثْمَانَ صَدْرًا مِنْ إِمَارَتِهِ ثُمَّ أَتَمَّهَا. قَالَ الأَعْمَشُ فَحَدَّثَنِى مُعَاوِيَةُ بْنُ قُرَّةَ عَنْ أَشْيَاخِهِ أَنَّ عَبْدَ اللهِ صَلَّى أَرْبَعًا قَالَ فَقِيلَ لَهُ عِبْتَ عَلَى عُثْمَانَ ثُمَّ صَلَّيْتَ أَرْبَعًا قَالَ الْخِلاَفُ شَرٌّ. رواه أبو داود والبيهقي
Dari Abdurrahman bin Yazid, berkata: “Utsman menunaikan shalat di Mina empat raka’at.” Lalu Abdullah bin Mas’ud berkata: “Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dua raka’at. Bersama Abu Bakar dua raka’at. Bersama Umar dua raka’at. Bersama Utsman pada awal pemerintahannya dua raka’at. Kemudian Utsman menyempurnakannya (empat raka’at). Ternyata kemudian Abdullah bin Mas’ud shalat empat raka’at. Lalu beliau ditanya: “Anda dulu mencela Utsman karena shalat empat raka’at, sekarang Anda justru shalat empat raka’at juga.” Ia menjawab: “Berselisih dengan jama’ah itu tidak baik.” (HR. Abu Dawud dan al-Baihaqi).


Komentar : itu menunjukkan itmam saat safar boleh saja,toleransi dalam dalam hal yg dibolehkan ya tidak masalah bukan masalah bid’ah.
 قَالَ الْخَطَّابِيُّ : لَوْ كَانَ الْمُسَافِر لَا يَجُوز لَهُ الْإِتْمَام كَمَا يَجُوز لَهُ الْقَصْر لَمْ يُتَابِعُوا عُثْمَان إِذْ لَا يَجُوز عَلَى الْمَلَأ مِنْ الصَّحَابَة مُتَابَعَته عَلَى الْبَاطِل
Alkhottobi berkata : kalau musafir tidak boleh itmam (menyempurnakan rokaat) seperti halnya bolehnya qoshor maka mereka sahabat tidak akan mengikuti utsman karena tidak boleh bagi para sahabat mengikutinya diatas kebatilan (aunul ma’bud 5/441)






syubhat : Dalam kitab-kitab sejarah disebutkan:
قال محمد بن رافع : " كنت مع أحمد بن حنبل وإسحاق عند عبدالرزاق فجاءنا يوم الفطر ، فخرجنا مع عبدالرزاق إلى المصلى ومعنا ناس كثير ، فلما رجعنا من المصلى دعانا عبدالرزاق إلى الغداء ، فقال عبدالرزاق لأحمد وإسحاق : رأيت اليوم منكما عجباً ، لمْ تكبّرا !قال أحمد وإسحاق : يا أبابكر ، نحن كنا ننظر إليك : هل تكبّر فنكبّر ؟ فلما رأيناك لم تكبّر أمسكنا .قال : أنا كنت أنظر إليكما : هل تكبران فأكبّر "
“Muhammad bin Rafi’ berkata: “Aku bersama Ahmad bin Hanbal dan Ishaq di tempat Abdurrazzaq. Lalu kami memasuki hari raya Idul Fitri. Maka kami berangkan ke mushalla bersama Abdurrazzaq dan banyak orang. Setelah kami pulang dari mushalla, Abdurrazzaq mengajak kami sarapan. Lalu Abdurrazzaq berkata kepada Ahmad dan Ishaq: “Hari ini saya melihat keaneha pada kalian berdua. Mengapa kalin tidak membaca takbir?” Ahmad dan Ishaq menjawab: “Wahai Abu Bakar, kami melihat engkau apakah engkau membaca takbir, sehingga kami juga bertakbir. Setelah kami melihat engkat tidak bertakbir, maka kami pun diam.” Abdurrazzaq berkata: “Justru aku melihat kalian berdua, apakah kalian bertakbir, sehingga aku akan bertakbir juga.” (Al-Hafizh Ibnu Asakir, Tarikh Dimasyq, juz 36 hlm 175; dan al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’juz, 9 hlm 566 ).

Perhatikan dalam riwayat di atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal dan Ishaq bin Rahawaih tidak bertakbir ketika berangkat ke mushalla pada hari raya idul fitri, karena melihat guru mereka, Imam Abdurrazzaq al-Shan’ani tidak bertakbir. Sementara Imam Abdurrazzaq tidak bertakbir, karena melihat kedua muridnya yang sangat alim tidak bertakbir. Suatu budi pekerti yang sangat bagus, meninggalkan amalan sunnah, karena khawatir menyinggung perasaan orang di sekitarnya


Komentar : sekali lagi ini hanyalah pembenaran yg tidak pada tempatnya.toleransi dalam hal yg sunnah atau mustahab gak masalah,bukan masalah penyimpangan/bid’ah semacam tahlilan

syubhat :  Paparan di atas semakin jelas apabila kita membaca pernyataan al-Imam Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berkata dalam kitabnya al-Adab al-Syar’iyyah sebagai berikut:


وَقَالَ ابْنُ عَقِيلٍ فِي الْفُنُونِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُولَ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ (لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ) وَقَالَ عُمَرُ لَوْلاَ أَنْ يُقَالَ عُمَرُ زَادَ فِي الْقُرْآنِ لَكَتَبْتُ آيَةَ الرَّجْمِ. وَتَرَكَ أَحْمَدُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ لإِنْكَارِ النَّاسِ لَهَا، وَذَكَرَ فِي الْفُصُولِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ وَفَعَلَ ذَلِكَ إمَامُنَا أَحْمَدُ ثُمَّ تَرَكَهُ بِأَنْ قَالَ رَأَيْت النَّاسَ لا يَعْرِفُونَهُ، وَكَرِهَ أَحْمَدُ قَضَاءَ الْفَوَائِتِ فِي مُصَلَّى الْعِيدِ وَقَالَ: أَخَافُ أَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ بَعْضُ مَنْ يَرَاهُ . (الإمام الفقيه ابن مفلح الحنبلي، الآداب الشرعية، ٢/٤٧)
“Imam Ibnu ‘Aqil berkata dalam kitab al-Funun, “Tidak baik keluar dari tradisi masyarakat, kecuali tradisi yang haram, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membiarkan Ka’bah dan berkata, “Seandainya kaummu tidak baru saja meninggalkan masa-masa Jahiliyah…” Umar berkata: “Seandainya orang-orang tidak akan berkata, Umar menambah al-Qur’an, tentu aku tulis ayat rajam di dalamnya.” Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan dua raka’at sebelum maghrib karena masyarakat mengingkarinya. Dalam kitab al-Fushul disebutkan tentang dua raka’at sebelum Maghrib bahwa Imam kami Ahmad bin Hanbal pada awalnya melakukannya, namun kemudian meninggalkannya, dan beliau berkata, “Aku melihat orang-orang tidak mengetahuinya.” Ahmad bin Hanbal juga memakruhkan melakukan qadha’ shalat di mushalla pada waktu dilaksanakan shalat id (hari raya). Beliau berkata, “Saya khawatir sebagian orang-orang yang melihat akan ikut-ikutan melakukannya.” (Al-Imam Ibnu Muflih al-Hanbali, al-Adab al-Syar’iyyah, juz 2, hal. 47).
Kaedah di atas sangat jelas, agar kita mengikuti tradisi masyarakat, selama tradisi tersebut tidak haram. Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan shalat sunnah qabliyah Jum’at, juga karena tradisi masyarakatnya yang tidak pernah melakukannya dan menganggapnya tidak sunnah, untuk menjaga kebersamaan dan kerukunan dengan mereka.

Komentar : betapa lucunya ente ini, syariat takbir mana mungkin disamakan dg tradisi tahlilan??.meninggalkan sunnah atau mustahab jelas boleh menurut kesepakatan ulama.adapun ente dan kawan2 ente.tidak hanya meninggalkan sunnah saat kematian tapi menambah dg bid’ah,itulah bedanya.kalau sekedar gak ngasih beras yg gak masalah.jadi masalahnya bukan meninggalkan sunnah tapi menambah dg bid’ah.apakah meninggalkan sunnah itu bid’ah??? Sebelah mana bid’ah imam ahmad kayak bid’ah ente???




syubhat : Syaikh Ibnu Taimiyah, ulama panutan kaum Wahabi juga berkata:
إذا اقتدى المأموم بمن يقنت في الفجر أو الوتر قنت معه ، سواء قنت قبل الركوع أو بعده ، وإن كان لا يقنت لم يقنت معه ، ولو كان الإمام يرى استحباب شيء والمأمومون لايستحبونه ، فتركه لأجل الإتفاق والإئتلاف كان قد أحسن ... وكذلك لو كان رجل يرى الجهر بالبسملة فأمّ قوماً لا يستحبونه أو بالعكس ووافقهم فقد أحسن "
“Apabila makmum bermakmum kepada imam yang membaca qunut dalam shalat shubuh atau witir, maka ia membaca qunut bersamanya, baik ia membaca qunut sebelum ruku’ atau sesudah ruku’. Apabila imamnya tidak membaca qunut, maka ia juga tidak membaca qunut. Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan. Demikian pula apabila seorang laki-laki berpendapat mengeraskan membaca basmalah dalam shalat, lalu menjadi imam suatu kaum yang tidak menganjurkannya, atau sebaliknya, dan ia menunaikan shalat seperti madzhab mereka, maka ia benar-benar melakukan kebaikan.” (Syaikh Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 22 hlm 268).
Komentar : hanya orang jahil alias pengekor yg bisa ditipu dg tipuan murahan.baca baik2! Ibnu taimiyah mensyaratkan Apabila imam berpendapat sunnahnya sesuatu, sementara para makmum tidak menganggapnya sunnah, lalu imam tersebut meninggalkan sesuatu itu demi kekompakan dan kerukunan, maka ia telah melakukan kebaikan,fahaaaam???beda kasus jika makmum menganggap itu bid’ah tidak perlu mengikuti,jadi makmum tidak menganggapnya sunnah tidak mesti bid’ah tapi mubah.dan juga konteksnya adalah imam meninggalkan yg dia anggap sunnah bukan imam ikut melakukan bid’ah karena makmum menyangka itu sunnah.jadi jangan dibalik2 kecuali akal ente terbalik,he..


syubhat : Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah sangat membela kaedah tradisi berikut ini:

تتغير الأحكام بتغير الأحوال والأزمان
“Hukum-hukum agama dapat berubah sebab perubahan tradisi dan perkembangan zaman.”
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam kitabnya A’lam al-Muwaqqi’in. Tentu saja hukum-hukum yang berubah sebab tradisi bukan hukum-hukum yang ditetapkan berdasarkan nash yang mutlak seperti wajibnya shalat lima waktu dan semacamnya.

Komentar : hadeuh bukan idrus ramli kalau tidak berdusta.dimana ibnu qoyyim mengatakan itu halaman berapa??? yang ada adalah
إن الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان
Sesungguhnya fatwa itu berubah sesuai dg berubahnya waktu dan tempat.
I’lamul muwaqqi’in 4/205
Jadi ini tentang fatwa ulama’ yg berubah bukan hukum2 agama