Jumat, 31 Oktober 2014

SYUBHAT QUNUT SHUBUH SECONDPRINCE


DIA BERKATA : perhatikan riwayat Anas berikut
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ ، حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ يُوسُفَ ، حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ، قَالَ : سُئِلَ عَنِ الْقُنُوتِ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ ، فَقَالَ : كُنَّا نَقْنُتُ قَبْلَ الرُّكُوعِ وَبَعْدَهُ
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Aliy Al Jahdhamiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Yuusuf yang berkata telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas bin Malik yang berkata ia ditanya tentang Qunut dalam shalat Shubuh maka Anas berkata “kami melakukan Qunut sebelum ruku’ dan melakukan Qunut sesudah ruku’ [Sunan Ibnu Majah no 1183]
Al Hafizh Al Buushiriy berkata dalam kitabnya Az Zawa’id bahwa sanadnya shahih [Mishbah Az Zujajah Fii Zawa’id Ibnu Majah hal 727-728 no 322]. Dari hadis ini maka dapat dipahami bahwa di sisi Anas bin Malik ada dua jenis Qunut pada shalat shubuh yaitu
Qunut Nazilah yang dilakukan setelah ruku’
Qunut Shubuh tanpa nazilah yang dilakukan sebelum ruku’
JAWAB: ITU KESIMPULAN DARI KANTONGNYA SENDIRI.apakah imam syafi'i qunut shubuh sebelum ruku'???
DIA BERKATA :
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ رَجُلًا لِحَاجَةٍ يُقَالُ لَهُمْ الْقُرَّاءُ فَعَرَضَ لَهُمْ حَيَّانِ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ رِعْلٌ وَذَكْوَانُ عِنْدَ بِئْرٍ يُقَالُ لَهَا بِئْرُ مَعُونَةَ فَقَالَ الْقَوْمُ وَاللَّهِ مَا إِيَّاكُمْ أَرَدْنَا إِنَّمَا نَحْنُ مُجْتَازُونَ فِي حَاجَةٍ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَتَلُوهُمْ فَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الْغَدَاةِ وَذَلِكَ بَدْءُ الْقُنُوتِ وَمَا كُنَّا نَقْنُتُ قَالَ عَبْدُ الْعَزِيزِ وَسَأَلَ رَجُلٌ أَنَسًا عَنْ الْقُنُوتِ أَبَعْدَ الرُّكُوعِ أَوْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ قَالَ لَا بَلْ عِنْدَ فَرَاغٍ مِنْ الْقِرَاءَةِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waarits yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul ‘Aziz dari Anas [radiallahu ‘anhu] yang berkata Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengutus tujuh puluh orang untuk suatu keperluan, mereka adalah para penghafal Al Qur’an. Kemudian mereka dihadang bani Sulaim Ri’il dan Dzakwan di dekat sumur yang bernama sumur Ma’unah. Kaum itu berkata “demi Allah bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya perlu kepada Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. kaum itu akhirnya membunuh mereka maka Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan mereka satu bulan dalam shalat Shubuh, itulah pertama kali kami berdoa dalam Qunut dan sebelumnya kami belum pernah Qunut. Abdul ‘Aziz berkata “seorang laki-laki bertanya kepada Anas tentang Qunut, apakah setelah ruku’ atau setelah membaca surat?. Maka Anas berkata “tidak, bahkan Qunut dikerjakan setelah membaca surat” [Shahih Bukhariy 5/104 no 4088]
Qunut ini dinamakan Qunut Nazilah dimana Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] mendoakan keburukan bagi bani Sulaim Ri’il dan Dzakwan
kemudian dia berkata : Maka maksud perkataan Abdul Aziz dari Anas tentang qunut dilakukan setelah membaca surat adalah qunut shubuh tanpa nazilah. Hal ini karena Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidaklah Qunut setelah ruku’ kecuali Qunut Nazilah
dia juga berdalil :
Dengan sanad yang sama dengan sanad riwayat Muslim, Al Bazzaar meriwayatkan hadis ‘Aashim di atas dengan matan ringkas sebagai berikut
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، نَا أَبُو مُعَاوِيَةَ ، عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ قَالَ : سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ الْقُنُوتِ ، فَقَالَ : قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ الرُّكُوعِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari ‘Aashim Al Ahwal yang berkata aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang Qunut, maka ia berkata “Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah qunut sebelum ruku’ [Musnad Al Bazzaar 13/109 no 6480]
JAWAB : ente tu plin plan diawal mengatakan itu dasar hadits qunut nazilah,adaun penafsiran ente sebelum ruku' itu qunut shubuh telah dibantah Al Bazaar sendiri bahwa riwayat ‘Aashim ini bertentangan dengan riwayat dari para perawi tsiqat lain dari Anas yang menetapkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut hanya satu bulan setelah ruku’. Diantaranya Al Bazaar berkata
وَهَذَا الْحَدِيثُ لا نَعْلَمُهُ يُرْوَى عَنْ أَنَسٍ مِنْ وَجْهٍ صَحِيحٍ إِلَّا عَنْ عَاصِمٍ ، عَنْ أَنَسٍ . وَقَدْ رَوَى هَذَا الْحَدِيثَ الْحُفَّاظُ مِنْ أَصْحَابِ أَنَسٍ ، عَنْ أَنَسٍ ، مِنْهُمْ : مُحَمَّدُ ابْنُ سِيرِينَ ، وَأَبُو مِجْلَزٍ ، وَقَتَادَةُ وَغَيْرُهُمْ ، عَنْ أَنَسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
Dan hadis ini tidak diketahui riwayat dari Anas dengan jalan yang shahih kecuali dari ‘Aashim dari Anas. Dan sungguh telah meriwayatkan hadis ini sekelompok hafizh dari sahabat Anas dari Anas, diantaranya Muhammad bin Siirin, Abu Mijlaz, Qatadah dan selain mereka dari Anas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] qunut setelah ruku’ [Musnad Al Bazzaar 13/109 no 6480] kemudian ente menuduhnya keliru,
ibnu rojab pun membantahmu dalam fathul bari 1/278 beliau berkata :
ولكن ؛ ليس في هذه الرواية تصريح بأن قنوت النَّبيّ ( كانَ قبل الركوع ، إنما هوَ من فتيا أنس . والله سبحانه وتعالى أعلم .
akan tetapi bukanlah riwayat ini tegas bahwa rosul qunut sebelum ruku',itu hanya fatwa anas saja.
sekarang kita bandingkan siapa yg keliru?

BANTAHAN RUMAH FIQIH :Al-Albani VS Ibnul Qayyim ???


DIA BERKATA : Hal menarik disampaikan oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) [3]. Beliau berkata:
فأهل الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعد بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنتون حيث قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويتركونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه.
“AHLI HADITS adalah kaum pertengahan antara mereka (pent: yang mengatakan Qunut itu bid’ah) dan mereka yang menganggap sunnah Qunut ketika ada nawazil dan lainnya (pent: termasuk Qunut Shubuh). Mereka lebih beruntung terhadap hadits Nabi, mereka qunut ketika Rasulullah Qunut dan meninggalkannya ketika Rasul juga meninggalkannya. Mereka mengikuti Nabi dalam menjalankan ataupun meninggalkannya.
ويقولون: فعله سنة وتركه سنة، ومع هذا فلا ينكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعله مخالفا للسنة، كما لا ينكرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تاركه مخالفا للسنة، بل من قنت فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن.
Mereka (AHLI HADITS) mengatakan bahwa melakukannya adalah perbuatan SUNNAH dan meninggalkannya juga perbuatan SUNNAH. Maka, mereka tidak mengingkari orang yang membiasakan qunut, tidak benci untuk melakukannya , tidak menganggapnya bid’ah, dan juga tidak menganggap orang yang melakukannya termasuk menyelisihi sunnah begitu juga sebaliknya.
Bahkan orang yang qunut itu BAGUS, yang meninggalkannya juga BAGUS.”
Wah, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) malah menyebutkan bahwa AHLI HADITS itu mereka yang mengatakan “mengamalkan atau meninggalkan qunut itu sama-sama baik”. Sepertinya berbeda terbalik dengan pendapat al-Albani.
JAWAB : KALAU MENGADU DOMBA MANUSIA BIASA TERLARANG, BAGAIMANA GIMANA MENGADU DOMBA ULAMA'?.
itu karena kejahilan dan mengikuti hawa nafsunya saja
yang di komentari ahli hadits tentang apa?ini yang harus jelas dulu. lihatlah runtutan awalnya.nukilan pertama,
فكان أبو هريرة يقنُت في الركعة الأخيرة مِن صلاة الصبح بعدما يقول: سَمعَ اللهُ لِمَنْ حَمِده، فيدعو للمؤمنين، ويلعنُ الكُفَّار ولا ريب أن رسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فعل ذلك، ثمَّ تركه فأحبَّ أبو هريرة أن يُعلِّمهم أن مِثلَ هذا القنوتِ سنة، وأن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فعله، وهذا رد على أهل الكوفة الذين يكرهون القنوت في الفجر مطلقاً عند النوازل وغيرها.ويقولون: هو منسوخ، وفعله بدعة، فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها
Dulu abu huroiroh qunut di rokaat akhir dari sholat shubuh setelah membaca sami’allohu liman hamidah,lalu berdoa kebaikan untuk orang mukmin dan MELAKNAT orang kafir.dan tidak ada keraguan lagi bahwa rosul mengerjakannya (qunut nazilah) kemudian meninggalkannya.Maka abu huroiroh ingin mengajarkan sesungguhnya seperti qunut ini (qunut nazilah) sunnah,dan rosul mengerjakannya dan ini bantahan keada ahlul kuffah yg membenci qunut apapun itu mutlak entah qunut nazilah atau yang lain,mereka ahlul kuffah berkata : itu qunut nazilah terhapus dan mengerjakanya BID’AH. AHLI HADITS adalah kaum pertengahan antara mereka ahlul kuffah (yang melarang qunut apapun pada sholat shubuh) dan orang yg mensunnahkan dalam sholat shubuh qunut nazilah dan selainnya.
jadi jelas yang diingkari abu huroiroh adalah pelarangan qunut nazilah pada sholat shubuh secara mutlak.dan bahwa ahli hadits tidak mensunnahkan secara mutlak dan tidak melarang secara mutlak.dan bukan berarti pula mereka membenarkan qunut shubuh.lalu bagaimana sikap mereka?mereka melihat adakah riwayat shohihah nabi melakukannya.
فإنهم يقنتون حيث قنت رسول الله صلى الله عليه وسلم، ويتركونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه.
mereka qunut ketika Rasulullah Qunut dan meninggalkannya ketika Rasul juga meninggalkannya. Mereka mengikuti Nabi dalam menjalankan ataupun meninggalkannya.
adaun nukilan yg kedua.maka mereka tidak ilmiah dalam menukil dan menerjemahkan.
mereka menukil :
ويقولون: فعله سنة وتركه سنة
seharusnya
ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة
bedanya jelas ADA LAM TA'LIL
lihat artian mereka :Mereka (AHLI HADITS) mengatakan bahwa melakukannya adalah perbuatan SUNNAH dan meninggalkannya juga perbuatan SUNNAH.
seharusnya : Mereka (AHLI HADITS) mengatakan bahwa melakukannya adalah perbuatan SUNNAH dan meninggalkannya KARENA perbuatan SUNNAH. jadi ukurannya ada sunnahnya atau tidak.
adapun perkataan ahli hadits :mereka tidak mengingkari orang yang membiasakan qunut, tidak benci untuk melakukannya , tidak menganggapnya bid’ah, dan juga tidak menganggap orang yang melakukannya termasuk menyelisihi sunnah begitu juga sebaliknya.
Bahkan orang yang qunut itu BAGUS, yang meninggalkannya juga BAGUS.”
maka itu berkaitan qunut nazilah waktu shubuh,itu karena mereka mengomentari hadits abu huroiroh. sedang kata وغيرها itu ketika dimutlakkan dalam pelarangan maupun pensunnahan.
terakhir, itu belum kesimpulan ibnul qoyyim.kesimpulan beliau yaitu
Berikut ini ucapannya:
وقنت في الفجر بعد الركوع شهراً، ثم ترك القنوت ولم يكن مِن هديه القنوتُ فيها دائماً، ومِنْ المحال أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كان في كل غداة بعد اعتداله من الركوع يقول: “اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ…” الخ ويرفعُ بذلك صوته، ويؤمِّن عليه أصحابُه دائماً إلى أن فارق الدنيا
“(Beliau) Qunut dalam subuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat subuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan: “Allahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait … dst” dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. ( 1/271)
adapun maksud perkataan " Bahkan orang yang qunut itu BAGUS, yang meninggalkannya juga BAGUS.” telah dijelaskan di bagian selanjutnya
 وركن الاعتدال محل الدعاء والثناء، وقد جمعهما النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فيه، ودعاء القنوت دعاء وثناء، فهو أولى بهذا المحل، وإذا جهر به الإِمام أحياناً لِيعلِّم المأمومين ، فلا بأس بذلك
rukun i'tidal adalah temat doa dan pujian dan osul telah menggabungkan keduanya dan doa qunut adalah doa dan pujian,maka berhak dg tempat itu.dan apabila imam mengeraskan KADANG2 untuk mengajari manusia maka ini tidak mengapa.
JADI KALAU TERUS MENERUS ITU BID'AH
KESIMPULAN : TIDAK ADA CERITANYA IBNU QOYYIM VS ALBANI

IBNU AL KATIBIY MENGUAK KEJAHILANNYA SENDIRI


DIA BERKATA : Imam al-Qurthubi mengatakan :
كل بدعة صدرت من مخلوق فلا يخلو أن يكون لها أصل في الشرع أولا، فإن كان لها أصل كانت واقعة تحت عموم ما ندب الله إليه وخص رسوله عليه، فهي في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجودا كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف، فهذا فعله من الافعال المحمودة، وإن لم يكن الفاعل قد سبق إليه
“ Setiap bid’ah yang datang dari makhluk, maka tidak terlepas dari dua perkara yakni adakalanya memiliki asal dalam syare’at atau tidak ada asalnya. Jika memiliki asal dalam syare’at, maka masuk dalam keumuman apa yang Allah dan Rasul-Nya anjurkan, perkara ini masuk pujian (baik), walaupun belum ada contoh sebelumnya semisal merk (macam/jenis) dari sifat kedermawanan, kemurahan dan pebuatan ma’ruf, maka ini semua ini jika dilakukan adalah termasuk perbuatan terpuji, meskipun belum ada contoh orang yang melakukannya..
JAWAB : lihat lah baik2 contohnya tentang kedermawanan, kemurahan dan pebuatan ma’ruf. apakah bid'ah mereka dalam hal ini?
ini mah selaras dg hadits yg dijelaskan imam qurtubi (Tafsir al-Qurthubi : 2/87) : وقد بين هذا بقوله : ( من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
yang asbabul wurudnya adalah kisah sedekah sahabat.
apakah ini pantas disebut bid'ah istilah atau lughoh/bahasa ???
قول الحافظ ابن حجر العسقلاني رحمه الله في الفتح: (ما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة)
ini juga senada dg perkataan ibnu hajar bahwa itu yg ada dalilnya tidak boleh disebut bid'ah
masih dihalaman yg sama imam qurtubi menjelaskan : وإن كانت في خلاف ما أمر الله به ورسوله فهي في حيز الذم والإنكار قال معناه الخطابي وغيره قلت : وهو معنى قوله صلى الله عليه وسلم في خطبته : ( وشر الأمور محدثاتها وكل بدعة ضلالة ( يريد ما لم يوافق كتابا أو سنة أو عمل الصحابة رضي الله عنهم
jika bid'ah menyelisihi apa yg diperintah alloh dan rosulnya masuk perkara yg tercela dan diingkari sebagaimana dikatakan alkhottobi dan selainnya.aku berkata : dan itulah makna perkataan nabi di khutbahnya:seburuk2 perkara adalah perkara yg diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat yg dimaksud adalah apa yg tidak mencocoki kitabulloh,sunnah,dan amal para sahabat.
(Tafsir al-Qurthubi : 2/87)
sekarang bid'ah hasanah mereka yg mencocoki amal para sahabat ?
apakah tahlilan atau sholawat nariyyah ?
lihat tafsir al qurtubi baik2..
Abu Bakr Ath-Thurthuusiy Al-Maalikiy rahimahullah berkata:
يرحمك الله - مذهب الصوفية بطالة وجهالة وضلالة، وما الإسلام إلا كتاب الله وسنة رسول، وأما الرقص والتواجد فأول من أحدثه أصحاب السامري، لما اتخذ لهم عجلا جسدا له خوار قاموا يرقصون حواليه ويتواجدون؛ فهو دين الكفار وعباد العجل؛ ....... وإنما كان يجلس النبي صلى الله عليه وسلم مع أصحابه كأنما على رؤوسهم الطير من الوقار؛ فينبغي للسلطان ونوابه أن يمنعهم عن الحضور في المساجد وغيرها؛ ولا يحل لأحد يؤمن بالله واليوم الآخر أن يحضر معهم، ولا يعينهم على باطلهم؛ هذا مذهب مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل وغيرهم من أئمة المسلمين وبالله التوفيق.
“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu,… madzhab Shuufiyyah hanyalah kesia-siaan, kebodohan, dan kesesatan. Islam itu hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun tarian dan sikap berkasih-kasihan, yang pertama kali mengadakannya adalah rekan-rekan Saamiriy. Ketika ia berhasil membuat patung anak sapi yang bisa bersuara, maka mereka berdiri menari di sekitarnya sambil berkasih-kasihan. Perbuatan tersebut merupakan agama orang kafir dan penyembah anak sapi..... Adapun majelis Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersama para shahabatnya, (keadaannya) adalah seakan-akan di kepala-kepala mereka terdapat burung karena ketenangannya. Sudah seharusnya sulthaan dan para wakilnya melarang mereka (shufiy) menghadiri masjid-masjid dan yang lainnya. Tidak halal bagi seorang pun yang beriman kepada Allah dan hari akhir hadir pada kegiatan mereka. Tidak diperbolehkan menolong kebathilan mereka. Inilah madzhab Maalik, Abu Haniifah, Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, dan yang lainnya dari kalangan imam-imam kaum muslimin. Wabillaahit-taufiiq” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 11/238].
DIA BERKATA : Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan :
المحدثات من الأمور ضربانأحدهما ما أحدث مما يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، وهذه محدثة غير مذمومة
“Hal baru terbagi menjadi dua, pertama apa yang bertentangan dengan Al Quran, Sunah, atsar, dan ijma, maka inilah bid`ah dholalah. Yang kedua adalah hal baru dari kebaikan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut, maka baru ini tidaklah tercela..”[2]
Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan :
والمراد بالبدعة: ما أحدث ممّا لا أصل له في الشريعة يدل عليه، فأمّا ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعًا، وإن كان بدعة لغة
“ Yang dimaksud dengan bid’ah adalah : Segala perkara baru yang tidak ada asalnya dalam syare’at yang menunjukkan atasnya. Adapun perkara baru yang ada asal dari syare’at yang menunjukkan atasnya, maka bukanlah bid’ah dalam segi syare’atnya, walaupun itu bid’ah dalam segi bahasanya “. [3]
JAWAB :ente lagi mengartikan serampangan alias tidak limiah,membuat talbis tipu muslihat.
لا خلاف فيه لواحد من هذا
diartikan :tidak bertentangan dengan salah satu dari yang telah disebut
yg benar :tidak ada perbedaan di dalamnya dengan salah satu dari ini.
arti ini selaras dengan penafsiran imam nawawi :"Dan perkara-perkara yang baru ada dua bentuk, yang pertama adalah yang menyelisihi Al-Kitab atau As-Sunnah atau atsar atau ijma', maka ini adalah bid'ah yang sesat. Dan yang kedua adalah yang merupakan kebaikan, tidak seorang ulamapun yang menyelisihi hal ini (bahwasanya ia termasuk kebaikan-pen) maka ini adalah perkara baru yang tidak tercela"(Tahdziib Al-Asmaa' wa Al-Lughoot (3/23))

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji, (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
apakah ente lebih mengerti dari imam nawawi

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah, pen) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[ Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 131]
DIA BERKATA : Amaliah maulid Nabi, tidak ada sesuatu hal yang mengharuskan untuk melakukannya di masa Nabi maupun di masa tiga kurun terbaik, karena di masa-masa itu para sahabat atau ulama salaf tidak butuh suatu acara untuk mengingat-ingat supaya lebih mencintai dan mensyukuri Nabi, sebab mereka para sahabat sudah cukup kuat keimanannya kepada Nabi, bahkan suduh cukup Nabi yang selalu berjumpa, bertemu dan menasehati para sahabat langsung ketika itu yang hidup di tengah-tengan para sahabatnya. Tidak seorang pun dai sahabat yang mengalami kesyubhatan, kecuali Nabi mencerahkannya, tidak seorang pun dari sahabat yang kesumpekan dan kesusahan kecuali Nabi melapangkannya, tidak seorang pun dari sahabat yang mengalami kerasnya hati atau was-was kecuali pada Nabi lah mereka menemukan obat dan penawarnya. Hati mereka penuh dengan keimanan, ketenangan dan kekuatan taqwa. Selalu mengikuti sunnah Nabi, mengikuti jejak Nabi dan menysukuri nikmat diwujudkannya Nabi serta selalu mengingat Nabi.
JAWAB : he, lucunya ente mengakui cara menambah iman dg nasehat tapi kemudian membuat cara yg tidak dilakukan nabi,benarlah kata ahli ilmu.
" Jika manusia merasa dirinya lemah, hina, dan tidak dikenal, maka mereka akan mengadakan perkumpulan-perkumpulan berkala untuk mengagungkan pemimpin mereka tanpa memperhatikan prilaku mereka. Pengagungan itu tidaklah berat bagi jiwa yang lemah. Tidak diragukan bahwa pengagungan yang hakiki adalah dengan mentaati orang yang diagungkan, menerima nasehatnya, melaksanakan perintahnya, dan menjunjung tinggi agamanya. Hal tersebut berlaku jika dia seorang Rasul. Jika dia seorang raja, maka dengan cara mengabdi kepadanya."
[ Fatawa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim, III, 54-56 ].
DIA BERKATA : Keadaan seperti ini terus berlangsung hingga masa tabi’in, sehingga mereka sama sekali tidak memikirkan atau bahkan tidak terlintas untuk mengadakan suatu acara agar memberikan motivasi dalam mencintai dan mensyukuri nikmat diutusnya Nabi.
JAWAB : he..coba tanya,bagaimana mereka memotivasi diri setelah wafat nabi,apakah dg maulid?kalau tidak,mengapa tidak pakai cara mereka? apakah karena mereka tiga generasi utama pasti terjamin imannya?,sedangkan iman mereka naik turun juga, dari Kalangan tabi’ut Tabi’in, di antaranya:
Abdurrahman bin ‘Amru al-‘Auzaa’i (wafat tahun 157 H) menyatakan,
الإِيْمِانُ قَوْل وَ عَمَلٌ يَزِيْدُ وَ يَنْقُصُ فَمَنْ زَعَمَ أَنَّ الإِيْمِانَ لاَ يَزِيْدُ وَ لاَ يَنْقُصُ فَاحْذَرُوْه فَإِنَّهُ مُبْتَدِعٌ
“Iman adalah perkataan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Siapa yang meyakini iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang maka berhati-hatilah terhadapnya karena ia adalah seorang ahli bid’ah.”Diriwayatkan al-Aajuuri dalam kitab asy-Syari’at hlm 117.]
Beliau juga ditanya tentang iman, “Apakah bisa bertambah?” Beliau menjawab, “Iya, hingga menjadi seperti gunung.” Beliau ditanya lagi, “Apakah bisa berkurang?” Beliau rahimahullah menjawab, “Iya, hingga tidak tersisa sedikitpun darinya”.[Diriwayatkan al-Laalakai dalam Ushul I’tiqaad 5/959.]
DIA BERKATA : Kenapa Ibnu Utsaimin tidak mau menyebut perkara itu bid’ah padahal ia meyakini itu perkara baru dalam urusan agama dan tak ada dalil sahihnya ?? terlebih dengan lantang al-Albani dan Bakar Abu Zaid mengakui bahwa hal itu memang bid’ah yang sesat. Apa sebab Ibnu Utsaimin menyebut bid’ah pada persoalan maulid? Padahal kasusnya sama dengan kasus di atas?
JAWAB : kalau gak tau tanya jangan menghukumi,jangan juga bertanya sambil menghukumi di atas kejahilan.
kaidahnya jelas, Imam As Suyuthi mengatakan dalam Al Asybah wan Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, Juz 1, hal. 285.)
itulah mengapa syekh utsaimin tidak membid'ahkan.
sedangkan al-Albani dan Bakar Abu Zaid menggunakan tarjih salh satu pendapat,sebagaimana Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
DIA BERKATA : para imam masjid di haramain (Makkah dan Madinah) seperti syaikh Abdurrahman Sudais, syaikh Husain bin Abdul Aziz Aalu syaikh, syaikh Ali Al-Hudzaifi dan lainnya, mereka di dalam shalat tarawikh selalu menentukan bacaan Al-Quran di setiap roka’atnya sampai pada hari ke dua puluh tuju atau dua puluh Sembilan, mereka mengkhatamkan Al-Quran, ini mereka lakukan berulang-ulang setiap tahunnya, padahal tidak ada yang melakukannya di tiga kurun terbaik. Demikian juga membaca doa khatam Al-Quran di setiap akhir malam Ramadhan atau malam ke dua puluh sembilannya pada setiap tahunnya. Hal ini merupakan taqyid atau pengkhususan ibadah dan perkara baru yang tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf sepanjang tiga kurun terbaik.
JAWAB : INI TUDUHAN,sedangkan dalam islam menuduh harus mengajukan bukti.mana bukti beliau2 mengkhususkan,pernahkah beliau berkata atau ente tanya ke dia ? apakah melakukan berkali2 berarti mengkhususkan?.apalagi dalam sholat ada tempat khusus baca qur'an tanpa batasan,yg melarang silahkan ajukan bukti.
ibnu Taimiyah berkata, “Dalam shalat tarawih disunnahkan untuk mengkhatamkan Al Quran kala itu. Inilah yang disepakati oleh para ulama bahkan itulah bagian dari maksud tarawih. Tujuannya adalah supaya kaum muslimin bisa mendengarkan Al Quran seluruhnya di bulan Ramadhan. Karena bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Quran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang begitu semangat melakukan kebaikan. Beliau lebih bertambah semangat lagi di bulan Ramadhan, saat itu pula Jibril mengajari beliau Al Quran.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 122-123).

Kamis, 30 Oktober 2014

SYEKH UTSAIMIN TIDAK KONSISTEN ATAU IBNU AL KATIBIY YANG JAHIL


dia berkata : sejak kapan wahabi sedikit legowo dengan mengakui tidak semua yang tidak dilakukan salaf otomatis bid’ah ? atau ini hanya taqiyyah mereka saja ketika mentok berhujjah ?
JAWAB : he,sejak kapaan?Pertanyaan terkonyol yg penah ana dengar,kalo idrus ramli denger akan ngakak,he..ente gak tahu bukan berarti gak ada,itu karena kejahilan dan terlalu bernafsu menyalahkan oRang lain.
perhatikan kaidah berikut :
إذا تَرَكَ الرسول صلى الله عليه وسلم فعل عبادة من العبادات مع كون موجبها وسببها المقتضي لها قائمًا ثابتًا ، والمانع منها منتفيًا ؛ فإن فعلها بدعة
”Apabila Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam meninggalkan satu ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada, padahal faktor dan sebab yang menuntut dikerjakan ada, sementara faktor penghalangnya tidak ada, maka melaksanakan ibadah tersebut adalah bid’ah”.
Ada dua kata kunci di sini, yaitu :
1.          Keberadaan faktor dan sebab yang menuntut dilakukannya amalan tersebut.
2.          Ketiadaan faktor penghalang untuk mengerjakan amalan tersebut.
Kaidah turunan yang lebih luas lagi adalah :
كل عبادة من العبادات ترك فعلها السلف الصالح من الصحابة والتابعين وتابعيهم أو نقلها أو تدوينها في كتبهم أو التعرض لها في مجالسهم فإنها تكون بدعة بشرط أن يكون المقتضي لفعل هذه العبادة قائمًا والمانع منه منتفيًا
”Setiap ibadah dari jenis-jenis ibadah yang ada yang tidak dilakukan oleh ­as-salafush-shaalih dari kalangan shahabat, tabi’in, dan tabi’ut-tabi’in; atau mereka tidak menukilnya (tidak meriwayatkannya) atau tidak menukilnya dalam kitab-kitab mereka, atau tidak pernah menyinggung masalah tersebut dalam majelis-majelis mereka; maka jenis ibadah tersebut adalah bid’ah dengan syarat faktor penuntut untuk mengerjakan ibadah tersebut ada dan faktor penghalangnya tidak ada.
soal maulid :  Maulid Nabi. Jika kita ditanya : ”Apakah hal itu dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (atau jaman shahabat setelah Nabi wafat) ?”. Jawabannya : Tidak. Apakah ini disebut bid’ah ? Jawabannya adalah : Ya. Mengapa ? Karena faktor pendorong dan sebab untuk dilakukan di jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam ada. Juga, faktor penghalangnya pun tidak ada. Namun realitas menyatakan bahwa Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya tidak melakukannya. Apa artinya ? Artinya, maulid Nabi bukan merupakan amalan yang teranggap dalam syari’at secara asal. Jika ada yang mengatakan : ”Kami melakukannya dengan tujuan (faktor pendorong) untuk meramaikan syi’ar-syi’ar Islam dan sebagai wujud rasa syukur kami kepada beliau shallallaahu ’alaihi wasallam”. Jika memang itu faktor pendorong Anda, maka kami jawab : ”Bukankah faktor pendorong yang sama sangat mungkin ada pada jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya serta tidak ada halangan bagi mereka untuk melakukannya ? Namun ternyata mereka tidak melakukannya !!. Jadi, itu merupakan amalan bid’ah. Bukan teranggap sebagai kemaslahatan dalam syari’at.
sebagaimana diterangkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaaniy dalam kitab Qawaaidu Ma’rifatil-Bida’.
dia berkata :Ibn Baz mengatakan :
ومعلوم أن الرسولَ صلى الله عليه وسلم لم يفعله ، ولا خلفاؤه الراشدون ، ولا غيرُهم من الصحابة ـ رضوان الله على الجميع ـ ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة ، وهم أعلم الناس بالسنة ، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعةً لشرعه ممن بعدهم.
“ Dan sudah maklum bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, demikian juga para khalimah ar-Rasyidah dan para sahabat lainnya juga para tabi’in di masa-masa utama, padahal mereka lebih mengetahui sunnah Nabi, lebih sempurna dalam mencintai dan mengikuti syare’at Nabi daripada orang sesudahnya “.
Coba anda perhatikan illat hujjah Ibn Baz tersebut dalam pelarangan maulid Nabi. Secara mafhumnya Ibn Baz sama saja mengatakan, “ Para ulama salaf itu orang yang paling mengetahui tentang sunnah dan paling sempurna dalam mencintai dan mengikuti tuntunan Nabi, tapi tidak ada tuh yang melakukan praktek maulid, maka maulid adalah bid’ah “.
JAWAB : lagi-lagi nte tidak ilmiah dalam menukil, yang ada adalah
لأن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يفعله، ولا خلفاؤه الراشدون، ولا غيرهم من الصحابة رضوان الله عليهم، ولا التابعون لهم بإحسان في القرون المفضلة، وهم أعلم الناس بالسنة، وأكمل حباً لرسول الله صلى الله عليه وسلم ومتابعة لشرعه ممن بعدهم
http://www.binbaz.org.sa/mat/8184
beliau ibn baz berkata juga : والرسول صلى الله عليه وسلم  قد بلغ البلاغ المبين، ولم يترك طريقاً يوصل إلى الجنة، ويباعد من النار إلا بينه للأمة، كما ثبت في الحديث الصحيح عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما بعث الله من نبي إلا كان حقاً عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم)) رواه مسلم في صحيحه
dan rosul telah menyampaikan keterangan yg jelas, dan tidak meninggalkan suatu jalan yg menyampaikannya ke syuga dan menjauhkannya dai neraka kecuali akan dijelaskan.seperti dalam hadits shohih dari ibnu umar bekata;rosul bersabda:tidaklah alloh mengutus nabi kecuali harus baginya menerangkan kebaikan yg diketahui dan keburukan yg diketahui  (HR.muslim)
jadi yg jadi tolak ukur beliau dalam bid'ah adalah adakah sesuatu itu yg menuntut adanya dan nabi mampu namun nabi tidak menerangkannya ?

dia ibnu alkatibi bkata :  Di mana kaitannya dalil tersebut dengan kasus yang sedang dibicarakan wahai wahabi ? masalah yang sedang dibahas adalah hukum doa khatam al-Quran di dalam sholat bukan di luar sholat.  Maka dalil anda tidak tepat sasaran sama sekali. Bahkan sudah dibantah sendiri oleh tokoh wahabi Ibnu al-Utsaimin meskipun ia juga masih bingung :
" Doa khatam Al-Quran di dalam sholat

Soal : Apa pendapat kalian tentang anggapan sebagian orang bahwa doa khatam Al-Quran adalah termasuk bid’ah ?
Jawab : Saya tidak mengetahui adanya dalil sahih yang dapat dijadikan sandaran untuk melakukan doa khatam al-Quran di dalam sholat, baik dari sunnah Nabi maupun sunnah sahabat. Maksimalnya dalam hal ini adalah perbuatan Anas bin Malik ketika hendak menyelesaikan Al-Quran, bahwa ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. Sedangkan sholat sebagaimana maklumnya tidak boleh membuat doa baru di tempat yang tidak datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, karena ada sabda Nabi “ Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat “. Adapun menyebut bid’ah pada doa khatam al-Quran di dalam sholat, maka aku tidak menyukai penyebutan bid’ah tersebut, karena ulama sunnah berbeda pendapat tentangnya “.
Komentar saya (al-Katibiy) : dalam komentar di atas, ibn al-Utsaimin mengira-ngira dalil yang ia bawakan, lalu dengan tegas ia bantah sendiri dengan mengatakan, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. Artinya Ibnu al-Utsaimin akhirnya mengakui bahwa sahabat Anas bin Malik tidak pernah melakukan doa khatam al-Quran di dalam sholat, maka dalam arti lain, dalil tersebut tidak tepat dijadikan landasan. Dan ini merupakan penipuan dalil...
JAWAB : bukan syaikh utsaimin yg bingung tapi ente yg minim ilmu dan penuh kebencian sehingga tidak adil dan ilmiah.
perkataan syeikh :akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya. ITU BUKAN KESIMPULAN,tapi bentuk keilmiahan beliau dalam menukil bukan menipu tapi ente yg penipu yg jelas terlihat.
lihat teks lebih lengkapnya :perbuatan Anas bin Malik ketika hendak menyelesaikan Al-Quran, bahwa ia mengumpulkan keluarganya dan berdoa, akan tetapi hal itu tidak dilakukannya di dalam sholatnya.
jadi yg di maksud dalam riwayat bukan kesimpulan beliau tentang hukum.
adapun yg dilarang syaikh adalah : tidak boleh membuat doa baru di TEMPAT YANG tidak datang dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam
sedangkan dalam sujud atau yg lainnya yg disitu ada nabi memberi tempat keleluasaan  maka tidak masalah.kecuali ente yg bermasalah he..
adapun perkataan ibn baz :“ Maka wajib bagi umat Islam yang berdoa, mengikat dengan syare’at dan bepegang teguh dengan yang telah didatangkan oleh syare’at saja di dalam dzikir atau selain dzikir, di dalam sholat, puasa, dzikir dan di semua ibadah. Wa Allahu al-Musta’an “.
maka benar,namun syariat itu termasuk bayan nabi dan mempunyai kaidah2 syaiat

Selasa, 28 Oktober 2014

IBNU BAZ TIDAK KONSISTEN ATAU IBNU AL KATIBIY YANG JAHIL


AL KATIBIY : Ketika Ibn Baz ditanya tentang bagaimana hukum berdoa khatam al-Quran di dalam sholat, oleh Ibn Baz dijawab :
وكان أنس رضي الله عنه إذا أكمل القرآن جمع أهله ودعا رضي الله عنه في خارج الصلاة، أما في الصلاة فلا أحفظ عنه شيئاً في ذلك ولا عن غيره من الصحابة لكن ما دام يفعله في خارج الصلاة، فهكذا في الصلاة، لأن الدعاء مشروع في الصلاة وليس بأمر مستنكر. ولا أعلم عن السلف أن أحداً أنكر دعاء ختم القرآن من داخل الصلاة، كما أنني لا أعلم من أنكره خارج الصلاة، وهذا هو الذي يعتمد عليه أنه معلوم عند السلف وقد درج عليه أولهم وآخرهم، فمن قال: إنه منكر فعليه بالدليل
“ Konon Anas Radhiallahu ‘anhu jika telah menyempurnakan al-Quran beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa di luar sholat. Adapun di dalam sholat, maka aku tidak menghafal (tidak ingat) sedikit pun dari hal itu dan juga aku tidak mengetahui dari para sahabatnya, akan tetapi selama boleh dilakukannya di luar sholat, maka demikian juga boleh dilakukan di luar sholat. Karena doa itu disyare’atkan di dalam sholat dan bukanlah perkara yang diingkari. Dan aku pun tidak mengetahui seorang pun dari ulama salaf yang mengingkari doa khatam al-Quran di dalam sholat, sebagaimana aku tidak mengetahui seorang pun yang mengikarinya jika dilakukan di luar sholat. Inilah yang maklum yang dipegang bagi ulama salaf dan hal ini (berdoa khatam Quran di luar sholat) telah menjadi rutinan sejak awal hingga akhir salaf, maka barangsiapa yang mengingkarinya, wajib ia menampilkan dalilnya “. (Silakan cek di situs resminya : http://www.binbaz.org.sa/mat/4522)
JAWAB : inilah akibat kurang teliti menerjemahkan,seharusnya
“ Konon Anas Radhiallahu ‘anhu jika telah menyempurnakan al-Quran beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa di luar sholat. Adapun di dalam sholat, maka aku tidak menghafal (tidak ingat) sedikit pun dari hal itu dan juga aku tidak mengetahui dari para sahabatnya, akan tetapi selama boleh dilakukannya di luar sholat, maka demikian juga boleh dilakukan di DALAM sholat. Karena doa itu disyare’atkan di dalam sholat dan bukanlah perkara yang diingkari. Dan aku pun tidak mengetahui seorang pun dari ulama salaf yang mengingkari doa khatam al-Quran di dalam sholat, sebagaimana aku tidak mengetahui seorang pun yang mengikarinya jika dilakukan di luar sholat. Inilah yang maklum yang dipegang bagi ulama salaf dan hal ini (berdoa khatam Quran di luar sholat) telah DIPRAKTEKKAN sejak awal hingga akhir salaf, maka barangsiapa yang mengingkarinya, wajib ia menampilkan dalilnya
AL KATIBIY : Coba perhatikan, Ibn Baz meyakini bahwa amalan berdoa khatam al-Quran di dalam sholat tidak pernah dilakukan oleh sahabat dan bahkan ulama salaf, maka seharusnya (sewajibnya) Ibn Baz mengatakan hal itu adalah bid’ah, karena jika membaca doa khatam al-Quran itu suatu kebaikan, sudah pasti para sahabat dan ulama salaf telah lebih dahulu melakukannya…inilah seharusnya yang mereka katakana, karena ini kaidah mereka. Tapi ternyata Ibn Baz membuat Qiyas dalam suatu ibadah dengan diperbolehkannya doa di luar sholat tanpa dalil satu pun. Bukankah semua ini mementang kaidah mereka sendiri ??
JAWAB : tidak semua yg tidak dilakukan salaf otomatis bid'ah,karena memang doa apapun yg baik disyariatkan dalam sholat termasuk doa khatam qur'an asal tidak mengkhususkan doa tertentu karena memang tidak ada doa khusus,
Dalil tentang hal ini adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَإِنِّى نُهِيتُ أَنْ أَقْرَأَ الْقُرْآنَ رَاكِعًا أَوْ سَاجِدًا فَأَمَّا الرُّكُوعُ فَعَظِّمُوا فِيهِ الرَّبَّ عَزَّ وَجَلَّ وَأَمَّا السُّجُودُ فَاجْتَهِدُوا فِى الدُّعَاءِ فَقَمِنٌ أَنْ يُسْتَجَابَ لَكُمْ
“Ketahuilah, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an dalam keadaan ruku’ atau sujud. Adapun ruku’ maka agungkanlah Rabb azza wa jalla, sedangkan sujud, maka berusahalah bersungguh-sungguh dalam doa, sehingga layak dikabulkan untukmu.” (HR. Muslim no. 479)
Ada ulama yang menyatakan bahwa ruku’ dan sujud adalah dua keadaan di mana seseorang tunduk dan hina di hadapan Allah, sehingga bacaan yang lebih pantas ketika itu adalah do’a dan bacaan tasbih. Oleh karena itu, terlarang membaca Al Qur’an ketika sujud dalam rangka untuk mengagungkan Al Qur’an dan untuk memuliakan yang membacanya. (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 3/91)
Salah seorang ulama Syafi’iyah, Az Zarkasyi rahimahullah berkata,
وَمَحَلُّ كَرَاهَتِهَا إذَا قَصَدَ بِهَا الْقُرْآنَ فَإِنْ قَصَدَ بِهَا الدُّعَاءَ وَالثَّنَاءَ فَيَنْبَغِي أَنْ تَكُونَ كَمَا لَوْ قَنَتَ بِآيَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ
“Yang terlarang adalah jika dimaksudkan membaca Al Qur’an (ketika sujud). Namun jika yang dimaksudkan adalah do’a dan sanjungan pada Allah maka itu tidaklah mengapa, sebagaimana pula seseorang boleh membaca qunut dengan beberapa ayat Al Qur’an” (Tuhfatul Muhtaj, 6/6, Mawqi’ Al Islam).
apalagi sudah terbukti itu pernah dilakukan oleh salaf diluar sholat,
Riwayat Anas diriwayatkan oleh Tsabit Al Banani, Qotadah, Ibnu ‘Athiyah dan selainnya,
كَانَ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ وَوَلَدَهُ ، فَدَعَا لَهُمْ
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu pernah ketika khatam Al Qur’an mengumpulkan keluarga dan anaknya, lalu Anas berdoa untuk kebaikan mereka.” (HR. Ibnul Mubarok, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Nashr, Ibnu ‘Ubaid, Ibnu Adh Dhurais, Ibnu Abi Daud, Al Faryabi, Ad Darimi, Sa’id bin Manshur, Ath Thobroni, Al Anbari. Al Haitsami katakan bahwa dalam periwayat dalam sanad Thobroni adalah tsiqoh, kredible. Syaikh Al Albani katakan bahwa dalam riwayat Ad Darimi sanadnya shahih)
adapun qiyas dalam cabang ibadah itu diperbolehkan apalagi pengkhususan tempat doa ada dalam sholat.
أن أصل العبادة لا يصح إثباته بالقياس، فلا يصح لنا أن نثبت صلاة جديدة مثلا
لو جعل الإنسان قال في وسط النهارهناك صلاتان الظهر والعصر فيجعل في وسط
الليل صلاتين العشاء والصلاة الأخري نقول هذا مردود غير مقبول، لماذا؟ لأن
أصل العبادة لا يثبت بالقياس.
Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah
itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak
boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang
mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan
ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya
dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang
tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan
dengan qiyas.
بخلاف
تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان
فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث
ترد التسمية في الوضوء فنقول بمشروعية التسمية للوضوء لذا لو جاء الإنسان
قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك
وجهه.
Lain halnya dengan cabang2 ibadah, maka terkadang kita
menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama
Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu
terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut
nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan
dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang
mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu
dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat
yang sangat beralasan”
عن الإمام أحمد رحمه الله تعالى في رواية حنبل والفضل والحربي عنه - والتي لم نقف على أسانيدها - : من جعل دعاء الختم في صلاة التراويح قبل الركوع .
وفي رواية عنه - لا يعرف مخرجها - : أنه سهل فيه في دعاء الوتر ...
انظر : " مرويات دعاء ختم القرآن " .
Imam Ahmad rahimahullah ta’ala dalam riwayat Hanbal, Fadl dan Harby –yang tidak dapat kami ketahui sanadnya- yang menjadikan doa khatam (Al-Qur’an) dalam shalat Taraweh sebelum ruku. Dalam riwayat lain darinya –yang juga tidak diketahui siapa yang meriwayatkannya- bahwa beliau membolehkan hal tersebut dalam doa witir. (Silakan lihat 'Marwiyyat Doa Khatmi Al-Qur’an'.

Senin, 27 Oktober 2014

TRADISI 'ASYURO ATAU SEPULUH MUHARROM


1)
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا. حديث صحيح (رواه الطبرانى، والبيهقى).
“Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya (dalam hal belanja dan makanan) pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun tersebut.” Hadits shahih. (HR. al-Thabarani dan al-Baihaqi).
hadits sangat lemah karena ada yg mubham tidak disebut namanya,dan ada 3 nama majhul hal yg tidak diketahui keadaannya yaitu abul husain,muhammad ibn ahmad,ahmad ibn yahya.
dari jalur imam thobroni,ada 2 perawi matruk yg ditinggalkan haditsnya yaitu muhammad ibn ismail dan abdulloh ibn salamah sebagaimana dikatakan oleh abu nu'aim al asbahani dan abu zur'ah.
adapun perkataan al-Imam al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ مَنْصُوْرٍ: قُلْتُ لأَحْمَدَ: هَلْ سَمِعْتَ فِي الْحَدِيْثِ: ( مَنْ وَسَّعَ عَلىَ أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ) فَقَالَ: نَعَمْ رَوَاهُ سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ جَعْفَرٍ اْلأَحْمَرِ عَنْ إِبْرَاهِيْمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ الْمُنْتَشِرِ وَ كَانَ مِنْ أَفْضَلِ أَهْلِ زَمَانِهِ أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ أَوْسَعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ فقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: جَرَّبْنَاهُ مُنْذُ خَمْسِيْنَ سَنَةً أَوْ سِتِّيْنَ سَنَةً فَمَا رَأَيْنَا إِلاَّ خَيْرًا. (الإمام الحافظ ابن رجب الحنبلي، لطائف المعارف، ص ١٣٧-١٣٨).
“Ibn Manshur berkata, “Aku berkata kepada Imam Ahmad, “Apakah Anda mendengar hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama setahun?” Ahmad menjawab, “Ya. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Sufyan bin Uyainah dari Ja’far al-Ahmar, dari Ibrahim bin Muhammad, dari al-Muntasyir –orang terbaik pada masanya-, bahwa ia menerima hadits, “Barangsiapa yang menjadikan kaya keluarganya pada hari Asyura, maka Allah akan menjadikannya kaya selama satu tahun penuh”. Sufyan bin Uyainah berkata, “Aku telah melakukannya sejak 50 atau 60 tahun, dan selalu terbukti baik.” (al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal. 137-138).
maka dijawab : disana tidak ada tashih sama sekali,cuma imam ahmad pernah mendengar saja, masih dalam baris selanjutnya disebutkan :
وقول حرب أن أحمد لم يره شيئا إنما أراد به الحديث الذي يروى مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم فإنه لا يصح إسناده وقد روي من وجوه متعددة لا يصح منها شيء وممن قال ذلك محمد بن عبد الله بن عبد الحكم
dan perkataan harb bahwa sesungguhnya imam ahmad tidak memandangnya adalah sesuatu,adalah yg dimaksud hadits yg marfu' kepada nabi.maka sejatinya sanadnya tidak shohih,dan memang telah diriwayatkan dg banyak jalan namun tidak ada yg sah satupun,diantara yg berpendapat demikian adalah imam muhammad ibn abdillah ibn abdil hakam.
imam al uqaili berkata :
( ولا يثبت في هذا عن النبي صلى الله عليه وسلم شيء إلا شيء يروى عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر مرسلاً به )
tidak benar ini dari nabi satupun kecuali yg diriwayatkan dari ibrohim ibn ahmad ibn al muntasyir itupun mursal.
adapun perkataan al iraqi bahwa haditsnya saling menguatkan,maka itu tidak benar karena syaratnya adalah tidak sangat lemah dan mu'allah berpenyakit,sedangkan dalam hal inj tidak bisa terlaksana sebagaimana dikatakan imam al ma'lami dalam kitab hasyiyah al fawaid al majmu'ah hal 100,beliau berkata :
( بل يوهن بعضها بعضاً ) justu hadits-haditsnya saling melemahkan.
bahkan imam as sakhowi dalam kitab al maqosid al hasanah hal 378,berkata:hadits-hadits itu buatan para musuh sahabat husain ibn ali.
2)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. رواه أحمد. قال الحافظ الدمياطي ورجاله رجال الصحيح.
Dari Abu Hurairah, bahwa seorang laki-laki mengeluhkan hatinya yang keras kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu beliau bersabda: “Usaplah kepala anak yatim, dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad [9018]. Al-Hafizh al-Dimyathi berkata: “Para perawinya adalah para perasi hadits shahih.” Lihat, al-Hafizh al-Dimyathi, al-Matjar al-Rabih fi Tsawab al-‘Amal al-Shalih, hlm 259 [1507]).
hadits shohih namun gak ada hubungan pengkhususan dg bulan muharrom.

Minggu, 26 Oktober 2014

DALIL DOA AWAL DAN AKHIR TAHUN


1.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ هِشَامٍ قَالَ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يَتَعَلَّمُونَ هَذَا الدُّعَاءَ إِذَا دَخَلَتِ السَّنَةُ أَوِ الشَّهْرُ: " اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمَنِ، وَجَوَازٍ مِنَ الشَّيْطَانِ ". رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، قال الهيثمي في مجمع الزوائد: وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ.
Abdullah bin Hisyam r.a. telah berkata; 'Para sahabat Nabi s.a.w mengajarkan supaya dibacakan doa ini apabila masuknya sesuatu tahun atau bulan iaitu;
ُ: " اللَّهُمَّ أَدْخِلْهُ عَلَيْنَا بِالْأَمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلَامَةِ وَالْإِسْلَامِ، وَرِضْوَانٍ مِنَ الرَّحْمَنِ، وَجَوَازٍ مِنَ الشَّيْطَانِ "
Diriwayatkan dalam al-Awsat oleh Imam al-Tabarani (dan Mu'jam al-Sahabat oleh Imam al-Baghawi). Kata al-Haithami dalam al-Majma' al-Zawaid: Sanadnya Hasan.
JAWAB : HADITS INI LEMAH KARENA ADA RISYDIN IBN SA'D DIA PERAWI LEMAH SEPERTI DIKATAKAN IBNU HAJAR DAN AL BUKHORI,ADAPUN PERKATAAN AL HAITSAMI TERTOLAK KARENA ITU HANYA BISA DALAM MASALAH ARRIQOQ(BUDAK) SAJA BUKAN YG LAIN. DAN KARENA MENYELISIHI JUMHUR ULAMA JARH WA TA'DIL,SEDANG IMAM JARH WA TA'DIL BERKATA:DIA LEMAH,TIDAK DITULIS HADITSNYA.
2.MENGQIYASKAN DOA MELIHAT HILAL
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ: " اَللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ رَبِّيْ وَرَبُّكَ اللهُ " رواه الدارمي والترمذي وقال: حديث حسن
Dari Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal (bulan pada tanggal 1, 2 dan 3), maka beliau berdoa: “Ya Allah, perlihatlah bulan ini kepada kami dengan kebahagiaan, keimanan, keselamatan dan keislaman. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah.” (HR. al-Darimi [1730] dan al-Tirmidzi [3451]. Al-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan”.).
JAWAB : HADITS DHOIF,KARENA SULAIMAN IBN SUFYAN PERAWI LEMAH SEPERTI DIKATAKAN IBNU HAJAR,AL BUKHORI BERKATA HADITSNYA MUNKAR,YAHYA IBN MA'IN BERKATA DIA TIDAK TSIQOH
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : " اَللهُ أَكْبَرْ ، اَللّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِاْلأَمْنِ وَاْلإِيْمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلاَمِ ، وَالتَّوْفِيْقِ لِمَا تُحِبُّ وَتَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللهُ ". رواه الدارمي
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal, maka berdoa: “Allah Maha Besar. Ya Allah, perlihatkanlah bulan ini kepada kami dengan keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan pertolongan pada apa yang Engkau cintai dan Engkau ridhai. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Allah.” (HR. al-Darimi [1729]).
JAWAB :HADITS LEMAH KARENA ADA ABDURRAHMAN IBN UTSMAN DIA LEMAH KATA ABU HATIM ARROZI
عَنْ قَتَادَةَ ، أَنَّهُ بَلَغَهُ ، أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : " هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، هِلاَلُ خَيْرٍ وَرُشْدٍ ، آَمَنْتُ بِاللهِ الَّذِيْ خَلَقَكَ " ، ثلاث مرات ، ثم يقول : " اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ ذَهَبَ بِشَهْرِ كَذَا وَجَاءَ بِشَهْرِ كَذَا ". رواه ابو داود
Dari Qatadah, bahwa telah sampai kepadanya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila melihat hilal, maka berdoa: “Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Semoga bulan ini membawa kebaikan dan petunjuk. Aku beriman kepada Allah yang telah menciptakanmu.” Sebanyak tiga kali, kemudian berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah membawa pergi bulan ini, dan datang dengan bulan ini.” (HR. Abu Dawud [5092]).
JAWAB : HADITS MURSAL,LEMAH KARENA QOTADAH IBN DA'AMAH TIDAK BERJUMPA NABI
KALAU PUN BOLEH ITU HANYA DALAM CABANG IBADAH DIBAWAH POKOK IBADAH YG JELAS SEDANG DOA ADALAH POKOK IBADAH >أن أصل العبادة لا يصح إثباته بالقياس، فلا يصح لنا أن نثبت صلاة جديدة مثلا
لو جعل الإنسان قال في وسط النهارهناك صلاتان الظهر والعصر فيجعل في وس
ط
الليل صلاتين العشاء والصلاة الأخري نقول هذا مردود غير مقبول، لماذا؟ لأن
أصل العبادة لا يثبت بالقياس.
Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah
itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak
boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang
mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan
ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya
dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang
tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan
dengan qiyas.
بخلاف
تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان
فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث
ترد التسمية في الوضوء فنقول بمشروعية التسمية للوضوء لذا لو جاء الإنسان
قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك
وجهه.
Lain halnya dengan detail ibadah, maka terkadang kita
menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama
Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu
terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut
nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan
dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang
mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu
dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat
yang sangat beralasan”



 Pendapat Imam Syafi'i tentang Qiyas (Analogi)

Imam Syafi'i berkata tidak ada Qiyas (analogi) dalam urusan Ibadah.


Dan berkata imam Ahmad :

Aku pernah bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas, maka beliau menjawab ketika darurat...

  Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata :

Dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil (Nash - nash) dan

tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam Qiyas dan Ro'yu (pikiran).
(Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz IV hlm. 272)

Minggu, 19 Oktober 2014

AKAD NIKAH DI MASJID SUNNAH ATAU BID'AH ?

dalil yang dijadikan sandaran adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
"Umumkanlah pernikahan ini dan jadikan ia di masjid-masjid serta tabuhlah rebana atasnya." (Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 37/214)
Namun menurut ulama yang lain, bahwa hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (1089) di atas adalah dhaif. Bahkan Imam al-Tirmidzi sendiri yang mendhaifkannya, juga Ibnu Hajar al-'Asqalani, Syaikh Al-Albani dan selainnya.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/10/05/20998/sunnahkah-melangsungkan-akad-nikah-di-masjid/#sthash.LoVRVqb3.dpuf
dalil yang dijadikan sandaran adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
"Umumkanlah pernikahan ini dan jadikan ia di masjid-masjid serta tabuhlah rebana atasnya." (Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 37/214)
Namun menurut ulama yang lain, bahwa hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (1089) di atas adalah dhaif. Bahkan Imam al-Tirmidzi sendiri yang mendhaifkannya, juga Ibnu Hajar al-'Asqalani, Syaikh Al-Albani dan selainnya.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/10/05/20998/sunnahkah-melangsungkan-akad-nikah-di-masjid/#sthash.LoVRVqb3.dpuf
dalil yang dijadikan sandaran adalah hadits Aisyah Radhiyallahu 'Anha, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
"Umumkanlah pernikahan ini dan jadikan ia di masjid-masjid serta tabuhlah rebana atasnya." (Lihat: Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah: 37/214)
Namun menurut ulama yang lain, bahwa hadits yang diriwayatkan Imam al-Tirmidzi (1089) di atas adalah dhaif. Bahkan Imam al-Tirmidzi sendiri yang mendhaifkannya, juga Ibnu Hajar al-'Asqalani, Syaikh Al-Albani dan selainnya.
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2012/10/05/20998/sunnahkah-melangsungkan-akad-nikah-di-masjid/#sthash.LoVRVqb3.dpuf
 Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah di masjid, hadisnya berbunyi,
” أعلنوا هذا النكاح و اجعلوه في المساجد ، و اضربوا عليه بالدفوف “

“Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.” (HR. At-Tirmidzi 1:202, Baihaqi 7:290)

Hadis dengan redaksi lengkap sebagaimana teks di atas statusnya adalah dhaif (lemah). Karena dalam sanadnya ada seorang perawi bernama Isa bin Maimun Al-Anshari yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama, di antaranya Al-Hafidz Ibnu Hajar, Al-Baihaqi, Al-Bukhari, dan Abu Hatim.

Akan tetapi, hadis ini memiliki penguat dari jalur yang lain hanya saja tidak ada tambahan “..Adakan akad tersebut di masjid..”. Maka potongan teks yang pertama untuk hadis ini, yang menganjurkan diumumkannya pernikahan statusnya shahih. Sedangkan potongan teks berikutnya statusnya mungkar. (As-Silsilah Ad-Dha’ifah, hadis no.978).
Karena hadisnya dlaif maka anjuran pelaksanaan akad nikah di masjid adalah anjuran yang tidak berdasar. Artinya syariat tidak memberikan batasan baik wajib maupun sunnah berkaitan dengan tempat pelaksanaan akad nikah.
Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan, “Siapa yang meyakini adanya anjuran melangsungkan akad nikah di masjid memiliki nilai lebih dari pada di tempat lain maka dia telah membuat bid’ah dalam agama Allah.” (Adab Al-Khitbah wa Al-Zifaf, Hal.70).
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 18/110,111.
Dan mereka (juga) mengatakan: “Bukan merupakan hal yang disunnahkan melangsungkan akad nikah di masjid, dan terus menerus mengadakan akad nikah dalam masjid dan keyakinan bahwa hal itu sunnah adalah salah satu bentuk bid’ah. Sebagaimana telah ada ketetapan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami, yang tidak ada (ajarannya) maka ia tertolak.”
Kalau sekiranya menghadiri akad nikah adalah para wanita yang bersolek dan anak-anak yang (membuat) gaduh di masjid, maka pelaksanaan akad nikah di masjid dilarang, karena adanya keburukan.
Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Abdurrazzaq Afifi, Syekh Abullah bin Gudyan
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 18/ 111, 112.
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Saya belum mengetahui asal anjuran pelaksanaan akad nikah di Masjid. Tidak ada dalil dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam. Akan tetapi kalau kebetulan pihak laki-laki dan wali berada di masjid, lalu diadakan akad, maka hal itu tidak mengapa, karena hal ini bukan jenis jual beli. Telah diketahui bahwa jual beli dalam masjid diharamkan. Akan tetapi akad nikah bukan (jenis) jual beli. Maka kalau diadakan di masjid tidaklah mengapa. Akan tetapi menganjurkan hal itu hingga mengatakan, keluarlah kalian dari rumah menuju masjid, atau mereka saling sepakat melangsungkan akad (nikah) di masjid untuk, hal ini membutuhkan dalil, dan saya belum mengetahui dalil hal itu." (Liqa Bab Al-Maftuh, 167/ soal no. 12)

hukum menabuh rebana di masjid


yang membolehkan. berdasarkan hadits nabi ;
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ، وَاجْعَلُوهُ فِي المَسَاجِدِ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan, dan lakukanlah di masjid, serta (ramaikan) dengan memukul duf (rebana).” (Sunan Turmudzi, no.1089)
namun hadits ini lemah karena ada isa ibn maimun lemah kata ibnu hajar
bencongnya laki-laki penabuh rebana
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata: “Mereka berdalil dengan lafadz hadits واضربوا untuk mengatakan bahwa bolehnya bermain duff tidak khusus bagi wanita. Namun hadits-hadits tersebut dhaif semua. Hadits yang kuat menunjukkan hal ini khusus bagi wanita, sehingga lelaki tidak boleh menyerupai mereka berdasarkan keumuman larangan menyerupai wanita” (Fathul Baari, 9/185)

SYUBHAT IDRUS : MAN ROBBUKA ?


DIA BERKATA : apabila kita mengkaitkannya dengan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Misalnya dengan hadits shahih berikut ini:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ ( يُثَبِّتُ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ) قَالَ نَزَلَتْ فِي عَذَابِ الْقَبْرِ فَيُقَالُ لَهُ مَنْ رَبُّكَ فَيَقُولُ رَبِّيَ اللهُ وَنَبِيِّي مُحَمَّدٌ صلى الله عليه وسلم. (رواه مسلم 5117).
Dari al-Barra' bin Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Allah berfirman, "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu", (QS. Ibrahim : 27). Nabi J bersabda, "Ayat ini turun mengenai azab kubur. Orang yang dikubur itu ditanya, "Siapa Rabb (Tuhan)mu?" Lalu dia menjawab, "Allah Rabbku, dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam Nabiku." (HR. Muslim, 5117).
Coba Anda perhatikan. Hadits di atas memberikan pengertian, bahwa Malaikat Munkar dan Nakir akan bertanya kepada si mayit tentang Rabb (Tuhan Rububiyyah), bukan Ilah (Tuhan Uluhiyyah, karena kedua Malaikat tersebut tidak membedakan antara Rabb dengan Ilah atau antara Tauhid Uluhiyyah dengan Tauhid Rububiyyah. Seandainya pandangan Ibn Taimiyah dan Wahabi yang membedakan antara Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah itu benar, tentunya kedua Malaikat itu akan bertanya kepada si mayit dengan, "Man Ilahuka (Siapa Tuhan Uluhiyyah-mu)?", bukan "Man Rabbuka (Siapa Tuhan Rububiyyah-mu)?" Atau mungkin keduanya akan menanyakan semua, "Man Rabbuka wa man Ilahuka? Ternyata pertanyaan tersebut tidak terjadi. Jelas ini membuktikan kesesatan Tauhid ala Wahabi."
JAWAB : lafadz Rob dan ilah adalah seperti faqir dan miskin, kaidahnya
وَ إِذَا اجْتَمَعَ افْتَرَقَ الإِسْمَانِ إِذَا افْتَرَقَ اجْتَمَعَ
“Dua isim yang jika tidak terletak dalam satu tempat/dalil maka mencakup makna keduanya,Dan jika terletak dalam satu tempat/dalil maka memberikan makna yang tidak dicakup makna lainnya”.
dan Rob disini maksudnya ilah seperti dijelaskan dalam hadits shohih yg lain dalam hal yg sama yaitu
عن البراء بن عازب، رضي الله عنه؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "المسلم إذا سئل في القبر، شهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله، فذلك قوله: { يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ }
dari Al Bara' bin 'Azib bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Seorang muslim apabila ditanya di dalam kubur, maka akan bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad utusan Allah. itulah firman Allah yang berbunyi: "Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat." (Ibrahiim: 27). HR.BUKHORI
bukti perbedaan tauhid rububiyyah dan uluhiyyah adalah
1) dari sisi bahasa beda Dalam kitab Ash Shihah fi Lughah diterangkan bahwa alaha artinya ‘abada (menyembah). Dalam Mukhtar Ash Shihah diterangkan bahwa alaha-ya’lahu artinya ‘abada (menyembah). Sedangkan kata ilah itu mengikuti pola/rumus fi’al yang bermakna maf’ul (objek). Sehingga ilah bermakna
ma’luh/objek yang disembah (lihat Mukhtar Ash Shihah bab Hamzah.)
Ibnul Atsîr rahimahullah menyatakan, “Kata Rabb secara bahasa diartikan pemilik, penguasa, pengatur, pembina, pengurus dan pemberi nikmat. Kata ini tidak boleh digunakan dengan tanpa digandengkan (dengan kata yang lain) kecuali untuk Allâh Azza wa Jalla (semata), dan kalau digunakan untuk selain-Nya maka (harus) diiringi (dengan kata lain). Misalnya: rabbu kadza (pemilik barang ini)[An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar 2/450]
2) dalam ayat {قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلَهِ النَّاسِ} kalau maknanya sama kenapa disandingkan ?
3) ilah maknanya ma'luh isim maf'ul seperti halnya kitab maknanya maktub sedang rob maknanya راب isim fa'il,maka tidak boleh menafsirkan isim fa'il dg isim maf'ul
4) orang kafir menamakan patung mereka dg ilah {وَمَا نَحْنُ بِتَارِكِي آلِهَتِنَا عَنْ قَوْلِك}
5) darah muslim terjaga dg kalimat لا إله إلا الله bukan لا رب إلا الله

Sabtu, 18 Oktober 2014

SYUBHAT TAUHID RUBUBIYYAH IDRUS RAMLI


DIA BERKATA : Apabla seseorang telah bertauhid rububiyyah, berarti bertauhid secara uluhiyyah. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ أَرْبَابًا
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai arbab (tuhan-tuhan). (QS. Ali-Imran : 80).
Ayat di atas menegaskan bahwa orang-orang Musyrik mengakui adanya Arbab (tuhan-tuhan rububiyyah) selain Allah seperti Malaikat dan para nabi. Dengan demikian, berarti orang-orang Musyrik tersebut tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dan mematahkan konsep Ibn Taimiyah dan Wahhabi, yang mengatakan bahwa orang-orang Musyrik mengakui Tauhid Rububiyyah. Seandainya orang-orang Musyrik itu bertauhid secara rububiyyah seperti keyakinan kaum Wahabi, tentu redaksi ayat di atas berbunyi:
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ آَلِهَةً
Dengan mengganti kalimat arbaban dengan aalihatan.”
JAWAB : TIDAKLAH seseorang telah bertauhid rububiyyah, berarti bertauhid secara uluhiyyah.Allah ta’ala berfirman :
وما يؤمن أكثرهم بالله الا وهم مشركون
, “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 106).
قال يسألهم من خلقهم ومن خلق السماوات والأرض فيقولون الله فذلك ايمانهم وهم يعبدون غيره
Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/494])
soal ayat
وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّيْنَ أَرْبَابًا
memang tafsirnya adalah آَلِهَةً
dalam tafsir at-thobari juz 6 hal 549 disebutkan :
"أن يتخذوا الملائكة والنبيين أربابًا" = يعني بذلك آلهة يعبدون من دون الله
ayat أن يتخذوا الملائكة والنبيين أربابً maksudnya sesembahan آلهة yg mereka sembah selain alloh.
DIA BERKATA : Konsep Ibn Taimiyah yang mengatakan bahwa orang-orang kafir sebenarnya mengakui Tauhid Rububiyyah, akan semakin fatal apabila kita memperhatikan pengakuan orang-orang kafir sendiri kelak di hari kiamat seperti yang dijelaskan dalam al-Qur'an al-Karim:
تَاللهِ إِنْ كُنَّا لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ (97) إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ (98)
Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan (Rabb) semesta alam. (QS. al-Syu'ara' : 97-98).”
Coba Anda perhatikan. Ayat tersebut menceritakan tentang penyesalan orang-orang kafir di akhirat dan pengakuan mereka yang tidak mengakui Tauhid Rububiyyah, dengan menjadikan berhala-berhala sebagai arbab (tuhan-tuhan rububiyyah)
JAWAB : ini juga sama karena anda meninggalkan tafsir ulama' dan berpegang teguh dg tafsir hawa nafsu.
dalam tafsir at-thobari juz 19 hal 368 disebutkan :
قال ابن زيد، في قوله:( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) قال: لتلك الآلهة.
berkata ibnu zaid tentang firman alloh ( إِذْ نُسَوِّيكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِينَ ) dia berkata : itu adalah maksudnya sesembahan آلهة
DIA BERKATA : “Pendapat Ibn Taimiyah yang mengkhususkan kata Uluhiyyah terhadap makna ibadah bertentangan pula dengan ayat berikut ini:
يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ، مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلاَّ أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. (QS. Yusuf : 39-40).
Anda perhatikan, Ayat di atas menjelaskan, bagaimana kedua penghuni penjara itu tidak mengakui Tauhid Rububiyyah dan menyembah tuhan-tuhan (arbab) selain Allah.
JAWAB : anda belum sadar juga bahwa anda pengikut hawa nafsu.
dalam tafsir al baghowi juz 4 hal 242 disebutkan :
{ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ } أي: آلهة شتَّى
maksud tuhan-tuhan yang bermacam-macam adalah sesembahan yg bermacam-macam

BENARKAH IBNU TAIMIYYAH ULAMA PERTAMA YANG MELARANG TAWASSUL ???


terdapat lebih dari satu pendapat para ulama terutama dalam mazhab Hanafi yang melarang hal tersebut.
Al-Allamah Al-Haskafi dalam kitab Ad-Dur Al-Mukhtar, 5/715 berkata, ‘Dalam kitab At-Tatarkhoniyah Ma’ziyyah Al-Muntaqa’, dari Abu Yusuf, dari Abu Hanifah, beliau berkata, ‘Tidak selayaknya seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengannya (Nama Allah). Doa yang diizinkan dan diperintahkan dalam masalah ini adalah apa yang berlandaskan firman Allah Ta’ala, "Kepunyaan Allah Nama-nama nan indah, maka berdoalah dengan-Nya." Redaksi yang sama terdapat dalam kitab Al-Muhith Al-Burhani, 5/141.
Al-Allamah Al-Kasani rahimahullah dalam Kitab Badai As-Shanai, 5/126 berkata, ‘Dimakruhkan seseorang mengatakan dalam doanya, ‘Saya memohon kepada-Mu dengan haknya para Nabi-Mu dan para Rasul-Mu dan dengan haknya si fulan. Karena tidak hak seorang pun kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Agung urusan-Nya."
Dengan redaksi yang sama terdapat dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq, karangan Az-Zaila’i, 6/31, pendapat tersebut dinisbatkan kepada tiga orang, yakni Abu Hanifah dan kedua temannya, yakni Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Al-Inayah Syarhu Al-Hidayah karangan Al-Baharti, 10/64. Fathul Qadir karangan Ibnu Humam, 10/64, dan Duror Al-Hukkam, 1/321, Majma Al-Anhar Syarh Multaqa Al-Abhar, 2554.
Sayyid Nukman Khoirudin Al-Alusi Al-Hanafi rahimahullah dalam kitab Jalaul Ainain, 516-517 berkata, "Dalam semua redaksi mereka dinyatakan bahwa perkataan orang yang bertawasul, ‘Dengan hak para Nabi dan para wali, dan dengan hak Baitul Haram dan Masy’aril haram dimakruhkan ke arah yang diharamkan. Pengharaman ini seperti hukum (orang yang bertawasul) dengan api menurut Muhammad. Dan sebabnya adalah karena tidak ada hak untuk makhluk kepada khalik.’
Silahkan lihat apa yang dinukil oleh Sayid Nu'man dari Allamah As-Suwaidy As-Syafi’i, Jalaul Ainain, 505 dan setelahnya.

SYAIKH UTSAIMIN YG KONTRADIKTIF ATAU IDRUS RAMLI YG PENGKHIANAT ?


DIA IDRUS MENUDUH : al-Utsaimin yang begitu muluk-muluk dalam risalah kecil tentang bid’ah yang ditulisnya berjudul al-Ibda’ fi Kamal Syar’i wa Khathar al-Ibtida’ , berikut ini:
قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ. (محمد بن صالح العثيمين، الإِبْدَاع في كَمَال الشَّرْع وخَطَرِ الابتداع، ص/13).
“Hadits semua bid’ah adalah sesat, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Utsaimin dalam al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13).
Dalam kitabnya yang lain Syeh al ‘Utsaimin berkata :
اَنَّ مِثْلَ هَذَا التَّعْبِيْرِ (كُلُّ شَيْئٍ) عَامٌّ قَدْ يُرَادُ بِهِ الْخَاصُّ, مِثْلُ قَوْلِهِ تَعَالَى عَنْ مَلَكَةِ سَبَأٍ : (وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْئٍ) وَقَدْ خَرَجَ شَيْئٌ كَثِيْرٌ لَمْ يَدْخُلْ فِي مُلْكِهَا مِنْهُ شَيْئٌ مِثْلُ مُلْكِ سُلَيْمَانَ.
Sesungguhnya redaksi seperti ini “Kullu Syaiin” (segala sesuatau) adalah kalimat general yang terkadang dimaksudkan pada makna terbatas, seperti firman Alloh tentang ratu Saba’; “Ia dikaruniai segala sesuatu”. (QS, An Naml: 23). Sedangkan banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan Nabi Sulaiman. (Syeh al ‘Utsaimin, Syarah al Aqidah al Wasithiyyah, hal 336)
JAWAB : INI KARENA 2 HAL YAITU KETIDAKILMIAHAN (KHIANAT) IDRUS DAN KEBODOHANNYA
1) khianat ilmiah karena syeikh utsaimin tidak ngomong seperti itu,banyak potongan2nya,redaksi aslinya : قوله «كل بدعة» كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم «كل» والذي نطق بهذه الكلية صلوات الله وسلامه عليه يعلم مدلول هذا اللفظ وهو أفصح الخلق، وأنصح الخلق للخلق لا يتلفظ إلا بشيء يقصد معناه. إذن فالنبي صلى الله عليه وسلّم حينما قال: «كل بدعة ضلالة» كان يدري ما يقول، وكان يدري معنى ما يقول، وقد صدر هذا القول منه عن كمال نصح للأمة.
وإذا تم في الكلام هذه الأمور الثلاثة ـ كمال النصح، والإرادة، وكمال البيان والفصاحة وكمال العلم والمعرفة، دل ذلك على أن الكلام يراد به ما يدل عليه من المعنى أفبعد هذه الكلمة يصح أن نقسم البدعة إلى أقسام ثلاثة، أو إلى أقسام خمسة؟ أبداً هذا لا يصح
perhatikan berapa kalimat yg disunatnya,disitu syeikh memberi 3 syarat agar tetap dalam keumumannya.
2) kebodohan idrus sendiri karena para ulama telah membuat rambu2 yg jelas,
"العامُّ الذي يُراد به الخُصوص هو العامُّ الذي صاحبتْه حين النطق به قرينةٌ دالة على أنه مرادٌ به الخصوص لا العموم، مثل خِطابات التكليف العامَّة، فالمراد بالعام فيها خصوصُ مَن هم أهلٌ للتكليف؛ لاقتضاءِ العقل إخراجَ مَن ليسوا مكلَّفين، ومثل: ﴿ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا ﴾ [الأحقاف: 25]، فالمرادُ كل شيء ممَّا يقبل التدمير.
[kitab irsyadul fuhul].
'am yg dikehendaki khususyaitu 'am yg dibarengi indikasi takhsis SAAT pengucapannya tidak umum,seperti pernyataan pembebanan secara umum,maka maksudnya hanya bagi yg di jadikan obyek suatu beban atau pekerjaan saja,karena akal menuntut mengeluarkan yg bukan seharusnya terbebani.seperti dalam ayat ﴿ تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا ﴾ maksudnya yg dapat menerima pnghancuran saja.

TERCELANYA GADIS TOMBOY


Pertanyaan.
Lajnah Daimah Lil Ifta ditanya : Bolehkah wanita mengenakan celana panjang sebagaimana pria ?
Jawaban
Tidak diperbolehkan bagi wanita untuk mengenakan pakaian sempit yang menampakkan bentuk tubuhnya karena itu akan menjadikan penyebab fitnah. Biasanya celana itu sempit dan menampakkan bentuk tubuh, disamping mengenakannya berarti telah menyerupai pria dalam berpakaian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda telah melaknat para wanita yang menyerupai pria.
[Majalatul Buhuts Al-Islamiyah]
[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

ISBAL CELANA BENCONG

Orang yang isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal itu terlarang secara tegas, berdasarkan hadits.
Dari Ibnu Abbas ia berkata ; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904]
Imam At-Thobari berkata : “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya” [Fathul Bari II/521]
Dari Khorsyah bin Hirr berkata : “Aku melihat Umar bin Khaththab, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat di hadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata : “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab : “Wahai amirul mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab ; “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan guting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Kharsyah berkata : “Seakan-akan aku melihat benang-benang di ujung sarung itu” [Hadits Riwayat Ibnu Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala, hal. 18]

Minggu, 05 Oktober 2014

SYUBHAT ZIARAH KUBUR TIAP JUM'AT ALA IDRUS RAMLI


1) Al-Haakim rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو حُمَيْدٍ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَامِدٍ الْعَدْلُ بِالطَّابرَانِ، ثنا تَمِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا أَبُو مُصْعَبٍ الزُّهْرِيُّ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي فُدَيْكٍ، أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ تَزُورُ قَبْرَ عَمِّهَا حَمْزَةَ كُلَّ جُمُعَةٍ فَتُصَلِّي وَتَبْكِي عِنْدَهُ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Humaid Ahmad bin Muhammad bin Haamid Al-‘Adl di Thabraan : Telah menceritakan kepada kami Abu Mush’ab Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ismaa’iil bin Abi Fudaik : Telah mengkhabarkan kepadaku Sulaimaan bin Daawud, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya : “Bahwasannya Faathimah bintu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berziarah ke kubur pamannya, yaitu Hamzah, setiap hari Jum’at, melakukan shalat, dan menangis di sisinya” [Al-Mustadrak, 1/377].
KITA JAWAB : Dalam sanadnya terdapat idlthiraab:Kadang Sulaimaan bin Daawud[Sulaimaan bin Daawud bin Qais Al-Farraa’ Al-Madaniy. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Azdiy mengatakan ia seorang yang diperbincangkan. Abu Haatim mengatakan bahwa ia tidak memahami sebagaimana mestinya [Lisaanul-Miizaan, 4/149 no. 3605].] meriwayatkan dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya (Al-Husain bin ‘Aliy). Kadang ia (Sulaimaan) meriwayatkan dari ayahnya, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari ‘Aliy bin Al-Husain, dari ayahnya (Al-Husain bin ‘Aliy). Dan kadang ia meriwayatkan dari ayahnya, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya secara mursal.
selain itu imam baihaqi mencacatnya dengan keterutusan sanad antara ali ibn husain dengan fatimah,dan pendapat itu dikuatkan oleh imam as-shon'ani.lihat as-sunan al kubro(4/78) subulussalam (2/115)
2) Ada jalan riwayat lain yang mursal via Ja’far bin Muhammad sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " كَانَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُ قَبْرَ حَمْزَةَ كُلَّ جُمُعَةٍ "
Dari Ibnu ‘Uyainah, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, ia berkata : “Faathimah bintu Rasulillah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa menziarahi kubur Hamzah setiap hari Jum’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf, 3/572 no. 6713].
Maka terlihat di sini yang mahfuudh adalah riwayat mursal.
Adz-Dzahabiy rahimahullah mengomentari riwayat yang dibawakan Al-Haakim di atas :
هذا منكر جدا وسليمان ضعيف
“Riwayat ini sangat munkar, dan Sulaimaan seorang yang dla’iif” [1/377].
Di lain tempat ia mengatakan:
سليمان مدني تكلم فيه
“Sulaimaan, madaniy (orang Madiinah), seorang yang diperbincangkan” [3/28].
Oleh karena itu, status riwayat ini adalah dla’iif karena mursal, bahkan munkar sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabiy rahimahullah