Kamis, 12 Mei 2016

Memasak kewajiban istri?


Jumhur/ mayoritas ulama' menyatakan memasak bukan kewajiban istri. Sebagaimana diterangkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyah juz 29

ذهب الجمهور (الشافعية والحنابلة وبعض المالكية) الى أن خدمة الزوج لاتجب عليها لكن الأولى لها فعل ما جارت العاجة به

 Jumhur Ulama (Syafiiyyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah) berpendapat bahwa tidak wajib bagi istri membantu suamianya. Tetapi lebih baik jika melakukan seperti apa yang berlaku (membantu).

Karena itulah meskipun seorang istri dengan ikhlas melakukan itu semua, tetapi wajib bagi suami untuk menjelaskan dan mekonfirmasi bahwa pekerjaan itu bukanlah kewajibannya. Dan hendaknya diperjelas pula bahwa pemberian nafkah sang suami  tidak ada hubungannya dengan pekerjaan rumah tersebut. Dalam Khasyiyatul Jamal juz 4 dikatakan

وقع السؤال فى الدرس هل يجب على الرجل اعلام زوجته بأنها لاتجب عليها خدمة مما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مماجرت به عادتهن أم لا وأوجبنا بأن الظاهر الأول لأنها اذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لاتستحق نفقة ولاكسوة إن لم تفعله فصارت كأنهامكرهة على الفعل...

Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang sitri tidak wajib  membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini? Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa.

1. Mazhab Al-Hanafiyah

Al-Kasani dalam kitab Badai'ush-Shanai' menyebutkan hal-hal berikut ini :

Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap (Al-Imam Al-Kasani dalam kitab Al-Badai‘).

Masih dalam mazhab yang sama tetapi dalam kitab lainnya yaitu kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah juga disebutkan hal yang senada :

Seandainya seorang istri berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Ad-Dardir dalam kitab Asy-Syarhu Al-Kabir menyebutkan :
Wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya punya kemampuan untuk berkhidmat Bila suami tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu buat istrinya. (kitab Asy-Syarhul Kabir oleh Ad-Dardir)

3. Mazhab As-Syafi'iyah

Al-Imam Asy-Syairazi dalam kitab Al-Muhadzdzab menuliskan :

Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya Karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban. . (kitab Al-Muhadzdzab oleh Asy-Syirozi)

4. Al-Hanabilah

Pendapat mazhab Al-Hanabilah pun sejalan dengan mazhab-mazhab lainnya, yaitu bahwa intinya tugas istri bukanlah tugas para pembantu rumah tangga.

Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air di sumur. Karena aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual.

Dan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya.

Namun seperti yang saya katakan tadi, nyaris semua tulisan para ulama ini ditolak mentah-mentah justru oleh para wanita kita sendiri.

Padahal di Timur Tengah dan di Arab sana semua terbukti. Kita jarang menemukan para wanita bekerja di dapur sebagaimana lazimnya pembantu. Bahkan yang pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan rumah tangga pun bukan ibu-ibu seperti di negeri kita.
Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

ولهنَّ عليكم رزقُهن وكسوتُهنَّ بالمعروفِ

“wajib bagi kalian (para suami) memberikan rizki (makanan) dan pakaian dengan ma’ruf kepada mereka (para istri)” (HR. Muslim 1218).

Juga hadits yang diriwayatkan dari Mu’awiyah Al Qusyairi:

قلت: يا رسول الله! ما حقُّ زوجة أحدِنا عليه؟ قال: أن تُطعِمَها إِذا طَعِمْت، وتَكْسُوَها إِذا اكتسيت، ولا تضربَ الوجه، ولا تُقَبِّحَ، ولا تهجرَ إِلا في البيت

“aku berkata: ‘wahai Rasulullah, apa saja hak istri yang wajib kami tunaikan?’. Beliau bersabda: ‘engkau beri ia makan jika engkau makan, engkau beri ia pakaian jika engkau berpakaian, dan jangan engkau memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan memboikotnya kecuali di rumah‘” (HR. Abu Daud 2142 dihasankan Al Albani dalam Adabuz Zifaf, 208).

Dalam Ad Durr Al Mukhtar, kitab fiqih Syafi’i, disebutkan:

هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى

“nafaqah adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal” (dinukil dari Ar Raddul Mukhtar, 3/572).

Dalam Al Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:

وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها

“secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut (makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”
Abu Ishaq Al Hambali dalam Al Mubdi’ ketika menjelaskan nafkah beliau berkata:

فلها عليه جميع حاجتها من مأكول ومشروب وملبوس ( ومسكنها )

“maka wajib bagi suami untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya berupa makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal”
Namun jika itu membuat keluarga kesusahan maka suami punya hak veto / perintah untuk menyelamatkan keluarga,yg itu harus dituruti oleh istri.
Jadi intinya,istri tidak berdosa mengatakan: aku hari ini gak masak aja ya....
Namun jika suami menolak dan memerintahkan maka jadi wajib
 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para istri agar taat kepada suami mereka. Dan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan hal ini dengan sabda Beliau,

لَوْ كٌنْتٌ آمِرُأَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلِأَحَدٍ لَأَمَرْتٌ المَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“andaikan aku dibolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, sungguh aku akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya”( hadits shohih ibnu majah).

Tidak ada komentar: