Selasa, 31 Januari 2017

Qunut shubuh terus menerus shohih ???


Syubhat :
Dari Anas Ibn Malik berkata, "Rasulullah  senantiasa membaca qunut ketika Shalat Subuh hingga beliau wafat"


 
Mengomentari Hadits tersebut, pakar Hadits al Allamah Muhammad bin Allan al Shiddiqi dalam kitabnya al Futuhat Rabbaniyah berkata; (Hadits) ini adalah benar, dan diriwayatkan serta di-shahihkan oleh segolongan pakar yang banyak hafal Hadits. di antaranya al Hafidz Abu Abdillah Muhammad Ibn Alwi Al Balkhi, al Hakim dalam kitab Al Mustadrak, dan di beberapa dari kitab yg ditulis Al Baihaqi. Al Daruquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalur dg berbagai sanad yang shahih.

jawaban :
hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-Hakim dalam kitab Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-Daruquthny dalam Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no.689-690 dan dalam Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafriq 2/255 dan dalam kitab Al-Qunut sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Rozy dari Ar-Robi’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkumany dalam Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Robi’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan Ar-Rozy mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nasa`i : “Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : “Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fallas : “Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam Zadul Ma’ad jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Rozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-Rozy adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-Rozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mughirah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Rozy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam Al Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-Daraquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam Tadzkiroh Al Huffazh 2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma’il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-Daraquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’il ini dianggap matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca : Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihron, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul Warits bin Sa’id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihron sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul Warits tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.

Syubhat :

  Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmu'; "dalam Madzhab Syafi'i disunnahkan membaca Qunut dalam Shalat Subuh, baik ada bala' (cobaan, bencana dll.) maupun tidak, inilah pendapat kebanyakan Ulama Salaf dan setelahnya, di antaranya Abu Bakar As Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas dan Al Bara' bin Azib

jawaban:

Jalan kedua : Dari jalan Khalid bin Da’laj dari Qotadah dari Anas bin Malik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-Rozy tapi Ibnu Turkumany dalam Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khalid apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’in dan Ad-Daruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’in berkata di (kesempatan lain) : laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nasa`i berkata : laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya “Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khalid. Yang ada hanyalah “beliau (nabi) ‘alaihis Salam qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa dijadikan sebagai syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghulam Khalil adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibban : “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih maka juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
Doa
Khusyu’
Ibadah
Taat
Menjalankan ketaatan.
Penetapan ibadah kepada Allah
Diam
Shalat
Berdiri
Lamanya berdiri
Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Kisah taubat seorang komunis

Banyak ayat yang menjadi sebab seorang yang dulunya kafir memeluk Islam. Hal sebegini berlaku sejak zaman permulaan Islam sehingga ke hari ini. Dari masa ke masa kita temui pelbagai kisah menarik bagaimana seorang musyrik mendapat hidayah lalu memeluk Islam.

Kisah yang akan dipaparkan di sini adalah mengenai seorang mulhid (orang yang tidak percaya kewujudan Tuhan) yang sangat-sangat benci kepada agama dan tidak percaya sama sekali kepada Tuhan. Dia sering mengejek dan mempersendakan orang-orang yang beriman. Katanya: Kalau betul Allah itu wujud, kenapa Dia tidak muncul dan menunjukkan diriNya?

Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui telah memberikan satu pengajaran yang cukup berkesan terhadap kesombongan hamba yang dungu dan degil itu.

Pada suatu malam dia didatangi mimpi yang tak terduga. Dia lemas dipukul ombak di lautan yang bergelora. Dalam kecemasan berhadapan dengan kematian, tiba-tiba dia menjerit memanggil: Oh Tuhan!
Jeritan kuat yang terpantul dari mulutnya sendiri itu membuat dia terjaga. Seluruh tubuhnya menggeletar luar dan dalam, lahir dan batin. Perasaan hairan menyelinap ke dalam fikirannya, bagaimana mungkin dia memanggil Tuhan sedangkan dia seorang yang tidak pernah percaya kepada Tuhan?

Malam berikutnya dia didatangi mimpi yang sama dan berlaku seperti malam pertama. Dia mula resah dan diserang perasaan takut dan panic. Akhirnya dia bertekad untuk membaca al-Quran.
Mulalah dia membaca al-Quran dengan penuh minat. Apabila tiba satu ayat,
وَإِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فِى ٱلۡبَحۡرِ ضَلَّ مَن تَدۡعُونَ إِلَّآ إِيَّاهُ‌ۖ فَلَمَّا نَجَّٮٰكُمۡ إِلَى ٱلۡبَرِّ أَعۡرَضۡتُمۡ‌ۚ وَكَانَ ٱلۡإِنسَـٰنُ كَفُورًا
Yang bermaksud: “Dan apabila kamu terkena bahaya di laut, (pada saat itu) hilang lenyaplah (dari ingatan kamu) makhluk-makhluk yang kamu seru selain dari Allah; maka apabila Allah selamatkan kamu ke darat, kamu berpaling tadah (tidak mengingatiNya); dan memanglah manusia itu sentiasa kufur (akan nikmat-nikmat Allah)”. (Al-Isra’ 17:67)
dia benar-benar terpukau. Fikirannya diselubungi tanda tanya bagaimana kata-kata ini boleh dikeluarkan oleh seorang manusia lebih 1400 tahun lalu, pada hal dia (Nabi Muhammad) hidup di padang pasir, tidak pernah belayar di dalam laut? Bagaimana dia tahu keadaan yang dialami oleh orang yang hampir lemas serta dapat menceritakan dengan begitu tepat sekali?

Maka tiada lagi alasan kecuali akur kepada jawapan yang lahir dari fitrahnya sendiri. Kitab ini tidak mungkin ditulis oleh manusia, apa lagi seorang yang buta huruf seperti Muhammad. Jadi dari manakah datangnya kitab suci ini kalau tidak dari Tuhan Yang Maha Mengetahui yang cuba dipadamkan dari fitrahnya selama ini?

Leburlah segala kesombongan. Lenyaplah kekufuran. Dia tunduk, akur kepada kebenaran. Sesungguhnya tiada Tuhan yang layak dan berhak diimani dan disembah kecuali Allah.

Sahabat, usah keberatan untuk menghadiahkan kawan yang belum Islam senaskhah al-Quran (pastinya yang mengandungi makna dalam bahasa yang difahami kawan itu). Siapa tahu hadiah itu menjadi sebab dia mendapat hidayah dan memeluk Islam? Andai benar terjadi anda akan mengutip pahala yang lebih baik daripada dunia dan segala isinya!

Debat melawan komunis

Setelah berdebat dengan A. Hassan, tokoh atheis mengakui kekeliruan dan mengakui adanya Tuhan

Oleh: Artawijaya (Editor Pustaka Al Kautsar)
Gedung milik organisasi Al-Irsyad, Surabaya, hari itu penuh sesat dipadati massa. Almanak menunjukkan tahun 1955. Kota Surabaya yang panas, serasa makin panas dengan dilangsungkannya debat terbuka antara Muhammad Ahsan, seorang atheis yang berasal dari Malang, dengan Tuan A. Hassan, guru Pesantren Persatuan Islam, Bangil. Meski namanya berbau Islam, Muhammad Ahsan adalah orang atheis yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, dan tidak pula meyakini bahwa alam semesta ini ada Yang Maha Mengaturnya. Ia juga menyatakan manusia berasal dari kera, bukan dari tanah sebagaimana dijelaskan Al-Qur'an.

Menurut keterangan Ustadz Abdul Jabbar, guru Pesantren Persis, yang menyaksikan perdebatan itu, hadirin yang datang cukup membludak. Lebih dari ratusan massa datang berkumpul, mengular sampai ke luar gedung. Mereka mengganggap perdebatan ini penting, karena Muhammad Ahsan, telah secara terbuka di Surat Kabar Harian Rakyat, 9 Agustus 1955, meragukan keberadaan Tuhan. Ia juga menolak keyakinan Islam bahwa orang yang berbuat kebaikan di dunia, akan dibalas di akhirat kelak. Ahsan berkeyakinan, segala sesuatu tercipta melalui evolusi alam, dan akan musnah dengan hukum alam juga. Dalam surat kabar itu, ia menyatakan lugas, "Pencipta itu mestinya berbentuk. Tidak mungkin suatu pencipta tidak berbentuk, "tulisnya.

Atas pernyataan itu, Hasan Aidit, Ketua Front Anti Komunis, menghubungi A. Hassan agar bersedia bertukar pikiran dengan tokoh atheis itu. Sebelumnya, Hasan Aidit dan Bey Arifin sudah melayangkan tantangan debat di forum Study Club Surabaya pada 12 Agustus 1955, namun rencana itu gagal. Ia kemudian menyusun rencana agar Ahsan yang atheis itu dipertemukan dengan A. Hassan, sosok yang dikenal ahli dalam berdebat soal-soal keislaman. A. Hassan dan Muhammad Ahsan bersedia bertemu di forum terbuka.

Singkat kata, perdebatan terbuka benar-benar terjadi. Karena dikhawatirkan akan berlangsung panas, maka panitia memberikan beberapa peraturan kepada hadirin yang datang menyaksikan. Hadirin tak boleh bertepuk tangan, tidak boleh bersorak sorai, tidak boleh saling berbicara, tidak menampakkan gerak-gerik yang merendahkan salah seorang pembicara, dan tidak boleh mengganggu ketentraman selama berlangsungnya perdebatan.

Sementara untuk orang yang berdebat dibuat aturan pula. Masing-masing berdiri di satu podium dan diberi mikrophone, kemudian saling bertukar pertanyaan dan jawaban. Sementara pimpinan acara, yaitu Hasan Aidit, duduk di sebuah meja didampingi seorang sekretaris untuk mencatat jalannya perdebatan. Tugas pimpinan acara adalah mengatur jalannya perdebatan, dan menegur siapa saja yang melanggar aturan.

Setelah dibuka dengan ceramah dari KH. Muhammad Isa Anshary, tokoh Persatuan Islam yang juga petinggi Partai Masyumi, acara pun di mulai. Perdebatan berlangsung dalam format tanya jawab dan saling menyanggah pendapat yang diajukan.

Berikut point-point penting dari ringkasan perdebatan itu. Tokoh atheis Muhammad Ahsan akan disingkat menjadi (MA), sedangkan A. Hassan disingkat menjadi (AH):

A.H: Saya berpendirian ada Tuhan. Buat membuktikan keadaan sesuatu, ada beberapa macam cara; dengan panca indera, dengan perhitungan, dengan kepercayaan yang berdasar perhitungan, dengan penetapan akal. Makatentang membuktikan adanya Tuhan, tuan mau cara yang mana?
M.A: Saya mau dibuktikan adanya Tuhan dengan panca indera dan perhitungan dan berbentuk. Karena tiap-tiap yang berbentuk, seperti kita semua, mestinya dijadikan oleh yang berbentuk juga...

A.H: Tidak bisa dibuktikan Tuhan dengan panca indera, karena ada banyakperkara yang kita akui adanya, tetapi tidak dapat dibuktikan dengan panca indera..

M.A: Seperti apa?

A.H: Tuan ada punya aka, fikiran, dan kemauan?
M.A : Ada

A.H : Bisakan tuan membuktikan dengan panca indera?

M.A: Tidak bisa

A.H: Bukan suatu undang-undang ilmi (ilmiah) dan bukan aqli bahwa tiap-tiapsatu yang berbentuk itu penciptanya mesti berbentuk juga. Ada banyakperkara, yang tidak berbentuk dibikin oleh yang berbentuk...

M.A: Seperti apa?

A.H : Saya berkata-kata, perkataan saya tidak berbentuk sedang saya sendiriyang menciptakannya berbentuk. Bom atom berbentuk dan bisa menghancurkan semua yang berbentuk di sekelilingnya, sedang akal yang membikinnya tidakberbentuk. Kekuatan elektrik (listrik) tidak berbentuk, tetapi bisa menghapuskan dan melebur semua yang berbentuk. Jadi, buat mengetahui sesuatu, tidak selamanya dapat dengan panca indera. Dan pencipta sesuatu yang berbentuk, tidak selalu mesti berbentuk.
* * *

A.H: Di dalam dunia ini adakah negeri yang dinamai London, Washington, danMoskow?

M.A: Ada

A.H: Apakah tuan sudah pernah ke negeri-negeri itu?

M.A: Belum

A.H: Maka dari manakah tuan tahu adanya negeri itu?


M.A: Dari orang-orang

A.H: Bisa jadi diantara orang-orang itu ada yang belum pernah kesana.Walaupun bagaimanapun keadaannya, buat tuan, adanya negeri- negeri itu, hanya dengan perantaraan percaya, bukan dengan panca indera.

M.A: Ya, memang begitu.

A.H: Dari pembicaraan kita, ternyata ada terlalu banyak perkara yang kitaterima dan akui adanya semata-mata dengan kepercayaan danperhitungan, bukan dengan panca indera.

M.A: Ya memang begitu

A.H: Oleh itu, tentang adanya Tuhan, tidak usah kita minta bukti dengan pancaindera, tetapi cukup dengan perhitungan dan pertimbangan akal, sebagaimana kita akui adanya ruh, akal, kemauan, fikiran, percintaan,kebenciaan, dan lain-lain.
M.A: Ya, saya terima.

A.H: Bila tuan tidak ber-Tuhan, tentulah tidak beragama. Dari itu semua, baikdan jahat tentunya tuan timbang dengan fikiran dan akal. Maka menurutfikiran, apakah tuan merasa perlu ada keadilan dan keadilan itu perludibela hingga tidak tersia-sia?

M.A: Ya, perlu ada keadilan dan perlu dibela

A.H: Apakah tuan makan benda berjiwa?


M.A: Kalau binatang yang sedang berjiwa saya tidak makan

A.H: Saya tidak maksudkan binatang yang sedang hidup, tetapi daging binatang-binatang: Sapi dan kambing yang dijual dipasar.


M.A: Ya, saya makan

A.H: Itu berarti tidak adil, tuan zalim

M.A: Mengapa tuan berkata begitu?

A.H: Karena menyembelih binatang itu, menurut fikiran satu kesalahan dan
Kezaliman

M.A: Saya tidak bunuh binatang-binatang itu, tetapi penjualnya

A.H : Kalau tuan tidak makan dagingnya, tentu orang-orang tidak sembelih binatangnya. Jadi, tuan adalah seorang dari yang menyebabkan binatang-binatang itu disembelih. Baiklah kita teruskan, apa tuan berbuat (lakukan)kalau tuan digigit nyamuk?

M.A: Saya bunuh

A.H: Bukankah itu satu kezaliman?


M.A: Saya bunuh nyamuk itu lantaran ia gigit saya

A.H: Menurut keadilan fikiran, jika nyamuk gigit tuan, mestinya tuan balas gigit dia. Balas dengan membunuh itu tidak adil...(tuan M.A tertawa dan hadirin bertepuk tangan. Padahal dalam kesepakatan debat, ini dilarang)

* * *

A.H: Tuan ada menulis di "Suara Rakyat" tanggal 9 Agustus 1955 tentang seorang yang keluar buntutnya dan terus memanjang, lalu ia minta pada Rumah Sakit Malang supaya dipotong dan dihilangkan. Karena semakin panjang, semakin menyakitkan. Apakah (dengan tulisan itu) tuan bermaksud dengan itu bahwa manusia berasal dari monyet?

M.A: Ya, betul

A.H: Apakah tuan menganggap bahwa buntut orang itu kalau tidak dibuangdan terus memanjang, niscaya dia jadi monyet?

M.A: Ya, betul begitu

A.H: Jika demikian berarti monyet berasal dari manusia, bukan manusia berasal dari monyet...(Tuan M.A tertawa, hadirin juga terbahak dan bertepuk tangan, lupa dengan peraturan majelis)

Perdebatan sengit yang akhirnya diselingi derai tawa dan tepuk tangan karena keahlian A. Hassan yang mampu mematahkan argumen dengan gaya yang santai, lucu, dan ilmiah, ini dikenang sepanjang massa sebagai debat terbaik A. Hassan dengan tokoh atheis tersebut. Perdebatan ini sendiri berlangsung dua kali. Debat pertama berlangsung selama dua setengah jam, dan berakhir dengan pernyataan Ahsan menerima apa yang disampaikan oleh A. Hassan. Ia menyatakan menerima dan kembali pada Islam. Namun dalam pertemuan pertama, A. Hassan meminta Ahsan untuk berpikir dulu, sebelum menerima apa yang disampaikan. Akhirnya pada pertemuan kedua yang berlangsung selama dua jam, Ahsan benar-benar menerima dalil-dalil dan argumentasi yang disampaikan A. Hassan. Tokoh atheis itu akhirnya kembali ke pangkuan Islam. Kisah perdebatan antara A. Hassan dengan tokoh atheis ini kemudian didokumentasikan dalam sebuah buku oleh A. Hassan dengan judul, "Adakah Tuhan?"

Atheis dilarang tersebar di indonesia

   
  Seorang ateis dilarang menyebarkan ateisme di Indonesia. Penyebar ajaran ateisme dapat dikenai sanksi pidana Pasal 156aKitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyebutkan:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.       yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.       dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Hukum dropship menentukan harga sendiri


Assalamualaikum
Ustadz bolehkah menjadi Dropship menentukan harga sendiri ?


وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Boleh, Diantaranya dengan cara pembeli mentransfer uang senilai yang dropshipper tentukan (setelah dia melihat spesifikasi barang secara rinci dan gambarannya), kemudian dropshipper membeli barang dari supplier. Ketika barang sudah sampai di dropshipper dan sudah dipastikan bahwa barang sesuai dengan yang digambarkan maka dropshipper mengirim barang tersebut ke pembeli

http://www.salamdakwah.com/pertanyaan/5185-dropship-menentukan-harga-sendiri

Hukum menjual parfum kepada wanita


Apabila penjual tau bahwa parfum tersebut akan dipakai untuk berhias di depan laki-laki yang bukan suaminya dan bukan mahramnya maka ia tidak boleh menjual kepada wanita tersebut. Ada pertanyaan kepada syaikh Ibnu Baz:
Seorang wanita menjual Bakhur (sesuatu yang mengeluarkan asap wangi) kepada para wanita, para wanita itu keluar rumah memakai minyak wangi dan memakai wewangian dari bakhur apakah saya berdosa terkait penjualan bakhur ini kepada mereka? Saya berharap Anda memberikan informasi

Beliau menjawab:
Apabila Anda mengetahui bahwa mereka melakukan hal itu maka jangan menjual barang itu kepada mereka

Bila anda mengetahui bahwa mereka memakai minyak wangi saat mereka keluar ke pasar maka sikap yang hati-hati adalah jangan melakukan itu (menjual barang tersebut kepada mereka.pent) karena Allah ta'ala telah berfirman (surat al-Maidah ayat 2):


وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ 


Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kalian tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Apabila Anda mengetahui bahwa wanita yang membeli al-'Ud atau wewangian lainnya dari Anda akan menggunakannya untuk berhias di pasar atau di depan laki-laki yang bukan mahram maka penjualan ini tidak boleh sebab pada keadaan ini Anda membantunya berbuat maksiat, namun bila Anda tidak mengetahui maka boleh bagi Anda untuk menjual komoditi tersebut kepada wanita atau yang lainnya.

Jika Anda mengetahui bahwa Fulanah binti Fulan yang membeli dari Anda akan melakukan itu (berbuat maksiat dengan barang yang Anda jual) maka janganlah bertransaksi dengannya. http://www.binbaz.org.sa/mat/19215

Hukum menjual hadiah


Boleh menjual apa yang diperoleh dari hadiah. Dalam salah satu riwayat disebutkan,"

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوقِ، فَأَخَذَهَا، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيدِ وَالوُفُودِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ» فَلَبِثَ عُمَرُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَلْبَثَ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِجُبَّةِ دِيبَاجٍ، فَأَقْبَلَ بِهَا عُمَرُ، فَأَتَى بِهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ: إِنَّكَ قُلْتَ: «إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ» وَأَرْسَلْتَ إِلَيَّ بِهَذِهِ الجُبَّةِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَبِيعُهَا أَوْ تُصِيبُ بِهَا حَاجَتَكَ»

Dari Ibnu Umar Radhliallahu ‘anhuma ia berkata :
Umar mengambil sebuah jubah dari sutera tebal yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah dan berkata : Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan dengannya pada hari raya dan saat menerima utusan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :’Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bagian (di akhirat-pent)’ atau . Maka Umar tinggal sepanjang waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya jubah sutera. Umar menerimanya lalu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : ‘Ya Rasulullah, engkau pernah mengatakan : ‘Ini adalah pakaiannya orang yang tidak mendapat bagian’, namun engkau telah mengirimkan padaku jubah ini’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar :’Juallah jubah ini atau engkau penuhi kebutuhanmu dengannya”. Bukhari no.948 Muslim no.2068 dan yang lainnya

Namun hadiah tidak boleh dijual ke si pemberi. Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Ulama' yang duduk di Komite Tetap Riset Ilmoah dan fatwa Arab Saudi," Seorang pria memberi hadiah sebuah mobil kepada saudaranya. Lalu, saudaranya (yang menerima hadiah itu) ingin menjual mobil pemberian tersebut. Apakah pemberi hadiah boleh membeli kembali mobil itu darinya, atau tidak?"

Mereka menjawab: Seorang pemberi hadiah tidak boleh membeli apa yang telah dia hadiahkan kepada saudaranya. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Umar radhiyallahu 'anhu yang berkata,


حملت على فرس في سبيل الله، فأضاعه صاحبه، فظننت أنه بائعه برخص، فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك فقال: «لا تبتعه، وإن أعطاكه بدرهم، فإن العائد في صدقته كالكلب يعود في قيئه»

"Aku memberikan seekor kuda untuk digunakan di jalan Allah (sebagai kendaraan jihad). Kemudian, orang yang aku beri kuda tersebut malah tidak merawatnya. Aku pun berpikir bahwa dia mau menjualnya dengan harga murah. Lantas aku meminta pendapat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam mengenai kemungkinan membeli kembali kuda tersebut. Beliau bersabda, 'Jangan kamu beli lagi kuda itu meskipun dia menjual kepadamu dengan harga satu dirham! Sebab, orang yang meminta kembali sedekahnya sama seperti anjing yang menjilat kembali muntahannya.'"


Wabillahittaufiq, wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Abdullah bin Ghadyan selaku Anggota
Abdurrazzaq Afifi selaku Wakil Ketua
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku Ketua
Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/142 pertanyaan pertama dari fatwa nomor:10635

Meskipun boleh menjual hadiah kepada selain si pemberi namun selayaknya diketahui bahwa ada pemberi hadiah yang berharap hadiahnya bisa kita manfaatkan selama hadiah itu masih berguna, dia ingin melihat kita memakai pemberian dia, apabila demikian keadaannya maka usahakan jangan sampai menyakiti perasaannya yang ingin berbuat baik ke kita dengan cara mungkin memberitahukan kepadanya terlebih dahulu bahwa kita berterima kasih kepadanya atas hadiah yang diberikan dan kita berharap untuk terus memanfaatkannya namun keadaan kita saat ini sedang memerlukan  uang sehingga terpaksa menjual hadiah dari dia atau kata-kata lain yang semisal.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Hukum jualan untuk acara ulang tahun

Assalamualaikum ustadz, apakah menjual perlengkapan pesta ulang tahun di perbolehkan dalam Islam? Syukron Ustadz

وَ عَلَيْكم السَّلَام وَ رَحْمَةُ اللّهِ وَ بَرَكَاتُه 

Apabila perlengkapan atau barang yang dijual memang hanya ditujukan untuk mendukung pelaksanaan acara yang menyelisihi syariat maka penjualan barang tersebut tidak boleh diperjual-belikan. Seseorang yang sengaja memperjual-belikannya maka dia telah berdosa mengingat dia ikut berpartisipasi dalam mewujudkan acara yang salah tersebut

Selasa, 24 Januari 2017

Syiah bersumber dari kepalsuan


USHUL KAFI, KITAB RUJUKAN TERPENTING KAUM SYIAH, BERISI RIBUAN HADITS PALSU
Cukuplah Anda tahu bahwa kitab terpenting kaum Syiah, yaitu Ushûl Kâfi sebagai bukti kedustaan kaum Syiah. Mereka katakan sendiri bahwa kitab ini memuat ribuan hadits palsu. Seorang Ulama kontemporer kaum Syiah, at-Tijâni ,mengakuinya sendiri dalam buku yang ia tulis dengan judul Fas alû Ahladz Dzkir Halaman 34

Bila sedemikian banyak hadits palsu dalam satu kitab saja, berapa banyak lagi hadits-hadits yang mereka palsukan di dalam kitab-kitab mereka yang lain? Bagaimana mungkin buku-buku yang berisi kedustaan seperti ini dipercaya?

Kriminalisasi Ulama' adalah strategi ajaran syiah


ANDIL KAUM SYIAH DALAM MENCORENG SEJARAH ISLAM
Kaum Syiah berkepentingan untuk menyuguhkan sejarah Islam yang buruk di mata umatnya dan memalsukan hadits. Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkemuka, Abu Bakar Radhyallahu anhu, ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsmân Radhiyallahu anhu, mereka bidik dengan berbagai cacian dan cercaan.

Apabila kita menelaah buku-buku sejarah yang berbicara tentang fitnah, ternyata riwayat-riwayat yang membekaskan keraguan-keraguan mendalam itu berpangkal dari empat orang saja: Abu Mikhnaf Lûth bin Yahya, al-Wâqidi, Muhammad bin Sâib al-Kalbi, putranya Hisyâm bin Muhammad bin Sâib al-Kalbi. Empat orang ini merupakan tokoh-tokoh yang berjasa dalam pandangan kaum Syiah. Kitab-kitab kaum Syiah sarat dengan pujian bagi mereka berempat tersebut. 

Dengan ini, dapat diketahui bahwa kaum Syiah termasuk golongan paling berbahaya bagi Islam. Wallâhu a’lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1433H/2012. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Syiah pemalsu hadits terdepan bab ziarah kubur wali


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyampaikan bahwa orang terdepan yang memalsukan hadits tentang disyariatkannya safar (bepergian jauh) untuk mengunjungi kubur-kubur wali adalah kaum Syiah. Mereka telah menyebabkan masjid-masjid kosong, dan sebaliknya meramaikan kompleks makam. Mereka tinggalkan rumah-rumah Allâh Azza wa Jalla (masjid-masjid) yang menjadi tempat dzikrullâh, sementara makam-makam wali yang sering kali menjadi tempat praktek perbuatan syirik mereka agung-agungkan. Padahal al-Qur`an dan Hadits memerintahkan untuk mengagungkan masjid-masjid, bukan kuburan[ Iqtidhâ Shirâthal Mustaqîm hlm. 391]

Filsafat biang rusaknya akidah


Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah menceritakan, "Orang-orang yang muncul setelah tiga masa yang utama terlalu berlebihan dalam kebanyakan perkara yang diingkari oleh tokoh-tokoh generasi Tabi'in dan generasi Tabi'it Tabi'in. Orang-orang itu tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dipegangi generasi sebelumnya sehingga mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani dan menjadikan pernyataan-pernyataan kaum filosof sebagai sumber pijakan untuk me'luruskan' atsar yang berseberangan dengan filsafat melalui cara penakwilan, meskipun itu tercela. Mereka tidak berhenti sampai di sini, bahkan mengklaim ilmu yang telah mereka susun adalah ilmu yang paling mulia dan sebaiknya dimengerti".[Fathul Bâri (13/253)

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Adapun sumber intervensi pemikiran dalam ilmu dan akidah adalah berasal dari filsafat. Ada sejumlah orang dari kalangan ulama kita belum merasa puas dengan apa yang telah dipegangi oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu merasa cukup dengan al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka pun sibuk dengan mempelajari pemikiran-pemikiran kaum filsafat. Dan selanjutnya menyelami ilmu kalam yang menyeret mereka kepada pemikiran yang buruk yang pada gilirannya merusak akidah”.[Shaidul Khâthir hlm. 226

Ketika orang sudah memasuki dimensi filsafat, tidak ada kebaikan sedikit pun yang dapat ia raih. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Jarang sekali orang mempelajarinya (ilmu kalam dan filsafat) kecuali akan terkena bahaya dari mereka (kaum filosof)”.[Fadh ‘Ilmis Salaf ‘ala ‘Ilmil Khalaf hlm. 105

Karena itu, tidak heran bila Ibnu Shalâh rahimahullah memvonis ilmu filsafat sebagai biang ketololan, rusaknya akidah, kesesatan, sumber kebingungan, kesesatan dan membangkitkan penyimpangan dan zandaqah (kekufuran)[Fatâwa wa Rasâil Ibni ash Shalâh 1/209-212. Nukilan dari Asbâbul Khatha` fit Tafsîr 1/266

Ibnu Abil 'Izzi rahimahullah berkata, “Sebab munculnya kesesatan ialah berpaling dari merenungi kalâmullâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya dan menyibukkan diri dengan teori-teori Yunani dan pemikiran-pemikiran yang macam-macam" (hal. 176, tahqiq Ahmad Syâkir rahimahullah)

Jumat, 20 Januari 2017

Hukum wanita haid dan junub masuk masjid

pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah pendapat yang membolehkan orang yang sedang junub atau haidh untuk masuk masjid dan menetap di dalamnya dengan syarat menjaga agar najis tidak sampai jatuh dan mengotori masjid. Pendapat ini lebih kuat karena dalil-dalil yang mereka jadikan sebagai argumentasi adalah dalil-dalil yang shahih dan jelas maknanya menunjukkan kebolehan hal ini.
Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan al-Muzani rahimahullah, murid utama Imam asy-Syâfi’i rahimahullah, sebagaimana yang telah kami nukilkan sebelumnya. Juga dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm[Kitab al-Muhalla bil Âtsâr, 2/186], Ibnul Mundzir dan Syaikh al-Albani.
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Sekelompok para Ulama membolehkan orang yang junub untuk masuk (dan menetap) di masjid. Sebagian dari mereka berargumentasi dengan sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , (yang artinya), “Sesungguhnya orang Mukmin tidak najis”(HR. Al-Bukhâri, 1/109).Imam Ibnul Mundzir berkata, “Pendapat inilah yang kami ucapkan (kuatkan).”[Kitab Tafsir al-Qurthubi, 5/192)
Meskipun demikian, orang yang sedang junub atau wanita yang sedang haidh dinjurkan dan lebih utama baginya untuk berwudhu sebelum masuk masjid.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Imam Ahmad berpendapat bahwa orang yang sedang junub jika dia berwudhu maka boleh menetap di masjid, karena atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad t dan Sa’id bin Manshur rahimahullah dalam “as-Sunan” dengan sanad yang shahih, bahwa para Sahabat g dulu melakukan hal itu. Imam Sa’id bin Manshûr meriwayatkan dengan sanadnya dari ‘Atha’ bin Yasar dia berkata, “Aku melihat beberapa orang Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di masjid dalam keadaan mereka sedang junub, jika mereka telah berwudhu seperti wudhu ketika shalat”. Sanad hadits ini (shahih) sesuai dengan syarat Imam Muslim, wallahu a’lam”(Kitab Tafsir Ibni Katsir, 1/665)
Syaikh al-Albani berkata, “Bisa jadi berwudhu (bagi orang yang junub atau haidh sebelum masuk masjid) dianjurkan (lebih utama), karena ini merupakan perbuatan para Sahabat Radhiyallahu anhum, wallahu a’lam[Kitab Ats-Tsamrul Mustathaab fi Fiqhis Sunnati wal Kitâb, hlm 754.)

Adapun firman Allâh Azza wa Jalla :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚوَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, dan (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali orang yang lewat saja (musafir), sampai kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh (mengumpuli) perempuan (istrimu), kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allâh Maha Pema’af lagi Maha Pengampun [An-Nisâ’/4: 43]
Maka pendapat yang benar tentang makna ayat ini adalah yang dikemukakan oleh dua Sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbâs dan ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhuma. Kedua Sahabat ini  menyebutkan bahwa makna âbiru sabîl  dalam ayat tersebut bukanlah “orang yang lewat di masjid atau melintasi masjid”, tapi maknanya adalah “musafir atau orang yang sedang melakukan perjalanan”. Ucapan keduanya dinukil oleh Imam Ibnu Jarîr dalam tafsir beliau (4/97) dengan sanad yang shahih.
Adapun pendapat lain tentang maknanya yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat Radhiyallahu anhum, Ibnu Mas’ud, Anas bin Mâlik, Jabir bin ‘Abdillah dan lain-lain Radhiyallahu anhum, maka semua riwayat tersebut lemah dan tidak bisa dinisbatkan kepada para Sahabat tersebut Radhiyallahu anhum.

Selasa, 17 Januari 2017

Kekonyolan fatwa SHALAT BERJAMAAH VIA RADIO ala al-Ghumari

idrus ramli bercerita di Fbnya

Tadi saya shalat Jumat di Masjid Kraton Pasuruan, dekat SPBU. Inginnya shalat di Pondok Pesantren Sidogiri, tapi berhubung khawatir terlambat, akhirnya shalat di Masjid pinggir jalan raya.
Selesai shalat Jumat, langsung ke Sidogiri. Di perjalanan ke Sidogiri, teringat pada fatwa Syaikh Sayyid Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani, dari Maroko, yang mengesahkan shalat jamaah Jum'at melalui radio dari tempat lain. Mungkin seandainya, pada masa beliau sudah ada siaran langsung shalat berjamaah via televisi, beliau akan memfatwakan sah pula shalat berjamaah Jum'at dan lainnya via televisi. Kita cukup shalat dari dalam kamar di rumah. Tetapi fatwa beliau tidak sesuai dengan madzhab yang kita ikuti, yaitu madzhab al-Syafi'i. Yang jelas menurut madzhab Syafi'i hukumnya tidak sah.
Ada beberapa problem terkait dengan fatwa Syaikh Ahmad al-Ghumari tersebut, misalnya ketika sedang shalat berjamaah Jumat, tiba-tiba radio atau televisinya ada gangguan, lalu bagaimana hukumnya? Sepertinya masalah ini belum sempat beliau bahas dalam kitabnya. Dalam masalah ini, Syaikh Ahmad al-Ghumari menulis kitab khusus yang bisa dicari di internet.
Walhasil, informasi tentang fatwa ini bukan untuk kita ikuti, tetapi untuk kita ketahui saja.

SELAMAT HARI RAYA AGAMA LAIN MENURUT ULAMA MADZHAB SYAFI’I


Hari raya agama lain di Indonesia antara hari raya natal, hari raya nyepi, hari valentine (satu bulan lagi) dan lain-lain. Menurut madzhab Syafi’i, mengucapkan selamat hari raya orang-orang kafir hukumnya adalah haram.
Al-Imam al-Damiri berkata dalam al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj juz 9 hlm 244:

تِتِمَّةٌ: يُعَزَّرُ مَنْ وَافَقَ الْكُفَّارَ فِيْ أَعْيَادِهِمْ، وَمَنْ يُمْسِكُ الْحَيَّةَ، وَيَدْخُلُ النَّارَ وَمَنْ قَالَ لِذِمِّيٍّ: يَا حَاجُّ، وَمَنْ هَنَّأَهُ بِعِيْدٍ، وَمَنْ سَمَّى زَاِئَر قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ حَاجًّا، وَالسَّاعِيْ بِالنَّمِيْمَةِ؛ لِكَثْرَةِ إِفْسَادِهَا بَيْنَ النَّاسِ، قَالَ يَحْيَى بْنُ أَبِيْ كَثِيْرٍ: يُفْسِدُ النَّمَّامُ فِيْ سَاعَةٍ مَا لاَ يُفْسِدُهُ السَّاحِرُ فِيْ سَنَةٍ.
Penyempurna: Harus dita’zir (diberi sanksi hukuman), orang yang menyesuaikan diri dengan orang-orang kafir dalam hari raya mereka, orang yang memegang ular dan masuk ke dalam api, orang yang berkata kepada kafir dzimmi: “Hai Pak Haji”, orang yang mengucapkan selamat hari raya padanya, orang yang menamakan peziarah kubur orang-orang shaleh dengan haji dan orang yang melakukan adu domba karena banyaknya kerusakan yang ditimbulkan di antara manusia. Yahya bin Abi Katsir berkata: “Orang yang mengadu domba dalam merusak dalam satu jam terhadap apa yang tidak bisa dirusak oleh tukang sihir dalam setahun.”
Al-Imam al-Ramli al-Kabir berkata dalam Hasyiyah Asna al-Mathalib:
Demikian pernyataan al-Imam Kamaluddin al-Damiri dalam al-Najm al-Wahhaj fi Syarh al-Minhaj juz 9 hlm 244. Pernyataan senada juga disampaikan oleh al-Imam al-Ramli al-Kabir dalam Hasyiyah Asna al-Mathalib juz 4 hlm 162, al-Imam al-Khathib al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Ma’ani Alfazh al-Minhaj juz 4 hlm 194 dan al-Imam al-Syarwani dalam Hawasyi Tuhfah al-Muhtaj juz 9 hlm 191.

Bid'ah terburuk saat hari natal

Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullaah berkata:

رَأَيْتُ بَعْضَ أَئِمَّتِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ ذَكَرَ مَا يُوَافِقُ مَا ذَكَرْتُهُ فَقَالَ وَمِنْ أَقْبَحِ الْبِدَعِ مُوَافَقَةُ الْمُسْلِمِينَ النَّصَارَى فِي أَعْيَادِهِمْ بِالتَّشَبُّهِ بِأَكْلِهِمْ وَالْهَدِيَّةِ لَهُمْ وَقَبُولِ هَدِيَّتِهِمْ فِيهِ وَأَكْثَرُ النَّاسِ اعْتِنَاءً بِذَلِكَ الْمِصْرِيُّونَ وَقَدْ قَالَ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ» بَلْ قَالَ ابْنُ الْحَاجِّ لاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَبِيعَ نَصْرَانِيًّا شَيْئًا مِنْ مَصْلَحَةِ عِيدِهِ لاَ لَحْمًا وَلاَ أُدْمًا وَلاَ ثَوْبًا وَلاَ يُعَارُونَ شَيْئًا وَلَوْ دَابَّةً إذْ هُوَ مُعَاوَنَةٌ لَهُمْ عَلَى كُفْرِهِمْ
Aku melihat sebagian imam kami yang terkemudian menyebutkan apa yang sesuai dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata: “Di antara bid’ah yang paling buruk adalah menyesuaikan diri dengan orang-orang Nasrani dalam hari raya mereka yang dilakukan oleh kaum Muslimin dengan menyerupai mereka dengan makanan, memberi hadiah kepada mereka dan menerima hadiah mereka pada hari itu. Orang yang paling banyak memperhatikan hal tersebut adalah orang-orang Mesir. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Bahkan Ibnu al-Hajj berkata: “Seorang Muslim tidak halal menjual kepada orang Nasrani sesuatu yang menjadi kepentingan hari raya agamanya, seperti daging, kuah dan baju. Tidak boleh meminjamkan sesuatu kepada mereka meskipun berupa hewan kendaraan, karena hal itu berarti membantu mereka pada kekufuran.”
(Al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah juz 4 hlm 239).

Syarat bolehnya memberontak penguasa

ada 3 syarat kata syaikh utsaimin :
1. harus melihat kemungkaran dg jelas/yakin bukan hanya prasangka
2.kemungkaran itu termasuk perbuatan kufur(menyebabkan kafir) bukan sekedar kefasikan(seperti minum khomr,zina,dholim,dst)3. kekufurannya nyata dan disepakati bukan yg masih di perselisihkan4.harus mempunyai dalil yg shohih atas kekufurannya
الشيخ ابن عثيمين فقال -رحمه الله-: قال: إلا أن تروا كفرًا بواحًا عندكم فيه من الله برهان" ثلاثة شروط، إذا رأينا هذا وتمت الشروط الثلاثة فحينئذ ننازع الأمر أهله، ونحاول إزالتهم عن ولاية الأمر، لكن بشروط:
الأول: أن تروا، فلا بد من علم، أما مجرد الظن، فلا يجوز الخروج على الأئمة.
الثاني: أن نعلم كفرًا لا فسقًا. الفسوق، مهما فسق وُلاة الأمور لا يجوز الخروج عليهم؛ لو شربوا الخمر، لو زنوا، لو ظلموا الناس، لا يجوز الخروج عليهم، لكن إذا رأينا كفرًا صريحًا يكون بواحًا.
الثالث: الكفر البواح: وهذا معناه الكفر الصريح، البواح الشيء البين الظاهر، فأما ما يحتمل التأويل فلا يجوز الخروج عليهم، يعني لو قدرنا أنهم فعلوا شيئًا نرى أنه كفر، لكن فيه احتمال أنه ليس بكفر، فإنه لا يجوز أن ننازعهم أو نخرج عليهم، ونولهم ما تولوا. لكن إذا كان بواحًا صريحًا، مثل: لو أن وليًّا من وُلاة الأمور قال لشعبه: إن الخمر حلال، اشربوا ما شئتم، وإن اللواط حلال، تلوطوا بمن شئتم، وإن الزنى حلال ازنوا، بمن شئتم، فهذا كفر بواح ليس فيه إشكال، هذا يجب على الرعية أن يزيلوه بكل وسيلة، ولو بالقتل؛ لأن هذا كفر بواح.
الشرط الرابع: عندكم فيه من الله برهان، يعني عندنا دليل قاطع على أن هذا كفر، فإن كان الدليل ضعيفًا في ثبوته، أو ضعيفًا في دلالته، فإنه لا يجوز الخروج عليهم؛ لأن الخروج فيه شر كثير جدًّا ومفاسد عظيمة. انتهى.

Hukum rekreasi ke peribadatan orang musyrik

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak
Soal:
Saya bercerita kepada sahabat saya tentang keadaan para pemuda yang mereka masuk ke tempat-tempat peribadatan orang Budha. Dan pengurus tempat peribadatan tersebut meminta mereka untuk menjaga tempat ibadah tersebut dan meminta uang dari mereka untuk berhala. Saya menceritakan demikian semata-mata mengingatkan tentang apa yang terjadi di tengah para pemuda kita. Lalu dia mengatakan, “jika saya dalam posisi mereka, saya tetap akan memberikan uang masuk tersebut sehingga mereka tidak memerangi saya“. Lalu saya pun terheran, dan saya katakan kepadanya, “apakah engkau ingin berbuat syirik kepada Allah?“. Ia lalu menjawab, “ini karena keadaan terpaksa dan karena darah seorang muslim itu tidak ringan, apakah ingin diperangi gara-gara tidak memberi 1/4 real?“. Lalu saya sampaikan kepadanya hadits tentang orang yang memberikan kurban seekor lalat kepada selain Allah, ia malah menyanggah, “apakah kamu ingin mengkafirkan saya?“.
Salah satu teman saya yang lain juga mengatakan bahwa ia pernah masuk ke tempat peribadatan orang Budha dan dikenai biaya masuk dengan jumlah tertentu. Apa pendapat anda wahai Syaikh mengenai hal ini dan bagaimana membantah mereka?
Jawab:
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah.ِ Amma ba’du.
Tempat peribadatan orang kafir tidak terlepas dari pemandangan-pemandangan yang merupakan praktek kesyirikan, baik berupa perkataan, perbuatan, dan simbol-simbol seperti gambar-gambar syirik dan juga patung berhala. Maka tidak boleh masuk ke sana dalam rangka sekedar melihat-lihat dan jalan-jalan. Karena semua ini termasuk az zuur yang disebutkan dalam firman Allah:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
(hamba Ar Rahman yang sejati adalah) orang-orang yang tidak menyaksikan az zuur. Jika mereka menemuinya, mereka melewatinya dengan wibawa dan mulia” (QS. Al Furqan: 72).
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ حُنَفَاءَ لِلَّهِ غَيْرَ مُشْرِكِينَ بِهِ
maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan az zuur. dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia.” (QS. Al Hajj: 30-31).
Bagaimana mungkin seorang Muslim jiwanya menjadi rileks/senang dengan memasuki tempat-tempat seperti ini yang di dalamnya terdapat orang-orang yang bermaksiat kepada Allah dan berbuat syirik kepada Allah dan merendahkan Allah. Bagaimana mungkin ia tidak marah karena Allah? Atau marah karena belum sanggup untuk mengubah dan mengingkari kemungkaran tersebut? Dan telah maklum bahwa orang-orang yang masuk ke tempat tersebut untuk rekreasi mereka tidak ada gairah untuk berdakwah dan mengingkari kemungkaran. Bahkan mereka bersikap dingin saja. Lemah sekali rasa berlepas diri mereka terhadap kaum Musyrikin dan kesyirikan. Dan mereka tidak menjadikan Nabi Ibrahim dan orang-orang yang mengikutinya sebagai teladan mereka. Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُر ءَآؤاْ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَداً حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja”” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Dan para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat di gereja Nasrani. Jumhur ulama berpendapat hukumnya tidak sah shalat di sana. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan syarat tidak ada gambar-gambar. Namun secara umum gereja itu tidak lepas dari adanya gambar-gambar orang-orang yang mereka agungkan dan gambar sesembahan-sesembahan mereka yang disalib dan yang lainnya.
Maka wajib bagi seorang Muslim untuk bertaqwa kepada Allah dan mencukupkan diri untuk melakukan rekreasi dan jalan-jalan pada perkara-perkara yang Allah bolehkan. Itu sangat cukup dan banyak sehingga kita tidak butuh pada sarana rekreasi yang haram. Inilah yang membedakan seorang Muslim dengan pemeluk agama lain dan ini juga akan semakin mengokohkan predikat Islam pada dirinya.
Demikian, semoga shalawat senantiasa terlimpah atas Nabi kita Muhammad serta keluarganya.
***
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/37101

Bolehkah tahiyatul masjid di mushola kantor ?

Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi
Soal:
Apa perbedaan antara masjid dan musholla? Apakah musholla yang ada di airport, rumah sakit, dll itu termasuk masjid? Apakah disyariatkan shalat tahiyyatul masjid di sana?
Jawab:
Masjid adalah yang didirikan shalat lima waktu di dalamnya, berdiri di atas lahan yang permanen dan berupa wakaf, serta memiliki imam tetap. Inilah masjid yang berlaku hukum-hukum masjid.
Adapun musholla di airport, di perkantoran, di sekolah-sekolah, tidak berlaku hukum masjid, (sehingga) tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid. Karena itu adalah tempat biasa yang digunakan untuk shalat saja, dan tidak dijadikan sebagai masjid. Di sana tidak dikerjakan shalat lima waktu dan tidak memiliki imam tetap.
Intinya, musholla di airport, di perkantoran, di sekolah-sekolah, tidak berlaku hukum masjid, sehingga tidak disyariatkan untuk shalat tahiyatul masjid.
***
Teks fatwa:
السؤال
ما الفرق بين المسجد والمصلى؟ وهل تعتبر المصليات التي في المطارات والمستشفيات من المساجد؟ وهل لها تحية المسجد؟
الجواب
المسجد: هو الذي يصلى فيه الصلوات الخمس، ومبني بناء معداً وموقوفاً، وله إمام راتب، فهذا له حكم المساجد، وتصلى فيه التحية، أما المصليات في المطارات وفي الدوائر الحكومية وفي المدارس فليس لها حكم المساجد، ولا تصلى فيها تحية المسجد؛ لأن ذلك مكان وضع ليصلى فيه ولم يجعل مسجداً، ولا تصلى فيه الصلوات الخمس، وليس له إمام راتب، فالمقصود أن المصليات في المطارات وفي المدارس وفي الدوائر الحكومية ليس لها حكم المساجد، ولا تصلى فيها تحية المسجد.
Sumber: Fatawa Munawwa’ah Syaikh Abdul Aziz Ar Rajihi, 9/16, Asy Syamilah

Pembagian bid'ah agama dan bahasa oleh salafi itu bid'ah juga..

Syubhat : Definisi bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Sebab, Rasulullah atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi  dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, “Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau . Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri melakukan bid’ah. Aneh, kan?

Jawab : sungguh lucunya logika ahli bid'ah.padahal cukup kita berfikir sederhana saja sudah faham..bid'ah dalam bahasa jelas ada karena nabi dan para sahabat bahasanya bahasa arab.begitu juga bid'ah dalam agama jelas ada karena nabi adalah pembawa syariat agama.
namun ahli bid'ah tetap gagal paham.
pembagian semacam ini sudah sangat masyhur di kalangan para ulama'
seperti dinyatakan oleh syaikh al mubarokfuriy dalam kitab muro'ah al mafatih 1/236

قوله: (من أحدث في أمرنا هذا) أي في شأننا وطريقنا، فالأمر واحد الأمور، أطلق على الدين من حيث أنه طريقه وشأنه الذي يتعلق به، أو في ما أمرنا به بالوحي المتعبد بتلاوته، أو بالوحي الذي ليس بقرآن، فالأمر واحد الأوامر، أطلق على المأمور به، والمراد الشرع والدين كما وقع في بعض الروايات: من أحدث في ديننا. قيل: عبر عن الدين بالأمر تنبيهاً على أن هذا الدين هو أمرنا الذي نهتم له ونشتغل به، بحيث لا يخلو عنه شيء من أقوالنا وأفعالنا وأحوالنا.

Penjelasan beliu juga selaras denga pernyataan Syaikh Ibnu Rajab al-Hambali sebagai berikut:

والمراد بالبدعة ما احدث مما لا اصل له في الشريعة يدل عليه فاما ما كان له اصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وان كان بدعة لغة

Artinya: Bid’ah ialah suatu pembaharuan yang tidak ada dalil sama sekali dari syariat yang membenarkannya, adapun pembaruan yang ada dalil dari syariat maka tidak disebut bid’ah menurut istilah syariat meskipun disebut bid’ah menurut loghat.[Imam Ibnu Rajab, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (al-Maktabah asy-Syamilah), Jild. I, hal. 266]

Ibnu Rajab mengatakan, ucapan Umar : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”, adalah bid’ah menurut LUGHOWI (menurut bahasa). (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2:128).

Ibnu Hajar Al Asqolani, seorang ulama besar bermadzhab Syafi’iy, beliau rahimahullaah juga menjelaskan : “Maka bid’ah menurut istilah syari’at adalah tercela, berbeda dengan pengertian bahasa karena bid’ah secara bahasa adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya baik terpuji maupun tercela.” [Lihat Fathul Bari,13:253].

Ibnu Katsir Rahimahullah, seorang Ahli Tafsir paling terkemuka, mengatakan :
Dan bid’ah lughowiyah (menurut bahasa) seperti perkata’an umar bin Khatab ketika mengumpulkan manusia untuk sholat tarawih : ”Inilah sebaik-baiknya bid’ah”. [Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’anil ‘Adziem 1/223. Cet. Maktabah taufiqiyah, Tahqiq Hani Al Haaj].

Kamis, 05 Januari 2017

Hukum mengeraskan dzikir saat mengiringi jenazah

Imam An-Nawawi mengatakan dalam Bab dzikir yang dibaca ketika mengiringi jenazah: “Dianjurkan bagi orang yang mengantarkan jenazah untuk menyibukkan dirinya dengan mengingat Allah dan merenungkan apa yang akan dia temui setelah kematian, bagaimana tempat kembalinya, dan apa yang akan dia dapatkan di sana, serta memikirkan bahwa kematian merupakan penghujung dunia dan kondisi akhir penduduk dunia.
Kemudian, jangan sekali-kali berbicara mengenai sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Karena pada saat itu adalah waktu untuk merenung dan berpikir tentang kehidupan setelah mati. Sangat tercela jika digunakan untuk hal yang melalaikan, main-main, dan sibuk dengan omong kosong. Karena berbicara yang tidak ada manfaatnya terlarang dalam setiap keadaan, maka baimana lagi dalam kondisi semacam ini.
Kemudian ketauhilah, bahwa yang benar dan sesuai dengan kebiasaan para sahabat adalah diam ketika mengiringi jenazah. Tidak boleh mengeraskan suara dengan membaca Alquran atau dzikir, atau bacaan lainnya. Inilah yang benar. Dan jangan tertipu dengan banyaknya orang yang bersikap sebaliknya. (Al-Adzkar, karya An-Nawawi, Hal.160)

Hukum doa bersama setelah shalat jenazah

Syaikh Abu Umar Usamah al-Utaibi menegaskan bahwa membaca doa setelah shalat jenazah termasuk perbuatan bid’ah. Beliau mengatakan,
فدعاء الإمَام بَعْدَ صلاة الجنازة بالمأمومين وتأمينهم عَلَى دعائه مِنَ البدع الشنيعة المحرمة، لأَنَّ النَّبِيّ صلى الله عَلَيْهِ وسلم إنما دل أمته عَلَى الدُّعَاء للميت أثناء الصَّلاة عَلَى الجنازة وبعد الفراغ مِنْ دفنه وخير الهدي هدي مُحَمَّدٍ -صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّم-
“Doa imam setelah shalat jenazah bersama makmum dan mereka mengaminkannya termasuk perbuatan bid’ah yang banyak tersebar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengajarkan kepada umatnya terkait doa bagi jenazah untuk dilakukan ketika shalat jenazah dan setelah setelah memakamkan mayit. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Larangan berisik saat menghadiri jenazah

Pertama, keterangan Abu Qilabah,
كُنَّا فِي جِنَازَةٍ، فَرَفَعَ نَاسٌ مِنَ الْقُصَّاصِ أَصْوَاتَهُمْ فَقَالَ أَبُو قِلَابَةَ: «كَانُوا يُعَظِّمُونَ الْمَيِّتَ بِالسَّكِينَةِ»
“Kami pernah menghadiri prosesi jenazah. Tiba-tiba ada tukang cerita yang menyampaikan cerita dengan suara keras. Abu Qilabah mengatakan, ‘Para sahabat memuliakan jenazah dengan tenang (menghindarkan suara keras)’.” (HR. Ibn Abi Syaibah, no. 11200).
Abu Qilabah adalah salah seorang ulama tabi’in. Dalam kasus di atas, beliau menceritakan kebiasaan di zaman sahabat yang pernah beliau jumpai untuk mengingatkan sikap buruk yang dilakukan oleh mereka yang tidak memahami kebiasaan baik para sahabat.
Kedua, keterangan dari Qais bin Abbad
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَحِبُّونَ خَفْضَ صَوْتٍ عِنْدَ ثَلَاثٍ: عِنْدَ الْقِتَالِ، وَعِنْدَ الْقُرْآنِ، وَعِنْدَ الْجَنَائِزِ
Para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai sikap tenang dalam 3 hal: ketika perang, ketika mendengar Alquran dan ketika menghadiri jenazah. (HR. Ibn Abi Syaibah, no. 11201)
Ketiga, keterangan Hasan al-Bashri,
أَدْرَكْتُ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يستحِبُّونَ خَفْضَ الصَّوْتِ عِنْدَ الْجَنَائِزِ، وَعِنْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَعِنْدَ الْقِتَالِ وَبِهِ نَأْخُذُ
Aku menjumpai para sahabat Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menyukai suara pelan ketika menghadiri jenazah, ketika ada bacaan Alquran, dan ketika perang. Dan itulah prinsip yang saya pegangi. (HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf, no. 6281)
Keempat, Keterangan dari al-Aswad bin Syaiban
كَانَ الْحَسَنُ فِى جَنَازَةِ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ فَقَالَ أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ الْعِجْلِىُّ : يَا أَبَا سَعِيدٍ إِنَّهُ لَيُعْجِبُنِى أَنَّ لاَ أَسْمَعُ فِى الْجَنَائِزِ صَوْتًا فَقَالَ : إِنَّ لِلْخَيْرِ أَهْلِينَ
Hasan al-Bashri pernah menghadiri jenazah an-Nadhr bin Anas. Tiba-tiba Asy’ats bin Sulaim al-Ijli bertanya, “Wahai Abu Said, saya sangat suka, ketika tidak terdengar suara apapun pada saat menghadiri jenazah.” Hasan al-Bashri mengatakan: “Sesungguhnya setiap kebaikan ada yang melaksanakannya.”
Maksudnya: Kebiasaan diam ketika jenazah merupakan satu kebaikan yang telah dilaksanakan para sahabat dan tabiiin yang baik.
Semua riwayat di atas menunjukkan larangan adanya suara keras ketika proses pengurusan jenazah. Termasuk dalam hal ini adalah memutar kaset qiraah atau murattal Alquran dengan menggunakan pengeras suara. Di sebagian masyarakat, suara qiraah dan murattal Alquran telah menjadi penanda adanya kematian. Allahu al-Musta’an, sejak kapan Allah menurunkan Alquran untuk tanda adanya kematian??

Hukum doa bersama di kuburan


Ketika ditanya tentang doa jamaah di kuburan, Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
ليس هذا من سنة الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ولا من سنة الخلفاء الراشدين رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم ، وإنما كان الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يرشدهم إلى أن يستغفروا للميت ويسألوا له التثبيت ، كلٌّ بنفسه ، وليس جماعة
Semacam ini tidak sesuai sunah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula ajaran para al-Khulafa’ ar-Rosyidun radhiyallahu ‘anhum. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membimbing mereka untuk memintakan ampun bagi jenazah dan memohon keteguhan untuknya. Masing-masing membaca sendiri, dan tidak dilakukan secara berjamaah. (Fatawa al-Janaiz, hlm. 228, dinukil dari Fatwa Islam, no. 48977).