Sabtu, 30 Mei 2015

SYUBHAT : TABARRUK KHOLID IBN WALID DENGAN RAMBUT NABI ?


SYUBHAT : dalam kitab majmu' zawaid wa manbaul fawaid 9/331 :
وعن جعفر بن عبد الله بن الحكم أن خالد بن الوليد فقد قلنسوة له يوم اليرموك فقال: اطلبوها، فلم يجدوها فقال: اطلبوها، فوجدوها فإذا هي قلنسوة خلقة، فقال خالد: اعتمر رسول الله صلى الله عليه وسلم فحلق رأسه، فابتدر الناس جوانب شعره فسبقتهم إلى ناصيته، فجعلتها في هذه القلنسوة، فلم أشهد قتالاً وهي معي إلا رزقت النصرة.رواه الطبراني وأبو يعلى بنحوه ورجالهما رجال الصحيح، وجعفر سمع من جماعة من الصحابة فلا أدري سمع من خالد أم لا
Dari Abdul hamid bin Jakfar dari bapaknya jakfar berkata : bahwa Khalid bin Walid kehilangan kopyah ketika peperangan Yarmuk, lalu berkata : Carilah!, namun tidak ditemukan, dia meminta untuk mencarinya lagi, dan ternyata didapati berupa kopyah usang, lalu Khalid berkata : “Sewaktu Rasulullah  umrah, beliau mencukur rambut kepalanya, maka orang-orang berebut rambut beliau, dan aku bisa mendahului dan mendapat rambut ubun-ubun beliau. Lalu kutaruh rambut itu di kopyah ini. Tidaklah aku menghadiri peperangan dengan membawa kopyah ini kecuali pasti aku menang
perawinya perawi tsiqoh  dan jakfar mendengar dari sekelompok sahabat akan tidak tahu dia mendengar dari kholid atau tidak ?

JAWAB :  diriwayatkan juga oleh imam thobroni,abu ya'la serta imam al hakim dalam mustadroknya namun beliau mendiamkannya.
imam adzdzahabi menyatakan adanya 'illah/penyakit dalam sanadnya yakni keterputusan sanad antara jakfar dan kholid.
jakfar adalah ibn abdillah ibn al hakam ibn rofi' telah meriwayatkan dari shigorus shohabah seperti anas dan mahmud ibn labid (tahdzib 2/99 karangan ibnu hajar) sedangkan kholid meninggal saat pemerintahan umar ibn khottob(lihat thobaqot ibnu sa'ad 7/279 dan asadul ghobah 2/140) jadi kemungkinan jauh jakfar mendengar dari kholid.
oleh karena itulah imam bukhori dalam attarikh al kabir (2/195) dalam biografi jakfar : dia melhat anas.ini menunjukkan dia tidak menemui kibarus shohabah
ibnu katsir pun mengisyaratkan kelemahan riwayatnya dengan sighoh tamrid dalam bidayah wa nihayah 7/113 :
 " وَقَدْ رُوِيَ أَنَّ خَالِدًا سَقَطَتْ قَلَنْسُوَتُهُ يَوْمَ الْيَرْمُوكِ وَهُوَ فِي الْحَرْبِ ، فَجَعَلَ يَسْتَحِثُّ فِي طَلَبِهَا فَعُوتِبَ فِي ذَلِكَ ، فَقَالَ: إِنَّ فِيهَا شَيْئًا مِنْ شَعْرِ نَاصِيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَإِنَّهَا مَا كَانَتْ مَعِيَ فِي مَوْقِفٍ إِلَّا نُصِرْتُ بِهَا 


SYUBHAT : TABARRUK DENGAN TABUT NABI MUSA


SYUBHAT : Tabarruk Nabi umat Bani Israil dengan tabut (peti tempat menyimpan kitab Taurat) sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(Q.S. al-Baqarah : 248)

Al-Baidhawy berkata :
“Apabila berperang, Musa  membawa tabut, maka jiwa orang Bani Israil menjadi tenteram dan tidak akan lari dari peperangan”.
(Al-Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz. I, Hal. 253)

JAWAB :yang menjadikan mereka tenang hati  adalah taurat bukan peti/tabut.lihat teks aslinya :
الضمير للإتيان أي في إتيانه سكون لكم وطمأنينة أو للتابوت أي مودع فيه ما تسكنون إليه وهو التوراة وكان موسى عليه الصلاة والسلام إذا قاتل قدمه فتسكن نفوس بني إسرائيل ولا يفرون
jadi ketenangan itu saat di hadirkan kitab suci taurat yang ada didalam tabut bukan sekedar nenteng peti doang.sungguh kasihan pelaku syirik itu.he

Jumat, 29 Mei 2015

SYUBHAT : KOTORAN CICAK TIDAK NAJIS


syubhat : Mengenai hukum kotoran cicak apakah najis ataukah suci, masalah ini kembali pada pembahasan apakah cicak itu sendiri masuk hewan yang darahnya mengalir sehingga kotorannya dihukumi najis karena termasuk hewan yang haram dimakan ataukah termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir yang nanti akan dihukumi kotorannya itu suci.
jawab : sudah sangat gamblang bahwa cicak termasuk binatang haram termasuk fuwaisiq.
Dari Sa’ad bin Abi Waqqash dia berkata:
أَنَّ النبيَّ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغَ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا
“Sesungguhnya Nabi -shallallaahu alaihi wa sallam- memerintahkan untuk membunuh cicak, dan beliau menyebutnya sebagai fuwaisiq (binatang jahat).” (HR. Muslim no. 2238)
Dan para sahabat memahami bahwa semua hewan yang dinamakan fasik maka dia haram untuk dimakan. Ibnu Umar berkata, “Siapa yang makan burung gagak? Padahal Rasulullah telah menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Diriwayatkan juga yang semisalnya dari Urwah bin Az-Zubair.
Aisyah -radhiallahu anha- berkata, “Aku sungguh heran terhadap orang-orang yang memakan burung gagak, padahal Rasulullah -alaihishshalatu wassalam- mengizinkan untuk membunuh gagak dan menyebutnya fasiq. Demi Allah, dia bukanlah termasuk makanan yang baik.” Lihat ucapan ketiga sahabat ini dalam Al-Muhalla: 7/404
Maka dari tiga ucapan sahabat ini menunjukkan bahwa semua hewan yang fasik dan yang diperintahkan untuk dibunuh maka dia juga haram untuk dimakan.
termasuk juga binatang yg menjijikkan 
Imam Ibnu Hazm -rahimahullah- berkata dalam Al Muhalla (7/405), “Cicak adalah salah satu binatang yang paling menjijikkan.”
Dan Allah telah mengharamkan semua makanan yang khabits dalam firman-Nya, “Dan dia menghalalkan yang baik dan mengharamkan atas mereka segala yang buruk (menjijikkan).” (QS. Al-A’araf: 157)
termasuk juga binatang yg diperintahkan dibunuh.
Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِى أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِى الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِى الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang membunuh cicak pada pukulan pertama maka dituliskan untuknya seratus kebaikan, jika dia membunuhnya pada pukulan kedua maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan pada pukulan ketiga maka dia mendapatkan pahala kurang dari itu.” (HR. Muslim no. 2240)
Banyak di antara ulama yang menyebutkan sebuah kaidah yang berbunyi: Semua hewan yang boleh dibunuh maka dia haram untuk dimakan, dan hal itu menunjukkan pengharaman, karena perintah untuk membunuhnya -padahal telah ada larangan untuk membunuh hewan-hewan ternak yang boleh dimakan tapi bukan bertujuan untuk dimakan-, menunjukkan kalau dia adalah haram. Kemudian, yang nampak dan yang langsung dipahami bahwa semua hewan yang Rasulullah  izinkan untuk membunuhnya tanpa melalui jalur penyembelihan yang syar’iyah adalah hewan yang haram untuk dimakan. Karena seandainya dia bisa dimanfaatkan dengan dimakan maka beliau pasti  tidak akan mengizinkan untuk membunuhnya, sebagaimana yang jelas terlihat. Lihat Bidayah Al-Mujtahid (1/344) dan Tafsir Asy-Syinqithi (1/273)
apalagi telah disepakati para ulama' keharamannya.
tokek/cicak adalah hewan yang haram untuk dimakan. Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (15/186), “Dan cicak/tokek telah disepakati bahwa dia adalah hewan yang haram dimakan.”
SYUBHAT : Al Mardawi Al Hambali dalam Al Inshaf menyatakan bahwa yang shahih dalam pendapat madzhab, cicak termasuk hewan yang darahnya tidak mengalir, sama halnya seperti ular.
JAWAB : anda memotong terjemahnya.seharusnya darah yg mengalir.lihat teks aslinya
قال المرداوي الحنبلي في الإنصاف: والصحيح من المذهب: أن الوزغ لها نفس سائلة. نص عليه كالحية

SYUBHAT : Kesimpulannya, kebanyakan ulama berpendapat bahwa kotoran najis yang sedikit dari hewan yang sulit dihindari dimaafkan (al ‘afwu).
JAWAB : ini kesimpulan yg tergesa-gesa dan tanpa tafshil alias tidak terperinci.
dan dalam minhajul qawim jilid 1 halaman 30
ﻭﻳﻌﻔﻰ ﻋﻦ ﺫﺭﻕ اﻟﻄﻲﻭﺭ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺇﻥ ﻛﺜﺮ ﻟﻤﺸﻘﺔ اﻻﺣﺘﺮاﺯ ﻋﻨﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺘﻌﻤﺪ اﻟﻤﺸﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺟﺔ ﺃﻭ ﻳﻜﻮﻥ ﻫﻮ ﺃﻭ ﻣﻤﺎﺭﺳﻪ ﺭﻃﺒًﺎ،
jg dalam tuhfah jilid 2 halaman 120
ﻭﻳﺴﺘﺜﻨﻰ ﻣﻦ اﻟﻤﻜﺎﻥ ﺫﺭﻕ اﻟﻄﻲﻭﺭ ﻓﻴﻌﻔﻰ ﻋﻨﻪ ﻓﻴﻪ ﺃﺭﺿﻪ، ﻭﻛﺬا ﻓﺮاﺷﻪ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﺟﻪ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﻓﺎ ﻭﻟﻢ ﻳﺘﻌﻤﺪ ﻣﻼﻣﺴﺘﻪ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻻ ﻳﻜﻠﻒ ﺗﺤﺮﻱ ﻏﻴﺮ ﻣﺤﻠﻪ ﻻ ﻓﻲ اﻟﺜﻮﺏ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻌﺘﻤﺪ 

beliau menyinggung mslh kotoran burung(dalam madzhab syafi'i najis),dan kotoran burung ini di ma'afkan saja jika ia mau sholat disekitarnya itu,karen susahnya menghindar dr kotoran2 itu,
ini masalahnya pd masjidil haram atau masjid2 yg tdk ada atapnya yg mudah dlalui burung diatasnya,sehingga tdk bs lg di hindari jika burung di atas membuang kotoran,
di ma'afkan kotoran burung ini
dgn syarat kotorannya tidak mengenai badan nya atau tidak ia injak lalu menempel di kakinya,dan kotorannya kering,tidak basah,kalau basah maka tidak di ma'afkan,

di qiyaskan lebih aula /lebih2 dr kotoran burung(dalam madzhab syafi'i najis),yaitu kotoran cicak,
maka dgn ini di hukumkan bhw:
kotoran cicak adalah najis yg di ma'afkan pd tempat sholat dgn syarat
1- tidak basah
2- tidak menempel dibadan waktu sholat
3- tidak nempel dipakaiannya waktu sholat
adapun jika segera membuangnya saat itu maka tidak batal

jd sama hukumnya baik banyak atau sedikit jika kotoran cicak itu kering,maka termasuk najis yg ma'fu(dimaafkan)

tp jika tahi cacak itu basah,maka gairu ma'fu teta najis sama saja baik  sedikit apalagi banyak,
kan sedikit ?sedikit itu kalau aslinya banyak kemudian yang ada cuma separo atau lebih sedikit lagi.adapun kotoran cicak walaupun utuh ya kecil dari dulu ya segitu kecuali kalau tersisa sebagian kecil mungkin dima'fu.

Minggu, 17 Mei 2015

HARAMKAH MENCUKUR JENGGOT?




SYUBHAT : Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, sementara masalah ini termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.
JAWABAN : yang benar itu fatwa tentang nabi Muhammad teladan ahlussunnah bukan ahlul bid’ah.baca fatwanya :
Dalam riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir) Dalam riwayat lain disebutkan: “Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”, maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)
Jadi fatwanya berdasarkan keteladanan dari nabi sendiri.
SYUBHAT :
Dalam riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ (رواه البخاري رقم 5892)
“Ibnu Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi (genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892)
al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:
وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه " (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)
“Dan telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)
JAWABAN : sekali lagi anda kurang teliti. أَخَذَ مِنْ artinya mengambil sebagian bukan memotong jenggot seluruhnya.
SYUBHAT :
Dalam riwayat berbeda dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ (ابو داود . إسناده حسن اهـ فتح الباري 350/10)
Dari Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Ahli hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata:
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك (عون المعبود ج 9 / ص 246)
“Di dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)
JAWABAN :  يُقَصِّرُونَ artinya sekedar memendekkan bukan memotong.
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
وقد حدث قوم يحلقون لحاهم وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها
Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].

SYUBHAT : Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah pernah melakukan salat.
JAWABAN : yang benar sebagian sahabat membolehkan yg lebih satu genggam bukan mencukur habis.itupun hanya saat haji dan umroh
’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
كانوا يحبون أن يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih]
Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :
وقصها ـ أي اللحية ـ سنة المجوس, وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya – yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah kaum Majusi. Hal itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah” [Al-Hujjatul-Baalighah 1/182].

SYUBHAT : Imam an-Nawawi berkata:
 ( وَفِّرُوا اللِّحَى ) فَحَصَلَ خَمْس رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ، وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن (شرح النووي على مسلم - ج 1 / ص 418)
“Dari 5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus” (Syarah Muslim 1/418)
JAWABAN : قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء pendapat sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya DARI PARA ULAMA’.
Demikianlah pendapat imam nawawi sebagaimana dinukil ibnu hajar dalam fathul bari 10/350 :
والمختار تركها على حالها pendapat terpilih adalah membiarkan jenggot apa adanya.
Imam nawawi mengatakan :
وكان من عادة الفرس قص اللحية فنهى الشرع عن ذلك
Dan  termasuk kebiasan orang Persia adalah mencukur jenggot maka syariat telah melarang hal itu (syarh shohih muslim 3/149)
Adapun pendapat qodhi ibn iyadh berdasarkan hadits ghorib dhoif.
وَقَال عِيَاضٌ : الأْخَذُ مِنْ طُول اللِّحْيَةِ وَعَرْضِهَا إِذَا عَظُمَتْ حَسَنٌ ، بَل تُكْرَهُ الشُّهْرَةُ فِي تَعْظِيمِهَا كَمَا تُكْرَهُ فِي تَقْصِيرِهَا ، وَمِنَ الْحُجَّةِ لِهَذَا الْقَوْل مَا وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ طُولِهَا وَعَرْضِهَا
(Mausu’ah al-Fiqhiyyah 35/225)
Hadits itu riwayat tirmidzi dan dilemahkan oleh ibnu hajar dalam fathul bari 10/350) jadi dasar pemakruhan itu lemah sekali.

SYUBHAT : Dengan demikian, dapat disimpulkan:
«حَلْقُ اللِّحْيَةِ» ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ : الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا   ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ : أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ (الموسوعة الفقهية ج 2 / ص 12894)
“Bab tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah, Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)
JAWAB : anda itu ahlus sunnah atau ahlul makruh???kalau ahlus sunnah kenapa gandrung sama yg makruh?
Justru disana disimpulkan :
وَأَمَّا حَلْقُ اللِّحْيَةِ فَمَنْهِيٌّ عَنْهُ dan adapun mencukur jenggot maka itu dilarang(Mausu’ah al-Fiqhiyyah 18/97)
Itu adalah kesimpulan alqolyubi.dalam bugyatul mustarsyidin 1/40 :
على أنه لا يكره الأخذ من طول اللحية وعرضها كما ورد في الحديث ، وإن نص الأصحاب على كراهته ، نعم نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها

Jadi nash makruh itu bedasarkan hadits dhoif.sedangkan imam syafi’I tegas pengharamannya
Dan imam syafi’I dalam al umm 6/82 dg tegas melarangnya :
وَإِنْ كان في اللِّحْيَةِ لَا يَجُوزُ
SYUBHAT : Sayidina Umar Berkumis
عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضَبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ. (رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح خلا عبد الله بن أحمد وهو ثقة مأمون إلا أن عامر بن عبد الله بن الزبير لم يدرك عمر اهـ مجمع الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5 / ص 200)
“Diriwayatkan dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya dan meniup” (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih, selain Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah bin Zubair tidak menjumpai Umar)
al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَقَدْ رَوَى مَالِك عَنْ زَيْد بْن أَسْلَمَ " أَنَّ عُمَر كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبه " فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرهُ . وَحَكَى اِبْن دَقِيق الْعِيد عَنْ بَعْض الْحَنَفِيَّة أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْس بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِب فِي الْحَرْب إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ وَزَيَّفَهُ  (فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 479)
“Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan bahwa Umar memanjangkan kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti musuh” (Fath al-Baarii 16/479)
JAWAB : memintal kumis tidak berarti membiarkan panjang tanpa aturan.sama halnya dg membiarkan jenggot ada yg berijtihad tidak lebih dari segenggam begitu pula kumis ada yg berpendapat tidak melebihi tepi bibir.
عن أنس قال وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Kami diberi waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut buku ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40 malam” [HR. Muslim no. 258, Abu Dawud no. 4200, An-Nasa’i no. 14, Abu ‘Awanah no. 354, dan yang lainnya].
بن بسر وعتبة بن عبد السلمي والحجاج بن عامر الثمالي والمقدام بن معد يكرب الكندي كانوا يقصون شواربهم مع طرف الشفة
Dari Syarahbiil bin Muslim Al-Khaulaniy ia berkata : “Aku melihat lima orang dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang memotong kumis mereka dan memelihara jenggot mereka dan dengan mewarnainya warna kuning. Mereka adalah : Abu Umamah Al-Bahiliy, ‘Abdullah bin Busr, ‘Utbah bin ‘Abd As-Sulamiy, Al-Hajjaj bin ‘Amir Ats-Tsamaliy, dan Al-Miqdam bin Ma’dikarib Ak-Kindiy. Mereka semua memotong kumis mereka hingga tepi bibir bagian atas” [HR. Al-Baihaqi 1/151 no. 698].
عن مالك بن أنس إحفاء بعض الناس شواربهم فقال مالك ينبغي أن يضرب من صنع ذلك فليس حديث النبي صلى الله عليه وسلم في الإحفاء ولكن يبدي حرف الشفتين والفم قال مالك بن أنس حلق الشارب بدعة ظهرت في الناس
Dari Malik bin Anas bahwa ia ditanya tentang perbuatan sebagian manusia yang memotong pendek/habis kumis mereka, maka beliau menjawab : ”Layak bagi orang yang melakukannya untuk dipukul. Tidaklah hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk memotong pendek/habis, akan tetapi ia hanya memotong yang lebih dari tepi dua bibir dan mulut”. Malik kemudian berkata : ”Mencukur habis kumis merupakan bid’ah yang berkembang di kalangan manusia” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 1/151 no. 699].
SYUBHAT :Mencukur habis jenggot itu hukumnya dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh dan yang mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sendiri adalah makruh, bukan haram.”
JAWAB : Yang diperselisihkan adalah mencukur jenggot melebihi segenggam.adapun mencukur habis jenggot itu telah disepakati keharamannya.
Ibnu Hazm :
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.
SYUBHAT :
Sementara Imam Ahmad bin Hanbal sendiri, masih memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan. Dalam hal ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:

فَأَمَّا حَفُّ الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنِ الْحَفِّ فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.
“Adapun menghilangkan rambut dari wajah, maka Muhannad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang menghilangkan rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak ada-apa bagi kaum wanita dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 1 hal. 105).
JAWAB : makruh disitu maksudnya makruh tahrim.terlihat al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah sendiri menyatakan denda bagi yg tidak tumbuh jenggotnya.
Kalau hanya sekedar makruh tanzih tidak akan sampai didenda.
وفي شعر اللحية الدية إذا لم ينبت
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد في المذهب ، حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].

SYUBHAT :“Sebagian ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat yang mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.”
Ibnul Mulaqqin berkata demikian:

وقال الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق سباله، لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق اللحية حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.
"Al-Halimi berkata dalam Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan kemaluan". Apa yang disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus, meskipun yang diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin (wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”
JAWABAN :itu yg terkenal.namun yg benar pengharamannya sebagaimana dikatakan al-adzaro’I dalam hasyiyah ibnu qosim atas tuhfatul muhtaj 9/376 karangan ibnu hajar al haitami dan dalam I’anat at-tholibin 2/340:
قال ابن حجر الهيتمي في تحفة المحتاج (قال الشيخان يكره حلق اللحية واعترض ابن الرفعة في حاشية الكافية بأن الشافعي نص في الأم على التحريم ، قال الزركشي وكذا الحليمي في شعب الإيمان وأستاذه القفال الشاشي في محاسن الشريعة ، وقال الأذرعي الصواب تحريم حلقها جملة لغير علة
Yg masyhur belum tentu benar.orang yg benar hanya mencari yg benar bukan asal masyhur.
Pendapat makruh itu hanyalah golongan mutaakkhirrin.sedangkan mutaqoddimiin dan kibarus syafi’iyyah sepakat keharamannya termasuk imam syafi’I sendiri.
Imam al halimi adalah syaik/tetuanya ulama’ syafi’iyyah dan termasuk ulama’ terkemuka dalam madzhab syafi’I dan dia salah satu gurunya imam al hakim.sebagaimana di katakan imam addzahabi dalam siyar17/162-231:
وصفه الإمام الذهبي بقوله: " شيخ الشافعية " وقال عنه: " ومن أصحاب الوجوه في المذهب " كما في السير (17/ 162-231)
Imam al-adzdzaro’I adalah gurunya imam azzarkasyi dia mempunyai pemikiran yg cerdas sebagaimana termaktub dalam thobaqotul fuqoha’ 1/276 :
كان ذا فهم ثاقب، وفكر دقيق، وله[ توجيهات] مليحة وتصانيف عجيبة
Dalam fathul mu’in 2/340 :
ويحرم حلق لحية وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل الجمهور على أن الأولى ترك اللحية على حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].
SYUBHAT ;

وَفِي اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً مِنْ بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ وَنَتْفُهَا وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا
“Mengenai jenggot terdapat sepuluh perkara yang makruh, sebagian lebih kuat kemakruhannya dari pada yang lain. Yaitu menyemirnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang, mencabutnya, mencabut ubannya saja dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1 hal, 277).
JAWABAN : kalau kemakruhannya berbeda-beda mengapa anda memastikan itu makruh tanzih saja. Seperti menyemir rambut dg hitam dan mencabut uban apakah makruh tanzih atau tahrim ?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، قَالَ: ثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، قَالَ: ثَنَا أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ أَيُّوبَ يُحَدِّثُ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي الصَّعْبَةِ، عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ "، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ رِجَالا يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ، فَقَالَ: " مَنْ شَاءَ نَتَفَ شَيْبَهُ "، أَوْ قَالَ: " نُورَهُ ".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ma’iin, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jariir bin Haazim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Ayyuub menceritakan dari Yaziid bin Abi Habiib, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Sha’bah, dari Hanasy Ash-Shan’aaniy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang ditumbuhi uban dalam jalan Allah, maka baginya cahaya kelak di hari kiamat”. Seorang laki-laki bertanya kepada beliau : “Sesungguhnya beberapa orang laki-laki mencabut uban”. Maka beliau bersabda : “Barangsiapa yang ingin mencabut ubannya – atau beliau bersabda : cahayanya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 5493].
Dhahir larangan dalam riwayat ini menunjukkan keharaman mencabut uban. Begitu pula dengan riwayat Anas radliyallaahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْمُثَنَّى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " يُكْرَهُ أَنْ يَنْتِفَ الرَّجُلُ الشَّعْرَةَ الْبَيْضَاءَ مِنْ رَأْسِهِ، وَلِحْيَتِهِ، قَالَ: وَلَمْ يَخْتَضِبْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا كَانَ الْبَيَاضُ فِي عَنْفَقَتِهِ، وَفِي الصُّدْغَيْنِ، وَفِي الرَّأْسِ نَبْذٌ "
Telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsannaa bin Sa’iid, dari Qataadah, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Dibenci bagi seseorang mencabut uban yang ada di kepala dan jenggotnya”. Ia juga berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyemirnya. Uban beliau hanyalah ada pada bawah bibir, kedua pelipis, dan sedikit yang tumbuh di kepala” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2341].
Hal itu dikarenakan dalam nash dan terminologi salaf, makruh seringkali digunakan dalam makna haram.
Misalnya dalam firman Allah ta’ala :
كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا
Semua itu kejahatannya amat dibenci (makruuh) di sisi Tuhanmu” [QS. Al-Israa’ : 38].
Maksudnya, semua kejahatan yang tercantum dalam ayat-ayat sebelumnya berupa syirik, durhaka pada orang tua, menghambur-hamburkan harta, zina, dan yang lainnya adalah dibenci (makruh) di sisi Allah. Makruh di sini maknanya haram.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad, dari ‘Umaarah bin Ghaziyyah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ دَاوُدَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ إِتْيَانَ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا، وَيَعِيبُهُ عَيْبًا شَدِيدًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib, dari Daawud, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia membenci seseorang yang mendatangi istrinya pada duburnya, dan mencelanya dengan keras” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1119; shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، نا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ مَسْجِدًا بَيْنَ الْقُبُورِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaam, dari Qataadah, dari Anas; ia (Qataadah) berkata : “Anas membenci membangun masjid di antara kubur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 7654; shahih].
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaaniy rahimahullah berkata :
لا يَنْبَغِي لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَلْبَسَ الْحَرِيرَ، وَالدِّيبَاجَ وَالذَّهَبَ، كُلُّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ لِلذُّكُورِ مِنَ الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ
 “Tidak boleh bagi laki-laki muslim memakai sutera dan emas. Semuanya itu adalah makruh bagi laki-laki, baik anak-anak ataupun orang tua” [Al-Muwaththa’ lil-Maalik bi-Riwaayati Muhammad bin Al-Hasan, 3/375].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وَكَذَلِكَ الْمُسْتَحِلُّ لِإِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ، فَهَذَا كُلُّهُ عِنْدَنَا مَكْرُوهٌ مُحَرَّمٌ
“Dan begitu pula dengan orang yang menghalalkan menjimai wanita dari duburnya, maka semua ini adalah makruh lagi diharamkan di sisi kami” [Al-Umm, 6/227].
أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: " كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ مَكْرُوهٌ "، قَالَ مَعْمَرٌ: وَقَالَهُ قَتَادَةُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Ibnu Siiriin, ia berkata : “Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah makruh”. Ma’mar berkata : “Hal itu juga dikatakan oleh Qataadah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 14657].
Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba, dan riba adalah haram.
Al-Haazimiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْحَلِفُ بِغَيْرِ اللَّهِ: فَهُوَ مَكْرُوهٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْم
“Adapun bersumpah dengan selain Allah, maka itu makruh menurut para ulama” [Al-I’tibaar, 2/782]. 
 Oleh karena itu, tidak ada petunjuk dari riwayat ini yang memalingkan asal keharaman yang ada pada nash sebelumnya.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم،.
”Sebagian ulama’ ada yang memberikan keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh. Bahkan An-Nawawi menganggapnya MAKRUH yang lebih dekat kepada HARAM. [Fathul-Baari 10/354-355].