Minggu, 18 Desember 2016

Koreksi Pemahaman Terhadap Hadits Tentang Umur Umat Islam (3)

(Bagian terakhir dari tiga tulisan)
Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan beberapa poin sanggahan atas pendapat yang mengatakan bahwa umur umat Islam adalah 1400-1500 tahun, dan masih tersisa satu pendapat lagi yang belum disanggah, yaitu pendapat As-Suyuti rahimahullah.
Setelah merujuk ke kitab As Suyuti, ternyata atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti hingga mengatakan bahwa Allah menangguhkan umat Islam sampai lebih dari 1000 tahun, dan lebihnya tidak akan lebih dari 500 tahun (alias maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun), semuanya adalah atsar-atsar yang tergolong dha’if. Sementara atsar sahabat yang sahih dalam bab ini, menurut para ulama sumbernya adalah dari ahli kitab. Kesimpulannya, semua atsar ini tidak bisa jadi pijakan dalam masalah yang sangat vital seperti ini.
Oleh karenanya, pendapat As-Suyuti tersebut dibantah oleh As-Shan’ani dalam risalahnya yang berjudul كم الباقي من عمر الدنيا؟ (Berapa Sisa Umur Dunia?). As-Shan’ani menyebutkan atsar-atsar yang menjadi pijakan As-Suyuti, yaitu:
1. Atsar Abdullah bin Amru bin Ash yang berbunyi:
يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغرهبا مائة وعشرين سنة
Setelah matahari terbit dari Barat, manusia akan tetap eksis selama 120 tahun“.
2. Bahwasanya Isa Al-Masih akan tetap hidup selama 40 tahun setelah membunuh Dajjal.
3. Kemudian setelah itu Isa akan menggantikan kepemimpinan seorang lelaki dari Bani Tamim selama 3 tahun.
4. Dan bahwasanya manusia akan tetap hidup 100 tahun setelah Allah mengirim angin baik yang mencabut ruh setiap mukmin, akan tetapi mereka yang masih hidup tersebut tidak mengenal agama apa pun.
Setelah menyebutkan atsar-atsar tadi, As-Shan’ani lantas berkata:
فهذه مئتان وثلاث وستون سنة، ونحن الآن في قرن الثاني عشر، ويضاف إليه مئتان وثلاث وستون سنة، فيكون الجميع أربعة عشر مئاة وثلاث وستون، وعلى قوله إنه لا يبلغ خمسمئة سنة بعد الألف، يكون منتهى بقاء الأمة بعد الألف: أربعمئة وثلاث وستين سنة، يتخرج منه أن خروج الدجال –أعاذنا الله من فتنتهقبل انخرام هذه المئة التي نحن فيها!
“Berarti, total temponya ialah 263 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada abad ke-12 hijriyah, yang bila ditambah 263 tahun, berarti totalnya 1463 tahun. Dan menurut pendapat As-Suyuti yang mengatakan, ‘Bahwa penangguhan umur umat islam tidak lebih dari 500 tahun setelah berlalu seribu tahun,’ berarti batas akhir eksistensi umat Islam setelah melalui 1000 tahun, adalah 463 tahun. Kesimpulannya, keluarnya Dajjal –semoga Allah melindungi kita darinya– adalah sebelum abad ke-12 H ini berakhir!”1
Jadi, ternyata atsar-atsar yang dijadikan pijakan oleh As-Suyuti untuk menentukan batas umur umat Islam maksimal adalah 1500 tahun itu memiliki kalkulasi yang berbeda. Sebabnya, 1500 tahun itu masih dikurangi peristiwa-peristiwa berikut:
1. Tempo 120 tahun setelah matahari terbit dari barat.
2. Tempo 40 tahun dari keberadaan Isa Al-Masih setelah terbunuhnya Dajjal.
3. Tempo 3 tahun ketika Isa menggantikan kepemimpinan seorang lelaki Bani Tamim.
4. Tempo 100 tahun setelah semua orang beriman diwafatkan melalui berhembusnya angin baik.
Totalnya dari data di atas ialah 120 + 40 + 3 + 100 = 263 tahun. Kesimpulannya, umur umat Islam harus berakhir setelah melalui (1500 – 263 =) 1237 tahun. Dengan kata lain, semua peristiwa besar tadi mestinya telah muncul pada tahun 1237 H menurut kalkulasi As-Suyuti (yang ternyata tidak terjadi)!
Dari sini saja terbukti betapa rancunya pendapat tersebut, apalagi jika dilihat dari banyaknya tanda-tanda hari kiamat yang belum muncul, seperti jazirah Arab kembali menghijau dan dialiri sungai-sungai. Ini pun bukan sesuatu yang bersifat temporer, melainkan menjadi ciri dominan bagi jazirah Arab. Dan kita lihat sampai sekarang hal itu belum terwujud.
Demikian pula tentang kaya rayanya umat Islam sehingga seseorang tidak lagi mendapati orang yang mau menerima sedekahnya. Demikian pula tentang kembalinya paganisme di jazirah Arab, penyembahan terhadap berhala-berhala Latta dan ‘Uzza dan semisalnya yang dahulu pernah disembah.
Demikian pula perang besar antara kaum muslimin dengan Yahudi hingga orang-orang Yahudi bersembunyi di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tersebut memanggil kaum muslimin, “Yaa Muslim (hai orang islam)… Yaa ‘Abdallaah (hai hamba Allah), ini ada orang Yahudi bersembunyi di belakangku, kemari dan bunuhlah dia!” Dan panggilan ini (Yaa Muslim ataupun Yaa ‘Abdallah) menunjukkan betapa Islam telah mewarnai kaum muslimin, serta peribadatan kepada Allah semata (tauhid) juga telah mendominasi kaum muslimin. Sebabnya, hakikat Islam adalah tauhid dan panggilan tersebut adalah pengakuan atas keislaman kaum muslimin hari itu2.
Kalau kita lihat hari ini semua hal tersebut masih jauh dari kenyataan mengingat syirik masih mendominasi umat yang mengaku muslim hari ini. Entah perlu berapa lama lagi untuk mewujudkan Islam dan tauhid yang sebenarnya di tengah-tengah umat. Wallaahu a’lam.
Penulis: Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan, MA.
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
Referensi:
  • Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
  • Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
  • Shahih Bukhari.
  • Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
  • Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
  • (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
____
1 Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا) hal 40.
2 Disusun ulang dari penjelasan Asy Syaikh Al ‘Allaamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ketika ditanya tentang bagaimana kaum muslimin dapat merebut kembali Palestina dari tangan yahudi, dapat dilihat di: (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117).

Koreksi Pemahaman Terhadap Hadits Tentang Umur Umat Islam (2)


Dalam bagian sebelumnya telah diulas dalil-dalil dan alasan sebagian kalangan yang menganggap bahwa umur umat Islam adalah antara 1400-1500 tahun sejak diutusnya Nabi Muhammad shallallaahu‘alaihi wa sallam.
Dan sanggahan pertama atas syubhat ini ialah bahwa yang disebutkan dalam hadits itu sekadar perumpamaan yang bersifat longgar dan tidak bisa menjadi sumber hukum (hujjah) dalam masalah fikih. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh sejumlah ulama seperti Imamul Haramain, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar.
Oleh karenanya, dalam syarahnya Ibnu Hajar mengatakan, “Mereka yang lebih banyak amalnya (Yahudi dan Nasrani) tidak harus berarti lebih lama eksistensinya karena ada kemungkinan bahwa beramal di masa mereka lebih berat sehingga pahalanya otomatis lebih besar. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah yang artinya, ‘Wahai Rabb kami, janganlah Kaubebankan kepada kami beban yang berat, sebagaimana yang telah Kau bebankan kepada orang-orang sebelum kami’.”
Alasan lain yang menguatkan bahwa yang dimaksud oleh hadits ini ialah sebatas banyak sedikitnya amal tanpa dikaitkan dengan panjang pendeknya tempo masing-masing umat adalah bahwa mayoritas ahli sejarah menyebutkan selang waktu antara Nabi Isa ‘alaihissalaam dengan Nabi kita shallallaahu’alaihi wa sallam adalah 600 tahun, dan ini merupakan pendapat Salman Al Farisi yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari. Meski demikian, ada pula yang berpendapat bahwa temponya kurang dari itu, sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa selang waktunya hanya 125 tahun!
Padahal, kita menyaksikan bahwa selang waktu yang telah dilalui oleh umat Islam sejauh ini adalah lebih dari 600 tahun1. Dengan demikain, bila kita berpegang pada pendapat bahwa yang dimaksud adalah perumpamaan panjang pendeknya tempo masing-masing umat (alias bukan banyak sedikitnya amal mereka), maka konsekuensinya waktu asar harus lebih panjang daripada waktu zuhur, padahal tidak ada seorang alim pun yang berpendapat demikian. Ini berarti bahwa yang dimaksud lewat perumpamaan tersebut sebenarnya ialah banyak-sedikitnya amalan. Wallaahu Ta’ala a’lam. (Fathul Baari, Ibnu Hajar, 2/50-51, cet. Daarul Kutub Al-Ilmiyyah).
Ibnu Rojab mengatakan, “Menentukan sisa waktu (umur) dunia dengan bersandar kepada hadits-hadits seperti ini adalah sesuatu yang tidak dibenarkan karena hanya Allah-lah yang mengetahui kapan terjadinya kiamat, dan tidak seorang pun yang diberitahu tentang waktunya. Oleh karenanya, Nabi ketika ditanya tentang kapan terjadinya kiamat telah menjawab, ‘Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya’.” Jadi, maksud dari perumpamaan Nabi dalam hadits ini ialah sekedar mendekatkan waktu terjadinya hari kiamat, tanpa menentukan waktunya. (Fathul Baari, Ibnu Rajab, 4/338).
Selain itu, bila kita perhatikan dalam hadits-hadits di atas, Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam menyebutkan dua hal,
Pertama: perumpamaan antara ajal (umur) umat Islam dibanding ajal umat-umat sebelum kita. Dan ini berarti meliputi seluruh manusia sejak zaman Adam ‘alaihissalam hingga diutusnya Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam, alias tidak terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja.
Kedua: perumpamaan antara balasan amal umat islam dengan balasan amal dua umat besar sebelum kita, yaitu Yahudi dan Nasrani. Kesimpulannya, menghitung umur umat Islam dengan cara yang telah disebutkan (umur Yahudi minus umur Nasrani) adalah keliru karena mestinya yang jadi acuan adalah umur semua umat, yang dibandingkan dengan umat Islam. Dan umur semua umat zahirnya seperti panjangnya waktu antara terbit fajar hingga waktu asar, sedangkan umur umat islam sesingkat waktu antara asar hingga magrib. Berhubung kita tidak tahu berapa lama usia umat-umat terdahulu, maka mustahil kita bisa memprediksi umur umat Islam
Jadi, perbandingan antara umat Islam dengan ahli kitab, bukan dalam hal panjang-pendeknya umur masing-masing, melainkan dalam hal banyak sedikitnya pahala yang didapat oleh masing-masing lewat amalnya. Ini dikarenakan saat berbicara tentang umat Islam dengan ahli kitab, Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan “ajal” atau “eksistensi”, tetapi menggunakan istilah “orang yg diberi kitab lalu mengamalkannya hingga waktu tertentu”, atau dengan istilah “orang yang mempekerjakan suatu kaum”, dan sejenisnya, sehingga tidak bisa menjadi acuan untuk menghitung umur masing-masing umat.
Dari sini, ketika disebut dalam hadits bahwa orang-orang Yahudi beramal hingga tengah hari, tidak berarti mereka beramal sejak terbit fajar karena sebelum mereka ada sejumlah umat yang berumur ribuan tahun telah mendahului mereka dalam amal, dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam tidak menyebutkan sejak kapan Yahudi mulai beramal. Namun, hanya dijelaskan bahwa mereka beramal hingga masuk waktu zuhur. Oleh karenanya, tidak bisa dijadikan acuan untuk menghitung berapa umur nisbah umur mereka dibanding umur Nasrani dan umat Islam.
Di samping itu, hadits perbandingan umur kita dengan umur-umur umat sebelum kita, bisa dipahami dari sisi lain, yaitu bahwa umur rata-rata individu umat Islam adalah jauh lebih singkat dibanding umur rata-rata individu umat-umat sebelumnya. Sebagaimana singkatnya waktu asar dibanding waktu siang secara keseluruhan. Jika kita anggap waktu asar sekitar 3 jam, sedangkan waktu siang adalah 12 jam, berarti rata-rata umur individu umat Islam adalah seperempat umur individu umat sebelumnya, namun umat Islam diberi pahala yang lebih besar. Pemahaman ini justru lebih sesuai dengan maksud hadits yang ingin menonjolkan besarnya karunia Allah atas umat Muhammad, yakni walau usianya lebih pendek dan amalnya relatif lebih sedikit, tetapi pahala yang diterimanya lebih banyak.
Bersambung…
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
***
Penulis: Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Referensi:
  • Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
  • Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
  • Shahih Bukhari.
  • Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
  • Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
  • (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
____
1 Dengan mengingat bahwa Ibnu Hajar hidup antara tahun 773-852 H, yang berarti bahwa ketika beliau menuliskan kata-kata tersebut, umat Islam telah berumur lebih dari 800 tahun sejak diutusnya Rasulullah shallallaahu‘alaihi wa sallam.

Koreksi Pemahaman Terhadap Hadits Tentang Umur Umat Islam (1)

(Bagian pertama dari tiga tulisan)
Dalam Shahihnya, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu’anhu. Terjemahan bebas hadits ini ialah: Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian ialah seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari. Ahli Taurat (Yahudi) diberi kitab Taurat, lalu beramal sehingga tatkala mencapai tengah hari (zuhur) mereka tak sanggup lagi beramal, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian ahli Injil (Nasrani) diberi Injil, lalu beramal hingga masuk waktu salat asar, lalu tidak sanggup melanjutkan, lalu diberi pahala seqirat-seqirat. Kemudian kita diberi AlQur’an, dan kita beramal (dari asar) hingga tenggelam matahari, dan kita diberi pahala dua qirat-dua qirat. Maka, kedua ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) bertanya, Wahai Rabb kami, (mengapa) Engkau beri mereka (muslimin) pahala dua qirat, dan kami (hanya) satu qirat, padahal kami lebih banyak amalnya? Apakah Aku mengurangi pahala (yang kujanjikan) bagi kalian? tanya Allah. Tidak,’ jawab mereka. Itulah keutamaan yang kuberikan kepada siapa yang kukehendaki,’ jawab Allah”.
Dalam hadits lainnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa AlAsy’ari, bahwa Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bersabda yang artinya: “Perumpamaan kaum muslimin, Yahudi, dan Nasrani ialah seperti seseorang yang menyewa suatu kaum agar bekerja hingga malam. Maka kaum tersebut bekerja hingga tengah hari dan mengatakan, Kami tak butuh kepada upahmu. Lalu, orang tersebut mengupah kaum lainnya dan berkata, Lanjutkanlah waktu yang tersisa dari hari ini dan kalian akan mendapat upah yang kusyaratkan. Maka, mereka pun bekerja hingga tiba waktu salat asar dan berkata, Jerih payah kami untukmu (tidak minta upah). Kemudian, orang tersebut menyewa kaum lainnya dan kaum tersebut bekerja mengisi sisa waktu hari itu hingga tenggelam matahari dan mereka mendapat upah sebanyak upah kedua kaum sebelumnya.1
Dalam syarahnya yang berjudul Fathul Baari (jilid 4 hal 566 cet. Daarul Kutub AlIlmiyyah), Ibnu Hajar mengatakan sebagai berikut yang artinya: Hadits ini dijadikan dalil2 bahwa eksistensi umat ini mencapai lebih dari seribu tahun, sebab konsekuensi dari hadits ini ialah bahwa eksistensi Yahudi setara dengan gabungan eksistensi (umur) Nasrani dan muslimin. Sedangkan ahli sejarah telah sepakat bahwa tenggang waktu yang dilalui umat Yahudi hingga diutusnya Nabi adalah lebih dari 2000 tahun, sedangkan tempo yang dilalui Nasrani hingga diutusnya Nabi adalah 600 tahun, dan ada pula yang mengatakan kurang dari itu, sehingga tempo yang akan dilalui kaum muslimin pasti lebih dari seribu tahun.
Ibnu Hajar juga mengatakan sebelumnya sebagai berikut: Hadits ini juga mengandung isyarat akan singkatnya umur dunia yang tersisa. Jadi, kalkulasi umur umat Islam sama dengan umur Yahudi dikurangi umur Nasrani, alias 2000 lebih sedikit dikurangi 600 tahun, yakni 1400 tahun lebih sedikit.
Sementara itu, AsSuyuti dalam kitab (الكشف عن مجاوزة هذه الأمة الألف) mengatakan: “Berdasarkan sejumlah riwayat (atsar), umur umat ini (islam) adalah lebih dari seribu tahun, namun lebihnya tidak mungkin lebih dari 500 tahun (al Kasyf hal 206). Artinya, maksimal umur umat ini adalah 1500 tahun.”
Dari kedua pendapat inilah lantas disimpulkan bahwa umur umat Islam berkisar antara 1400-1500 tahun, sedangkan kita saat ini berada pada tahun 1437 H. Sebagaimana dimaklumi, bila ditambahkan 13 tahun (periode prahijrah sejak masa kenabian Rasulullah shallallaahu’alaihi wa sallam), berarti umur umat Islam saat ini adalah 1450 tahun. Artinya, tempo yang tersisa sehingga umat ini punah ialah 50 tahun saja. Dan bila kita tinjau dari hadits shahih tentang turunnya Isa Al-Masih di akhir zaman menjelang kiamat, kita dapatkan bahwa Isa Al-Masih akan hidup selama 40 tahun di bumi sebelum akhirnya wafat dan disalatkan oleh kaum Muslimin (berdasarkan H.R. Abu Dawud, disahihkan oleh Al-Albani). “Artinya, turunnya Isa Al-Masih tinggal kurang dari 10 tahun lagi dari sekarang! Dan turunnya Isa Al-Masih merupakan salah satu tanda besar hari kiamat!” demikianlah menurut pendapat yang meyakini kalkulasi tersebut.

Koreksi Atas Kalkulasi Di Atas

Perlu diketahui, bahwa kedua hadits dalam Shahih Bukhari di atas, bukanlah dalam konteks menjelaskan umur umat Islam, melainkan sekadar membuat perumpamaan. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat 795 H): “Hadits ini disampaikan oleh Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam sekedar sebagai perumpamaan, dan perumpamaan itu cenderung bersifat longgar.” (Fathul Baari 4/341)
Sementara itu, Imamul Haramain (wafat 478 H) mengatakan: “Hukum-hukum agama tidak boleh diambil dari hadits-hadits yang disampaikan dalam bentuk perumpamaan.” (Fathul Baari 2/50).
Jadi, sabda Nabi shallallaahu’alaihi wa sallam bahwa, “Perumpamaan eksistensi kalian (umat Islam) dibanding umat-umat sebelum kalian…” jelas dalam rangka membuat perumpamaan karena menggunakan harf tasybih (“kaaf”). Ini bisa dilihat kembali dalam lanjutan hadits tersebut (كما بين صلاة العصر إلى غروب الشمس) yang diterjemahkan sebagai “seperti waktu antara salat asar hingga tenggelam matahari”.
Perhatikan satu contoh ketika dikatakan (كاألسد زيد) “Zaid seperti singa”, artinya bukan berarti sama persis seperti singa, melainkan ada salah satu sifat khas singa yang dimiliki Zaid, yaitu pemberani. Dan berdasar kaidah dalam metode penyerupaan, yang diserupakan tidak harus sama dengan contohnya, kata benda yang terletak sebelum kata “seperti” tidak harus sama persis dengan yang terletak setelahnya. Ibnu Hajar mengatakan, “Penyerupaan dan permisalan tidak harus berarti menyamakan dari semua sisi” (Fathul Baari, 2/50).
Dengan demikian, ketika Nabi menyerupakan eksistensi kita dibanding umat-umat sebelumnya ialah seperti tempo antara masuknya waktu asar hingga terbenam matahari, maka ini sekedar permisalan dengan maksud mubaalaghah (majas hiperbola) dalam menjelaskan dekatnya terjadinya hari kiamat. Dan hal ini bukan berarti bahwa eksistensi umat akan sesingkat itu. Dari sini, jelaslah bahwa Nabi tidak sedang menjelaskan umur umat Islam dalam hadits tersebut, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan.
Bersambung…
Solo, 29 Jumada Tsaniyah 1437 H, bertepatan dengan 7 Maret 2016 M.
***
Penulis: Dr. Sufyan bin Fuad Baswedan
Doktor Ilmu Hadits dari Universitas Islam Madinah, KSA.
Referensi:
  • Kitab (الإفحام لمن زعم انقضاء عمر أمة الإسلام), Abdul Hamid Hindawi.
  • Risalah (كم الباقي من عمر الدنيا؟) Ash Shan’ani.
  • Shahih Bukhari.
  • Fathul Baari, Ibnu Rojab Al Hambaly.
  • Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani.
  • (كتب ورسائل الشيخ ابن عثيمين 8/117) Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
____
1 Artinya, walau tempo kerja mereka paling singkat, namun upahnya setara dengan upah yang disyaratkan bagi kedua kaum sebelum mereka, yang bekerja dari pagi hingga sore.
2 Ini berarti bahwa Ibn Hajar sekadar menukil pendapat sebagian kalangan dalam menafsirkan hadits tersebut tanpa menyebut siapa orang yang berpendapat. Dengan kata lain, ini pendapat yang bersumber dari orang misterius yang agaknya bukan tergolong ulama panutan. Andai saja orangnya tergolong ulama panutan, pastilah namanya layak untuk disebutkan. Jadi, Ibnu Hajar sendiri sama sekali tidak bisa dianggap menyetujui pendapat tersebut karena beliau sendiri menukilnya dengan shighat mabni lil majhul, yang identik dengan shighat tamridh, dan shighat tamridh mengesankan lemahnya pendapat yang dinukil.

Umur Umat Islam 1500 Hijriyyah hoax


Bismillah…
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh…
ustadz,, sya mendengarkan video kajian yg disampaikan oleh Al-Ustadz Z******* M A** yang berjudul “umur umat islam didunia” …
beliau menceritakan bahwa umur umat islam didunia tidak sampai 1500 Hijriyah..
berdasarkan hadits mutawatir (tapi tidak menyebutkan atsarnya)…
pertanyaan sya..
–> apakah memang benar hadits tersebut shohih ?? tolong berikan penjelasannya ustadz…
jazakumullah khoiron…
Dari Hilmi

Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam warahmatullah wabarokatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Pertama, Prinsip penting yang perlu kita kedepankan terkait kiamat, bahwa kiamat pasti terjadi, meskipun tidak ada satupun yang tahu kapan itu terjadi, selain Allah Ta’ala.
Prinsip ini berulang kali Allah tegaskan dalam al-Quran dalam bentuk jawaban kepada orang yang suka bertanya tentang kapan kiamat,
Diantaranya, firman Allah,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Kapankah itu terjadi?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu hanya di sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. al-A’raf: 187).
Di ayat lain, Allah juga berfirman,
يَسْأَلُكَ النَّاسُ عَنِ السَّاعَةِ ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّـهِ ۚ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ تَكُونُ قَرِيبًا
“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”. Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat waktunya.” (QS. al-Ahzab: 63).
Kemudian, Allah juga berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا . فِيمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا . إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا
(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya? Siapakah kamu sehingga dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan ketentuan waktunya. (Qs. an-Nazi’at: 42 – 44)
Dan kita bisa perhatikan, semua jawaban yang Allah berikan di atas, lebih dekat pada konteks celaan. Karena orang yang bertanya tentang itu, terkesan tidak percaya akan adanya kiamat. Andai berusaha mencari tahu waktu kiamat adalah tindakan yang mulia dan bermanfaat, tentu Allah Ta’ala akan memuji perbuatan mereka. Namun yang ada justru sebaliknya, Allah sebutkan ayat di atas, dalam konteks menjelaskan sifat orang kafir yang mencoba untuk membantah kebenaran kiamat. Sehingga, tentu saja sikap semacam ini bukan sikap terpuji, karena termasuk ciri khas orang kafir.
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas,
“Semata menggali kapan kimat, sudah dekat atau masih jauh, tidak memiliki manfaat sama sekali. Yang lebih penting adalah kondisi manusia di hari kiamat, rugi, untung, celaka, ataukah bahagia. Bagaimana seorang hamba mendapatkan adzab ataukah sebaliknya, mendapatkan pahala..” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, 672).
Kemudian dalam hadis dari Umar tentang kedatangan Jibril, dinyatakan bahwa Jibril bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan kiamat. Jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya..” (HR. Bukhari 4777 dan Muslim 106).
Kita bisa perhatikan, dua makhluk terbaik, malaikat terbaik (Jibril) dan manusia terbaik (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak diberi tahu oleh Allah kapan terjadinya kiamat, mungkinkah ada manusia yang jauh lebih rendah kedudukannya mengetahui kapan kiamat?.

Ada Ulama Yang Menghitung Usia Kaum Muslimin

Meskipun kita akui, ada beberapa ulama yang berusaha memprediksi terjadinya kiamat. Diantaranya adalah Imam Ibnu Jarir At-Thabari (wafat 310 H) rahimahullah, beliau menggali berbagai dalil – sekalipun dhaif – dan menyimpulkan bahwa kehancuran dunia setelah 500 tahun setelah kenabian. (Mukadimah Ibnu Khaldun, hlm. 449).
Saat ini telah melewati 1400 pasca-kenabian, dan tidak benar apa yang beliau prediksikan.
Menyusul selanjutnya adalah Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 911 H) rahimahullah. Beliau menulis satu kumpulan riwayat yang berjudul “Al-Kasyaf” yang menyimpulkan bahwa kiamat akan terjadi di awal abad 15 H. (Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyah, 2/66. Dinukil dari Al-Qiyamah Al-Kubro, Dr. Umar Al-Asyqar, hlm. 122).
Mengingat ini hanya prediksi tanpa dasar yang jelas, dan murni ijtihad, terlebih itu bertentangan dengan prinsip yang diajarkan dalam syariat, maka tidak selayaknya kita jadikan sebagai acuan.

Persiapkan Bekal untuk akhirat, itu yang penting!

Mencoba menggali waktu kiamat, sama sekali tidak memiliki urgensi bagi kehidupan manusia. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang berusaha menyiapkan amal baik, yang bisa menjadi bekal di hari kiamat.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa ada orang arab badui yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kapan kiamat. Di situ, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru balik bertanya,
وَيْلَكَ، وَمَا أَعْدَدْتَ لَهَا
Celaka kamu, apa yang kamu persiapkan untuk kiamat? (HR. Bukhari, Muslim, At-Turmudzi dan yang lainnya).
Allahu a’lam.

Uang Suami, Uang Istri; Uang Istri, Uang istri pribadi ???

pertanyaan :

Apa benar, harta suami berarti harta istri juga. Dan harta istri, milik istri pribadi. Mohon pencerahannya…


Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Islam menghargai harta seseorang. Mengakui keabsahannya, selama harta itu diperoleh dengan jalan halal.
Baik itu harta milik pria maupun wanita, milik suami maupun istri. Semua orang mempunyai hak kepemilikan penuh terhadap harta pribadinya.
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala telah membedakan antara harta suami dan harta istri. Seperti yang Allah ungkapkan terkait aturan pembagian warisan. Karena itu, suami bisa mendapat warisan dari harta istri, sebaliknya istri juga mendapat warisan dari harta suami.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ
“Kalian wahai para suami, berhak mendapatkan warisan seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh para istri, jika istri tidak mempunyai anak. Namun, Jika istrimu itu mempunyai anak, maka kamu berhak mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya. Warisan itu dibagi sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat dan sesudah dibayar utangnya. Para istrimu berhak memperoleh warisan seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Namun, jika kamu mempunyai anak, maka istrimu hanya berhak memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan. (QS. An Nisa: 12)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala membedakan antara harta suami dan harta istri. Sehingga ketika meninggal, ada yang diwariskan untuk keluarganya. Si suami baru berhak menguasai harta istrinya sebagai warisan, setelah istrinya meninggal. Itupun dalam jumlah tertentu yang ditetapkan syariat. Demikian pula istri. Dia berhak mendapat bagian warisan dari harta suaminya, dengan jumlah tertentu yang ditetapkan syariat.
Adanya saling mewarisi antara suami dan istri, menunjukkan bahwa apa yang dimiliki suami tidak otomatis menjadi milik istri dan sebaliknya. Masing-masing memiliki hak atas harta yang mereka miliki. Jika semu harta yang masuk ke dalam rumah menjadi milik bersama, tentu tidak ada aturan masalah warisan.
Lalu apa hak istri?
Jika istri tidak bekerja, lalu apa hak istri untuk mencukupi kebutuhan?
Istri punya hak untuk mendapatkan nafkah dari suami. Nafkah dengan nilai yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun suami tidak berkewajiban memberi lebih dari nafkah.
Allah berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Lelaki itu menjadi pemimpin bagi para istrinya, disebabkan Allah memberikan kelebihan bagi mereka dan karena mereka memberikan nafkah kepada istrinya dari harta mereka. (QS. an-Nisa: 34)
Boleh saja suami menyerahkan seluruh uang penghasilannya kepada istri untuk dikelola demi mencukupi kebutuhan keluarga. Namun, perlu diingat bahwa harta tersebut adalah tetap dalam hitungan kepemilikan suami. Istri hanya sekedar pengelola. Oleh karena itu, istri harus berusaha maksimal dalam memegang amanah, tidak boleh dipergunakan di luar batas kebutuhan kecuali atas izin dari suaminya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan keberadaan istri sebagai pengemban amanah di rumah suaminya,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، … ، وَالْمَرْأَةُ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهْىَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
Kalian semua adalah penanggung dan akan ditanya tentang apa yang dia pertaggung jawabkan… wanita menjadi penanggung jawab di rumah suaminya, dan dia akan ditanya tentang apa yang dia pertanggung jawabkan…(HR. Bukhari 2409)
Ketika istri menjadi ratu di rumah suaminya, dia bertanggung jawab untuk menjaga harta suami yang ada di rumahnya. Terutama ketika suami sedang pergi. Meskipun harta itu di luar kepemilikan istri. Allah berfirman menyebutkan ciri wanita sholihah,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Wanita shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, untuk sesuatu yang dipelihara oleh Allah. (QS. an-Nisa: 34)
Ibnu Katsir menyebutkan keterangan ahli tafsir, Imam as-Sudi, dia menjaga dirinya, kehormatannya dan harta suaminya, ketika suaminya tidak ada di rumah. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/293).
Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
خَيْرُ النِّسَاءِ الَّتِي إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا
Sebaik-baik istri adalah wanita yang jika suaminya melihatnya, menyenangkan suaminya, jika diperintahkan suaminya, dia mentaatinya, dan jika suaminya jauh darinya, dia bisa menjaga kehormatan dirinya dan hartanya. (HR. Thayalisi 2444 dan al-Bazzar 8537).
Demikian, Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

BOLEHKAH BERTANYA BERAPA PENGHASILAN SUAMI ?


Asy-Syaikh Musthafa Mabram hafizhahullah

Pertanyaan: Bolehkah seorang istri untuk bertanya kepada suaminya tentang berapa gaji bulanan dan pemasukannya, karena menurutnya itu sebagai bukti adanya saling percaya diantara suami istri?

Jawaban: Tidak, hal itu tidak boleh bagi istri, dan suami tidak wajib baginya untuk memberitahunya jika dia tidak meremehkan dalam menafkahi istrinya dengan cara yang baik dan sesuai keumuman, yaitu nafkah yang pertengahan (tidak berlebihan atau standar orang kaya dan juga tidak kurang atau standar orang miskin -pent). Jadi jika dia telah menafkahi istrinya maka tidak sepantasnya bagi istrinya tersebut untuk menanyakan sesuatu yang tidak dia beritahukan kepadanya sama sekali, terlebih lagi jika seorang istri melihat suaminya bisa tersinggung atau keberatan jika ditanya berapa penghasilannya dan berapa yang masih tersisa darinya? Jadi bagaimanapun tidak sepantasnya untuk melakukan semacam ini.
Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, pelajaran ke-2

Sumber || http://telegram.me/fawaidmbrm
———
هل من حقّ الزَّوجة أن تسأل زوجها عن راتبه الشَّهري وعن دخله زعمًا منها أنَّ ذلك دليل على الثِّقة بين الزَّوجين؟
لا، ليس لها ذلك ولا يجب عليه أن يُخبرها إذا كان لا يُقصِّر في نفقتها بالمعروف المتعارف عليه وهو نفقة أوسط النَّاس، فإذا كان يُنفق عليها فإنَّها لا ينبغي لها أن تسأل عن شيء لم يُخبرها به أصلًا، خصوصًا إذا رأت المرأة أنَّ زوجها ربَّما يمتعض من هذا الأمر وما يُحصِّله وما بقيَ عنده، فلا ينبغي على كلِّ حال فعل هذا.

Rabu, 07 Desember 2016

ibnu taimiyyah mengajak demo ???

Kisah ibnu Taimiyah dan pencaci Nabi.. Sebuah pelajaran
Tepatnya dibtahun 693H, waktu itu Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berusia 32 tahun. Terjadi kisah Assaf seorang nashrani.
Al Imam ibnu Katsir bercerita:
"Assaf ini seorang penduduk Suwaida. Banyak orang yang menyaksikan ia mencaci Nabi shallalllahu alaihi wasallam.
Lalu si Assaf minta perlindungan kepada ibnu Ahmad bin Haji.
Maka Ibnu Taimiyah bertemu dengan Zainudin Al Fariqi dan keduanya masuk kepada amir (pemimpin) Izzuddin Aibak Al hamawi.
Keduanya berbicara kepadanya mengenai si nashrani yang mencaci Nabi.
Izzuddin pun menyambut baik keduanya dan akan menghadirkan orang nashrani ini.
Keduanya pun keluar bersama jumlah banyak dari manusia.
Lalu orang orang melihat Assaf datang bersama arab badui. Orang orangpun mencaci makinya.
Maka orang arab badui ini berkata: "Si Assaf ini lebih baik dari kalian!"
Maka orang orangpun melemparinya dengan batu dan mengenai si Assaf dan terjadi keributan yang kuat.
Al Barzali bercerita:
Mendengar itu marahlah Naib sultonah (amiir izzuddin). Dan meminta ibnu Taimiyah dan Al Fariqi untuk hadir lalu keduanya dipukuli dan dipenjara di Madrosah Adzrowiyah.
Kemudian menyuruh memukul sekelompok orang dan dipenjara enam orang. Kemudian wali negeri itu mengumpulkan manusia dan memukuli beberapa jamaah.
Naib sultonah (Izzuddin) juga berusaha berusaha mengukuhkan permusuhan antara si Nashrani dan orang orang yang menyaksikan pada waktu itu agar ia bisa menyelamatkannya.
ibnu Katsir bercerita:
Kemudian dipanggillah ibnu Taimiyah dan Al Fariqi dan dimintai keridloannya lalu keduanya dilepaskan.
(Lihat Al Bidayah wannihayah 17/665-666 karya ibnu Katsir, dan kitab Almuqtafa 'alarroudlotain 2/363 karya Al Barzali).
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran:
1. Mengingkari penista agama dengan cara melaporkannya kepada penguasa. Bukan dengan main hakim sendiri.
2. Para ulama hendaknya yang langsung berbicara kepada penguasa, karena merekalah yang mampu menyampaikan dengan hujjah dan akhlak. Sebagaimana dilakukan oleh ibnu Taimiyah dan Al Fariqi yang langsung berbicara dengan naaib sultonah izzudin alhamawi. Ini sesuai dengan perintah Nabi untuk menyampaikan nasehat secara rahasia.
3. Dalam kisah tersebut, tidak disebutkan bahwa ibnu Taimiyah dan Al Fariqilah yang mengerahkan masa. Namun keduanya pergi diikuti banyak orang yang juga sama sama ingin mengadukan si pencela Nabi kepada penguasa.
4. Sikap arogan dan kekerasan bukanlah solusi memecahkan permasalahan. Bahkan seringkali menimbulkan mudlarat yang lebih besar, bahkan malah ibnu taimiyah dan al fariqi yang dipukuli bersama jamaah lainnya.
5. Para ulama hendaknya tidak memanas manasi manusia dengan provokasi. Lihatlah bagaimana sikap ibnu Taimiyah dan Al Fariqi dipukuli, mereka sama sekali tidak memprovokasi masa dan memilih bersabar.
Coba renungkan, bagaimana bila para pendemo yang berdalil dengan kisah ibnu taimiyah ini ditangkapi oleh pemerintah dan dipukuli, akankah mereka bersikap seperti ibnu Taimiyah dan alfariqi?
6. Keluarnya orang orang awam untuk berdemo seringkali menimbulkan keributan dan mudah terpancing emosi. Lihatlah ketika orang orang itu dipanas panasi oleh arab badui bahwa si Assaf lebih baik dari kalian. Mereka langsung melempari dengan batu sehingga terjadi keributan.
Ini menunjukkan perbuatan mereka malah menimbulkan kemungkaran yang lebih besar.
7. Kisah para ulama bukanlah dalil, karena dalil adalah alquran, hadits dan ijma. Ulama adalah manusia biasa yang bisa jatuh kepada kesalahan

mengapa pemimpin mayoritas muslim seorang non muslim

Imam Ath Turtusyi berkata, "Aku selalu mendengar ucapan orang orang yang mengatakan: "Perbuatan kalian menentukan siapa pemimpin kalian. Sebagaimana kalian berada pada suatu keadaan, maka demikianlah keadaan pemimpin kalian. Sampai aku dapati sebuah ayat yang semakna dengan perkataan tersebut, yaitu firman Allah Ta'ala:
وكذلك نولى بعض الظالمين بعضا بما كانوا يكسبون
"Demikianlah kami menjadikan untuk orang orang yang zalim itu pemimpin dari orang orang zalim juga disebab perbuatan (dosa dosa mereka)." (Al An'am: 129)
Maka yang kamu ingkari di zamanmu tersebut adalah akibat kerusakan perbuatanmu".
(Sirojul Muluk hal. 197).

jangan sombong wahai pecinta alqur'an !

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

وليأتين على الناس زمان يتعلمون فيه القرآن، يتعلمونه ويقرأونه، ثم يقولون قد قرأنا وعلمنا، فمن ذا الذى هو خير منا ؟ فهل فى أولئك من خير " . قالوا يا رسول الله، من أولئك ؟ .. قال :
" أولئك منكم، وألئك هم وقود النار "

Benar benar akan datang kepada manusia suatu zaman, mereka mempelajari alquran dan menghafalnya. Kemudian mereka berkata, "Kita telah menghafal dan memahaminya, maka adakah orang yang lebih baik dari kami ?"
Nabi bersabda, "Apakah (menurut kalian) mereka ada kebaikannya?"
Para shahabat berkata, "Siapakah mereka wahai Rasulullah ?"
Beliau bersabda, "Mereka itu termasuk dari kalian (umat islam). Mereka itu adalah bahan bakar api Neraka."
(HR Ath Thabrani, hasan lighairihi).

syubhat : para sahabat mengqiyaskan ibadah ???

syubhat :
Para sahabat dan pengikut mereka telah melakukan qiyas dalam hal ibadah, sebagaimana dalam beberapa kasus berikuti ini:

1) Khalifah Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq ketika menunaikan ibadah haji, melalui ijtihad atau qiyas dengan dianalogikan pada Qarn, sebagai miqat bagi penduduk Najd. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ لَمَّا فُتِحَ هَذَانِ الْمِصْرَانِ أَتَوْا عُمَرَ فَقَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّ لأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنًا وَهُوَ جَوْرٌ عَنْ طَرِيقِنَا وَإِنَّا إِنْ أَرَدْنَا قَرْنًا شَقَّ عَلَيْنَا قَالَ فَانْظُرُوا حَذْوَهَا مِنْ طَرِيقِكُمْ فَحَدَّ لَهُمْ ذَاتَ عِرْقٍ.
“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Setelah dua kota, Basrah dan Kufah ditaklukkan, mereka mendatangi Khalifah Umar, lalu berkata: “Wahai Amirul Mukmin, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan Qarn sebagai batas miqat bagi penduduk Najd, dan itu jauh dari jalan kami. Dan apabila kami hendak ke Qarn, kami terasa berat.” Ia menjawab: “Lihatlah daerah yang lurus Qarn di jalan kalian.” Lalu Umar menjadikan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat bagi penduduk Iraq.” (HR. al-Bukhari, [1531]).

Al-Syaukani berkata, dari redaksi hadits di atas, tampaknya Khalifah Umar menetapkan Dzatu ‘Irqin sebagai batas miqat berdasarkan ijtihad atau qiyas. (Al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/33). Dalam riwayat Ahmad [4455], terdapat tambahan, bahwa para sahabat menganalogikan Dzatu ‘Irqin dengan Qarn.

2) Para sahabat, dipimpin Khalifah Umar radhiyallahu ‘anhum menetapkan hukuman had bagi peminum khamr dengan 80 cambukan, dengan dianalogikan pada hukuman qadzaf (menuduh berzina), dengan alasan bahwa peminum khamr, itu mabuk. Jika mabuk dia akan meracau. Jika meracau, akan membuat tuduhan dusta. Sedangkan hukuman had penuduh adalah 80 cambukan. Karena itu para sahabat mencambuk peminum khamr dengan 80 cambukan. Al-Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:

عَنْ عَلِىٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَلَدَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم أَرْبَعِينَ وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ.
“Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencambuk 40 kali, Abu Bakar 40 kali, dan Umar 80 kali. Semuanya adalah sunnah.” (HR. Muslim [4554]).

Para ulama salaf, setelah generasi sahabat juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Para ulama tabi’in dan imam mujtahid banyak sekali melakukan qiyas dalam hal ibadah. Hal ini bisa dicontohkan dalam banyak kasus antara lain kasus hukum zakat:

Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa illat atau alasan kewajiban zakat dalam pertanian dan buah-buahan adalah faktor dapat menguatkan (iqtiyat) dan dapat disimpan (iddikhar). Oleh karena itu mereka mewajibkan zakat terhadap gandum, sya’ir, jagung, kurma, kacang, kacang himmish, kacang turmus dan julban. Bahkan madzhab Maliki mencatat dua puluh jenis hasil pertanian yang wajib dizakati, padahal yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya lima jenis saja, dengan alasan sama-sama menjadi makanan yang menguatkan dan dapat disimpan.

Sementara Imam Ahmad bin Hanbal, menurut pendapat yang paling populer dari beliau, alasan atau illat wajib zakat dalam pertanian adalah dapat dikeringkan dan mampu bertahan (al-yabas wa al-baqa’). Oleh karena itu, setiap hasil pertanian atau buah-buahan yang dapat dikeringkan dan mampu bertahan, wajib dizakati. Hal ini seperti gandum sult, beras, gandum dukhn, kacang masy, buah cumin, biji rami, biji mentimun, kerai, biji lobak, sesame, badam, kenari, kemiri dan lain-lain. (Al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni, juz 2 hlm 290-292).

Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa alasan atau illat wajib zakat pada pertanian dan buah-buahan adalah dapat mendatangkan hasil dan dapat dikembangkan (al-istighlal wa al-nama’). Oleh karena itu, Abu Hanifah mewajibkan zakat pada setiap tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang keluar dari bumi, yang bertujuan diambil hasilnya dan dikembangkan. Sehingga seandainya seseorang memiliki lahan, ditanami bambu atau rumput, maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Ibnu al-Humam, Fath al-Qadir, juz 2 hlm 502).

jawab :
>أن أصل العبادة لا يصح إثباته بالقياس، فلا يصح لنا أن نثبت صلاة جديدة مثلا لو جعل الإنسان قال في وسط النهارهناك صلاتان الظهر والعصر فيجعل في وسط الليل صلاتين العشاء والصلاة الأخري نقول هذا مردود غير مقبول، لماذا؟ لأن أصل العبادة لا يثبت بالقياس.
Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan dengan qiyas.
بخلاف تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث ترد التسمية في الوضوء  فنقول بمشروعية التسمية للوضوء  لذا لو جاء الإنسان قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك وجهه.
Lain halnya dengan detail ibadah, maka terkadang kita menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat yang sangat beralasan”[Muhadharah Virtual Pertama untuk materi Fiqh Ibadah dalam Daurah Minah yang diselenggarakan oleh Jamiah al Ma’rifah al ‘Alamiyyah 1433 H tepatnya pada menit 9:12 sampai 10:26 dalam rekaman muhadharah]

12 rabi'ul awwal hari berkabung ???

syubhat : 
MELAWAN KELOMPOK GAGAL FAHAM
Bulan ini kita memasuki bulan Rabiul Awal, bulan di mana mayoritas umat Islam di seluruh dunia bersukacita merayakan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan seperti biasanya, pada bulan seperti ini kelompok yang gagal faham selalu mencari-cari alasan untuk melemahkan semangat kaum Muslimin merayakan hari kelahiran baginda.
Menurut kelompok yang gagal faham tersebut, pada bulan Rabiul Awal ini, selain merupakan hari kelahiran, juga sekaligus hari wafatnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itu, menurut kelompok gagal faham ini, sudah sewajarnya pada bulan ini umat Islam tidak bersukacita dengan hari lahirnya baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan justru berkabung dengan wafatnya baginda.
Tentu saja alasan kelompok gagal faham ini tidak sesuai dengan kaedah yang berlaku dalam ajaran agama. Islam lebih menekankan merayakan kesyukuran atas suatu karunia dan kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah, daripada meratapi musibah yang telah terjadi.
Sebagai contoh, hari Jumat adalah hari diciptakannya Nabi Adam ‘alaihissalam, bapak umat manusia, dan sekaligus hari wafatnya Nabi Adam ‘alaihissalam. Islam justru menjadikan hari Jumat sebagai hari raya bagi umat Islam, bukan hari berkabung.
Hari Asyura adalah hari selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam bersama kaumnya dari kejaran Raja Fir’aun dan bala tentaranya, sekaligus hari syahidnya Sayyidina Husain bin Ali radhiyallaahu ‘anhuma di Karbala oleh tentara Yazid bin Muawiyah. Islam menjadikan hari Asyura sebagai hari raya bagi umat Islam dengan dianjurkannya berpuasa sebagai rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam. Para ulama fuqaha justru mencela sebagian umat Islam, yaitu Syiah, yang menjadikian hari Asyura sebagai hari berkabung atas gugurnya Sayyidina Husain ‘alaihissalam.
Seandainya hari wafatnya seorang yang besar harus dijadikan hari berkabung, tentu setiap hari kita akan berkabung, karena dalam hari-hari yang telah berlalu, pasti ada seorang nabi atau kekasih Allah yang wafat pada hari tersebut. Wallahu a'lam.

jawab : hehe..betapa lucu gaya berfikirnya ahli bid'ah ini..salafi tidak pernah menganjurkan berkabung atas hari atau tanggal wafat nabi.. namun semua dikembalikan ke syariat dengan dalil shohih bukan rekaan semata.

Ada pendapat bahwa tanggal 12 Rabi’ul awwal tidak shahih
Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu,
وقد حقق بعض الفلكيين المتأخرين ذلك; فكان في اليوم التاسع لا في اليوم الثاني عشر.
“Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabi’ul Awal, bukan 12 Rabi’ul Awal.” [Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid 1/238,  Darul Aqidah, Koiro, 1425 H]

Berkata ulama ahli sejarah Ibnu Katsir rahimahullahu mengenai atsar berikut,
عَنْ جَابِرٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ. قَالَا: وُلِدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفِيلِ
يَوْمَ الِاثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَفِيهِ بعث، وفيه عرج به إلى السماء،
وفيه هَاجَرَ، وَفِيهِ مَاتَ. فِيهِ انْقِطَاعٌ
“Dari Jabir dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun Gajah, hari senin, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, dan pada tanggal tersebut diutus menjadi nabi, melakukan isra’ ke langit, berhijrah dan meninggal. Sanadnya terputus [Al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir 3/135, Dar Ihya’ At-Turats, 1408 H, Asy-Syamilah]

Ikhtilaf ulama mengenai tanggal lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Berkata Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu,
ثم اختلفوا فقيل: لليلتين خلتا منه وقيل: لثمان خلت منه وقيل: لعشر
وقيل: لاثنتي عشرة وقيل: لسبع عشرة وقيل: لثماني عشرة
“kemudian para ulama berselisih [mengenai tanggal kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam], dikatakan tanggal 2 Rabi’ul Awwal, tanggal 8 Rabi’ul Awwal, tanggal 10 Rabi’ul Awwal, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tanggal 17 Rabi’ul Awwal, dan tanggal 18 Rabi’ul Awwal” [Lathaa’iful Ma’aarif hal. 93, Dar Ibnu Hazm, cet. Ke-1, 1424 H, Asy-Asyamilah]

Berkata Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu,
أن هؤلاء الذين يحتفلون بمولد النبي صلى الله عليه وسلم لا يقيدونه بيوم الاثنين،
بل في اليوم الذي زعموا مولده فيه
“Mereka berselisih mengenai waktu kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , perselisihan tidak hanya terbatas mengenai hari senin saja, bahkan mereka juga berselisih pada tanggal yang mereka sangka sebagai tanggal kelahiran beliau” [Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid 1/238,  Darul Aqidah, Koiro, 1425 H]

Ada klaim kesepakatan ulama tanggal wafat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Perlu diketahui bahwa pendapat tanggal kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengklaim bahwa disepakati yaitu 12 Rabi’ul Awwal. Para ulama berusaha mencari tanggal pastinya Karena ada kepentingan syariat di sana, yaitu sejak tanggal tersebut terputuslah wahyu sehingga jika ada klaim turun wahyu setelah tanggal tersebut maka tertolak. Walaupun ada ikhtilaf juga dalam hal ini. Berbeda dengan tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak ada kepentingan syariat pada tanggal tersebut.

Berkata ahli sejarah Ibnu Hisyam rahimahullahu,
واتفقوا أنه توفي – صلى الله عليه وسلم – يوم الاثنين … قال أكثرهم
في الثاني عشرمن ربيع ولا يصح أن يكون توفي صلى الله عليه وسلم إلا في الثاني
من الشهرأو الثالث عشر أو الرابع عشر أو الخامس عشر لإجماع المسلمين
على أن وقفة عرفة في حجة الوداع كانت يوم الجمعة وهو التاسع من ذي الحجة
“Para Ulama bersepakat bahwa Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam  wafat pada hari senin… Mayoritas mereka berkata: pada tanggal dua belas Rabiul Awal. Dan tidak shahih tentang tanggal wafatnya kecuali pada hari kedua atau ketiga belas, atau keempat belas, atau kelima belas, karena sudah disepakati bahwa wuquf di arafah pada haji wada’ terhadap pada hari Jum’at, yaitu hari kesembilan bulan Dzulhijjah… “ [Ar-Raudh al-Anfu Syarhu Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam karya Imam as-Suhaili 4/439, Asy-Syamilah].

BAHSUL MASA'IL LBM PCNU JEMBER TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DI JALAN

*BAHSUL MASA'IL LBM PCNU JEMBER TENTANG HUKUM SHALAT JUM'AT DI JALAN DALAM KONTEKS DEMONSTRASI 212*
Deskripsi masalah
Dalam kongres PP. Muslimat NU ke-17 di Jakarta, Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj memberi pernyataan bahwa melaksanakan salat Jumat di jalan raya tidak sah menurut mazhab Imam Syafi’i dan Maliki.
Di sisi lain, LBM PBNU, seperti diberitakan NU Online pada tanggal 24 November 2016, memutuskan bahwa salat jum’at di jalan sah menurut mayoritas ulama kecuali Imam Malik, tetapi haram disebabkan mengganggu ketertiban umum dan membuat kemacetan.
Sebelum itu semua, Dr. Abd. Moqsith Ghazali wakil ketua LBM PBNU juga mengatakan bahwa salat jumat di jalan raya tidak sah dengan berlandaskan pada keterangan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ yang menyatakan bahwa salat Jum’at tidak sah kecuali dalam abniyah yang beliau pahami dengan makna bangunan yang terdiri dari kayu, batu, dan bahan-bahan material lainnya. Hal ini membuat masyarakat menjadi bingung.
(LDNU Jember)
*Pertanyaan*:
1. Apa yang dimaksud dengan abniyah dalam bab Jumat pada kitab-kitab fikih?
2. Bagaimana hukumnya salat Jumat selain di masjid?
3. Bagaimana hukumnya bila salat Jumat dilaksanakan di jalan raya?
4. Bagaimana hukumnya salat Jumat di jalan raya dalam konteks rencana demonstrasi 212 yang dianggap menimbulkan kemacetan dan mengganggu ketertiban umum?
*Jawaban*:
1. Yang dimaksud _abniyah_ adalah area pemukiman penduduk, bukan suatu bangunan.
Ini berarti salat Jumat harus dilaksanakan di area pemukiman, bukan harus di dalam bangunan.
كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار (ص: 142)
لصِحَّة الْجُمُعَة شُرُوط بَقِيَّة شُرُوط الصَّلَاة مِنْهَا دَار الْإِقَامَة وَهِي عبارَة عَن الْأَبْنِيَة الَّتِي يستوطنها الْعدَد الَّذين يصلونَ الْجُمُعَة سَوَاء فِي ذَلِك المدن والقرى والمغر الَّتِي تتَّخذ وطناً
النجم الوهاج في شرح المنهاج 2/457
قال: (الثاني: أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمعين) - وهم: عدد تنعقد بهم الجمعة فصاعدا- أي: تشترط إقامتها في بقعة معدودة من بلد
المجموع شرح المهذب - (ج 4 / ص 505)
* (فرع) لا تصح الجمعة عندنا إلا في أبنيه يستوطنها من تنعقد بهم الجمعة ولا تصح في الصحراء وبه قال مالك وآخرون * وقال أبو حنيفة وأحمد يجوز اقامتها لاهل المصر في الصحراء كالعيد * واحتج أصحابنا بما احتج به المصنف ان النبي صلي الله عليه وسلم وأصحابه لم يفعلوها في الصحراء مع تطاول الازمان وتكرر فعلها بخلاف العيد وقد قال صلى الله عليه وسلم " صلوا كما رأيتموني أصلي "
2. Menurut madzhab Syafi’i , Hanafi dan Hanbali hukumnya sah selama berada di darul iqamah (area pemukiman penduduk).
Pendapat yang mengharuskan pelaksanaan sholat jum’at di masjid hanyalah madzhab Maliki
وقال في "طرح التثريب" (3/ 190) :
"مذهبنا [ أي : مذهب الشافعية ] : أن إقامة الجمعة لا تختص بالمسجد ، بل تقام في خِطة الأبنية ؛ فلو فعلوها في غير مسجد لم يُصلّ الداخل إلى ذلك الموضع في حالة الخطبة ، إذ ليست له تحية " انتهى .
وقال في " الإنصاف" (2/ 378) ـ من كتب الحنابلة ـ :
" قوله ( ويجوز إقامتها في الأبنية المتفرقة , إذا شملها اسم واحد ، وفيما قارب البنيان من الصحراء ) وهو المذهب مطلقا . وعليه أكثر الأصحاب . وقطع به كثير منهم . وقيل : لا يجوز إقامتها إلا في الجامع " انتهى. وأما المالكية ، فاشترطوا لإقامتها الجامع ، كما سبق .قال خليل المالكي في شروط الجمعة : " وبجامع مبني متحد ".
روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 4)
الشَّرْطُ الثَّانِي: دَارُ الْإِقَامَةِ، فَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْجُمُعَةِ دَارُ الْإِقَامَةِ، وَهِيَ الْأَبْنِيَةُ الَّتِي يَسْتَوْطِنُهَا الْعَدَدُ الَّذِينَ يُصَلُّونَ الْجُمُعَةَ، سَوَاءٌ فِيهِ الْبِلَادُ، وَالْقُرَى، وَالْأَسْرَابُ الَّتِي يَتَّخِذُهَا وَطَنًا، وَسَوَاءٌ فِيهِ الْبِنَاءُ مِنْ حَجَرٍ، أَوْ طِينٍ، أَوْ خَشَبٍ. وَأَمَّا أَهْلُ الْخِيَامِ النَّازِلُونَ فِي الصَّحْرَاءِ، وَيَتَنَقَّلُونَ فِي الشِّتَاءِ وَغَيْرِهِ، فَلَا تَصِحُّ جُمُعَتُهُمْ فِيهَا، فَإِنْ كَانُوا لَا يُفَارِقُونَهَا شِتَاءً وَلَا صَيْفًا، فَالْأَظْهَرُ أَنَّهَا لَا تَصِحُّ. وَالثَّانِي: تَصِحُّ وَتَجِبُ. وَلَوِ انْهَدَمَتْ أَبْنِيَةُ الْقَرْيَةِ، أَوِ الْبَلَدِ، فَأَقَامَ أَهْلُهَا عَلَى الْعِمَارَةِ، لَزِمَهُمُ الْجُمُعَةُ فِيهَا، سَوَاءٌ كَانُوا فِي مَظَالٍّ، أَوْ غَيْرِهَا، لِأَنَّهُ مَحَلُّ الِاسْتِيطَانِ. وَلَا يُشْتَرَطُ إِقَامَتُهَا فِي مَسْجِدٍ، وَلَا فِي كُنٍّ، بَلْ يَجُوزُ فِي فَضَاءٍ مَعْدُودٍ مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ، فَأَمَّا الْمَوْضِعُ الْخَارِجُ عَنِ الْبَلَدِ الَّذِي إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ الْخَارِجُ لِلسَّفَرِ قَصَرَ، فَلَا يَجُوزُ إِقَامَةُ الْجُمُعَةِ فِيهِ.
الفقه على المذاهب الأربعة (1/ 351)
هل تصح صلاة الجمعة في الفضاء؟ اتفق ثلاثة من الأئمة على جواز صحة الجمعة في الفضاء، وقال المالكية: لا تصح إلا في المسجد وقد ذكرنا بيان المذاهب تحت الخط (1) .
(1) المالكية قالوا: لا تصح الجمعة في البيوت ولا في الفضاء، بل لا بد أن تؤدي في الجامع. الحنابلة قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، ويعتبر القرب بحسب العرف فإن لم يكن قريباً فلا تصح الصلاة، وإذا صلى الإمام في الصحراء استخلف من يصلي بالضعاف. الشافعية قالوا: تصح الجمعة في الفضاء إذا كان قريباً من البناء، وحد القرب عندهم المكان
3. Hukum salat di ruas jalan tanpa sebab yang memperbolehkan adalah makruh. _Illat_ kemakruhannya adalah mengurangi kekhusyu’an dan mengganggu pengguna jalan.
البيان في مذهب الإمام الشافعي (2 / 113):
وتكره الصلاة في قارعة الطريق؛ لحديث عمر - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ -، ولأنه لا يتمكن من الخشوع في الصلاة؛ لممر الناس فيها، ولأنها تداس بالنجاسات. فإن صلى في موضع منها، فإن تحقق طهارته، صحت صلاته، وإن تحقق نجاسته، لم تصح صلاته، وإن شك فيها، ففيه وجهان مضى ذكرهما في المياه.
الموسوعة الفقهية الكويتية (27 / 113-114):
اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي الأْمَاكِنِ الَّتِي تُكْرَهُ الصَّلاَةُ فِيهَا، وَإِلَيْكَ تَفْصِيل أَقْوَالِهِمْ:
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى كَرَاهَةِ الصَّلاَةِ فِي الطَّرِيقِ، ... قَال الْخَطِيبُ الشِّرْبِينِيُّ: قَارِعَةُ الطَّرِيقِ هِيَ أَعْلاَهُ، وَقِيل: صَدْرُهُ، وَقِيل: مَا بَرَزَ مِنْهُ، وَالْكُل مُتَقَارِبٌ، وَالْمُرَادُ هُنَا نَفْسُ الطَّرِيقِ، وَالْعِلَّةُ فِي النَّهْيِ عَنِ الصَّلاَةِ فِي قَارِعَةِ الطَّرِيقِ هِيَ لِشَغْلِهِ حَقَّ الْعَامَّةِ، وَمَنْعِهِمْ مِنَ الْمُرُورِ؛ وَلِشَغْل الْبَال عَنِ الْخُشُوعِ فَيَشْتَغِل بِالْخَلْقِ عَنِ الْحَقِّ.
4. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, _illat_ dari kemakruhan salat di jalan adalah mengganggu pengguna jalan dan mengurangi kekhusyu’an, sedangkan dalam konteks tersebut illat itu tidak terpenuhi sebab jalan tersebut sudah dikondisikan sebagai tempat demonstrasi yang hal itu sudah dijamin dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam formulasi fiqhiyyah dikenal kaidah:
الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه واعتراف بصحته
“Kerelaan terhadap sesuatu adalah kerelaan terhadap segala yang ditimbulkannya dan pengakuan terhadap keabsahannya (Al – Asybah wa Nadhoir As- Subuky). “
Ketika demonstrasi sebagai wujud menyatakan pendapat di muka umum sudah dianggap sah menurut peraturan perundang-undangan maka segala konsekuensinya harus dianggap sah pula selama tidak melanggar aturan yang ada.
Dalam konteks inilah gangguan terhadap pengguna jalan tidaklah relevan bila dijadikan _illat_ kemakruhan salat Jumat di tengah jalan saat demonstrasi, apalagi bila demonstrasinya dimulai sejak sebelum waktu dhuhur karena tempat tersebut memang diperuntukkan untuk warga yang ingin menyampaikan aspirasinya.
Hal ini juga sesuai dengan kaidah lain yang menyatakan:
الحكم يدور مع علته وجودا وعدما
“Hukum itu berlaku sesuai ada atau tidak adanya illatnya” (Ushul al-Sarakhsi)
Andai tetap dianggap sebagai hal yang mengganggu, maka hal tersebut tidak menyebabkan salatnya batal, hanya sekedar makruh dilakukan sebagaimana keterangan berikut:
الفِقْهُ الإسلاميُّ وأدلَّتُهُ 2/152
الصلاة في قارعة الطريق، أي أعلاه أو أوسطه: مكروهة عند الحنفية والشافعية ؛ لأن الطريق ممر الناس، فلا يؤمن من المرور، ولا من النجاسة، إذ لا تخلو من الأرواث والأبوال، فينقطع الخشوع بممر الناس، فإن صلى فيه، صحت الصلاة؛ لأن المنع لترك الخشوع، أو لمنع الناس من الطريق، وذلك لا يوجب بطلان الصلاة، ولقوله صلّى الله عليه وسلم : «جعلت لي الأرض مسجداً وطهوراً:» وفي لفظ: «فحيثما أدركتك الصلاة، فصل، فإنه مسجد» وفي لفظ : «أينما أدركتك الصلاة فصل، فإنه مسجد» . وذكر الشافعية: أن الصلاة تكره في الأسواق والرحاب الخارجة عن المسجد.
وقال المالكية: تجوز الصلاة بلا كراهة في محجة الطريق والمزبلة والمقبرة والحمام والمجزرة، أي وسطها إن أمنت النجاسة. فإن لم تؤمن بأن كانت محققة أو مظنونة فهي باطلة، وإن كانت مشكوكة أعيدت على الأرجح في الوقت، إلا إذا صلى في الطريق لضيق المسجد وشك في الطهارة فلا إعادة عليه. ولكن تظل الكراهة إن صلى بطريق من يمر بين يديه.
Jember, 26 November 2016

MENGAPA KITA MEMBACA?


Abbas Mahmud al-'Aqqad, budayawan Mesir berkata:
“ نحن نقرأ لنبتعد عن نقطة الجهل ، لا لنصل الى نقطة العلم ”
Kami membaca agar menjauh dari titik kebodohan, bukan agar sampai pada titik pengetahuan.

UKURAN KEKUATAN ISLAM SUATU GENERASI


Al-Imam Ibnu 'Aqil al-Hanbali rahimahullaah berkata:
"إذا أردتَ أن تعلم محلَّ الإسلام من أهل الزمان فلا تنظرْ إلى زحامهم في أبواب الجوامع، ولا ضجيجِهم في الموقف بلبَّيْكَ، وإنما انظرْ إلى مواطأتهم أعداءَ الشريعة".
Apabila Anda ingin mengetahui posisi Islam pada suatu generasi, maka janganlah melihat desak-desakan mereka di pintu-pintu masjid jamik dan kegaduhan mereka dengan suara labbaik di tempat wuquf. Tapi lihatlah kesepakatan mereka terhadap orang-orang yang memusuhi syariah.
Maksudnya ramainya acara-acara ibadah seperti shalat Jumat, ibadah haji, istighatsah, ziarah wali dan semacamnya, tidak dapat dijadikan ukuran kuat tidaknya keislaman suatu generasi. Kuat tidaknya keislaman suatu generasi hanya dapat dilihat dari sikap mereka terhadap orang-orang yang memusuhi syariah. Apabila mereka sepakat dan toleran dengan orang-orang yang memusuhi syariah, berarti keislaman mereka lemah. Apabila mereka tidak sepakat atau menolak terhadap musuh-musuh syariah, berarti keislaman mereka kuat. Wallahu a'lam.

_*HADITS TENTANG SI MATA SIPIT.*_


Jauh-jauh hari sudah dikabarkan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa di akhir zaman nanti Kaum Muslimin akan berperang dengan Kaum yang bermata sipit.
Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
*لا تقوم الساعة حتى تقاتلوا قوماً صغار الأعين دلف اْلأُنُوفِ..*
_*“Kiamat tidak akan terjadi sehingga kalian memerangi satu kaum yang bermata sipit dan hidungnya pesek.”*_
(HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu)

UKURAN AKHLAK SESEORANG


إذا أردت أن تعرف خلق الأنسان فانظر إلى كيفيّة تعامله مع من هو أقل منه وليس تعامله مع رؤسائه
Jika kamu ingin mengetahui baik dan tidaknya akhlak seseorang, lihatlah sikapnya kepada orang yang di bawahnya, bukan sikapnya kepada atasannya.

ARTI SEBUAH SENYUM


الابتسامة كلمة طيبة بغير حروف
Senyum adalah ucapan yang indah, meski tanpa huruf.

batas kecantikan wanita

Kebanyakan wanita kelihatan cantik, sampai kamu menikahinya.

antara ibu dan bulan purnama

Mereka bertanya, siapa yang lebih cantik, ibumu atau bulan purnama? Ia menjawab, jika aku melihat ibuku, aku lupa bulan purnama. Tapi jika aku melihat bulan purnama, aku teringat ibuku.

Sahabat asli

Jika kamu berhasil menipu seseorang, jangan kamu kira bahwa dia seorang yang bodoh. Sebenarnya dia percaya kepadamu.

Jarang ada

Al-Imam al-Syafi'i radhiyallaahu 'anhu berkata:
( أعز الأشياء ثلاثة : الجود من قلة ، والورع في خلوة ، وكلمة الحق عند من يرجى أو يخاف ) .
Sesuatu yang paling sulit ditemukan adalah tiga hal;
1. Dermawan ketika harta sedikit
2. Wara' ketika di tempat yang sepi
3. Berkata benar di hadapan seseorang yang diharapkan atau ditakuti

PENCURI TERHORMAT


Al-Imam Fudhail bin Iyadh radhiyallaahu 'anhu berkata:
( إذا رأيت العالم يتردد على أبواب السلاطين فاعلم أنه لص ) .
Apabila kamu melihat seorang ulama yang selalu mendatangi pintu penguasa, maka ketahuilah sesungguhnya ia seorang pencuri.

syubhat : melirihkan basmalah akibat pengaruh politik ?

syubhat :
PENGARUH POLITIK BANI UMAYAH TERHADAP IBADAH
اول من أسر ببسم الله الرحمن الرحيم في الصلاة عمرو بن سعيد بن العاصي بالمدينة أخرجه البيهقي في سننه عن الزهري
Orang yang pertama kali membaca lirih bismillahirrahmanirrahim dalam shalat adalah Amr bin Said bin al-Ashi, Gubernur Bani Umayyah di Madinah. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra dari jalur al-Zuhri.
jawab : bagaimana seorang muslim yang mengaku mengikuti ulama' salaf tapi malah menuduh sahabat /ulama' terdahulu mempermainkan ibadah dg politik,ini sungguh tuduhan keji.
adapun riwayat itu hanya menyebutkan awal di kota madinah saat itu,bukan sejak zaman nabi di madinah,bukan.lihat riwayat itu versi kitab siyar a'lam an nubala' 5/343 :
أَوَّلُ مَنْ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ سِرّاً بِالمَدِيْنَةِ.
قال ابْنُ شِهَابٍ رحمه الله : أَوَّلُ مَنْ قَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ سِرّاً بِالمَدِيْنَةِ
: عَمْرُو بنُ سَعِيْدِ بنِ العَاصِ .
أنظر : سير أعلام النبلاء للإمام الذهبي رحمه الله ط الرسالة (5/ 343)

syubhat :
اول من ترك القنوت في الصبح معاوية
Orang yang pertama kali meninggalkan bacaan qunut dalam shalat shubuh adalah Muawiyah.
Disebutkan oleh al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam al-Wasail fi Musamarah al-Awail, hlm 19.
jawab : tunjukkan sanadnya kalau ente tidak mengekor syiah pembenci sahabat

lemahnya dalil mengeraskan basmalah

ذهب الشافعي واحتجوا بحديث عن ابن عباس قال : كان النبي ( صلى الله عليه وسلم ) يفتتح صلاته ببسم الله الرحمن الرحيم
أخرجه الترمذي (245) وقال: وليس إسناده بذاك
وحكم عليه الألباني فقال : ضعيف الإسناد
imam syafi'i mensunahkan basmalah dengan keras saat sholat berdalil dg riwayat dari ibnu abbas berkata bahwa nabi membuka sholatnya dg basmalah.
namun riwayatnya dhoifah/lemah

para ulama salaf membid'ahkan basmalah imam yang di keraskan


قَالَ إِبْرَاهِيْمَ بن يزيد النخعي رحمه الله : جَهْرُ الْإِمَامِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ: بِدْعَةٌ.
رواه ابن أبي شيبة في مصنفه (1/ 360) رقم (4138).
ibrohim bin yazid an nakho'i berkata : jahrnya/kerasnya imam dalam membaca basmalah adalah bid'ah
وأنظر : سير أعلام النبلاء للإمام الذهبي رحمه الله ط الرسالة (4/ 529).
قال أحمد بن حنبل : كان إبراهيم ذكيا ، حافظا ، صاحب سنة .

وقال وَكِيْع بن الجراح رحمه الله : الجَهرُ بِالبَسْمِلَةِ بِدعَةٌ .
أنظر : سير أعلام النبلاء للإمام الذهبي رحمه الله ط الرسالة (9/ 156).
وتاريخ الإسلام (13/ 444) للذهبي وتذكرة الحفاظ = طبقات الحفاظ للذهبي
(1/ 225)
imam waki' bin al jarroh berkata : mengeraskan basmalah adalah bid'ah

Jalan ahli ilmu


Kiai kami ketika di pesantren dulu sering dawuh
طريقتنا التعلم والتعليم
Jalan hidup kami adalah belajar dan mengajar.
Setiap ada ulama yang siap mengajarkan ilmu kepada kami, kami siap belajar.
Setiap ada umat Islam yang ingin belajar ilmu agama, kami siap mengajar.
Ini jalan hidup yang digariskan oleh kiai kami dulu, dan semoga kami istiqomah berpegang teguh dengan jalan hidup ini.

Penipuan Dengan Jargon : Membela Wong Cilik (Jargon Komunis)


Jargon yang kedengarnya indah, namun penuh dengan bisa mematikan. Betapa tidak, bila untuk mendapatkan job, dukungan, simpatisan, dan akhirnya keuntungan, harus membela wong cilik, maka dengan berakhirnya atau minimal menyusutnya jumlah wong cilik, berarti kerjaan mereka akan segera berakhir, dukungan kepada merekapun menyusut, dan akhirnya keuntungannnya juga mulai berakhir.
Kondisi ini menuntut para penjual jargon "membela wong cilik" harus berpikir ulang, bagaimana agar dagangannya ini terus laku dan tidak kehabisan stok? ya, akhirnya wong cilik diperbanyak, agar mereka bisa terus berjualan dan akhirnya selalu mendapat keuntungan besar dan bahkan kalau bisa bertambah hari bertambah besar, karena nyayian " membela wong cilik" senantiasa terdengar merdu oleh banyak orang.
Sebagaimana jargon : membela wong cilik mengesankan bahwa mereka siap berkonfrontasi dengan wong gede, demi memperjuangkan wong cilik. dan mengesankan bahwa wong cilik di negri ini tertindas, dan terpinggirkan oleh wong gede. Pernahkah anda bertanya: la mereka sendiri yang setiap hari teriak teriak membela wong cilik, apakah mereka itu termasuk wong cilik atau termasuk wong gede?
Pernahkah anda bertanya: sejatinya siapakah yang selama ini menindas dan meminggirkan wong cilik, sehingga menyebabkan mereka butuh pembelaan?
Saudaraku wong cilik atau wong gede sebenarnya tidak perlu pembelaan, karena keberadaan wong cilik adalah syarat alamiyah untuk terciptanya keseimbangan dan kesejahteraan bagi semua orang. Sebagaimana keberadaan wong gede juga demikian, menjadi syarat alamiyah bagi terciptanya kesimbangan dan kesejahteraan bagi semua orang.
Coba bayangkan andai di hutan rimba hanya hidup singa dan macan, apa yang akan terjadi? Dan sebaliknya andai di rimba hanya hidup gerombolan domba, kelinci , rusa yang terus beranak pinak, apa yang akan terjadi? mungkinkah terjadi keseimbangan hidup di sana?
Andai di negri kita hanya hidup wong wong gede, apa yang akan terjadi?
Dan andai di negri ini hanya hidup wong cilik, para petani, nelayan, dan buruh tanpa ada pengusaha, pedagang, pejabat dan wong gede lainnya, apa yang akan terjadi?
Karena itu dalam Islam, tidak pernah ada pembangunan jurang pemisah apalagi memperadukan antara wong gede dan wong cilik, yang terjadi sebaliknya wong gede diperintahkan menyayangi dan menyantuni wong cilik dan wong cilik diperintahkan menghormati, membantu dan memanfaatkan wong gede, semuanya hidup berdampingan dan berinteraksi secara adil dan berimbang, sehinga terciptalah hubungan mutualisme antara keduanya. Allah Ta'ala berfirman:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Az ZUkhruf 32)
Cukup, dan sudahi sejarah panjang pembodohan masyarakat dengan jargon membela wong cilik, sudah terlalu banyak bukti bahwa para pedagang jargon inilah yang selama ini paling banyak membodohi dan menindas wong cilik. Dan marilah kita semua kembali ke syari'at Islam, pelajari Islam lalu amalkan, niscaya terciptalah kedamaian dan kesejahteraan bagi semua orang wong cilik dan wong gede secara berimbang.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.
by ustadz arifin badri

syubhat dzikir dan tahlil bersama diatas kubur

SYUBHAT DZIKIR DAN TAHLIL BERSAMA DI ATAS KUBURAN
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ، قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا إِلَى سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ حِينَ تُوُفِّيَ، قَالَ: فَلَمَّا صَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَوُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَسُوِّيَ عَلَيْهِ، سَبَّحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَبَّحْنَا طَوِيلاً، ثُمَّ كَبَّرَ فَكَبَّرْنَا، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، لِمَ سَبَّحْتَ؟ ثُمَّ كَبَّرْتَ؟ قَالَ: " لَقَدْ تَضَايَقَ عَلَى هَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ قَبْرُهُ حَتَّى فَرَّجَهُ اللهُ عَنْهُ "
Sahabat Jabir bin Abdullah radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Sa’ad bin Mu’adz ketika meninggal dunia. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, ia diletakkan di dalam kubur, dan kemudian diratakan dengan tanah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih, dan kami membaca tasbih dalam waktu yang lama. Baginda membaca takbir dan kami membaca takbir pula. Kemudian baginda ditanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau membaca tasbih, kemudian membaca takbir?” Baginda menjawab: “Sungguh kuburan hamba Allah yang shaleh ini benar-benar menghimpitnya, (maka aku membacanya) sehingga Allah melepaskannya dari himpitan itu.”
Hadits riwayat Ahmad dalam al-Musnad [14873, 15029], al-Hakim al-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul [325], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [5346], dan al-Baihaqi dalam Itsbat ‘Adzab al-Qabr [113]. Hadits di atas shahih dan sanadnya bernilai hasan.

Jawab : status hadits masih diperselisihkan keshohihannya
lihat kitab muro'atul mafatih fi syarhil mashobih 1/231
 ذكر الهيثمي هذا الحديث في مجمع الزوائد (ج3:ص46) وعزاه لأحمد. والطبراني في الكبير ثم قال: وفيه محمود بن محمد بن عبد الرحمن بن عمرو بن الجموح، قال الحسيني: فيه نظر. قال الهيثمي: ولم أجد من ذكره غيره. وقال الألباني: سنده ضعيف، محمود بن عبد الرحمن بن عمرو بن الجموح ترجمه ابن حجر في التعجيل بما يتلخص منه أنه لا يعرف.

syubhat :
Beberapa pesan dalam hadits tersebut:
1) Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca tasbih dan takbir bersama para sahabat dalam waktu yang lama ketika pemakaman sahabat Sa’ad bin Mu’adz, hingga akhirnya Allah melepaskan himpitan alam kubur kepada beliau.
2) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat membacanya secara bersama-sama, atau secara berjamaah.

jawab : itu bukan bersama atau berbarengan seperti amalan ahli bid'ah sekarang,namun para sahabat mengikuti setelahnya.
lihat kitab mirqotul mafatih syarh misykatul mafatih 1/217
  (فَسَبَّحْنَا) ، أَيْ: تَبَعًا لَهُsyubhat :
3) Dengan demikian, berarti bacaan tasbih dan takbir di atas kuburan seseorang dapat meringankan beban dan kesulitan yang dihadapinya di alam kubur. (Lihat, al-Imam al-Suyuthi, Syarh al-Shudur dan al-Imam al-Laqqani dalam al-Zahr al-Mantsur, hlm 234).

Jawab : itu kekhususan bagi nabi karena nabi diperlihatkan keadaan alam kubur sedang manusia biasa tidak bisa melihatnya.buktinya tidak ada sahabat selanjutnya yang melakukan itu di pekuburan sahabat lain.
bahkan imam suyuti memakruhkannya/membencinya :
Imam as-Suyuthy rahimahullah menjelaskan, “Jika seorang insan menyengaja shalat di kuburan atau berdoa untuk dirinya sendiri dalam kepentingan dan urusannya, dengan tujuan mendapat berkah dengannya serta mengharapkan terkabulnya doa di situ; maka ini merupakan inti penentangan terhadap Allâh dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menyimpang dari agama dan syariatnya. Juga dianggap bid’ah dalam agama yang tidak dizinkan Allâh, Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para imam kaum muslimin yang setia mengikuti ajaran dan Sunnah beliau”. [Al-Amr bi al-Ittibâ’ (hal. 139). Lihat pula: Iqtidhâ’ ash-Shirâth al-Mustaqîm (II/193).]

syubhat :
4) Hadits di atas diamalkan oleh kaum Muslimin dengan membaca Surah Yasin dan Tahlilan bersama ketika ziarah ke makam para wali, ulama dan keluarga. Meskipun bacaan dalam hadits di atas terbatas pada tasbih dan takbir, akan tetapi al-Qur’an dan bacaan-bacaan lainnya dapat dilakukan berdasarkan dalil qiyas yang shahih.

jawab : qiyas dalam ibadah adalah batil
Qiyas tidak berlaku dalam masalah aqidah dan ibadah yang bersifat mahdhah, yaitu ibadah yang tidak bercampur dengan kebiasaan. (Syarh Ushul Sunnah Imam Ahmad)
Imam Syafi'i berkata tidak ada Qiyas (analogi) dalam urusan Ibadah
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil (Nash - nash) dan tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam Qiyas dan Ro'yu (pikiran). (Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz IV hlm. 272)
Sumber hukum syar’i adalah Al-Qur’an dan Hadits dan apa yang diikutkan dengan keduanya berupa Ijma dan Qiyas. Tetapi qiyas tidak dapat dijadikan rujukan dalam hukum ibadah. Sebab di antara rukun dalam qiyas adalah bila ada kesamaan alasan hukum dalam dalil pokok dengan hukum cabang yang diqiyaskan, padahal ibadah semata-mata didirikan berdasarkan peribadatan murni.
sedangkan illahnya nabi bertasbih karena melihat kuburannya sempit,apakah anda bisa melihat alam kubur???atau anda su'udhon kepada saudara anda bahwa dia dihimpit dalam kubur????

syubhat:

5) Hadits di atas menjadi dalil anjuran membaca bacaan dzikir di atas kuburan untuk meringankan beban orang yang mati di alam kubur. Dzikir tersebut seperti al-Qur’an, tasbih, takbir, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain.

jawab : nabi bertakbir karena melihat kubur sahabat itu telah dilapangkankan bukan takbir melapangkan kubur.lihat kitab mirqotul mafatih syarh misykatul mafatih 1/217
 (فَكَبَّرْنَا) ، أَيْ: عَقِيبَ تَكْبِيرِهِ اقْتِدَاءً بِهِ. قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: وَلَمْ يَقُلْ طَوِيلًا إِمَّا لِلِاكْتِفَاءِ بِذِكْرِهِ أَوَّلًا: أَوْ لِأَنَّهُ هُنَا لَمْ يُطِلْ لِأَنَّهُ إِنَّمَا كَبَّرَ عِنْدَ وُقُوعِ التَّفْرِيجِ عَنْ سَعْدٍ، وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ لِأَنَّ التَّكْبِيرَ يَغْلِبُ ذِكْرُهُ عِنْدَ مُشَاهَدَةِ الْأَمْرِ الْبَاهِرِ.
nabi bertasbih pun itu untuk meredakan kemarahan alloh,bukan semata2 tasbih melapangkan kubur.lihat kitab mirqotul mafatih syarh misykatul mafatih 1/218
وَالْأَنْسَبُ تَقْدِيمُ التَّسْبِيحِ وَالتَّكْبِيرِ عَلَى هَذَا لِإِطْفَاءِ الْغَضَبِ الْإِلَهِيِّ
dan tasbih serta takbir adalah spontanitas nabi saat melihat sempitnya kubur,bukan mengkhususkan doa bareng apalagi tahlil diatas kuburan.
lihat kitab mirqotul mafatih syarh misykatul mafatih 1/217
 (فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ: لِمَ سَبَّحْتَ ثُمَّ كَبَّرْتَ؟) : أَيْ مَعَ أَنَّ الْمَقَامَ لَا يَسْتَدْعِي ذَلِكَ

TAFSIR QS AL-MAIDAH : 51


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS al-Maidah : 51).
Demikian terjemahan yang saya kutip dari sebagian versi. Sebagian versi terjemahan, menerjemahkan, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia dan sahabat-sahabat (mu).
Dari kedua versi terjemahan tersebut, terjemahan manakah yang benar? Atau salahkah terjemahan auliya’ dengan terjemahan pemimpin-pemimpin (mu)?
Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, marilah kita buka tafsir al-Razi dan Tafsir al-Jalalain, dua kitab tafsir yang menjadi kajian para ulama di Indonesia. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan:
{يأيها الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُود وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء} تُوَالُونَهُمْ وَتُوَادُّونَهُمْ {بَعْضهمْ أَوْلِيَاء بَعْض} لاِتِّحَادِهِمْ فِي الْكُفْر {وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} مِنْ جُمْلَتهمْ {إنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْم الظَّالِمِينَ} بموالاتهم الكفار
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’ (yang kalian jadikan sebagai teman setia dan sahabat yang saling mengasihi); sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian yang lain (karena kesatuan mereka dalam kekufuran). Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (dengan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia).” (QS al-Maidah : 51).
Dalam Tafsir al-Jalalain di atas, jelas sekali, bahwa auliya’ ditafsirkan dengan teman setia dan sahabat yang saling mengasihi.
Al-Imam al-Razi berkata dalam kitabnya al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib sebagai berikut:
وَمَعْنَى لاَ تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لاَ تَعْتَمِدُوا عَلَى اْلاِسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلاَ تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يُرِيدُ كَأَنَّهُ مِثْلُهُمْ، وَهَذَا تَغْلِيظٌ مِنَ اللهِ وَتَشْدِيدٌ فِي وُجُوبِ مُجَانَبَةِ الْمُخَالِفِ فِي الدِّينِ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي [الْبَقَرَةِ: 249] .
Makna “janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’”, yaitu janganlah bersandar pada pertolongan mereka dan jangan menjadikan mereka sebagai sahabat yang kalian inginkan kasih sayang mereka.
Kemudian Allah berfirman: “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”, Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya seakan-akan ia seperti mereka. Ini adalah peringatan keras dan dahsyat dari Allah tentang wajibnya menjauhi orang yang berbeda dalam agama. Hal ini setara dengan firman Allah “Dan barang siapa tiada meminumnya, maka ia adalah pengikutku (QS al-Baqarah : 249)”. (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 12 hlm 15).
Dalam uraian di atas, jelas sekali al-Imam al-Razi menafsirkan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan makna teman setia dan sahabat yang saling mengasihi. Demikian penafsiran kedua kitab tafsir terkenal dan banyak menjadi rujukan para ulama di Indonesia.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan penafsiran yang mengartikan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 tersebut dengan makna pemimpin? Atau dalam bahasa yang lebih simpel, dapatkah QS al-Maidah : 51 sebagai dalil larangan memilih pemimpin non Muslim?
Dalam ilmu ushul fiqih, telah dikenal istilah yang namanya manthuq dan mafhum. Manthuq adalah pemahaman secara tekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Sedangkan mafhum adalah pemahaman kontekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Contoh yang banyak disampaikan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqih adalah ayat:
فَلا تَقُلْ لَهُما أُفٍّ [الإسراء: 23]
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS al-Isra’ : 23).
Secara tekstual, ayat di atas menunjukkan larangan atau keharaman perkataan “ah” kepada kedua orang tua. Ini disebut dengan istilah manthuq, pengertian tekstual. Secara kontekstual, ayat tersebut menjadi larangan memukul orang tua. Ini disebut dengan istilah mafhum, yaitu pengertian yang ada di luar teks.
Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum dibagi menjadi dua. Pertama, adakalanya hukum kontekstual lebih kuat daripada hukum tekstualnya seperti dalam kasus memukul orang tua yang dipahami dari larangan perkataan “ah”. Karena larangan perkataan “ah” kepada orang tua, sebenarnya adalah larangan menyakiti mereka. Sudah barang tentu, tekanan memukul dalam hal menyakiti lebih kuat dari pada sekedar perkataan “ah”. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan Fahwa al-Khithab, atau Qiyas Aulawi. Siapapun orang yang berakal sehat, akan dapat menerima bahwa memukul orang tua itu hukumnya haram berdasarkan ayat larangan perkataan “ah”.
Kedua, adakalanya hukum kontekstual sama kedudukannya dengan hukum tekstual, seperti keharaman merusak dan membakar harta anak yatim yang dipahami dari larangan memakan harta anak yatim. Karena larangan memakan harta anak yatim pada hakikatnya bertujuan agar tidak merusak harta mereka. Merusak dan membakar harta mereka, sama saja posisinya dengan memakan harta mereka. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah Lahn al-Khithab atau Qiyas Musawi.
Pertanyaannya sekarang adalah, dapatkan seseorang memberikan penjelasan keharaman memukul orang tua dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan perkataan “ah”, atau menjelaskan keharaman merusak dan membakar harta anak yatim dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan memakan harta anak yatim? Para ulama sepakat bahwa penjelasan seperti ini jelas diterima dan telah berlaku di kalangan para ulama. Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Tasynif al-Masami’ bi-Jam’ al-Jawami’ sebagai berikut:
وَلاَ خِلاَفَ فِي اْلاِحْتِجَاجِ بِالْمُسَاوِيْ كَاْلأَوْلىَ.
Tidak ada perselihian di kalangan ulama tentang kehujjahan mafhum musawi, sebagaimana halnya mafhum aula. (Al-Zarkasyi, Tasynif al-Masami’ bi-Jam’ al-Jawami’ juz 1 hlm 343).
Kaitannya dengan QS al-Maidah : 51, dapat diterapkan bahwa ayat tersebut menjadi larangan memilih pemimpin beda agama?
QS al-Maidah : 51, secara tekstual menjadi larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dan sahabat yang dikasihi. Secara kontekstual ayat tersebut menjadi larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Karena kedudukan pemimpin lebih tinggi dari pada sekedar teman setia dan sahabat yang dikasihi. Jadi dengan demikian, penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti teman setia dan sahabat adalah pengertian tekstual. Sedangkan penerjemahan dengan pemimpin adalah pengertian secara kontekstual. Kedua-duanya sama-sama dijadikan dasar oleh para ulama sejak dahulu kala dalam hukum Islam. Bahkan penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti pemimpin termasuk mafhum Fahwa al-Khithab atau Qiyas Aulawi. Oleh karena itu para ulama juga menjadikan ayat QS al-Maidah : 51 tersebut termasuk dalil larangan memilih pemimpin beda agama. Dalam hal ini Imam al-Haramain berkata dalam kitabnya Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam sebagai berikut:
فَمَنْ لاَ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ عَلَى بَاقَةِ بَقْلٍ، وَلاَ يُوثَقُ بِهِ فِي قَوْلٍ وَفِعْلٍ، كَيْفَ يَنْتَصِبُ وَزِيرًا؟ وَكَيْفَ يَنْتَهِضُ مُبَلِّغًا عَنِ اْلإِمَامِ سَفِيرًا، عَلَى أَنَّا لاَ نَأْمَنُ فِي أَمْرِ الدِّينِ شَرَّهُ، بَلْ نَرْتَقِبُ - نَفَسًا فَنَفَسًا – ضُرَّهُ.
وَقَدْ تَوَافَتْ شَهَادَةُ نُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرُّكُونِ إِلَى الْكُفَّارِ، وَالْمَنْعِ مِنِ ائْتِمَانِهِمْ، وَإِطْلاَعِهِمْ عَلَى اْلأَسْرَارِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: {لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً} وَقَالَ: {لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ}.
وَاشْتَدَّ نَكِيرُ عُمَرَ عَلَى أَبِي مُوسَى اْلأَشْعَرِيِّ لَمَّا اتَّخَذَ كَاتِبًا نَصْرَانِيًّا. وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَةُ اللهِ عَلَيْهِ - عَلَى أَنَّ الْمُتَرْجِمَ الَّذِي يُنْهِي إِلَى الْقَاضِي مَعَانِيَ لُغَاتِ الْمُدَّعِينَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا عَدْلاً رِضًا، وَلَسْتُ أَعْرِفُ فِي ذَلِكَ خِلاَفًا بَيْنَ عُلَمَاءِ اْلأَقْطَارِ. فَكَيْفَ يُسَوَّغُ أَنْ يَكُونَ السَّفِيرُ بَيْنَ اْلإِمَامِ وَالْمُسْلِمِينَ مِنَ الْكُفَّارِ؟ .
Orang (kafir) yang kesaksiannya tidak dapat diterima terkait seikat sayuran, dan tidak dapat dipercaya dalam ucapan dan perbuatan, bagaimana ia disahkan terangkat menjadi menteri, bagaimana ia dapat bangkit sebagai mediator perantara dari imam (kepada rakyatnya). Sedangkan kami tidak merasa aman dari keburukannya dalam urusan agama. Bahkan kami mengkhawatirkan bahayanya dalam setiap nafas demi nafas.
Sungguh telah sempurna kesaksian nash-nash al-Kitab dan Sunnah tentang larangan condong kepada orang-orang kafir, melarangan memberikan kepercayaan kepada mereka dan memperlihatkan mereka tentang rahasia-rahasia (kaum Muslimin). Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu”. (QS Alu-Imran : 118). Dan Allah berfirman: “janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia; sebahagian mereka adalah teman setia”. (QS al-Maidah : 51).
Sungguh pengingkaran Umar begitu keras kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika menjadikan seorang Nasrani sebagai sekretaris. Al-Syafi’i rahimahullah telah menetapkan bahwa penerjemah yang menyampaikan makna bahasa para pendakwa kepada qadhi haruslah seorang Muslim yang adil dan diridhai. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal tersebut di kalangan para ulama berbagai negeri. Bagaimana dibolehkan seorang perantara antara pemimpin dengan umat Islam terdiri dari orang kafir?” (Imam al-Haramain, Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam, hlm 309-311, Dar al-Minhaj 2011, ed Dr Abdul Azhim al-Dayb).
Kita perhatikan, dalam pernyataan di atas Imam al-Haramain menjadikan QS al-Maidah : 51 termasuk salah satu dalil larangan mengangkat atau memilh orang yang beda agama sebagai pemimpin. Oleh karena itu, penjelasan larangan memilih pemimpin beda agama berdasarkan ayat QS al-Maidah : 51 adalah benar dan menjadi kesepakatan para ulama. Larangan memilih pemimpin beda agama berdasarkan ayat tersebut termasuk mafhum, pengertian kontekstual Fahwa al-Khithab atau Qiyas Aulawi. Pemahaman seperti ini, sama dengan pemahaman para ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah tentang kehidupan para nabi di alam barzakh dengan ayat sebagai berikut:
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah : 154).
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS Alu-Imran : 169).
Secara tekstual, kedua ayat di atas menunjukkan pada kehidupan orang-orang yang dibunuh di jalan Allah, yaitu para syuhada’. Tentu saja, kedua ayat tersebut secara kontekstual menjadi dalil kehidupan para nabi yang lebih sempurna di alam barzakh dari pada syuhada’, karena derajat mereka yang lebih tinggi.
Dalam contoh lain, tentang anjuran perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama berdalil dengan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟» فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Hari apa kalian berpuasa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa karena bersyukur kepada Allah, kami juga berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari pada kalian.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas, secara tekstual menjadi dalil kesunnahan puasa Asyura karena merayakan kemenangan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya. Secara kontekstual, hadits tersebut menjadi dalil perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena rahmat Allah dengan lahirnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih besar dari pada selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Wallahu a’lam.