Sabtu, 28 Juni 2014

ajaran sesat orang tua yang jahil : anak kecil puasanya setengah hari


1.tidak ada riwayat satupun dari sahabat,tabi'in ataupun para imam tuntunan puasa setengah hari.
2.ini doktrin yg menyalahi syariat bahkan mengubah syariat
3.orang tua harus mendidik dg ajaran yang benar saja,Jika anak di siang hari sudah batal karena tidak kuat, maka tidak perlu diperintahkan untuk melanjutkan puasanya kembali. Pertama, karena puasa itu tidak boleh, karena sudah ada sesuatu yang membatalkannya. Kedua, khawatir hal ini menjadi kebiasaan dia, sehingga nanti kalau sudah dewasa bisa jadi dia akan melakukan hal ini pula, karena anak-anak biasanya akan berbuat sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dia.ketiga,anak kcil itu tetap dapat pahala karena niat puasa penuh,walaupun batal
4.dikhawatikan terekam di memorinya adanya puasa setengah hari khusus buat anak kecil,bahkan akan diajarkan ke anaknya kelak
5.orang tua berpahala dg pengajaran yg benar,sebaliknya berdosa dg pengajaran yang salah
6.anak kecil mulai dilatih ketika mumayyiz,berakal sekitar 7 tahun seperti halnya sholat.
7. puasanya tidak sah dan tidak berpahala,dosa jika disengaja

عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ ابْنِ عَفْرَاءَ، قَالَتْ: أَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ، الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ: «مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ» فَكُنَّا، بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ اللهُ، وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ “
“Dari Ar Rabayyi’ binti Mu’awwidz bin ‘Afran –radhiyallahu ‘anhu– ia berkata; Suatu pagi di hari ‘Asyura`, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengirim petugas ke perkampungan orang Anshar yang berada di sekitar Madinah, untuk menyampaikan pengumuman; “Siapa yang berpuasa sejak pagi hari, hendaklah ia menyempurnakan puasanya, dan siapa yang tidak berpuasa hendaklah ia puasa sejak mendengar pengumuman ini.” Semenjak itu, kami berpuasa di hari ‘Asyura`, dan kami suruh pula anak-anak kecil kami, insya Allah. Kami bawa mereka ke Masjid dan kami buatkan mereka main-mainan dari bulu. Apabila ada yang menangis minta makan, kami berikan setelah waktu berbuka tiba. [HR. Al Bukhari - Muslim]
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِنَشْوَانٍ فِي رَمَضَانَ: «وَيْلَكَ، وَصِبْيَانُنَا صِيَامٌ، فَضَرَبَهُ»
“Berkata ‘Umar –radhiyallahu ‘anhu– kepada seorang laki-laki yang mabuk di bulan Ramadhan: “Celaka kamu, (kamu mabuk) padahal anak-anak kita sedang berpuasa.” Kemudian ‘Umar mencambuknya (sebagai hukuman had untuknya). [HR. Al Bukhari secara Mu'allaq]

BID'AH MEMBUAT GARIS SHAF SHOLAT


syeikh albani berkata :
الخط في المساجد أو الخطوط في المساجد هذه يجب أن تكون بدعة ضلالة بإجماع العلماء ليس فقط عند الذين يقولون بقول الرسول {كل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار} ذلك بأنّ هناك قولين للعلماء:منهم من يقول بقول الرسول ولا شكّ أن هؤلاء هم السُّعداء حقّاً ومنهم من يقول لا؛البدعة تنقسم إلى خمسة أقسام تجري عليه الأحكام الخمسة،حتى عند هؤلاء يجب أن يكون مدّ الخطوط في المسجد بدعة ضلالة لماذا؟ لأن الذين ظنّوا أن البدعة تقبل القسمة هذه الخماسية منها....6لأنّ الرسول ما فعل ذلك وهنا بحث طويل جدّاً يتعلق بالمصالح المرسلة كان المقتضي لوجودها في عهد الرسول أو لم يكن ثم إذا كان وجد المقتضي بسبب تقصير المسلمين فله حكم بعد الشرعية وإلا جاز الأخذ بها واذكر....7فهذا الخط سهل مدّ خط في المسجد النبوي ما فعله الرسول عليه السلام وإنما اعتمد على تعليم الناس أن يسو الصفوف

garis-garis di dalam masjid ini sudah seharusnya disebut bid'ah dholalah dg ijma' kesepakatan para ulama',bukan hanya ulama' yg berkata semua bid'ah sesat,bahkan ulama yg suka membagi bid'ah jadi lima pun juga menganggap bid'ah yg sesat karena rosul tidak melakukan itu padahal bisa saja dilakukan kalaupun dianggap masolih mursalah.membuat garis sangat mudah di masjid nabawi tapi rosul tidak melakukannya,tetapi beliau hanya menyampaikan pengajaran supaya meluruskan barisan.
fatawa albani dalam silsilah al huda wan nur no.20 rekaman no.642
syeikh abu ishaq al huwaini murid albani berkata :
من الأشياء التي ينبه عليها بمناسبة الكلام على السبب وأنه يجب على كل إنسان أن يفعل ما أُمر به: أولاً: هذا الخط الموجود على الأرض في المساجد لتسوية الصف -زعموا.-. هذا أولاً هو بدعة
termasuk hal-hal yg perlu diperhatikan terkait tentang sebab.dan sesungguhnya wajib bagi manusia melakukan apa yg diperintahkan:yg pertama garis yg ada diatas tanah di masjid2 untuk meluruskan shaf(seperti sangkaan mereka) ini adalah bid'ah
dari audio islamweb no.105450

selain itu,garis membuat terasa sesak saat jamaahnya banyak karena terpaku pada garis itu.padahal jika garis tidak ada bisa saja shaf jarak depan belakang didekatkan.bahkan dibolehkan sujud di punggung saudaranya.
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mahalli ‘ala al-Minhaj juz I halaman : 294, “ Dan barangsiapa yang sesak ketika sujud dan tidak bisa sujud ke lantai namun mungkin sujud ke manusia di depannya umpamanya, seperti punggungnya atau kakinya maka kerjakanlah demikian itu dengan wajib, karena memungkinkan sujud sesuai kemampuannya. ”

Sabtu, 07 Juni 2014

metode khuruj =nada dan dakwah bang haji ?



kawan2, mari kita bedakan, kita pilah antara sarana da’wah dan metode da’wah …..

orang2 yang mengharapkan wajah Allah pasti dia akan mengikuti, meneladani, mencontoh bagaimana cara dan metode Rasulullah itu berda’wah, Bagaimana beliau berda’wah ….karena Rasul itu uswah buat kita semua dalam segala aspek kehidupan kita…….

smua perkara yang kelihatan baik tidak selalu benar…



Perbedaan antara apa yang dinamakan dengan “nasyid islami” dengan dendangan sya’ir para sahabat Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam
- Mereka mendendangkan sya’ir-sya’ir mereka diwaktu-waktu tertentu, seperti ketika safar (yang disebut dengan “hida’”), dengan tujuan mengusir rasa kantuk, atau tatkala melakukan satu pekerjaan yang cukup berat seperti membangun rumah ,parit, dan yang semisalnya (yang disebut rajz), sedangkan “nasyid islami” menjadi hiburan disetiap waktu, dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul dan tidak punya rasa malu.
- berkata Sa’ib bin Al-Musayyab:
إني لأبغض الغناء وأحب الرجز
“sesungguhnya aku membenci nyanyian dan menyukai rajz”
(HR.Abdur razzaq dalam al-mushannaf:11/19743. Dishahihkan Al-Albani dalam at-tahriim:279)
- Apa yang mereka lantunkan dari sya’ir-sya’ir tersebut disebut dengan nasyid kaum Arab, dan bukan nasyid islami.
- Tujuan mereka melantunkan bait-bait syair tersebut adalah untuk meringankan beban yang sedang mereka alami, dari keletihan diwaktu safar, atau sedang bekerja keras. Sedangkan “nasyid islami” dibuat dengan tujuan “sarana dakwah”, agar orang yang mendengarnya menjadi sadar dari perbuatan maksiat yang dia lakukan, sebagaimana yang telah lalu dari fatwa syeikhul islam Ibnu Taimiyyah, atau dengan alasan sebagai alternatif pengganti lagu-lagu cabul.
- Lantunan syair mereka tidak menyebabkan bergoyang dan melenggak-lenggokkan badan, berbeda dengan yyang disebut “nasyid islami”.
- Lantunan syair-syair mereka tidak dibarengi dengan alat musik, sedangkan apa yang disebut “nasyid islami” mayoritasnya disertai dengan alat musik’
- Lantunan sya’ir mereka tidak disertai dengan intonasi do-re-mi seperti halnya nyanyian, berbeda dengan yang disebut nasyid islami yang menggunakan intonasi nyanyian, dengan lirik yang sama seperti nyanyian secara umum, bahkan diantara nasyid tersebut ada yang tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan lagu-lagu cabul kecuali gubahannya saja. Adapun liriknya, lantunannya persis dan tidak berbeda.
- Mereka melantunkan syair-syair tersebut secara individu, bukan berjama’ah, tidak seperti apa yang dinamakan oleh mereka dengan “nasyid islami”.
(lihat kitab:al bayan li akhthaa’ ba’dhil kuttab, Syekh Saleh Fauzan :341, kitab _at-tahriim, Al-Albani:279).
misal saja seperti bang haji Rhoma…hehe..dengan bernyanyi dan berjoget mereka anggap itu sebagai metode da’wahnya yang di kasih nama nada dan da’wah! pernahkah Rasulullah berda’wah seperti itu? bernyanyi dan berjoget….itu metode….cara….

kalau sarana itu bebas selama tidak ada pelanggaran syari’….. seperti adanya mikrophone…alat rekam dll……

Dalam ayat yang lain Allah berfirman pada para istri Nabi dengan mengatakan,
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan” (QS at Tahrim:5).
Orang-orang sufi beranggapan bahwa yang dimasud dengan sa-ihin dan sa-ihat yang ada dalam dua ayat di atas adalah berkelana ke padang pasir dan gunung-gunung agar bisa menyendiri dan konsentrasi beribadah kepada Allah.
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Siyahah dalam ayat ini ada yang menafsirkan dengan puasa, bepergian untuk menuntut ilmu, jihad dan terus-menerus dalam ketaatan. Setelah melakukan telaah bisa kita simpulkan bahwa yang dimaksudkan adalah perjalanan hati untuk mengingat Allah, mencintai, kembali dan rindu berjumpa dengan Allah
Dalam at Tahrim ayat 5 Allah menggandengkan ibadah dengan siyahah. Ibadah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah ibadah badan. Sedangkan yang dimaksud dengan siyahah adalah ibadah hati (Hadil Arwah hal 109-110). [Diringkas dari Ahkam as Siyahah hal 10-15 karya Syeikh Abdullah al Jibrin].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah [I]rahimahullah berkata : “Adapun berkela na tanpa tujuan tertentu, maka hal itu bukanlah amalan umat ini. Oleh karenanya, Imam Ahmad [I]rahimahullah berkata: ‘Berkelana (tanpa tujuan) sedikitpun bukan termasuk ajaran agama Islam dan bukan amalan para Nabi ‘alaihis sholatu was salam dan orang-orang sholih.” [19] Sekalipun ada di antara saudara-saudara kita yang berkelana terlarang ini, entah karena salah paham, atau tidak tahu akan larangan.”[Iqtidho’Shirotil Mustaqim 1/327 ]Beliau juga mengatakan, “Islam tidak mengajarkan kepada kita untuk pergi ke berbagai goa yang ada di gunung, tidak pula menyepi di berbagai goa. Yang diajarkan oleh Islam adalah i’tikaf di masjid. Itulah yang ada ajarannya dalam Islam” (Majmu Fatawa 27/500).
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukan lah maksud dari berkelana adalah seperti pemahaman sebagian orang ahli ibadah yang hanya sekadar berkelana di bumi dan menyendiri di gunung, padang pasir dan goa. Berkelana semacam itu tidak disyari’atkan kecuali pada za man fitnah dan kegoncangan agama.” [afsir al-Qur’anil ‘Adzim 2/220, surat at-Taubah [9]:112) ]


Terus sekarang Khuruj 3..40..4bln.. itu metode da’wah apa sarana da’wah?
pernahkan rosul dan para sahabat pake metode khuruj
 

kaidah penghancur bid'ah


ada kaidah :ترك الفعل اذا توفرت الدواعي للفعل يدل على عدم المشروعيه
nabi meninggalkan perbuatan setelah terpenuhi faktor pendorongnya menunjukkan perbuatan itu tidak disyariatkan alias bid'ah
السكوت في معرض الحاجه الى بيان بيان diamnya nabi di tempat yg saat dibutuhkan penjelasan adalah dalil /penjelasan
مثال : - ترك الذكر الجماعي بعد الصلاه
- ترك الاحتفال بالمولد النبوي
- ترك الاحتفال بايام النبي صلى الله عليه وسلم كيوم الهجر هاو يوم الاسراء
- ترك الاذان لصلاه الكسوف والعيد
seperti nabi meninggalkan dzikir berjama'ah setelah sholat
nabi meninggalkan perayaan maulid
nabi meninggalkan hari bersejarah seperti hari hijrahnya dan isro'nya
nabi meninggalkan adzan untuk sholat gerhana dan 'id

Jumat, 06 Juni 2014

adakah sholat syukrun nikmah untuk maulid nabi,dsb ???


Di antara dalil yang dijadikan sebagai landasan disyariatkannya adalah;

1- Riwayat Hakim dari Ka'ab bin Ajrah radhiallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan Ka'ab bin Malik ketika taubat dia dan shahabatnya diterima agar dia shalat dua rakaat dan sujud dua kali. (HR. Hakim dalam Al-Mustadrak Alas-Shahihain, 5/148)

Hanya saja, hadits ini tidak shahih, karena dalam rangkaian sanadnya terdapat Yahya bin Al-Mutsanna. Al-Uqaili berkata, 'Haditsnya tidak mahfudh dan tidak diketahui periwayatannya' (Adh-Dhu'afa Al-Kabir, 4/432) addzahabi berkata :aku tidak tau siapa orang ini.

2- Riwayat Ibnu Majah, no. 1391, dari jalur Salamah bin Roja', telah meriwayatkan kepadaku Sya'tsa, dari Abdullah bin Abi Aufa, radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan shalat dua rakaat pada saat diberi kabar gembira dengan (tewasnya) Abu Jahal."

Hadits ini dinyatakan hasan oleh sebagian ulama, seperti Ibnu Hajar dan Ibnu Mulqin. Lihat Al-Badrul-Munir, 9/106, Talkhish Al-Habir, 4/107)
justru ibnu hajar berkata dalam taqrib: Sya'tsa Abdullah perawi tidak dikenal
begitu pula adzdzahabi berkata : dia tidak dikenal
dan Al-Bushairi berkata, 'Sanad hadits ini terdapat catatan, karena Sya'tsa Abdullah, tidak saya ketahui ada orang yang memberikan penilaian tentang dirinya, apakah menolak atau menyetujuinya.'

Adapun tentang Salamah bin Raja bin Mu'in, Ibnu Ady berkata, 'Beliau meriwayatkan beberapa hadits, akan tetapi tidak ada yang mengontrolnya, sedangkan An-Nasai berkata, (Dia perawi) yang lemah. Sedangkan Ad-Daruquthni berkata, 'Beberapa haditsnya berbeda sendiri dibanding hadits yang diriwayatkan dari perawi yang tsiqah. Abu Zur'ah berkata, 'Dia adalah orang yang jujur. Abu Hatim berkata, 'Tidak ada haditsnya yang bermasalah.' (Mishbah Al-Zujajah, 1/211)
Demikian pula halnya Syekh Al-Albany menyatakan bahwa hadits ini dha'if, dalam Kitab Dha'if Sunan Ibnu Majah.

3- Shalat yang Nabi shallallahu alaihi wa sallam lakukan sebanyak delapan rakaat pada peristiwa penaklukan kota Mekah. Banyak ulama yang berpendapat bahwa shalat tersebut adalah karena rasa syukur kepada Allah atas nikmat penaklukan tersebut.

Muhammad bin Nashr Al-Marwazi berkata, 'Mengenai shalat dan sujud karena mendapatkan nikmat sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla, di antara dalilnya adalah bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada Nabinya shallallahu alaihi wa sallam berupa penaklukan kota Mekkah, beliau mandi lalu shalat sebanyak delapan rakaat sebagai rasa syukur kepada Allah Azza Wa Jalla.' (Ta'zimu Qadrush-Shalah, 1/240)

Ibnu Hajar berkata, 'Padanya (riwayat di atas) terdapat dalil disyariatkannya shalat syukur' (Fathul Bari, 3/15)


adapun ucapan ibnu hajar itu bukan shalat syukur tapi sholat (mutlak)untuk bersyukur teks arabnya :الصلاة للشكر bukan sholatus syukri
Akan tetapi berdalil dengan hadits (tentang shalat syukur) terbantah dari dua sisi;

1- Perkara ini khusus pada saat mendapatkan kemenangan dan penaklukan. Maka jangan digeneralisir dalam semua keadaan yang menggembirakan.

Ibnu Katsir berkata, 'Itu merupakan shalat syukur setelah meraih kemenangan, berdasarkan pendapat yang lebih kuat dari dua pendapat ulama.' (Al-Bidayah wan-Nihayah, 1/324)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, 'Para ulama menyatakan disunnahkan bagi seorang pemimpin shalat delapan rakaat saat berhasil menaklukkan sebuah kota, sebagai rasa syukur kepada Allah. Mereka menamakannya sebagai shalat Fath (Shalat kemenangan)." Selesai (Majmu Al-Fatawa, 17/474)

Ibnu Qayim rahimahullah berkata, 'Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki rumah Ummu Hani bin Abi Thalib, lalu dia mandi dan shalat sebanyak delapan rakaat di rumahnya, saat itu waktu Dhuha, dia menyangka bahwa itu adalah shalat Dhuha, padahal itu adalah shalat Fath."

Dalam kisah ini terdapat dalil bahwa shalat tersebut dilakukan karena kemenangan yang diraih sebagai rasa syukur atas nikmat Allah kepadanya. Karena dia (Ummu Hani) berkata, 'Aku tidak melihat beliau sebelum dan sesudahnya melakukan shalat itu.' (Zadul Ma'ad, 3/361)

2. sesungguhnya Ummu Hani’ binti Abu Tholib, beliau sendiri yang meriwayatkan hadits ini. Dan dengan jelas (mengatakan) dalam teks haditsnya bahwa ia adalah shalat Dhuha. Dan hal itu berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Qoyyim rahimahullah tadi.

Diriwayatkan oleh Muslim, 336 dari Ummu Hani berkata:

(لَمَّا كَانَ عَامُ الْفَتْحِ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِأَعْلَى مَكَّةَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى غُسْلِهِ فَسَتَرَتْ عَلَيْهِ فَاطِمَةُ ثُمَّ أَخَذَ ثَوْبَهُ فَالْتَحَفَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ سُبْحَةَ الضُّحَى).

‘Ketika tahun penaklukan, beliau mendatangi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam sementara (Nabi) berada di (dataran) tinggi Mekkah. Rasulullah sallallahu’alihi wa sallam mandi, sementara Fatimah menutupinya kemudian beliau mengambil baju dan menutupi (badan) dengannya. Kemudian (beliau) shalat delapan rakaat Sunnah Dhuha.

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim, “Perkataan ‘kemudian shalat delapan rakaat sunnah Dhuha’ perkataan ini terdapat faedah yang indah. Yaitu bahwa shalat Dhuha delapan rakaat. Sisi pengambilan dalilnya adalah perkataan ‘Sunnah Dhuha’ ini adalah penegasan bahwa hal ini adalah sunnah yang telah ditetapkan dan dikenal. Dan (menunaikan) shalat dengan niatan Dhuha. Berbeda dengan riwayat lain ‘Shalat delapan rakaat, dan itu adalah Dhuha’ karena sebagian orang memahami kurang tepat. Dan mengatakan, bahwa hal ini bukan sebagai dalil bahwa shalat Dhuha itu depalan rakaat. Dan dia menyangka bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (menunaikan shalat) delapan rakaat disebabkan penaklukan Mekkah. Bukan dikarenakan (shalat) Dhuha. Persangkaan yang berkaitan dengan perkataan lafad ini tidak akan mungkin, manakala ada teks ‘Sunnah Dhuha (Subhata Ad-Dhuha)’. Dan orang-orang dahulu dan sekarang menggunakan hadits ini sebagai (dalil) ketetapan bahwa Dhuha itu delapan rakaat. Wallahu’alam. Dan perkataan (السُّبْحَة) adalah sunnah (nafilah), dinamakan itu karena didalamnya ada tasbih. Selesai

Dari (penjelasan) tadi, kebanyakan para ulama berpendapat tidak dianjurkan yang dinamakan ‘shalat syukur’. Ar-Ramli berkata; “Dari kami tidak ada shalat yang dinamakan shalat syukur.’ Selesai dari kitab ‘Tuhfatul Muhtaj, 3/208.

Syekh Bin Baz berkata: “Saya tidak mengetahui riwayat sedikitpun tentang shalat syukur, akan tetapi yang ada adalah sujud syukur. Selesai dari kitab ‘Majmu’ Fatawa, 11/424.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahulah berkata, “Saya tidak mengetahui dalam hadits tentang shalat yang dinamakan shalat syukur. Akan tetapi ada sujud yang dinamakan sujud syukur.” Selesai dari ‘Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb, 6/17. Beliau menambahi lagi, ‘Syukur tidak ada didalamnya shalat yang berdiri dan ruku akan tetapi hanya sujud saja. Selesai dari ‘Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb, 6/18.

Maka bagi seorang muslim dikala mendapatkan apa yang menyenangkan. Dianjurkan sujud syukur karena Allah Ta’ala. Sementara shalat syukur tidak ada asalnya.

Kamis, 05 Juni 2014

7 kesalahan seputar takbirotul ihrom



1) melafadzkan niat
Imam As-Syafi’i mengatakan,الصَّلَاة لَا تَصِحُّ إلَّا بِالنُّطْقِ
“….shalat itu tidak sah kecuali dengan an-nuthq.” (Al Majmu’, 3:277).
Namun maksudnya adalah mengucapkan takbiratul ihram. An-Nawawi mengatakan,
قَالَ أَصْحَابُنَا غَلِطَ هَذَا الْقَائِلُ وَلَيْسَ مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالنُّطْقِ فِي الصَّلَاةِ هَذَا بَلْ مُرَادُهُ التَّكْبِيرُ
“Ulama kami (syafi’iyah) mengatakan, ‘Orang yang memaknai demikian adalah keliru. Yang dimaksud As Syafi’i dengan An Nuthq ketika shalat bukanlah melafalkan niat namun maksud beliau adalah takbiratul ihram’.” (Al Majmu’, 3:277).
Kesalahpahaman ini juga dibantah oleh Abul Hasan Al Mawardi As Syafi’i, beliau mengatakan,
فَتَأَوَّلَ ذَلِكَ – الزُّبَيْرِيُّ – عَلَى وُجُوبِ النُّطْقِ فِي النِّيَّةِ ، وَهَذَا فَاسِدٌ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ وُجُوبَ النُّطْق بِالتَّكْبِيرِ
“Az Zubairi telah salah dalam mentakwil ucapan Imam Syafi’i dengan wajibnya mengucapkan niat ketika shalat. Ini adalah takwil yang salah, yang dimaksudkan wajibnya mengucapkan adalah ketika ketika takbiratul ihram.” (Al-Hawi Al-Kabir, 2:204).
2) mengarahkan telapak tangan tidak ke arah kiblat ,tetapi dengan seperti hendak bertepuk atau seperti berdoa,maka ini kesalahan.
terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu:
انه كان اذا كبر استحب ان يستقبل بإبهامه القبلة
“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan kedua ibu jarinya ke arah kiblat” (HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi, 63)
3) mengangkat tangan lebih tinggi dari telinga
hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhu:
لأنظرن الى صلاة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فلما افتتح الصلاة كبر ورفع يديه فرأيت إبهاميه قريبا من أذنيه
“Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ketika beliau memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat kedua jempolnya dekat dengan kedua telinganya” (HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al Albani dalam Sunan An Nasa-i)
4) merapatkan jari tangan
Berdasarkan hadits:
كان إذا قام إلى الصلاة قال هكذا – وأشار أبو عامر بيده ولم يفرج بين أصابعه ولم يضمها
“Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau begini, Abu Amir (perawi hadits) mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, beliau tidak membuka jari-jarinya dan tidak merapatkannya” (HR. Ibnu Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Khuzaimah)
5) membaca takbir
Aaallaa..hu (AaaL..dibaca panjang). Aaa..k-bar (Aaa..k..dibaca panjang). Lafal ini artinya: Apakah Allah Maha-Besar?
Akbaa…r (baa..r..dibaca panjang). Akbaa..r artinya beduk. Sehingga kalimat Allaahu Akbaa..r artinya Allah adalah beduk. Maha Suci Allah…
Kesalahan-kesalahan dalam membaca lafal takbir menyebabkan kesalahan arti. Semua arti yang salah di atas merupakan kalimat kekufuran. Orang mengatakan: “Apakah Allah Maha Besar??” Berarti telah meragukan sifat Maha Besar Allah.
6) Makmum bertakbir dengan suara keras sehingga mengganggu orang lain ketika shalat jamaah. Yang boleh bertakbir dengan keras hanyalah imam.
7) Tidak menggerakkan lidah ketika membaca takbir, atau bertakbir namun di hati. Sebagian ulama menganggap orang yang bertakbir di batin (hati) dan tidak diucapkan bisa membatalkan shalat. Diantara yang berpendapat demikian adalah Imam Syafi’i. Karena shalat adalah ibadah zikir dan gerakan. Bertakbir merupakan bagian dari zikir ketika shalat. Bertakbir baru bisa dianggap sah jika diucapkan.

Rabu, 04 Juni 2014

maen sepak bola pake hadiah itu haram



“Diperbolehkan bermain sepak bola atau pun bola basket, asalkan permainan yang dilakukan tidak mengandung pelanggaran terhadap aturan syariat, misalnya: buka-buka aurat, tertinggal shalat berjamaah, fanatisme klub ala jahiliah, atau adanya hadiah untuk pemain, baik hadiah tersebut berasal dari sesama pemain atau pun berasal dari sponsor--alias 'pihak ketiga'--.

Alasan diharamkannya hadiah dalam semisal permainan ini--baik hadiah itu berasal dari peserta atau pun berasal dari sponsor--adalah kaidah

'tidak boleh ada hadiah dalam berbagai perlombaan, kecuali perlombaan yang diperbolehkan syariat untuk memakai hadiah, yaitu pacuan kuda, pacuan unta, dan lomba memanah atau perlombaan yang bisa dianalogkan dengan perlombaan di atas, yaitu semua perlombaan yang mendukung jihad fi sabilillah'.

لا سَبَقَ إِلا فِي نَصْلٍ أَوْ خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sabaq (hadiah perlombaan) kecuali dalam perlombaan memanah, pacuan unta, dan pacuan kuda.” (HR. Tirmidzi, no. 1700; Nasai, no. 3585; Abu Daud, no. 2574; Ibnu Majah, no. 2878; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Sebagian ulama menganalogikan tiga macam perlombaan di atas dengan semua perlombaan yang mendukung pelaksanaan jihad dan penyebaran Islam, misalnya: lomba hafalan Alquran atau hadis, dan lomba menghafal buku matan fikih. Boleh ada hadiah untuk perlombaan-perlombaan tersebut.

Adapun sepak bola dan bola basket tidaklah termasuk pertandingan berhadiah yang diperbolehkan secara khusus oleh dalil, dan tidak pula termasuk pertandingan yang bisa dianalogikan dengan tiga perlombaan berhadiah yang diperbolehkan oleh syariat.

Sepak bola dan bola basket adalah permainan yang diadakan untuk senang-senang bagi penonton maupun pemainnya, tidak memiliki kaitan dengan jihad atau pun persiapan jihad. Oleh karena itu, tidak boleh ada hadiah dalam pertandingan sepak bola dan bola basket, baik hadiah tersebut berasal dari pemain--alias 'peserta'--atau pun dari pihak ketiga--alias 'sponsor'--.

Lajnah Daimah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, 'Apa hukum menonton pertandingan olah raga, semisal piala dunia?'

Jawaban para ulama yang duduk di Lajnah Daimah, 'Pertandingan sepak bola, yang memperebutkan hadiah, hukumnya haram karena mengandung unsur taruhan. Tidak boleh ada hadiah pertandingan kecuali dalam pertandingan yang diizinkan oleh syariat. Itulah pacuan kuda, pacuan unta, dan lomba memanah. Berdasarkan hal tersebut maka menghadiri secara langsung atau menonton (via TV misalnya, pent.) pertandingan tersebut, hukumnya adalah haram untuk orang yang mengetahui bahwa pertandingan tersebut memperebutkan hadiah. Menghadiri secara langsung berarti menyetujui pertandingan semacam itu.

Akan tetapi, jika pertandingan olah raga tersebut tidaklah memperebutkan hadiah, tidak melalaikan dari kewajiban agama semisal shalat, dan tidak mengandung hal yang terlarang semisal buka-buka aurat, campur baur perempuan dengan laki-laki, dan adanya alat musik maka mengikuti pertandingan dan menontonnya tidaklah terlarang.'

Fatwa ini disampaikan oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syekh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syekh, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, dan Syekh Bakr bin Abdullah Abu Zaid. (Fatawa Lajnah Daimah, 15:238)"

hukum mengontrakkan kontrakan


boleh menyewakan kembali barang/rumah yg telah kita kontrak ke orang lain walaupun dengan sewa yang lebih tinggi.semua itu dengan 2 syarat :
1)dengan izin pemilik asli
2) tidak mengubah akad awal,misal awal kesepakatan untuk tinggal maka tidak boleh untuk toko atau berdagang,dsb
Hukum ini berlaku selama cara pemanfaatan yang dilakukan oleh orang yang mewakilinya atau orang lain yang menyewanya kembali serupa dengan cara pemanfaatan penyewa pertama. Ini semua sebagai bagian dari konsekuensi kepemilikan penyewa atas kegunaan barang sewaannya. Demikianlah yang dijelaskan oleh para ahli fiqih dari berbagai madzhab. [Baca al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/58 dan Mughnil Muhtaj 2/334]