Rabu, 16 September 2020

Perhatian ibnu hajar terhadap pendidikan anaknya

Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitab Bulughul Maram dengan maksud dipakai buku panduan pendidikan untuk anaknya, di di antaranya disebutkan di kitab Al-Jawahir wa Ad-Durar. Sebuah kitab yang ditulis oleh As-Sakhawi khusus untuk membahas biografi Ibnu Hajar Al-Asqalani. Dalam kitab tersebut ditulis,
وكنتُ أسمع أنَّ والده صنَّف “بلوغ المرام” لأجله (الجواهر والدرر في ترجمة شيخ الإسلام ابن حجر (3/ 1220)
Artinya,
“Aku mendengar bahwa ayahnya (yakni Ibnu Hajar Al-Asqalani) menulis Bulughul Maram adalah untuk dia-putranya- (Al-Jawahir Wa Ad-Durar, juz 3 hlm 1220)

Minta dalil tradisi imam assyafii


Suasana seperti inilah yang terjadi dalam majelis-majelis ilmu imam Asy-Syafi’i. Muridnya bertanya dalil atas dasar ketakwaan dan sang guru juga menjawab berdasarkan dalil atas dasar ketakwaan. Berikut ini contoh suasana itu sebagaimana dilukiskan dalam kitab Al-Umm,
سَأَلْت الشَّافِعِيَّ عَنْ السُّجُودِ فِي {إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ} [الانشقاق: 1] ؟ فَقَالَ: فِيهَا سَجْدَةٌ فَقُلْت: وَمَا الْحُجَّةُ أَنَّ فِيهَا سَجْدَةً؟ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ «أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَرَأَ لَهُمْ {إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ} [الانشقاق: 1] فَسَجَدَ فِيهَا فَلَمَّا انْصَرَفَ أَخْبَرَهُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – سَجَدَ فِيهَا
“Aku (Ar-Robi’ bin Sulaiman Al-Murodi) bertanya kepada Asy-Syafi’i tentang sujud pada ayat إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ maka belau menjawab, dalam ayat tersebut (disyariatkan sujud (tilawah). Aku bertanya, “Apa hujjahnya bahwa dalam ayat tersebut ada (syariat) sujud?”. Asy-Syafi’i menjawab, “Malik memberitahu kami dari Abdullah bin Yazid Maula Al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasanya Abu Hurairah membacakan untuk mereka إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ lalu beliau bersujud karena ayat tersebut. Ketika beliau selesai, beliau memberitahu mereka bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sujud karena ayat tersebut” (Al-Umm, juz 7 hlm 212)
Jadi, idealnya seorang dai atau ulama jangan sampai risih apalagi jengkel jika ditagih dan ditanya dalil oleh kaum muslimin yang benar-benar ingin beramal karena Allah. Karena menjelaskan dalil memang menjadi tugasnya. Allah memberi nikmat ilmu kepada seorang dai/ulama untuk diajarkan dan dijelaskan dengan senang hati ketika dibutuhkan. Menolak menjelaskaan dalil suatu permasalahan secara mutlak justru malah berbahaya dalam konteks ketakwaan karena akan memicu taklid buta, menumpulkan nalar kritis islami, dan menyuburkanashobiyyah golongan.

Kitab aqidatul awam dari mimpi

umumnya Asy-Syafi’iyyah di Indonesia, referensi utama kajian akidah adalah kitab ‘Aqidatu Al-‘Awam karya Ahmad Al-Marzuqi yang mana penulisnya mengklaim bahwa akidah dan manzhumah itu diajarkan langsung oleh Rasulullah melalui mimpi !

Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
لَوْ أَخْبَرَ صَادِقٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ، مُخَالِفٍ لِمَا تَقَرَّرَ فِي الشَّرِيعَةِ لَمْ نَعْتَمِدْهُ
“Seandainya ada seorang yang jujur mengkhabarkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya tentang hukum syar’iy yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam syari’at, kami tidak berpegang padanya” [Tharhut-Tatsrib, 7/2262].
Ibnu Hajar rahimahullah ketika memberikan kisah Abu Lahab dan Tsuwaibah:
فَالَّذِي فِي الْخَبَر رُؤْيَا مَنَام فَلَا حُجَّة فِيهِ
“Yang ada dalam hadits berupa mimpi, maka tidak ada hujjah di dalamnya” [Fathul-Baari, 9/145].
Ibnu Katsiir saat menukil penjelasan Ibnu ‘Asaakir yang menyebutkan Ahmad bin Katsiir pernah bermimpi melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan Haabiil; maka ia (Ibnu Katsiir) berkata:
وهذا منام لو صح عن أحمد بن كثير هذا لم يترتب عليه حكم شرعي والله أعلم
“Dan mimpi ini, seandainya riwayatnya shahih dari Ahmad bin Katsiir, maka itu tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy. Wallaahu a’lam” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 1/105-106].

Karomah imam nawawi tentang ibnu taimiyyah

karomah beliau yang langsung berpaut erat dengan tokoh aliran tafwidh. Konon An-Nawawi pernah berdoa kepada Allah untuk menghancurkan berhala di zamannya yang tidak bisa beliau hilangkan hanya dengan amar makruf nahi munkar. Doa yang dinisbatkan kepada beliau berbunyi,
اللهم أقم لدينك رجلاً يكسر العمود المخلّق ويُخرّب القبر الذي في جيرون
Artinya: “Ya Allah, bangkitkanlah untuk dien-MU seorang lelaki yang akan menghancurkan obelisk itu (yang berada di dekat sungai Qoluth), dan merobohkan kuburan yang berada di Jairun (An-Nubuwwat, juz 1 hlm 73)
Uniknya, sebagian ulama memandang bahwa Allah mengabulkan doa ini satu generasi sesudahnya dengan membangkitkan hamba-Nya yaitu Ibnu Taimiyyah!
Sejarah mencatat sebagaimana diuraikan Ibnu Katsir dalam kitab Al-Bidayah Wa An-Nihayah bahwa orang yang menghancurkan berhala itu adalah Ibnu Taimiyyah. 

Sabtu, 12 September 2020

Merapatkan shaf wajib menurut syeikh bin baz

https://binbaz.org.sa/fatwas/11176/%D9%88%D8%AC%D9%88%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%AA%D8%B1%D8%A7%D8%B5-%D9%88%D8%B3%D8%AF%D8%AF-%D8%A7%D9%84%D8%AE%D9%84%D9%84-%D9%81%D9%8A-%D8%A7%D9%84%D8%B5%D9%84%D8%A7%D8%A9

الواجب على المصلين أن يتقوا الله، وأن يرصوا الصفوف ويتقاربوا، ولو ما قال الإمام شيء، لكن الإمام يقول لهم يذكرهم يقول: استووا، تراصوا، تقاربوا، كملوا الأول فالأول، والواجب عليهم أن يفعلوا ذلك حتى ولو سكت الإمام يجب عليهم أن يكملوا الصف الأول فالأول، وأن يتراصوا فيما بينهم لا يكون فرج، النبي ﷺ قال: لا تذروا فرجات للشيطان سدوا الخلل فيتقاربوا حتى يكون قدم كل واحد يلي قدم الآخر، يلصق قدمه بقدمه من غير أذى حتى يسد الخلل، ويكونوا مستويين، لا يتقدم أحد على أحد، يكون صدره مساوي صدر أخيه لا يتقدم عليه، وهكذا كل ما تم صف كملوا الصف الثاني والثالث وهكذا، هذا هو الواجب على الجميع كما أمر النبي بهذا عليه الصلاة والسلام، قال: رصوا صفوفكم وقاربوا بينها وحاذوا بالأعناق وقال: من وصل صفاً وصله الله ومن قطع صفاً قطعه الله وقال: سدوا الخلل لا تذروا فرجات للشيطان.
فالواجب على الجماعة في المسجد أن يتراصوا فيما بينهم، وأن يسدوا الخلل، وأن يكملوا الصف الأول فالأول، هكذا الواجب على الجميع، نعم.
المقدم: جزاكم الله خيراً.

Senin, 07 September 2020

Idrus ramli akhirnya pasrah mengakui tidak ada dalil tawassul dan tabarruk selain nabi


Hukum berboncengan dengan yang bukan mahram

Hukum asalnya berboncengan dengan tukang ojek yang berlainan jenis dan bukan mahram adalah tidak diperbolehkan sebab, berboncengannya seorang ojek dengan penyewanya biasanya menimbulkan terjadinya sentuhan dan tertempelnya badan tukang ojek dan penyewanya, padahal ini terlarang antara lawan jenis yang bukan mahram.

Dalam Ensiklopedi Fiqih Kuwait disebutkan: Adapun seorang wanita membonceng laki-laki yang bukan mahram, atau laki-laki membonceng wanita yang bukan mahram maka ini terlarang demi Saddu Adz-Dzarai' (menutup dari jalan menuju kerusakan,pen) dan membentengi dari syahwat yang terlarang. Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah 3/91

Apabila keadaan sangat mendesak dan tidak ada lagi kendaraan yang bisa dimanfaatkan, atau tidak ada mahram yang bisa mengantar maka tidak apa-apa menggunakan jasa ojek, seperti bila ada keluarga yang sudah dalam keadaan sekarat dan tidak ada kendaraan yang didapatkan untuk mengantar ke rumah sakit kecuali persewaan jasa ojek. Adapun untuk mengaji setiap hari, maka itu bukanlah faktor yang membolehkan menyewa tukang ojek yang bukan mahram.

Hukum menyewakan barang sewaan

Ibnu Taimiyah menerangkan: Dan penyewa diperbolehkan untuk menyewakan kembali sesuatu yang disewa kepada orang yang mengambil posisi penyewa pertama (menggunakan manfaat yang sebelumnya dimiliki penyewa pertama.pen) dengan bayaran sama atau lebih (dari yang dibayar penyewa pertama kepada pemilik). Al-Fatawa Al-Kubro, Ibnu Taimiyah 5/408

Apabila pemilik barang mensyaratkan kepada penyewa bahwa barang tidak boleh disewakan ke orang lain, maka penyewa tidak boleh menyewakan kepada orang lain. Begitu pula jika pemilik mensyaratkan kepada penyewa supaya tidak menyewakan ke orang dengan profesi tertentu maka penyewa harus memenuhi persyaratan tersebut.

Jika tidak ada perjanjian apapun terkait penyewaan barang ke pihak ketiga maka hukum asalnya adalah dibolehkan bagi penyewa untuk menyewakannya ke pihak ketiga.

Bunga riba untuk sumbang pesantren

Berikut ini keterangan dari Komite Tetap Fatwa dan Riset Ilmiah Arab Saudi yang kami terjemahkan:

Hasil Riba termasuk harta haram. Allah ta'ala berfirman: وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Al-Baqarah:275 Dan orang yang mendapatkan uang riba wajib untuk berlepas diri darinya dengan cara menginfaqkannya dalam hal-hal yang bermanfaat untuk kaum Muslimin, diantara hal itu adalah membangun jalan, sekolahan-sekolahan (Pesantren bisa dimasukkan.pen) dan memberikannya kepada orang-orang miskin, adapun Masjid (Musholla termasuk.pen) maka itu tidak boleh dibangun dari harta Riba.

Seseorang diharamkan untuk berani maju mengambil kelebihan riba dan terus-menerus untuk mengambilnya. Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah juz 13, Riasah Idarah Al-Buhuts Al-Ilmiah Wa Al-Ifta', Riyadh, Hal. 354