Selasa, 31 Mei 2016

Iran Pemasok Sabu Terbesar ke Indonesia


VIVAnews - Iran menjadi negara terbesar penyelundup narkotika jenis sabu-sabu ke Indonesia. Hal itu dikarenakan harga sabu-sabu Iran sangat murah sehingga keuntungan jika di jual ke Indonesia sangat tinggi mencapai 4000 persen.

Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere jika 1 kilogram sabu-sabu dijual di Indonesia harganya mencapai Rp2 miliar. Namun di Iran bisa Rp100 juta.

"Jadi 2000 persen keuntungan yang diperoleh di Indonesia, bahkan bulan terakhir ini turun menjadi Rp50 juta di Iran, jadi 4000 persen keuntungannya," katanya di Jakarta, Sabtu 26 Juni 2010.

© VIVA.co.id

Ibnu taimiyyah meyakini neraka tidak kekal?


Pendapat yang mengatakan bahwa Beliau rahimahullah berpendapat tidak kekalnya neraka,  sebagian merupakan KEDUSTAAN atau KESALAHFAHAMAN tentang tulisan beliau yang disebutkan dalam banyak tempat di kitab-kitab Beliau tentang pendapat Beliau akan kekalnya neraka.

Dijelaskan bahwa dalam salah satu kitabnya, Beliau menukilkan dua pendapat dari salaf di mana mereka berselisih tentang masalah ini, BUKAN berpendapat dengan ucapan itu. Jadi para salafpun sudah terjadi khilaf akan masalah ini, tapi yang kuat adalah pendapat akan kekalnya surga dan neraka .

Adapun Ucapan Syaikhul Islam rahimahullah adalah sesuai dengan prinsip ahlussunah tentang keabadian jannah dan neraka, ada beberapa kedustaan dari syi'ah akan hal itu .

Sebagai bukti mengenai pemahaman Syaikhul Islam akan kekalnya neraka bisa dilihat pada kitab-kitab Beliau** seperti :

1. Dar'uttarrudh al 'Aql wan Naql 2/358

2. Bayan Talbis Aljahmiyyah

3. Majmu' Fatawa 8/ 304 dan 18 /307.

Beliau berkata:
"Telah sepakat salaful ummah dan imam-imamnya serta seluruh Ahlussunnah wal Jama'ah, bahwa di antara makhluq-makhluq itu ada yang tidak akan lenyap dan TIDAK FANA secara keseluruhan, seperti surga dan NERAKA dan Arsy dll".
(Majmu'ul Fatawa:  18/307)

4. Dalam kitab "Naqdu Maratibil Ijma' li ibni Hazm". Beliau rahimahullah tidak mengkritik penukilan ijma' ulama dari ibnu hazm tentang tidak fana nya Neraka seperti hal nya Surga.

Maka ini menunjukan kalau Syaikhul Islam berpendapat seperti pendapatnya Ibnu Hazm bahwa NERAKA itu KEKAL alias TIDAK FANA.
___________
Disebutkan pula ucapan ini (tidak kekalnya neraka) dari para shohabat seperti Abu Mas'ud, Abu Huroiroh dll _Radhiyallaahu 'anhum.

Para ulama mengarahkan bahwa sanadnya lemah untuk disandarkan pada mereka atau bahwa ucapan mereka bukan dimaksudkan pada masalah ini, bahkan juga berhujjah dengan atsar Umar bin Khottob Radhiyallaahu 'anhu tentang fananya neraka.

Dan hal itu telah dibahas tuntas secara diroyatan wa riwayatan dalam kitab Aqidah Thohawiyah Ibnu Abil 'iz  ( 2/ 651 cetakan Mussasah Risalah dengan tahqiiq Al arnaud).

Disebutkan juga dari Asy Syaikh bin Baz rohimahulloh dan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahumalloh dalam Fatwa Nur 'ala dharb ( 22 ).
____________
Sebagai penutup, Berkata Asy Syaikh DR Muhammad bin Fahd Alfuraih hafidzahullah:
"Masalah penisbatan FANA / tidak kekalnya NERAKA kepada Ibnu Taimiyyah rahimahullah perlu diteliti ulang.

Dan saya sudah jelaskan akidah ahlussunnah yang merupakan kesepakatan di sisi mereka bahwa NERAKA itu TIDAK FANA, saya juga telah jelaskan KESALAHAN penisbatan (pendapat fana nya nereka) kepada Ibnu Taimiyyah dalam kitabku:

إتحاف العباد بشرح لمعة الإعتقاد.

Ibnul qayyim meyakini neraka tidak kekal?


Imam Ibnul Qayyim membawakan berbagai alasan yang dianggap sebagai dalil dalam masalah tersebut. Kecondongan Imam Ibnul Qayyim kepada pendapat neraka tidak kekal tersebut, beliau tulis di dalam beberapa kitabnya, yaitu:

- Hadil Arwah Ila Biladil Afrah 2/167-228.
- Ash Shawa-iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyyah Wal Mu’aththillah, di dalam ringkasannya, halaman 218-239, penerbit Maktabul Islami, yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Al Maushuli.
- Syifa’ul ‘Alil, halaman 252-264.

Kemudian dari sinilah Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan pendapat Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tentang ketidak kekalan neraka, dan meringkaskan dalil-dalil Ibnul Qayyim rahimahullah tentang masalah ini.

Namun yang perlu disayangkan, bahwa Dr. Yusuf Qardhawi tidak memberikan komentar tentang dalil-dalil yang dibawakan Ibnul Qayyim tersebut, sehingga tentu akan membuat kebingungan bayak orang dalam masalah ini. Padahal dalil-dalil itu telah dibantah oleh banyak ulama Ahlus Sunnah, sebagaimana yang akan kami jelaskan, insya Allah. Demikian juga Dr. Yusuf Qardhawi tidak menyebutkan adanya pendapat lain dari Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang sesuai dengan Ahlus Sunnah, yaitu kekalnya neraka. Bahkan inilah pendapat akhir beliau, insya Allah, sebagaimana yang akan kami jelaskan.
Ringkasnya, bahwa dalam masalah kekalnya neraka, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memilki beberapa pendapat, sebagaimmana diketahui dari kitab-kitab beliau.
perkataan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah yang menyatakan kekalnya neraka:

Beliau berkata, “Karena manusia itu berada pada tiga tingkatan: baik, tidak diperburuk oleh kebusukan; busuk, tidak ada kebaikan padanya; dan yang lain, pada mereka terdapat kebusukan dan kebaikan. Jadilah tempat tinggal mereka ada tiga: tempat tinggal baik murni (yaitu surga, Red.) dan tempat tinggal busuk murni (yaitu neraka, Red.), dan kedua tempat tinggal ini tidak akan binasa. Dan tempat tinggal (neraka) bagi orang yang memiliki kebusukan dan kebaikan, inilah tempat tinggal yang akan binasa. Ini adalah tempat tinggal orang-orang yang berbuat maksiat. Karena sesungguhnya tidak seorangpun dari orang-orang yang bertauhid yang berbuat maksiat akan kekal di dalam Jahannam. Sesungguhnya setelah mereka disiksa sesuai dengan balasan mereka, (maka) mereka dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Sehingga tidaklah tinggal, kecuali tempat tinggal baik murni (yaitu surga, Red.) dan tempat tinggal busuk murni (yaitu neraka, Red.).” [Al Wabilush Shayyib, halaman 25]

Beliau juga berkata di dalam Al Kafiyah Asy Syafiyah, sebuah qasidah yang berisikan aqidah beliau:

“Delapan (makhluk) yang terkena hukum kekal,
Adapun selainnya berada pada daerah kebinasaan,
Semua (delapan makhluk) itu adalah: Al Arsy, Al Kursi, neraka, surga, pangkal tulang ekor manusia, ruh, Demikian juga Al Lauh dan Al Qalam”. [Taudhihul Maqashid Wa Tash-hihul Qawaid Fi Syarhi Qashidatil Imam Ibnil Qayyim, 1/97, karya Ahmad bin Ibrahim bin Isa. Dinukil dari Raf’ul Astar, halaman 18, karya Ash Shan’ani, tahqiq Al Albani]

Oleh karena itu, sepantasnya kita berbaik sangka kepada kedua imam besar Ahlus Sunnah di atas, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa pendapat kekalnya neraka itulah pendapat terakhir mereka. Sebagaimana hal itu dikatakan oleh Syaikh Al Albani rahimahullah : Adapun kami, maka husnuzhan (berbaik sangka) yang diperintahkan (agama) kepada kita, mengharuskan kita untuk mengatakan, semoga hal itu (pendapat kekalnya neraka) merupakan pendapat terakhir (Ibnu Taimiyah), karena hal itu sesuai dengan ijma’ yang beliau nukilkan sendiri. Terlebih (penukilan ijma’) dari yang lain sebagaimana telah berlalu. Dan itu diperkuat, bahwa Ibnul Qayyim juga menukilkan (pendapat kekalnya neraka) dalam qasidah beliau, Al Kafiyah Asy Syafiyah. Dan yang nampak, bahwa Ibnul Qayyim wafat di atas (aqidah) itu. Karena qasidah itu dibacakan kepada beliau pada akhir kehidupan beliau. Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hanbali (seorang murid Ibnul Qayyim) menyebutkan biografi Ibnul Qayyim dalam kitab Thabaqat, karyanya, dan menyebutkan di akhirnya apa yang mengesankan kita tentang hal itu. Ibnu Rajab berkata,“Aku selalu menghadiri majlis-majlis beliau (Ibnul Qayyim) sebelum wafatnya lebih dari setahun. Dan aku mendengar (dibacakan) kepadanya qasidahnya An Nuniyah yang panjang dalam tahun itu, dan beberapa dari karya-karyanya, dan lainnya.” [Ath Thabaqat 2/448, karya Ibnu Rajab]

jangan su'udhon kepada orang kafir harbiy,tabayyun dulu?


he..lucu...orang kafir yg memerangi umat muslim Halal digunjing,halal di su'udhoni..dst..
Darahnya saja halal ditumpahkan apalagi cuma di sebarkan aibnya,jelas halal..
Sebarkan berita kebobrokannya tanpa tabayyun gak masalah...
Yg disuruh tabayyun itu kepada orang fasik pelaku dosa besar yg masih muslim bukan kafir harbiy yg menyudutkan syariat islam dan memerangi kebebasan beragama umat islam

Syeikh Ibnu Utsaimin mengatakan:

يحرم سوء الظن بمسلم، أما الكافر فلا يحرم سوء الظن فيه؛ لأنه أهل لذلك، وأما من عرف بالفسوق والفجور، فلا حرج أن نسيء الظن به؛ لأنه أهل لذلك

Haram suudzan kepada sesama muslim. Sementara kepada orang kafir, tidak terlarang suudzan kepadanya. Karena dia memang layak diberi suudzan. Sementara orang yang dikenal suka berbuat dosa dan maksiat, tidak masalah memberikan suudzan kepadanya. Karena memang dia layak untuk mendapatkannya.  (as-Syarh al-Mumthi’, 5/300)

Senang dan bersyukur atas meninggalnya ahlul bid'ah


Seorang muslim yang berada diatas Al-haq tentunya sebagaimana ia bersedih ketika mendengar kabar wafatnya para Ulama Ahlus Sunnah dan para Da’i di jalan Allah, maka hendaknya ia senang ketika mendengar kabar meninggalnya Ahlul bid’ah, terlebih jika yang meninggal itu adalah para tokoh dan pendekar-pendekarnya Ahlul Bid’ah. Karena dengan meninggalnya, terhentilah pena-pena dan pemikiran-pemikiran mereka yang selalu menipu manusia.
Lihatlah sikap Para Salaf, mereka tidak hanya mewanti-wanti untuk menjauh dari ajaran Ahlul Bid’ah ketika mereka masih hidup, bahkan setelah meninggalpun mereka jelaskan keadaan orang-orang Ahlul Bid’ah, dan disaat tokoh Ahlul Bid’ah meninggal mereka saling mengabarkan dan bergembira dengan kematiannya.

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam mengatakan untuk mereka-mereka ini:

والعبدُ الفاجرُ يَستريحُ منه العبادُ والبلادُ، والشجرُ والدَّوابُّ

” Adapun (kematian pent) seorang yang fajir, akan merasa bebas darinya para hamba, Negara, pepohonan dan binatang-binatang ” (HR. Bukhari no 6512 dan Muslim No 950 )

Ketika tersebar kabar dipasar tentang meninggalnya Almuraysi (Ad-Dhal) dan Bisyr Ibnu Al-Harits merka mengatakan: ” kalau bukan karena ia adalah orang yang sudah terkenal, maka ini adalah saatnya untuk bersyukur dan sujud, segala puji bagi Allah yang telah menhabisi hidupnya ” (lihat kitab Tarikh Bagdad, 7/66 dan Lisanul Mizan 2/308).

Dikatakan kepada Imam Ahmad Rahimahullah: Apakah seseorang senang dengan apa yang menimpa para pengikut Ibnu Abi Duaad mendapatkan dosa? beliau menjawab: Siapa yang tidak senang dengan ini?! (lihat kitab As-Sunnah li Al-Khallal, 5/121).

Salamah Bin Syubaeb mengatakan: ketika saya bersama Abdur Razzaq ( yaitu As-Shan’any) datanglah kabar kematian Abdul Majied, lalu beliau (Abdur Razzaq) mengatakan: Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan ummat Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dari Abdul Majied (lihat kitab Siyar A’lam An-Nubalaa’ 9/435). Abdul Majied dia adalah Ibnu Abdil Aziz Bin Abi Rawwad, dan dia adalah seorang tokoh Murji’ah.

Ketika datang kabar kematian Wahab Al-Qurasy – dia adalah seorang yang sesat dan menyesatkan – kepada Abdurrahman Ibnu Mahdi, beliau berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan kaum muslimin darinya”. (lihat kitab Lisanul Mizan Karya Ibnu Hajar, 8/402).

Kemudia Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah Wan-Nihayah 12/338) beliau mengabarkan tentang kematian salah seorang tokoh ahlul bid’ah beliau mengatakan: “Allah telah membebaskan kaum muslimin darinya pada tahun ini di bulan Dzulhijjah dia dikuburkan di tempatnya, kemudian dipindahkan ke pekuburan Quraisy. Segala puji bagi Allah, ketika dia meninggal orang-orang Ahlus Sunnah sangat senang, tidaklah kalian menjumpai mereka terkecuali mereka memuji Allah.

Inilah sikap para Ulama Salaf ketika mendengar kematian tokoh-tokoh Ahlul Bid’ah, akan tetapi terkadang ada sebagian orang berhujjah dengan apa yang di nukilkan oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam kitab (Madarij As-Salikin, 2/345) tentang sikap gurunya (Ibnu Taimiyah) ketika dikabarkan oleh muridnya dengan kematian musuhnya.

Beliau (Ibnu Qoyyim) menceritakan: “Suatu hari aku datang mengabarkan kepadanya tentang kematian musuh besar, dan orang yang paling menyakiti beliau. Lalu beliau membentak dan mengingkariku dan beristirja’ (mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun, -pent) lalu beliau dengan cepat berdiri dan pergi kerumah keluaga yang ditinggal menta’ziahi mereka dan mengatakan kepada mereka: sayalah yang menggantikan tempatnya bagi kalian………)”.

Siapa saja yang memperhatikan ini, maka sungguh tidak ada yang bertentangan dalam dua perkara ini, yang ini termasuk kelapangan dada Ibnu Taimiyah, maka beliau tidak serta merta untuk membela dirinya, karenanya ketika muridnya datang mengabarkan kematian orang yang paling memusuhi dan menyakitinya, justru beliau melarang dan mengingkari muridnya. Kenapa? Karena muridnya menampakkan senangnya di hadapan gurunya dengan kematian seseorang sebab alasan pribadi, yaitu sebagai musuh, dan bukan senang karena kematian seseorang sebagai salah seorang tokoh dari Ahlul bid’ah.

Kita memohon kepada Allah Azza wajalla agar menjadikan kita senang dengan kematian orang-orang yang menyeru kepada bid’ah yang menyesatkan. Kita memohon juga semoga Allah senantiasa menampakkan kepada kita kebenaran dan diberikan hidayah untuk mengikutinya, kita memohon Kepada Allah agar menampakkan kepada kita kebathilan dan diberikan taufiq untuk menjauhinya, kita memohon semoga Allah Azza wajalla menetapkan kita diatas agama-Nya diatas kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya Shallallahu alaihi wasallam, sampai kita menjumpai-Nya.

Diterjemahkan dengan sedikit perubahan dari karya tulis yang berjudul:

“الموقف الشرعي الصحيح من وفاة أهل البدع والضلال” (البوطي، مثالاً)

Ditulis oleh: Alwi Bin Abdil Qadir As-Saqqof yang dicantumkan di www.dorar.net

Senin, 30 Mei 2016

Hukum karnaval/ pawai tarhib / menyambut ramadhan


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Karnaval bisa berarti:
suatu pesta besar atau pameran
pesta di benua Eropa dan Amerika, terutama di bagian selatan untuk menyambut masa Pra-Paskah yang dirayakan umat Kristen. Dimulai dari minggu sebelum Rabu sampai hari Rabu. Secara etimologis berasal dari bahasa Latin; carne yang berarti daging. Sebab dalam masa pra-paskah dahulu kala, umat Kristen harus berpantang tidak boleh makan daging.
Karnaval terkenal yang dirayakan di benua Amerika dan Eropa ialah Mardi Gras.

Asal-muasal nama "karnaval" masih diperdebatkan. Menurut salah satu teori, nama itu berasal dari Bahasa Latin carrus navalis ("gerobak kapal"),yang mengacu pada gerobak dalam suatu pawai keagamaan, seperti gerobak yang digunakan dalam arak-arakan keagamaan pada perayaan tahunan untuk menghormati dewa Apollo. Namun menurut sumber-sumber yang lain, nama karnaval bersal dari Bahasa Italia carne levare yang berarti "mengenyahkan daging", karena daging dilarang selama masa prapaskah.Menurut teori lain, nama karnaval berasal dari ungkapan dalam Bahasa Latin Kuno carne vale, yang berarti "selamat tinggal daging", yang menunjukkan bahwa saat tersebut adalah hari-hari terakhir orang boleh makan daging sebelum berpuasa selama masa prapaskah.
Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Karnaval

Kalau orang non muslim ramai melakukan karnaval menjelang puasa masa pra paskah, sekarang ummat Islam pun beramai-ramai mengadakan Pawai Tarhib menjelang bulan puasa Ramadhan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

((لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ , حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ )) قُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ, اَلْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى ؟ قَالَ (( فَمَنْ )) ؟

Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang Biawak, niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya. Kami tanyakan: “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau berkata: “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Ma Dzukira ‘an Bani Israil (no. 3456) dan Kitab Al-I‘tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi “Latattabi‘unna sanana man kana qablakum” (no. 7320) dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab Ittiba‘u Sananil Yahudi wan Nashara.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

((لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَ ذِرَاعًا بِذِرَاعٍ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَ الرُّوْم ؟ فَقَالَ : ((وَ مِنَ النَّاسِ إِلاَّ أُولَئِكَ))

“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Maka ditanyakan kepada beliau: “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab: “Siapa lagi dari manusia kalau bukan mereka?” (HR. Al-Bukhari no. 7319)

Adapun âtsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan ’Umar radhiyallâhu ’anhu, beliau berkata :

اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

”Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allah.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

’Abdullâh bin ’Amr radhiyallâhu ’anhumâ berkata :

من بنى ببلاد الأعاجم وصنع نيروزهم ومهرجانهم ، وتشبه بهم حتى يموت وهو كذلك حُشِر معهم يوم القيامة 

”Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kâfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat.” [Sunan al-Baihaqî IX/234].

Hukum mengkhususkan ziarah kubur menjelang ramadhan


mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ

“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).

Dalam ‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”

Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”

 Syaikh Muhammad At Tamimi menyampaikan faedah dari hadits yang kita kaji,

نهيه عن زيارة قبره على وجه مخصوص ، ومع أن زيارته من أفضل الأعمال

“Hadits ini juga menerangkan bahwa terlarang berziarah kubur dengan tata cara khusus ke kubur nabi, walaupun ziarah ke kubur beliau adalah amalan yang utama.” (Kitab Tauhid, hal. 91)

Hadits ini dapat dipahami bahwa tidak boleh menjadikan kubur Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagai ‘ied, di antara maknanya adalah tidak boleh meyakini bahwa sebaik-baik tempat untuk berkumpul adalah di sisi kubur beliau, atau sebaik-baik tempat untuk beribadah seperti do’a atau baca do’a di kubur beliau. Begitu pula tidak boleh meyakini adanya waktu tertentu yang lebih utama untuk ziarah kubur seperti saat Maulid Nabi menurut keyakinan sebagian orang.

Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan sebagai ‘ied semacam ini, maka lebih-lebih lagi kubur lainnya seperti di kubur wali, kyai, “Gus …” atau habib. Sebagian orang menganjurkan untuk melaksanakan haul di kubur-kubur wali atau orang sholih untuk mengenang wafatnya mereka, ini sungguh suatu yang tidak berdasar. Jika kubur nabi saja tidak boleh dijadikan haul, apalagi kubur lainnya. Termasuk dalam perkara yang kita bahas yaitu mengkhususkan ziarah kubur menjelang Ramadhan, itu justru menyelisihi hadits yang melarang menjadikan kubur sebagai ‘ied.

Idrus ramli akhirnya malu-malu mengakui semua bid'ah dalam agama itu sesat


Syubhat: Dia berkata:
 “Membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keniscayaan dari pembacaan terhadap sekian banyak teks al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kami, Ahlussunnah Wal-Jama’ah membagi bid’ah menjadi dua, dan bahkan membagi bid’ah sebanyak hukum-hukum syar’i yang lima (wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh), karena berangkat dari sekian banyak dalil.

Para ulama mendefinisikan bid’ah sebagai berikut. Al-Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdissalam (577-660 H/1181-1262 M), ulama terkemuka dalam madzhab Syafi’i, mendefinisikan bid’ah dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam sebagai berikut:

اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام عزالدين بن عبد السلام، قواعد الأحكام، ۲/١٧۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah SAW”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, 2/172).
Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi (631-676 H/1234-1277 M), hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata:

هِيَ إِحْدَاثُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيْ عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم. (الإمام النووي، تهذيب الأسماء واللغات، ٣/۲۲).
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah SAW”. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat,3/22 ).
Pembagian bid’ah menjadi dua, berangkat dari hadits-hadits berikut ini:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan. Kemudian jangkauan hukum hadits tersebut dibatasi oleh sekian banyak dalil, antara lain hadits berikut:

عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).
Dalam hadits pertama, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah SAW menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi SAW menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”

Jawab:
1) dia berkata:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baik upcapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Hadits di atas menegaskan bahwa setiap bid’ah itu kesesatan.

Jadi sepakat ayat itu tegas dan umum bahwa bid'ah itu sesat secara istilah syar'i,cuma ada pembatasan katanya.
Nanti kita lihat model pembatasannya.

2) dia berkata:
Nabi SAW menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”
Sekarang pembatasan semacam ini secara bahasa atau syar'i?
perkataan dia:
baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW.”
Seperti ini kira-kira pengertian bid'ah secara syar'i atau lughowi/bahasa.
Lihat perkataan imam nawawi:
beliau menyatakan dalam halaman yg sama :

قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ : هِيَ كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ

"Ahli bahasa berkata : "Bid'ah adalah seluruh perbuatan yang tanpa ada contoh sebelumnya"
jelas itu secara bahasa bukan pembatasan secara syar'i.

SyubhatDia berkata juga:

 “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy SAW min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.

Jawab:
1) perkataannya:Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak).
Jelas ini pendalilan secara bahasa,alhamdulillah dia mengakui.
Begitu juga sebaliknya bid'ah secara bahasa juga bisa baik atau buruk.

Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata:
و " الْمُحْدَثَات " بِفَتْحِ الدَّالّ جَمْع مُحْدَثَة وَالْمُرَاد بِهَا مَا أُحْدِث ، وَلَيْسَ لَهُ أَصْل فِي الشَّرْع وَيُسَمَّى فِي عُرْف الشَّرْع " بِدْعَة " وَمَا كَانَ لَهُ أَصْل يَدُلّ عَلَيْهِ الشَّرْع فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ ، فَالْبِدْعَة فِي عُرْف الشَّرْع مَذْمُومَة بِخِلَافِ اللُّغَة فَإِنَّ كُلّ شَيْء أُحْدِث عَلَى غَيْر مِثَال يُسَمَّى بِدْعَة سَوَاء كَانَ مَحْمُودًا أَوْ مَذْمُومًا
“Dan al-muhdatsaat’ adalah jamak dari kata muhdats. Yang dimaksud dengannya adalah segala sesuatu yang baru/diadakan, tidak ada asalnya dalam syari’at, dan kemudian dinamakan dalam ‘urf syari’at dengan bid’ah. Adapun segala sesuatu yang mempunyai asal yang ditunjukkan oleh syari’at, maka itu bukan bid’ah. Maka, bid’ah dalam ‘urf syar’iy adalah tercela. Berbeda halnya dengan bid’ah secara BAHASA, karena segala sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, baik TERPUJI maupun TERCELA” [Fathul-Baariy, 13/253].
وَأَمَّا " الْبِدَع " فَهُوَ جَمْع بِدْعَة وَهِيَ كُلّ شَيْء لَيْسَ لَهُ مِثَال تَقَدَّمَ فَيَشْمَل لُغَة مَا يُحْمَد وَيُذَمّ ، وَيَخْتَصّ فِي عُرْف أَهْل الشَّرْع بِمَا يُذَمّ وَإِنْ وَرَدَتْ فِي الْمَحْمُود فَعَلَى مَعْنَاهَا اللُّغَوِيّ
“Adapun al-bida’, maka ia adalah jamak dari kata bid’ah, yaitu segala sesuatu yang tidak ada contoh sebelumnya. Secara BAHASA, bid’ah meliputi segala sesuatu, baik yang TERPUJI maupun yang TERCELA. Dan dikhususkan dalam ‘urf (peristilahan) ahlusy-SYAR'I (ulama syari’at) untuk sesuatu yang TERCELA SAJA. Seandainya bid’ah digunakan dalam pujian, maka maknanya adalah (bid’ah) lughawiy” [idem, 13/278].

2) hadits jarir al bajali jelas pembatasan secara bahasa,alhamdulillah dia mengakui bahwa itu bukan pembatasan menurut istilah syar'i ataupun istilah ahli hadits menurut istilah dari dia.
3) membantah pendapat ahli bid'ah itu mudah,perhatikan saja dg jeli perkataan akan nampak cacatnya.

Salam lewat sms haruskah dijawab dg tulisan?


Pertanyaan semacam ini pernah disampaikan kepada Syaikh Abdurahman bin Nashir Al-Barrak. Jawaban yang beliau sampaikan,

الحمد لله؛ نعم يجب رد السلام مشافهة كان أو رسالة كلاما أو كتابة؛ لعموم الأدلة، كقوله تعالى: وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ، ولحديث البراء بن عازب رضي الله عنه قال: أمرنا النبي صلى الله عليه وسلم بسبع؛ وفيه: “ورد السلام”

Alhamdulillah..,

Betul wajib menjawab salam, baik salam yang disampaikan secara lisan atau melalui surat (baca: sms), baik dijawab dengan ucapan atau melalui tulisan. Berdasarkan keumuman dalil, seperti firman Allah,

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). (QS. An-Nisa: 86).

Juga berdasarkan hadis dari Al-Barrak bin Azib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk melakukan tujuh hal, diantaranya: “menjawab salam”

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/35181

Dari keterangan beliau, ada dua pelajaran yang bisa kita catat:

1. Salam di SMS atau email atau surat apapun dari orang lain, wajib kita jawab dengan jawaban minimal serupa

2. Cara menjawab salam di SMS atau email atau surat, tidak harus dalam bentuk tulisan. Artinya boleh menjawab dengan lisan. Semisal kita mendapat sms, ” Assalamu alaikum warahmatullah, apa kabar?” Kita boleh balas smsnya dengan jawaban salam secara lisan, dengan mengucapkan wa alaikumus salam warahmatullah, kemudian kita tulis di sms, “Kabar baik.” Tanpa tulisan jawaban salam. Semacam ini dibolehkan dan telah menggugurkan kewajiban.

Minggu, 29 Mei 2016

Kesesatan hukum kekekalan energi


Perkataan mereka (para penulis buku IPA) bahwa energy itu kekal, tidak musnah hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, pernyataan ini bertentangan dengan dalil syar’i dan kenyataan, Alloh ta’ala berfirman,

“Alloh Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: “Jadilah”. Lalu jadilah ia.” (A L – B A Q O R O H : 117).

Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma berkata :

وَ خَلَقَ الأَرْضَ فِيْ يَوْمَيْنِ ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ فِيْ يَوْمَيْنِ

ثُمَّ دَحَى الأَرْضَ وَ دَحْوُهَا أَنْ أَخْرَجَ مِنْهَا الْمَاءَ وَالْمَرْعَى وَ خَلَقَ الجِبَالَ وَ الْجَمَالَ

وَ الآكَام وَ مَا بَيْنَهُمَا فِيْ يَوْمَيْنِ آخَريْنِ

“Alloh menciptakan bumi dalam 2 hari, kemudian menuju ke penciptaan langit, Dia mengerjakannya dalam 2 hari, kemudian Dia menghamparkan bumi, menghamparkannya yaitu dengan mengeluarkan air dan tumbuh-tumbuhan, menciptakan gunung-gunung, semua yang indah, bukit-bukit dan apa yang ada di antaranya dalam 2 hari.” (Atsar R. Bukhory )

Dan kenyataan ketika seseorang meninggal maka energinya hilang tak berbekas, maka kemana energinya? Jawabnya kembali kepada Alloh ta’ala,

“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun (sesungguhnya kami dari Alloh dan hanya kepada-Nya kami kembali)” .” (A L – B A Q O R O H : 156).

“Katakanlah: “Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri) mu di setiap salat dan sembahlah Alloh dengan mengikhlaskan ketaatanmu hanya kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya)”.” (A L – A ‘ R O F : 29).

Maka energy termasuk makhluq Alloh yang diciptakanNya dan akan kembali kepada-Nya,

“Padahal Alloh-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (A S H – S H O F F A T : 96).

“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan,” (A L – W A Q I ‘ A H :83).

“Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?,” (A L – W A Q I ‘ A H : 87).

“Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (A S – S A J A D A H : 11).
 firman Allah :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ 

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman : 26-27)

Fatwa syiah: boleh jadi banci


Fatwa dungu lagi jahil dari pendeta syiah yang membolehkan lelaki untuk memakai pakaian khusus wanita sehingga mereka terlihat seperti banci. Fatwa ini hanya keluar dari lisan-lisan keji syiah -alaihim la’natullah-.

Salah satu ulama syiah ditanya:

سماحة الشيخ, هل يجوز في المسرحية الدينية أو الحسينية لبس لباس النساء وبالعكس؟

“Wahai syaikh yang mulia, apakah boleh di dalam drama islam dan dalam Husainiyyah untuk memakai pakaian khusus wanita dan begitu pula dengan sebaliknya?

Ulama syiahpun menjawab:


بسم الله الرحمن الرحيم. عظم الله لكم الأجر.. اللباس المشترك بين النساء والرجال جائز. أما الخاص لأحد الجنسين إن كان مؤقتا فلا بأس به.

“Bismillahirrahmanirrahiim.. Semoga Allah memperbesar pahala bagimu.. Pakaian yang dipakai oleh lelaki dan perempuan maka boleh. Namun pakaian khusus untuk salah satu jenis kelamin, jika dipakai hanya sementara, maka tidak mengapa”.

Begitulah fatwa bodoh dari syiah. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah melaknat para lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai lelaki. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita dan para wanita yang menyerupai lelaki” (HR. Bukhari)

Sabtu, 28 Mei 2016

jabat tangan setelah sholat kebiasaan syiah rofidhoh


Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata, “Di antara yang melarang perbuatan itu (jabat tangan setelah sholat), Ibnu Hajar Al-Haitamiy As-Syafi’iy, Quthbuddin bin Ala’uddin Al-Makkiy Al-Hanafiy, dan Al-Fadhil Ar-Rumiy dalam Majalis Al-Abrar menggolongkannya termasuk dari bid’ah yang jelek.[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al-Wiqayah (hal. 264), Ad-Dienul Al-Khalish (4/314), Al-Madkhal (2/84), dan As-Sunan wa Al-Mubtada’at (hal. 72 dan 87)].
Al-Allamah Al-Luknawiy-rahimahullah- berkata, “Sesungguhnya ahli fiqih dari kelompok Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Malikiyah menyatakan dengan tegas tentang makruh dan bid’ahnya.” Beliau berkata dalam Al Multaqath ,“Makruh (tidak disukai) jabat tangan setelah shalat dalam segala hal karena shahabat tidak saling berjabat tangan setelah shalat dan bahwasanya perbuatan itu termasuk kebiasaan-kebiasaan Rafidhah.”[Lihat As-Si’ayah fil Kasyf Amma fi Syarh Al Wiqayah (hal. 265)]

Jumat, 27 Mei 2016

Lelaki isbal berarti bencong


Dari Ibnu Abbas ia berkata ; “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [Hadits Riwayat Bukhari 5885, Abu Dawud 4097, Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904]

Imam At-Thobari berkata : “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki menyerupai wanita di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka, demikian pula sebaliknya” [Fathul Bari II/521]

Dari Khorsyah bin Hirr berkata : “Aku melihat Umar bin Khaththab, kemudian ada seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat di hadapannya. Maka Umar menegurnya seraya berkata : “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda tersebut menjawab : “Wahai amirul mukminin apakah laki-laki itu mengalami haidh?” Umar menjawab ; “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati mata kaki?” kemudian Umar minta diambilkan guting lalu memotong bagian sarung yang melebihi kedua mata kakinya”. Kharsyah berkata : “Seakan-akan aku melihat benang-benang di ujung sarung itu” [Hadits Riwayat Ibnu Syaibah 8/393 dengan sanad yang shohih, lihat Al-Isbal Lighoiril Khuyala, hal. 18]

Larangan merokok di masjid dan sekitarnya


“Tidak boleh merokok di masjid dan di ruangan yang ikut bagian masjid. Karena merokok diharamkan, dan dikerjakan di masjid lebih berat keharamannya,” fatwa Syaikh Bin Bazz berjudul “Hukum Merokok di Ruangan Bagian Masjid” dari situs resmi Al-Imam Bin Bazz.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam melarang orang yang makan bawang merah atau bawang putih untuk masuk masjid sehingga ia hilangkan bau dari dirinya. Lalu bagaimana dengan merokok di dalamnya?

مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ

“Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka hendaklah ia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami; dan silahkan dia berada di rumahnya saja.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)

Said agil: situs porno makruh tidak dosa?


Sepertinya Ketua Umum PBNU ini sangat benci terhadap gerakan-gerakan jihad sehingga membandingkan situs yang mengabarkan jihad dengan situs porno. Menurutnya, situs radikal (baca,-jihad) lebih berbahaya daripada situs porno. Karena situs radikal merusak iman, sedangkan situs porno tak berdosa, hanya makruh.
“Situs porno secara hukum fikih tak berdosa, hanya makruh. Yang dosa itu yang membuat dan menjadi bintang porno,” ujar Prof Dr KH Said Agil Siraj, pelitaonline.com, selasa, 27 September 2011.
Terhadap pernyataan di atas, banyak tanggapan yang mencela ketua umum ormas Islam terbesar di negeri ini. Seperti yang dapati dalam salah satu komentar di forum.detik.com.
"Akang Siradj, coba dihitung berapa jumlah korban teroris dibanding dengan korban aborsi di luar nikah! Dan, "mudharat situs porno hanya berdampak individual"? Agil juga nih si Said. He3x." kata salah satu komentar.
Pada itu merusak hati, Imam Ahmad -rahimahullah- berkata :" Entah berapakah suatu pandangan yang menimbulkan bencana di hati orang yang melihat itu". Maka barang siapa yang tergantung dengan apa yang terdapat di dalam majalah-majalah itu dari gambar-gambar dan yang lainnya telah merusak hatinya dan kehidupannya serta memalingkannya kepada hal-hal yang tidak bermanfaat baik dunia maupun akhirat. Karena, baiknya hati dan kehidupannya hanya disebabkan oleh ketergantungan dengan Allah dan mengibadahinya, lezatnya bermunajah kepadanya dan ikhlas serta penuhnya kecintaannya kepada Allah.

Kesalahan tatabahasa tuduhan wahabi


Dimunculkannya istilah "Wahhabi" sebagai julukan bagi pengikut dakwah Al-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan satu trik musuh-musuh Islam dan orang yang dalam hatinya terdapat kedengkian dan penyakit untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah tauhid tersebut. Oleh karena itu setiap muwahhid dan pecinta sunnah Rasul yang bersih hatinya serta selektif dalam menerima berita tidak mudah untuk ditipu dan dibohongi dengan istilah-istilah murahan seperti 'aliran wahabi'.

Ngawurnya tuduhan tadi dapat dilihat dari salah kaprahnya dalam menggunaan  istilah "Wahhabi", yang merupakan penisbatan yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Al-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Penisbatan (Wahhabi -pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’, karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad, bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)

Melebihi pergelangan tangan itu isbal?


Di riwayatkan sebuah hadits dari Asma’ bintu Yazid, dia berkata:

كَانَتْ يَدُ كُمِّ رَسُولِ اللهِ إِلَى الرُّسْغِ

“Lengan bajunya Rosululloh itu sampai pergelangan tangan.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4027), Imam At-Tirmidzi (no. 1861), Imam An-Nasai
dalam kitab As-Sunanul Kubro (no. 9666) dan Imam Al-Baghowi dalam kitab Syarhus Sunnah (no. 3072), semuanya lewat jalur periwayatan Budail bin Maisaroh Al-‘Uqoili dari Syahr bin Hausyab dari Asma’ bintu Yazid sebagaimana di atas. Sedangkan Syahr adalah seorang rowi yang Dho’if.

Isbal tanda kesombongan


Ibnu Hajar Al Asqalani :

وحاصله: أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه: ( وإياك وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة

“Kesimpulannya, isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat dari  Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)

Orang isbal cuma 2 pilihan antara makruh(dibenci) atau haram(diadzab)


An Nawawi:
فما نـزل عن الكعبين فهو ممنوع ، ، فإن كان للخيلاء فهو ممنوع منع تحريم وإلا فمنع تنـزيه

“Kain yang melebihi mata kaki itu terlarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram, jika tidak maka makruh” (Al Minhaj, 14/88)

Alloh tidak mencintai orang yg isbal


Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:
رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أخذ بحجزة سفيان بن أبي سهل فقال يا سفيان لا تسبل إزارك فإن الله لا يحب المسبلين

“Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangu kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’” (HR. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Maajah)

Isbal diingkari tanpa cek kesombongan


Imam Ahmad mencatat sebuah riwayat dalam Musnad-nya (4 / 390) :

( حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مَيْسَرَةَ ، عَنْ عَمْرِو ابْنِ الشَّرِيدِ ، عَنْ أَبِيهِ أَوْ : عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ عَاصِمٍ ، أَنَّهُ سَمِعَ الشَّرِيدَ يَقُولُ : أَبْصَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا يَجُرُّ إِزَارَهُ ، فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ : هَرْوَلَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، وَاتَّقِ اللَّهَ ” ، قَالَ : إِنِّي أَحْنَفُ ، تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ ، فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّ كُلَّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ ” ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ ، أَوْ : إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ

Sufyan bin ‘Uyainah menuturkan kepadaku, dari Ibrahim bin Maisarah, dari ‘Amr bin Asy Syarid, dari ayahnya, atau dari Ya’qub bin ‘Ashim, bahwa ia mendengar Asy Syarid berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat seorang laki-laki yang pakaiannya terseret sampai ke tanah, kemudian Rasulullah bersegera (atau berlari) mengejarnya. Kemudian beliau bersabda:

“angkat pakaianmu, dan bertaqwalah kepada Allah“. Lelaki itu berkata: “kaki saya bengkok, lutut saya tidak stabil ketika berjalan”. Nabi bersabda: “angkat pakaianmu, sesungguhnya semua ciptaan Allah Azza Wa Jalla itu baik”.

Sejak itu tidaklah lelaki tersebut terlihat kecuali pasti kainnya di atas pertengahan betis, atau di pertengahan betis.

Derajat Hadits

Hadits ini shahih, semua perawinya tsiqah. Ya’qub bin ‘Ashim dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia maqbul” . Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Dan demikian juga Adz Dzahabi yang berkata: “ia tsiqah”. Maka inilah yang tepat insya Allah. Al Albani berkata: “sanad ini sesuai syarat Bukhari-Muslim jika (Ibrahim meriwayatkan) dari ‘Amr dan sesuai syarat Muslim jika dari Ya’qub. Dan yang lebih kuat adalah yang pertama (dari ‘Amr)” (Silsilah Ash Shahihah, 3/427).

Ibnu ‘Umar:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ

“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Isbal saat sholat lebih parah adzabnya


dari Ibnu Mas’ud di mana diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ

“Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya.” (HR. Abu Daud no. 637, shahih kata Syaikh Salim)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Seandainya hadits tersebut shahih, maka maknanya adalah ancaman yang keras bagi pelaku isbal di dalam shalat. Hadits yang disebutkan di atas berisi peringatan bagi pelaku isbal. Adapun shalatnya tetap sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan padanya untuk mengulangi shalat, yang diperintah hanyalah mengulangi wudhu. Penafian dalam diterimanya shalat bukan berarti shalat tersebut jadi batal seluruhnya. Karena dalam hadits lain disebutkan, “Siapa saja yang mendatangi tukang ramal lalu ia bertanya ramalan sesuatu, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” Sebagaimana hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya.

Imam Nawawi pun telah menukil adanya ijma’ (konsensus ulama) bahwa shalat orang yang isbal tadi tidak perlu diulangi. Cuma orang yang shalat seperti itu terkena ancaman dan peringatan. Juga terdapat pandangan dari berbagai hadits yang lain yang menunjukkan bahwa tidak diterima shalat dalam hadits yang membicarakan isbal tidaklah menunjukkan batalnya shalat. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memerintahkan mengulangi shalat. Begitu pula dalam hadits Ibnu Mas’ud tidak menunjukkan shalatnya diulangi.

Jadi, maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengulangi wudhu cuma sebagai peringatan. Dan wudhu juga dapat meringankan dosa. Nah itu jika dianggap hadits tersebut shahih.” (Fatawa Ibnu Baz, 26: 235-237)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berkata, “Shalat orang yang isbal itu sah, akan tetapi ia berdosa. Begitu pula seseorang yang memakai pakaian yang haram seperti baju hasil curian, baju yang terdapat gambar makhluk bernyawa, baju yang terdapat simbol salib atau terdapat gambar hewan. Semua baju seperti itu terlarang saat shalat dan di luar shalat. Shalat dalam keadaan isbal tetap sah, akan tetapi berdosa karena mengenakan pakaian seperti itu. Inilah pendapat terkuat dalam masalah ini. Karena larangan berpakaian isbal bukan khusus untuk shalat. Mengenakan pakaian haram berlaku seperti itu saat shalat dan di luar shalat. Dikarenakan tidak khusus untuk shalat, maka shalat tersebut tidaklah batal. Inilah kaedah yang benar yang dianut oleh jumhur atau mayoritas ulama.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 4: 300-301).

Tarjih yg tidak rojih tentang isbal


Syubhat :
Memang benar ada sejumlah hadis yang menerangkan “menurunkan pakaian di bawah mata kaki” menyentuh tanah dicela oleh syara’, tetapi harus diingat, “celaan itu berkaitan dengan sifat sombong/angkuh” dari si pemakai pakaian itu. Dan hadis itu sebenarnya berkaitan dengan adab/akhlaq. Di bawah ini kami sebutkan sebahagian hadis-hadis itu, antara lain yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ. [متفق عليه]

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah tidak memandang kepada orang yang memanjang (menyeret) pakaiannya dalam keadaan sombong.” [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dimaksud, tidak dipandang oleh Allah dengan pandangan kasih sayangnya artinya Allah tidak memberi rahmat kepada orang yang memanjangkan/menyeret celananya (sampai ke tanah) karena sombong/amgkuhnya itu, baik pria maupun wanita. Hal ini lebih jelas kalau dihubungkan dengan hadis lain riwayat al-Bukhari berikut ini:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فِى النَّارِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Sesuatu yang berada di bawah dua mata kaki dari kain sarung itu di dalam neraka”

Yang dimaksud oleh hadis itu, yaitu orang yang memanjangkan kain sarungnya dalam neraka “karena kesombongan”.

Jawab: orang yg merasa nggak sombong berarti itu tanda sombong.

Ibnu Hajar Al Asqalani :

وحاصله: أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه: ( وإياك وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة

“Kesimpulannya, isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat dari  Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770]

Berkata Ibnul Aroby rahimahullah : “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan : “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mecakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan, kemudian berkata : “Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunjukkan kesombongan” [Fathul Bari 10/325]

Syubhat:
Hal itu menunjukkan orang yang memanjangkan pakaian sampai di bawah tumit atau menyentuh tanah, kalau tanpa disertai sifat sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman itu. Hal tersebut dijelaskan oleh hadis lain riwayat al-Bukhari, Abu Daud dan an-Nasai, bahwa Abu Bakar ra berkata kepada Nabi saw setelah mendengar hadis tersebut: “Sesungguhnya kain sarungku selalu melorot ke bawah kecuali saya menaikkannya”, lalu Rasulullah saw menjawab kepada Abu Bakar ra:

“Sesungguhnya engkau bukan termasuk yang melakukanya dengan sombong.”

Jawab: he,abu bakar tidak sengaja celananya melorot buktinya beliau berusaha menaikkan.
Itupun yg melorot salahsatu saja bukan dua-duanya.

Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong dengan apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. (As-Shohihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain : “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdulloh, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk sahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?! [Mukhtashar Syamail Muhammadiyyah hal. 11]

Syubhat:

Begitu juga hadis Nabi saw riwayat Abu Daud dari sahabat Ibnu Mas’ud:

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ جَلَّ ذِكْرُهُ فِى حَلٍّ وَلَا حَرَامٍ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Barangsiapa yang memanjangkan sarungnya dalam shalatnya karena sombong, maka ia di hadapan Allah seperti orang yang tidak mengenal halal dan haram.”

Dalam melihat hadis soal menawarkan pakaian di bawah mata kaki, yang popular dengan istilah “isbal”, kita haruslah mengumpulkan hadis-hadis tersebut baik yang illatnya dengan jelas disebutkan, yaitu “sombong” atau hadis-hadis yang tidak menyebut illatnya. Kemudian dalam kita menetapkan hukum (istimbat), tidak boleh menurut apa adanya, tetapi kepada muqayyad dengan sifat “khufala (sombong)” harus dihubungkan dengan lafadl mutlak yang tidak menyebutkan illatnya. Di sini kita perlu memakai kaidah hukum yang dipakai ulama ushul fiqih/para ahli ijtihad, yaitu:

حَمْلُ اْلمُطْلَقِ عَلَى اْلمُقَيَّدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ مُتَضَادَّيْنِ أَوْ مُخْتَلِفَيْنِ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ فَلاَ يُحْمَلُ اْلمُطْلَقُ عَلَى اْلمُقَيَّدِ.

Artinya: “Lafadl mutlak dibawa kepada muqayyad dengan ketentuan di situ dua muqayyad itu tidak paradok/berbeda. Jika berbeda maka muqayyad itu tidak dibawa kepada yang mutlak. Contohnya cukup banyak, bisa dilihat di dalam al-Qur’an dan di dalam hadis.” [baca kitab ushul fiqih bab Mutlak dan Muqayyad]

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemahaman yang dilakukan oleh pengarang brosur itu, walaupun hadis-hadis yang dinukilkan benar dan shohih, tetapi keliru dalam cara penetapan hukumnya, yaitu mereka tidak memperhatikan illat yang dinashkan (disebutkan) dalam hadis itu serta tidak menjabarkan istimbat yang lazim dipakai para pakar hukum Islam, yaitu apabila bertemu lafadl mutlak dan muqayyad, maka lafadl mutlak harus dibawa/ditarik kepada yang muqayyad.

Dikatakan oleh ash-Shan’aniy (pengarang kitab Subulus-Salam): “Pakaian yang lebih dari itu (artinya menutupi mata kaki) sesungguhnya tidak berdosa bagi pelakunya dan pakaian yang lebih dari kedua mata kaki, itu baru haram kalau pemakaiannya untuk kesombongan/keangkuhan”.

Demikian jawaban singkat kami semoga duduk persoalannya menjadi jelas bagi saudara dan tidak lagi terombang-ambing oleh cara penetapan hukum (istimbat) yang tidak benar itu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Suara Muhammadiyah No. 3 tahun ke-87 1422 / 2002

Jawab:

Kita katakan kepada mereka, “ذَٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ Itulah sejauh-jauhnya pengetahuan mereka.[an-Najm/53 : 30]

Kemudian kaidah ushul "Hamlul Muthlaq 'alal Muqoyyad" adalah kaidah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak perkataan ahlul ilmi dalam masalah ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya : “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, Adapun yang isbal karena tidak sombong, maka hukumannya sebagaimana dalam hadits : “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki di dalam Neraka”. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu. Juga Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu telah berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki, dan apa yang turun di bawah mata kaki, maka bagiannya di neraka, barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya”.

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya. Keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda, tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad (khusus), di antara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda, maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu ayat tayammum yang berbunyi :”Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah” tidak ditaqyid dengan ayat wudhu, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” maka tayammum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”[As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Maka kita katakan sekali lagi, bahwa ini penerapan ilmu ushul fiqh yang kurang tepat. Mereka tidak melihat lanjutan kedua hadist tersebut, disitu ada hukum yaitu:

Hadist 1: “tempatnya adalah di neraka

Hadist 2: Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Maka ini masuk bab “al-muthlaq dan Al-muqoyyad”. Karena ada sebab dan hukum.

Hadist 1:

Sebab: “Setiap pakaian yang melebihi mata kaki  [isbal]”

Hukum: “tempatnya adalah di neraka.”

Hadist 2:

Sebab: “menyeret pakaiannya [isbal] dengan sombong”

Hukum: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Dalam bab “al-muthlaq dan Al-muqoyyad”. Ada pembahasan tentang “hamlul muthlaq ‘alal muqoyyad” atau “taqyidul muthlaq”. Yaitu membatasi dalil muthlaq dengan muqoyyad. Berlaku jika, hukumnya sama. Jika hukumnya tidak sama maka dalil tersebut berdiri sendiri-sendiri. Tidak ada pembatasan. Maka dalam kasus ini, Hukumnya berbeda, jadi tidak ada pembatasan.  Mari kita lihat

Hukum Hadist 1: “tempatnya adalah di neraka.” Tentu BERBEDA dengan hukum hadidst 2: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Jika masih belum paham dengan uraian ushul fiqh perhatikan pembagian berikut dan logika akan membenarkan:

Hadist 1:

Sebab: “Setiap pakaian yang melebihi mata kaki  [isbal]”

Hukum: “tempatnya adalah di neraka.”

Hadist 2:

Sebab: “menyeret pakaiannya [isbal] dengan sombong”

Hukum: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Kemudian kita misalkan ada pernyataan seorang ibu kepada anaknya,

Pernyataan 1: jika kamu pakai baju adikmu, ibu jewer kupingmu

Kemudian ibu tersebut memberi pernyataan lagi setelahnya,

Pernyataan 2: jika kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal, maka ibu pukul kakimu.

Maka hukumnya BERBEDA, antara pernyataan 1: ibu jewer kupingmu dan pernyataan 2: ibu pukul kakimu

Seperti hal diatas maka kita dapatkan:

pernyataan 1:

sebab: “kamu pakai baju adikmu

hukum: ibu jewer kupingmu

pernyataan 2:

sebab: kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal

hukum: ibu pukul kakimu.

Maka secara logika, jika anak tersebut hanya memakai baju adiknya dan tidak nakal apakah ia selamat dari hukuman yang diberikan oleh ibunya? Tentu TIDAK, dia akan dijewer oleh ibunya.

Apakah bisa diterapkan “takhsis” dalam kasus anak ini? “kamu pakai baju adikmu”  adalah bersifat umum, sedangkan “kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal” bersifat khusus sehingga bisa “takhsis”, ancaman hanya berlaku jika si anak memakai baju adiknya dan nakal? Tentu TIDAK.

untuk contoh yang lebih mengena lagi,  ada polisi bilang kepada seorang preman:
-jika kamu maling , kami penjarakan kamu
-jika kamu maling dan membunuh, kami bunuh juga kamu

apakah jika hanya maling saja kemudian tidak dipenjara? tentu tidak

Kesimpulannya :
 Kaidah "Membawa nash yang mutlak ke muqoyyad wajib" adalah kaidah yang telah muttofak alaihi (disepakati) pada keadaan bersatunya hukum dan sebab. Maka tidak boleh membawa nash yang mutlak ke muqoyyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeda dan sebabnya sama! [Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy 1/217 karya Dr Wahbah Az-Zuhaili]

Begitu juga dengan hadist diatas, jika hanya isbal dan tidak sombong apakah ia selamat dari ancaman Allah? Tentu TIDAK.
Soal imam ash shon'ani
Imam al-Shan'ani dalam Subulus Salam berkata,

وَقَدْ صَرَّحَتْ السُّنَّةُ أَنَّ أَحْسَنَ الْحَالَاتِ أَنْ يَكُونَ إلَى نِصْفِ السَّاقِ كَمَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ خَالِدٍ

"Sunnah telah menyebutkan dengan jelas bahwasanya kondisi paling bagus adalah kain sampai pertengahan betis sebagaimana (hadits) yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzi dan al-Nasai dari Ubaid bin Khalid. . ."

Terakhir ingin kami tutup dengan satu bab yang dibuat Imam Muslim dalam Shahihnya yang menerangkan tentang Isbal (menjulurkan kain di bawah mati kaki) adalah dilarang,

بَاب بَيَانِ غِلَظِ تَحْرِيمِ إِسْبَالِ الْإِزَارِ وَالْمَنِّ بِالْعَطِيَّةِ وَتَنْفِيقِ السِّلْعَةِ بِالْحَلِفِ وَبَيَانِ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Bab: Keterangan beratnya keharaman menjulurkan kain (di bawah mata kaki;- disebut Isbal-), mengungkit-ungkit pemberian, menjual barang dagangan dengan sumpah palsu adalah tiga golongan yang mereka tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka dan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih."

Kamis, 26 Mei 2016

Hukum tawassul dg haknya orang yg berdoa


Boleh,karena orang berdoa punya hak dan itu termasuk perbuatan alloh.dan kita diperbolehkan tawassul dg perbuatan alloh.
Walaupun hadits tentang itu diperselisihkan.

وأما ما جاء في السؤال "أسألك بحق السائلين عليك" فالسائل يسأل هل للسائلين حق؟ 
الجواب:نعم للسائلين حق أوجبه الله على نفسه في قوله: {وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان} [سورة البقرة: الآية 186]. وكذلك فإن الله يقول إذا نزل إلى السماء الدنيا:"من يدعوني فأستجيب له، من يسألني فأعطيه" فهذا حق السائلين، وهو من فعل الله عز وجل والتوسل إلى الله بفعله لا بأس به.

ــــــــــــــــــــــــــــــــــــــــ

مجموع فتاوى و رسائل الشيخ محمد صالح العثيمين المجلد الثاني - باب التوسل.

Hukum tawassul dg sir/ rahasia al fatihah


Tidak apa-apa,boleh saja karena tawassul dg kalamulloh atau sifat alloh itu boleh.

وأما التوسل بسر الفاتحة كقول الشخص: اللهم بسر الفاتحة اغفر لي. فالذي يظهر أنه لا مانع منه لأن سر الفاتحة هو جماع المعنى الذي أراده الله تعالى وأنزل الكتب من أجله وعليه مدار جميع العبادات. وهذا المعنى هو كلام الله غير مخلوق بل هو صفة من صفاته، والتوسل بصفات الله مشروع، ولذا قال شيخ الإسلام ابن تيمية في منهاج السنة النبوية: وقد روي عن الحسن البصري رحمه الله أن الله أنزل مائة كتاب وأربعة كتب جمع سرها في الأربعة وجمع سر الأربعة في القرآن وجمع سر القرآن في الفاتحة وجمع سر الفاتحة في هاتين الكلمتين إياك نعبد وإياك نستعين. ولهذا ثناها الله في كتابه في غير موضع من القرآن كقوله:فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ [هود:123]. 
إلا أن الأولى تجنب الدعاء بهذه اللفظة لأنها غير واردة عن السلف، وقد يكون المقصود منها عند بعض الناس أو الطوائف غير المعنى الذي ذكرناه.
والله أعلم.
http://googleweblight.com/?lite_url=http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page%3Dshowfatwa%26Option%3DFatwaId%26Id%3D17793&ei=ceGdPrCX&lc=id-ID&s=1&m=20&host=www.google.co.id&ts=1464302041&sig=APY536zh_49kcWw9YrflGF5TE_ooWtiS1A

Hukum tawassul dg hak ayat tertentu/ cahaya wajah alloh


Tawassul dg kalamulloh atau cahaya wajah alloh itu boleh
السؤال
ما حكم الدعاء بقول: اللهم إني أسألك بحق آيتك. أو : بحق قولك على لسان نبيك؟ أو بنور وجهك أو بحق وعدك بالإجابة..

الإجابــة
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعـد:
فإن الدعاء أساس العبادة، والعبادة مبناها على التوقيف؛ فلا يشرع منها إلا ما دل الدليل على مشروعيته، ومن الدعاء المشروع التوسل إلى الله تعالى بأسمائه الحسنى وصفاته العلى وبأعمال العبد الصالحة كإيمانه واعتقاده بصدق وعد الله تعالى وإجابته دعاء السائلين، قال الله تعالى: وَلِلّهِ الأَسْمَاء الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا {الأعراف:180}.

فالآيات القرآنية كلام الله تعالى وكذلك قوله تعالى على لسان رسوله- صلى الله عليه وسلم- في الأحاديث القدسية من كلامه وصفته؛ فمن قال: أسألك بآية كذا أو بقولك كذا أو بحق آيتك.. أو بحق قولك على لسان نبيك.. فقد سأل الله تعالى بصفة من صفاته، وكذلك من سأل الله بإجابته للدعاء فقد سأله بوصفه.  

ومن أدعية النبي- صلى الله عليه وسلم كما في الصحيحين وغيرهما: اللهم إني أعوذ بعزتك لا إله إلا أنت أن تضلني أنت الحي الذي لا يموت والجن والإنس يموتون.

ومنها إذا دخل المسجد: أعوذ بالله العظيم وبوجهه الكريم وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم.. الحديث رواه أبو داود وصححه الألباني.

ومنها: اللهم بعلمك الغيب وقدرتك على الخلق... اللهم إنا نسألك بأنك أنت الواحد الأحد.. اللهم اني أسألك بحق السائلين عليك... أسألك بنور وجهك الذي أشرقت له السماوات والأرض..

والجمل المذكورة لا تخرج عن هذا فهي سؤال بكلام الله تعالى أو بنور وجهه أو حق وعده سبحانه وتعالى، ولذلك فلا مانع من الدعاء بها.

 والله أعلم.

Hukum tawassul dg zat/ hak/jah(kehormatan) para nabi


Tawassul dg hak para nabi ini tidak boleh.karena tawassul dg orang yg telah mati tidak boleh.

التوسل بذات النبي صلى الله عليه وسلم ، وهو التوسل الذي عرف في كثير من المتأخرين فيقول: اللهم إني أسألك بمحمد صلى الله عليه وسلم ، أو : أسألك بجاه محمد صلى الله عليه وسلم، وهذا المعنى لم ترد به السنة ؛ وقد قال فيه أبو حنيفة وأصحابه : إنه لا يجوز ، ونهوا عنه ، حيث قالوا : لا يسأل بمخلوق ولا يقول أحد : أسألك بحق أنبيائك .
قال في " تبيين الحقائق " للزيلعي الحنفي (6/31) : " قال أبو يوسف : أَكْرَهُ بِحَقِّ فُلَانٍ ، وَبِحَقِّ أَنْبِيَائِك وَرُسُلِك " انتهى ، لأنه " لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى جَلَّ شَأْنُهُ " ؛ كما قال الكاساني في " بدائع الصنائع " (5/126) . 
قال الشيخ ابن عثيمين " الراجح من أقوال أهل العلم... أنه يحرم التوسل بجاه النبي صلى الله عليه وسلم ؛ فلا يجوز للإنسان أن يقول : اللهم أسألك بجاه نبيك كذا وكذا ؛ وذلك لأن الوسيلة لا تكون وسيلة ، إلا إذا كان لها أثر في حصول المقصود ، وجاه النبي صلى الله عليه وسلم بالنسبة للداعي ليس له أثر في حصول المقصود ، وإذا لم يكن له أثر : لم يكن سببا صحيحا ، والله عز وجل لا يُدعى إلا بما يكون سببا صحيحا ، له أثر في حصول المطلوب ، فجاه النبي صلى الله عليه وسلم هو مما يختص به النبي صلى الله عليه وسلم وحده ، وهو ما يكون منقبة له وحده ، أما نحن فلسنا ننتفع بذلك ، وإنما ننتفع بالإيمان بالرسول صلى الله عليه وسلم " . انتهى من " فتاوى نور على الدرب " .

Hukum tawassul dg iman/ cinta kita kepada nabi


Tawassul dg iman kita/ kecintaan kita kepada nabi itu boleh karena termasuk tawassul dg amal sholih.

وقال شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله " لو قيل : يحمل قول القائل أسألك بنبيك محمد على أنه أراد : أني أسألك بإيماني به وبمحبته وأتوسل إليك بإيماني به ومحبته ونحو ذلك ؟ وقد ذكرتم أن هذا جائز بلا نزاع ؟ قيل : من أراد هذا المعنى فهو مصيب في ذلك بلا نزاع ، وإذا حمل على هذا المعنى كلام من توسل بالنبي صلى الله عليه وسلم بعد مماته من السلف - كما نقل عن بعض الصحابة والتابعين وعن الإمام أحمد وغيره - كان هذا حسنا ؛ وحينئذ : فلا يكون في المسألة نزاع. 
ولكن كثير من العوام يطلقون هذا اللفظ ، ولا يريدون هذا المعنى ؛ فهؤلاء الذين أنكر عليهم من أنكر. 
وهذا كما أن الصحابة كانوا يريدون بالتوسل به : التوسل بدعائه وشفاعته ، وهذا جائز بلا نزاع ؛ ثم إن أكثر الناس في زماننا لا يريدون هذا المعنى بهذا اللفظ " انتهى من " قاعدة جليلة " (ص119) .

Hukum tawassul dg para malaikat


Tawassul dg para malaikat tidak boleh karena para malaikat tidak berhak memberi syafaat.sehingga bukan termasuk sebab syar'i
وقال " قول القائل : اللهم إني أسألك بحق فلان وفلان ، من الملائكة والأنبياء والصالحين وغيرهم ، أو بجاه فلان ، أو بحرمة فلان ، يقتضي أن هؤلاء لهم عند الله جاه ، وهذا صحيح ؛ فإن هؤلاء لهم عند الله منزلة وجاه وحرمة ؛ يقتضي أن يرفع الله درجاتهم ، ويعظم أقدارهم ، ويقبل شفاعتهم إذا شفعوا... فأما إذا لم يكن منهم دعاء ولا شفاعة.. فيكون قد سأل بأمر أجنبي عنه ليس سببا لنفعه "
وقال في موطن آخر " ليس في إكرام الله لذلك سبب يقتضي إجابة هذا . وإن قال : السبب هو شفاعته ودعاؤه ، فهذا حق ، إذا كان قد شفع له ودعا له . 
وإن لم يشفع له ولم يدع له ، لم يكن هناك سبب "
وقد بسط الإمام العلامة شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله هذه المسألة بسطا شافيا في كتابه المبارك " قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة " .

Rabu, 25 Mei 2016

Penyimpangan pembacaan yasin malam nishfu sya'ban


Syubhat:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلاَ بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ. (أسنى المطالب فى أحاديث مختلفة المراتب ص 234(

“Adapun pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni, dan hal itu tidak apa-apa.” (Asná al-Mathálib, 234)

Jawab: he..jelas banget itu bid'ah alias dari diri mereka sendiri.ِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ
disitu diartikan ijtihad biar keren..he..ijtihad itu harus berlandaskan dalil shohih.
Adapun penisbatan kepada al buni itu lemah karena pakai sighoh tamridh"dikatakan" tapi disitu diartikan konon.
Emangnya islam agama konon katanya..he
Islam membenci قيل و قال

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah meridhai tiga hal dan membenci tiga hal bagi kalian. Dia meridhai kalian untuk menyembah-Nya, dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya, serta berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah dan tidak berpecah belah. Dia pun membenci tiga hal bagi kalian, menceritakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta.” (HR. Muslim no. 1715)

Telas difatwakan kesesatannya

قراءة سورة يس والمولد ليلة النصف من شعبان

السؤال الأول والثاني والخامس من الفتوى رقم (2222):

س1: عندنا مساجد يجتمع فيها أناس في ليلة خمس عشرة من شعبان ويقرؤون سورة يس ثلاث مرات ويقرؤون المولد.

ج1: هذا من البدع، وقد ثبت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: صحيح البخاري الصلح (2550)، صحيح مسلم الأقضية (1718)، سنن أبو داود السنة (4606)، سنن ابن ماجه المقدمة (14)، مسند أحمد بن حنبل (6/270). من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد، وقوله في الحديث: سنن أبو داود السنة (4607)، سنن الدارمي المقدمة (95). وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة.

والعبادات مبناها على الأمر والنهي والاتباع، وهذا العمل لم يأمر به رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولم يفعله ولا فعله أحد من الخلفاء الراشدين ولا من الصحابة والتابعين.

وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم في بعض ألفاظ الحديث الصحيح: صحيح البخاري الصلح (2550)، صحيح مسلم الأقضية (1718)، سنن أبو داود السنة (4606)، سنن ابن ماجه المقدمة (14)، مسند أحمد بن حنبل (6/256). من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد، وهذا العمل ليس عليه أمره صلى الله عليه وسلم فيكون مردودا يجب إنكاره؛ لدخوله فيما أنكره الله ورسوله، قال تعالى: سورة الشورى الآية 21 {أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ} وهذا الأمر مما أحدثه الجهلة بغير هدى من الله، وقد كتب سماحة الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رسالة في [حكم الاحتفال بليلة النصف من شعبان والاحتفال بليلة الإسراء والمعراج].

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

الرئيس: عبد العزيز بن عبد الله بن باز

نائب رئيس اللجنة: عبد الرزاق عفيفي

عضو: عبد الله بن غديان

Rusaknya pendalilan sayyid alawi al maliki tentang nishfu sya'ban


Sayyidi Muhammad Alawi menulis di dalam kitabnya:

عَنِ الْعَلاَءِ بْنِ الْحَارِثِ اَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَامَ رَسُوْلُ اللهِ مِنَ اللَّيْلِ فَصَلَّى فَأَطَالَ السُّجُودَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ قَدْ قُبِضَ، فَلَمَّا رَأَيْتُ ذَلِكَ قُمْتُ حَتَّى حَرَّكْتُ إِبْهَامَهُ فَتَحَرَّكَ فَرَجَعَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السُّجُودِ وَفَرَغَ مِنْ صَلاَتِهِ قَالَ: يَا عَائِشَةُ أَوْ يَا حُمَيْرَاءُ أَظَنَنْتِ أَنَّ النَّبِيَّ قَدْ خَاسَ بِكِ؟ قُلْتُ: لاَ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَلَكِنِّي ظَنَنْتُ أَنْ قُبِضْتَ طُوْلَ سُجُوْدِكَ، قَالَ: أَتَدْرِي أَيَّ لَيْلَةٍ هَذِهِ؟ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَطَّلِعُ عَلَى عِبَادِهِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِلْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَرْحَمُ الْمُسْتَرْحِمِيْنَ وَيُؤَخِّرُ أَهْلَ الْحِقْدِ كَمَا هُمْ، رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ. وَقَالَ هَذَا مُرْسَلٌ جَيِّدٌ وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْعَلاَءُ أَخَذَهُ مِنْ مَكْحُوْلٍ
)ذكريات ومناسبات لسيد محمد بن علوى الملكى ص 155-156(

“Dari 'Ala' bin Charits bahwa Aisyah berkata: “Rasulullah bangun di tengan malam kemudian beliau salat, kemudian sujud sangat lama, sampai saya menyangka bahwa beliau wafat. Setelah itu saya bangun dan saya gerakkan kaki Nabi dan ternyata masih bergerak. Kemudian Rasul bangkit dari sujudnya setelah selesai melakukan shalatnya, Nabi berkata “Wahai Aisyah, apakah kamu mengira Aku berkhianat padamu?”, saya berkata “Demi Allah, tidak, wahai Rasul, saya mengira engkau telah tiada karena sujud terlalu lama.” Rasul bersabda “Tahukauh kamu malam apa sekang ini?” Saya menjawab “Allah dan Rasulnya yang tahu”. Rasulullah bersabda “ini adalah malam Nishfu Sya’ban, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memperhatikan hamba-hamba-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, Allah akan mengampuni orang-orang yang meminta ampunan, mengasihi orang-orang yang meminta dikasihani, dan Allah tidak akan memprioritaskan orang-orang yang pendendam”. (HR Al Baihaqi fi Syu’ab Al Iman no 3675, menurutnya hadits ini Mursal yang baik)

(Catatan)
1. Letak ke-mursal-an hadits tersebut karena Al-‘Ala’ bin Al-Harits adalah seorang Tabiin yang tidak pernah berjumpa dengan Aisyah. Prediksi Al-Baihaqi, Al-‘Ala’ memperoleh hadits tersebut dari gurunya, Makhul. Imam Ahmad menilai Al-‘Ala’ sebagai orang yang sahih haditsnya. Abu Hatim berkata: “Tidak ada murid Makhul yang lebih terpercaya dari pada Al-‘Ala’”. Ibnu Hajar menyebut Al-‘Ala’ sebagai orang yang jujur dan berilmu fikih, tetapi ia dituduh pengikut Qadariyah. (Mausu’ah Ruwat Al Hadits)

2. Para Imam Madzhab, seperti Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal mengkategorikan hadis Mursal sebagai hadis yang dapat diterima (Hadis Maqbul) bila memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya Sahabat atau Tabiin yang digugurkan dari sanad merupakan seorang yang dikenal kredibilitasnya, tidak bertentangan dengan hadis lain yang lebih shahih, dan lain sebagainya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab Ulumul Hadits.

Jawab: he..lucunya pendalilan ahli bid'ah
al ala' sendiri dia perawi yg ditinggalkan dan dituduh pemalsu hadits ,munkarul hadits kata imam bukhori

# وقال حنبل بن إسحاق : سمعت أبا عبد الله ، يقول : العلاء بن كثير الشامي ليس بشيء ، وكان قدم الكوفة فسمعوا منه بالكوفة .

# وقال معاوية بن صالح ، عن يحيى بن معين : ليس حديثه بشيء .

# وقال إسماعيل بن إسحاق القاضي ، عن علي بن المديني ، وأبو زرعة ، وأبو حاتم : ضعيف الحديث ، زاد أبو زرعة : واهي الحديث ، يحدث عن مكحول ، عن واثلة بمناكير ، وزاد أبو حاتم : منكر الحديث ، لا يعرف بالشام هو مثل عبد القدوس بن حبيب ، وعمر بن موسى الوجيهي في الضعف .

# وقال البخاري : منكر الحديث .

# وقال النسائي : ضعيف .
Abu ahmad ibn ady semua tidak mahfudz/ tidak terjaga alias munkar

# وقال أبو أحمد بن عدي : وللعلاء بن كثير ، عن مكحول ، عن الصحابة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم نسخ كلها غير محفوظة ، وهو منكر الحديث.

Yahya al qhotton:
kemudian ada yg berapologi itu dari makhul.
Makhul pun itu tidak mendengar riwayat dari 'asiyah.jadi riwayatnya terputus.

Nama Lengkap; Makhul

Kalangan : Tabi'ul Atba' kalangan biasa

Kuniyah : Abu 'Abdullah

Negeri semasa hidup : Syam

Wafat : 113 H

Komentar Ulama' Tentangnya:

Al 'Ajli; Tsiqah

Ibnu Kharasy; Shaduuq

Abu Hatim; orang yang paling faqih di syam pada masanya

Ibnu Hibban; disebutkan dalam 'ats tsiqaat

Ibnu Yunus; faqih 'alim

Ibnu Hajar al 'Asqalani; "tsiqah,faqih"

Adz Dzahabi; orang yang paling faqih di syam pada masanya

Walaupun tsiqoh tapi dia bukan kibarut tabi'in,sehingga tidak masuk syarat imam asy syafi'i.

 مكحول عن عائشة رضي الله عنها وهو لم يسمع منها.

العلاء بن كثير الليثي: قال الحافظ في التقريب (ص/372): متروك رماه ابن حبان بالوضع.
Jelas sekali mursalnya dhoif lemah.

 وذكر أَبُو عَبْد اللَّهِ مُحَمَّد بْن إِبْرَاهِيمَ الأَصْبَهَانِيّ الكتاني , أَنَّهُ سأل أبا حاتم عَنِ العلاء بْن كثير ، عَنْ مَكْحُولٍ , فقَالَ : ضعيف الحديث

Pembela tradisi ala fir'aun


Beralasan dengan tradisi semacam argumen di atas tak beda jauh dengan alasan orang musyrik sebagaimana disebutkan dalam ayat,

إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ

“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah berkata, “Sifat orang jahiliyyah adalah biasa berdalil dengan tradisi nenek moyangnya dahulu. Sebagaimana kata Fir’aun,

قَالَ فَمَا بَالُ الْقُرُونِ الْأُولَى

“Berkata Fir’aun: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu?” (QS. Thaha: 51).

Begitu pula kata kaum Nuh,

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آَبَائِنَا الْأَوَّلِينَ

“Belum pernah kami mendengar ajaran seperti ini pada masa nenek moyang kami yang dahulu” (QS. Al Mukminun: 24).”

Kaum Quraisy pun beralasan seperti itu.

مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الْآَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلَّا اخْتِلَاقٌ

“Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir; ini (mengesakan Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan.” (QS. Shaad: 7)

Kaidah penghancur bid'ah pengkhususan


Syaikh Muhammad bin Husain Al-Jizaniy memberikan suatu kaedah,

كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة

“Setiap ibadah mutlak yang disyari’atkan berdasarkan dalil umum, maka pengkhususan yang umum tadi dengan waktu atau tempat yang khusus atau pengkhususan lainnya, dianggap bahwa pengkhususan tadi ada dalam syari’at namun sebenarnya tidak ditunjukkan dalam dalil yang umum, maka pengkhususan tersebut tidak ada tuntunan.” (Qawa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 116).

Amalan menyimpang penduduk makkah jadi dalil perayaan nishfu sya'ban?


 Al-Fakihani berkata:

ذِكْرُ عَمَلِ أَهْلِ مَكَّةَ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَاجْتِهَادِهِمْ فِيْهَا لِفَضْلِهَا . وَأَهْلُ مَكَّةَ فِيْمَا مَضَى إِلَى الْيَوْمِ إِذَا كَانَ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ ، خَرَجَ عَامَّةُ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَلُّوْا وَطَافُوْا وَأَحْيَوْا لَيْلَتَهُمْ حَتَّى الصَّبَاحِ بِالْقِرَاءَةِ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يَخْتُمُوْا الْقُرْآنَ كُلَّهُ وَيَصِلُوْا ، وَمَنْ صَلَّى مِنْهُمْ تِلْكَ اللَّيْلَةِ مِائَةَ رَكْعَةٍ يَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِـ الْحَمْدِ ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ عَشْرَ مَرَّاتٍ وَأَخَذُوْا مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَشَرِبُوْهُ وَاغْتَسَلُوْا بِهِ وَخَبَؤُوْهُ عِنْدَهُمْ لِلْمَرْضَى ، يَبْتَغُوْنَ بِذَلِكَ الْبَرَكَةَ فِي هَذِهِ اللَّيْلَةِ ، وَيُرْوَى فِيْهِ أَحَادِيْثُ كَثِيْرَةٌ (أخبار مكة للفاكهني - ج 5 / ص (23

“(Bab tentang amaliah penduduk Makkah di malam Nishfu Sya’ban dan kesungguhan mereka di malam tersebut karena keutamaannya). Penduduk Makkah, dari dulu hingga sekarang, jika bertemu dengan malam Nishfu Sya’ban maka kebanyakan orang laki-laki dan perempuan mendatangi Masjidil Haram, mereka salat, tawaf, beribadah di malam harinya hingga pagi dengan membaca al-Quran di Masjidil Haram, hingga mengkhatamkan al-Quran keseluruhannya dan melanjutkan. Orang-orang diantara mereka yang melakukan salat di malam tersebut 100 rakaat, diawali dengan Hamdalah setiap rakaatnya, al-Ikhlas 100 kali, mereka juga mengambil air zamzam lalu meminumnya, menyiramkannya, dan diberikan kepada orang sakit dari mereka, adalah karena mengharap berkah di malam tersebut. Telah diriwayatkan beberapa hadis yang banyak tentang malam Nishfu Sya’ban” (Syaikh al-Fakihani, Akhbar Makkah 5/23).

(Catatan)
Ulama Syafiiyah menegaskan bahwa salat 100 rakaat di malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah yang buruk, hadisnya adalah hadis palsu (I’anat ath-Thalibin)

Jawab:

Sejak kapan amalan penduduk makkah jadi dalil?apalagi jelas amalannya menyimpang.
Apakah dg amalan penduduk yg menyimpang ini kalian berdalil?

shalat raghaib yang biasanya dilakukan pada awal malam Jum’at pertama bulan Rajab antara shalat Maghrib dan Isya’ dan biasanya didahului dengan puasa hari Kamisnya. Selain itu ada pula ibadah shalat nishfu Sya’ban atau shalat Alfiyah yang dilakukan pada pertengahan Sya’ban. Biasanya dilakukan sebanyak seratus raka’at dengan membaca surah Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Bahkan terkadang dibumbui dengan fadhilah-fadhilah yang bombastis. Kita simak bagaimana pendapat Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i mengenai dua ibadah tersebut.

Ketika ditanya mengenai shalat raghaib dan shalat nishfu sya’ban, beliau menjawab:

الحمد لله ، هاتان الصلاتان لم يصلهما النبي-صلى الله عليه وسلم-ولا أحد من أصحابه–رضي الله عنهم–ولا أحد من الأئمة الأربعة المذكورين–رحمهم الله – ، ولا أشار أحد منهم بصلاتهما، ولم يفعلهما أحد ممن يقتدي به، ولم يصح عن النبي منها شيء ولا عن أحد يقتدي به ، وإنما أحدثت في الأعصار المتأخرة وصلاتهما من البدع المنكرات ، والحوادث الباطلات ، وقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال : “إياكم ومحدثات الأمور ، فإن كل محدثة بدعة ضلالة ” . وفي الصحيحين عن عائشة –رضي الله عنها– قالت: قال رسول الله-صلى الله عليه وسلم-: “من أحدث في ديننا ما ليس منه فهو رد”. وفي صحيح مسلم أن رسول الله-صلى الله عليه وسلم-قال : “من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد”.

وينبغي لكل أحد أن يمتنع عن هذه الصلاة، ويحذر منها، وينفر عنها ويقبح فعلها، ويشيع النهي عنها، فقد صح عن النبي- صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “من رأى منكم منكراً فليغيره بيده، فإن لم يستطع فبلسانه، فإن لم يستطع فبقلبه”. وعلى العلماء التحذير منها ، والإعراض عنها أكثر مما على غيرهم ، لأنه يقتدى بهم .
ولا يغترن أحد بكونها شائعة يفعلها العوام وشبههم ، فإن الاقتداء إنما يكون برسول الله- صلى الله عليه وسلم- وبما أمر به لا بما نهى عنه، وحذَّر منه

“Segala puji bagi Allah. Dua shalat ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam, tidak pula dilakukan oleh salah seorang shahabatnya radhiyallahu’anhum, juga tidak dilakukan oleh salah seorang dari imam madzhab yang empat rahimahumullah, tidak ada pula satu isyarat pun bahwa mereka mereka melakukan kedua shalat ini. Demikian juga tidak dilakukan oleh seorang ulama yang menjadi teladan. Tidak ada satu riwayat pun yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan juga riwayat dari pada ulama yang menjadi teladan.

Kedua ibadah ini baru muncul pada masa-masa belakangan. Melakukan kedua shalat ini merupakan bid’ah yang munkar dan perkara batil yang diada-adakan. Dan terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: “Jauhilah perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan itu sesat“. Dan dalam shahihain dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang tak ada asalnya dalam agama kami, maka perkara tersebut tertolak“. Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Rasululullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada asalnya dari kami, maka itu tertolak“.

Semestinya setiap orang menghindari kedua shalat ini dan memperingatkan orang darinya, menjauhkan diri darinya, dan mencela perbuatan tersebut, sertan menyebarkan larangan untuk melakukannya. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa diantara kalian melihat suatu kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya“. Dan merupakan kewajiban bagi para ulama untuk memperingatkan umat darinya. Dan hendaknya mereka menjauhkan diri dari ibadah tersebut lebih serius daripada orang lain, karena mereka merupakan panutan bagi orang lain.

Janganlah tertipu dengan banyaknya orang awam atau semisalnya yang melakukan ibadah ini. Sesungguhnya yang patut diteladani itu adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan perintah dan larangannya, serta apa-apa yang beliau peringatankan” (Musajalah Ilmiyah Baynal Imamain Jalilain Al Izzibni Abdissalam Wabni Shalah, 45-47).

Di tempat lain ketika ditanya mengenai shalat raghaib, beliau menjawab,

هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار، مشتملة على منكرات فيتعين تركها والإعراض

“Ibadah tersebut termasuk bid’ah tercela serta munkar yang paling munkar. Mengandung berbagai macam kemungkaran. Maka sudah jelas kewajiban meninggalkannya dan berpaling darinya” (Fatawa Imam An Nawawi, 57)

Bahkan di tempat lain ketika membahas shalat raghaib, beliau lebih tegas lagi,

قاتل الله واضعها ومخترعها , فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات ظاهرة . وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها ودلائل قبحها وبطلانها وتضليل فاعلها أكثر من أن تحصر

“Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan dan membuat-buat ibadah ini. Karena ibadah in adalah bid’ah yang munkar, termasuk dalam bid’ah yang sesat dan kebodohan. Di dalamnya terdapat berbagai kemungkarna yang nyata. Beberapa ulama telah menulis tulisan bermanfaat yang khusus mencela dan menjelaskan kesesatan serta kebid’ahan ibadah ini. Juga menjelaskan dalil tentang betapa tercela, batil dan sesatnya, orang yang melalukan ibadah tersebut dengan dalil yang terlalu banyak untuk bisa dihitung” (Syarah Shahih Muslim, 8/20)

Maka jelaslah bahwa shalat raghaib dan shalat alfiyah adalah ibadah yang diada-adakan, tidak ada tuntunannya dari syariat Islam. Imam An Nawawi rahimahullah, ulama besar madzhab Syafi’i, sangat tegas dalam menjelaskan hal ini. Maka sangat aneh jika orang-orang yang mengaku bermadzhab Syafi’i malah mengamalkannya.

Selasa, 24 Mei 2016

Surga dibawah kedua kaki ibu


Telah begitu masyhur hadits yang berbunyi:

اَلْجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ الأُمَّهَاتِ، مَنْ شِئْنَ أَدْخَلْنَ وَ مَنْ شِئْنَ أَخْرَجْنَ

"Surga itu di bawah telapak kaki ibu, siapa yang ia kehendaki maka akan dimasukkan dan siapa yang ia ingini maka akan dikeluarkan". (Silsilah al-Ahâdîts adh-Dha’îfah, no. 593)

Maka hadits dengan lafazh di atas adalah PALSU. Dan ada juga yang lemah. (lihat: Dha’îf al-Jâmi’ ash-Shaghîr, no. 2666)

Jika lafazhnya seperti itu maka ini adalah ucapan manusia semata (bukan hadits)

Jadi bukan telapaknya saja,bahkan ada yg bertradisi membasuh telapak kaki dg alasan hadits ini,maka ini tidak benar.

NAMUN ADA LAFAZH LAIN BERDERAJAT HASAN
Perlu diketahui, ada riwayat lain yang semakna dengan hadits di atas dengan lafazh yang berbeda yang berderajat hasan. Yang mana secara maknanya menunjukkan bahwa surga itu di bawah telapak kaki ibu. Berikut bunyi hadits tersebut:

عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ جَاهِمَةَ السَّلَمِيِّ أَنَّ جَاهِمَةَ جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ، وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيْرُكَ. فَقَالَ: هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَالْزَمْهَا، فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا

Dari Mu’wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: “Apakah engkau masih mempunyai ibu?” Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: “Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya.”

Syaikh al-Albani berkomentar: “Diriwayatkan oleh an-Nasa`i, jilid 2, hlm. 54, dan yang lainnya seperti ath-Thabrani jilid 1, hlm. 225, no. 2. Sanadnya Hasan insyaAllah. Dan telah dishahihkan oleh al-Hakim, jilid 4, hlm. 151, dan disetujui oleh adz-Dzahabi dan juga oleh al-Mundziri, jilid 3, hlm. 214.” (as-Silsilah adh-Dha’ifah wa al-Maudhu’ah, pada penjelasan hadits no. 593)[3]

Dan ada hadits lain yang lafazhnya berbeda dengan yang di atas.

Jadi bukan hanya satu kaki saja,bukan hanya saat sehatnya saja,namun saat jompo tidak diurus dititipkan panti jompo maka ini tidak benar.

UCAPAN ULAMA SEPUTAR HADITS DI ATAS
Ketika mensyarah hadits ini, Imam Ali al-Qari rah mengatakan: ”Maksudnya yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya”. (Mirqat al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih, jilid 4, hlm. 676)

Ath-Thibi mengatakan: ”Sabda beliau: ”…pada kakinya…”, adalah kinayah dari puncak ketundukan dan kerendahan diri, sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”. (Ibid, (IV/677).
Sedangkan as-Sindi mengatakan: ”Bagianmu dari surga itu tidak dapat sampai kepadamu kecuali dengan keridhaannya, dimana seakan-akan seorang anak itu milik ibunya, sedangkan ibunya adalah tonggak baginya. Bagian dari surga untuk orang tersebut tidak sampai kepadanya kecuali dari arah ibunya tersebut. Hal itu karena sesungguhnya segala sesuatu apabila keadaannya berada di bawah kaki seseorang, maka sungguh ia menguasainya dimana ia tidak dapat sampai kepada yang lain kecuali dari arahnya. Allahu a’lam. (Hasyiyah Sunan An-Nasa-i, karya as-Sindi, jilid 6, hlm. 11, dalam nuskhah yang dicetak bersama Zuhr ar-Rabaa ’Ala al-Mujtabaa, karya as-Suyuti)

KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa hadits dengan LAFAZH “Surga itu di bawah telapak kaki ibu” adalah lemah, bahkan ada riwayat lain yang palsu.

Namun ada hadits lain yang secara makna menjelaskan bahwa ungkapan di atas adalah benar. Maka itu, ungkapan tersebut tidak dapat kita katakan salah secara mutlak lantaran adanya hadits hasan yang memperkuatnya.
Wallahu a’lam.

Berikut ini adalah penjelasan selengkapnya dari al muahddits Muhammad Nashruddin al-Albani dalam Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu' Jilid 2, Hadits 593

"Surga berada dibawah telapak kaum ibu. Barangsiapa dikehendakinya maka dimasukannya, dan barangsiapa dikehendaki maka dikeluarkan darinya."

Hadits ini maudhu'/palsu. Telah diriwayatkan oleh Ibnu Adi (I/325) dan juga oleh al-Uqaili dalam adh-Dhu'afa dengan sanad dari Musa bin Muhammad bin Atha', dari Abul Malih, dari Maimun, dari Abdullah Ibnu Abbas radhiallahu 'anhu Kemudian al-Uqaili mengatakan bahwa hadits ini mungkar.

Bagian pertama dari riwayat tersebut mempunyai sanad lain, namun mayoritas rijal sanadnya majhul. Untuk mengetahui makna yang shahih dari kandungan makna hadits tersebut, saya kira cukuplah dengan riwayat shahih yang dikeluarkan oleh Imam Nasa'i dan Thabrani dengan sanad hasan.

Yaitu kisah seorang yang datang menghadap Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seraya minta izin untuk ikut andil berjihad bersama beliau shalallahu 'alaihi wasallam , maka beliau bertanya, "Adakah engkau masih mempunyai ibu?" Orang itu menjawab, "Ya, masih."
Beliaupun kemudian bersabda, "Baik-baiklah dalam bergaul dengannya, karena sesungguhnya surga itu berada dibawah kedua kakinya."

[Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah, Muhammad Nashruddin al-Albani]

Runtuhnya syubhat hujjah NU dan mufti al azhar tentang Doa nishfu sya'ban


Syubhat:
Mufti al-Azhar: Doa Nishfu Sya’ban Bersumber Dari Sahabat Nabi

حدثنا أبو معاوية عن عبد الرحمن بن إسحاق عن القاسم بن عبد الرحمن عن عبد الله بن مسعود قال ما دعا قط عبد بهذه الدعوات إلا وسع الله عليه في معيشته يا ذا المن فلا يمن عليك يا ذا الجلال والإكرام يا ذا الطول والإنعام لا إله إلا أنت ظهر اللاجئين وجار المستجيرين ومأمن الخائفين إن كتبتني عندك في أم الكتاب شقيا فامح عني أسم الشقاء وأثبتني عندك سعيدا موفقا للخير فإنك تقول في كتابك يمحوا الله ما يشاء ويثبت وعنده ام الكتاب
مصنف ابن أبي شيبة - (ج 6 / ص 68(

وهو دعاء لم يرد عن النبى صلى الله عليه وسلم قال بعض العلماء إنه منقول بأسانيد صحيحة عن صحابيين جليلين ، هما عمر بن الخطاب وعبد الله بن مسعود رضى الله عنهما ، وعمر-من الخلفاء الراشدين الذى أمرنا الحديث بالأخذ بسنتهم ، ونص على الاقتداء به وبأبى بكر الصديق فى حديث آخر، وأصحاب الرسول كالنجوم فى الاقتداء بهم كما روى فى حديث يقبل فى فضائل الأعمال .
فتاوى الأزهر - (ج 10 / ص 131(

Jawab:
Riwayat ini lemah,secara sanad mempunyai 2 cacat/ penyakit:
pertama,abdurrahman bin ishaq itu perawi lemah
kedua,sanad terputus antara al qosim bin abdirrahman dan kakeknya ibnu mas'ud
Adapun dari umar maka tidak jelas sanadnya.

قال محقق كتاب (الدعاء) الدكتور/ عبد العزيز بن سليمان البعيمي، الأستاذ المشارك بكلية الحديث الشريف بالجامعة الإسلامية بالمدينة المنورة: هذا الأثر فيه علتان موجبتان لتضعيفه، الأولى: ضعف عبد الرحمن بن إسحاق. والثانية: الانقطاع بين القاسم بن عبد الرحمن وبين جده عبد الله بن مسعود اهـ.

Dari segi matan/ isi maka maknanya tidak benar.karena ketetapan alloh di ummul kitab / lauhul mahfudz tidak bisa dirubah,namun yg bisa dirubah adalah catatan malaikat.
sebagaimana penjelasan ibnu hajar:
وفي (فتح الباري) للحافظ ابن حجر: المحو والإثبات بالنسبة لما في علم المَلَك، وما في أم الكتاب هو الذي في علم الله تعالى فلا محو فيه البتة، ويقال له: القضاء المبرم، ويقال للأول: القضاء المعلق اهـ.

Ditambah ibnu mas'ud dalam riwayat lain doanya menyelisihi makna itu
الشيخ الألباني: روى ابن جرير من طريق شريك عن هلال بن حميد عن عبد الله بن عكيم عن عبد الله أنه كان يقول: "اللهم إن كنت كتبتني في السعداء فأثبتني في السعداء؛ فإنك تمحو ما تشاء وتثبت وعندك أم الكتاب". ورجاله ثقات لولا ضعف حفظ شريك؛ لكنه يتقوى بطريق حماد بن سلمة عن خالد الحذاء عن أبي قلابة عن ابن مسعود رضي الله عنه أنه كان يقول: "اللهم إن كنت كتبتني في أهل الشقاوة فامحني وأثبتني في أهل السعادة". رواه ابن جرير والطبراني في "الكبير" ورجاله ثقات رجال مسلم إلا أن أبا قلابة لم يدرك ابن مسعود؛ كما قال الهيثمي، ولكنه شاهد قوي للطريق الموصولة قبله هـ.