Jumat, 27 Mei 2016

Tarjih yg tidak rojih tentang isbal


Syubhat :
Memang benar ada sejumlah hadis yang menerangkan “menurunkan pakaian di bawah mata kaki” menyentuh tanah dicela oleh syara’, tetapi harus diingat, “celaan itu berkaitan dengan sifat sombong/angkuh” dari si pemakai pakaian itu. Dan hadis itu sebenarnya berkaitan dengan adab/akhlaq. Di bawah ini kami sebutkan sebahagian hadis-hadis itu, antara lain yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ. [متفق عليه]

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah tidak memandang kepada orang yang memanjang (menyeret) pakaiannya dalam keadaan sombong.” [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dimaksud, tidak dipandang oleh Allah dengan pandangan kasih sayangnya artinya Allah tidak memberi rahmat kepada orang yang memanjangkan/menyeret celananya (sampai ke tanah) karena sombong/amgkuhnya itu, baik pria maupun wanita. Hal ini lebih jelas kalau dihubungkan dengan hadis lain riwayat al-Bukhari berikut ini:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فِى النَّارِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Sesuatu yang berada di bawah dua mata kaki dari kain sarung itu di dalam neraka”

Yang dimaksud oleh hadis itu, yaitu orang yang memanjangkan kain sarungnya dalam neraka “karena kesombongan”.

Jawab: orang yg merasa nggak sombong berarti itu tanda sombong.

Ibnu Hajar Al Asqalani :

وحاصله: أن الإسبال يستلزم جرَّ الثوب، وجرُّ الثوب يستلزم الخيلاء، ولو لم يقصد اللابس الخيلاء، ويؤيده: ما أخرجه أحمد بن منيع من وجه آخر عن ابن عمر في أثناء حديث رفعه: ( وإياك وجر الإزار؛ فإن جر الإزار من المخِيلة

“Kesimpulannya, isbal itu pasti menjulurkan pakaian. Sedangkan menjulurkan pakaian itu merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat dari  Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menjulurkan pakaian, karena menjulurkan pakaian itu adalah kesombongan‘” (Fathul Baari, 10/264)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk kesombongan, dan Allah tidak menyukai kesombongan” [Hadits Riwayat Abu Dawud 4084, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albany dalam As-Shohihah 770]

Berkata Ibnul Aroby rahimahullah : “Tidak boleh bagi laki-laki untuk memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia mengatakan : “Aku tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadits secara lafazh mecakup pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup dalam larangan, kemudian berkata : “Aku tidak mau melaksanakannya karena sebab larangan tersebut tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim yang tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri menunjukkan kesombongan” [Fathul Bari 10/325]

Syubhat:
Hal itu menunjukkan orang yang memanjangkan pakaian sampai di bawah tumit atau menyentuh tanah, kalau tanpa disertai sifat sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman itu. Hal tersebut dijelaskan oleh hadis lain riwayat al-Bukhari, Abu Daud dan an-Nasai, bahwa Abu Bakar ra berkata kepada Nabi saw setelah mendengar hadis tersebut: “Sesungguhnya kain sarungku selalu melorot ke bawah kecuali saya menaikkannya”, lalu Rasulullah saw menjawab kepada Abu Bakar ra:

“Sesungguhnya engkau bukan termasuk yang melakukanya dengan sombong.”

Jawab: he,abu bakar tidak sengaja celananya melorot buktinya beliau berusaha menaikkan.
Itupun yg melorot salahsatu saja bukan dua-duanya.

Berkata Syaikh Al-Albani : “Dan termasuk perkara yang aneh, ada sebagian orang yang mempunyai pengetahuan tentang Islam, mereka berdalil bolehnya memanjangkan pakaian atas dasar perkatan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa hadits di atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan pakaiannya, sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha untuk selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini sementara perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong dengan apa yang terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan pakaiannya? Kita memohon kepada Allah keselamatan dari hawa nafsu. (As-Shohihah 6/401). Kemudian Syaikh berkata di tempat yang lain : “Dalam hadits riwayat Muslim, Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedangkan sarungnya melorot, Rasulullah menegur Ibnu Umar dan berkata, "Wahai Abdulloh, naikkan sarungmu!". Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk sahabat yang mulia dan utama, Nabi tidak tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya untuk mengangkat sarung tersebut, bukankah ini menunjukkan bahwa isbal itu tidak berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?! [Mukhtashar Syamail Muhammadiyyah hal. 11]

Syubhat:

Begitu juga hadis Nabi saw riwayat Abu Daud dari sahabat Ibnu Mas’ud:

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ جَلَّ ذِكْرُهُ فِى حَلٍّ وَلَا حَرَامٍ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Barangsiapa yang memanjangkan sarungnya dalam shalatnya karena sombong, maka ia di hadapan Allah seperti orang yang tidak mengenal halal dan haram.”

Dalam melihat hadis soal menawarkan pakaian di bawah mata kaki, yang popular dengan istilah “isbal”, kita haruslah mengumpulkan hadis-hadis tersebut baik yang illatnya dengan jelas disebutkan, yaitu “sombong” atau hadis-hadis yang tidak menyebut illatnya. Kemudian dalam kita menetapkan hukum (istimbat), tidak boleh menurut apa adanya, tetapi kepada muqayyad dengan sifat “khufala (sombong)” harus dihubungkan dengan lafadl mutlak yang tidak menyebutkan illatnya. Di sini kita perlu memakai kaidah hukum yang dipakai ulama ushul fiqih/para ahli ijtihad, yaitu:

حَمْلُ اْلمُطْلَقِ عَلَى اْلمُقَيَّدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ مُتَضَادَّيْنِ أَوْ مُخْتَلِفَيْنِ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ فَلاَ يُحْمَلُ اْلمُطْلَقُ عَلَى اْلمُقَيَّدِ.

Artinya: “Lafadl mutlak dibawa kepada muqayyad dengan ketentuan di situ dua muqayyad itu tidak paradok/berbeda. Jika berbeda maka muqayyad itu tidak dibawa kepada yang mutlak. Contohnya cukup banyak, bisa dilihat di dalam al-Qur’an dan di dalam hadis.” [baca kitab ushul fiqih bab Mutlak dan Muqayyad]

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemahaman yang dilakukan oleh pengarang brosur itu, walaupun hadis-hadis yang dinukilkan benar dan shohih, tetapi keliru dalam cara penetapan hukumnya, yaitu mereka tidak memperhatikan illat yang dinashkan (disebutkan) dalam hadis itu serta tidak menjabarkan istimbat yang lazim dipakai para pakar hukum Islam, yaitu apabila bertemu lafadl mutlak dan muqayyad, maka lafadl mutlak harus dibawa/ditarik kepada yang muqayyad.

Dikatakan oleh ash-Shan’aniy (pengarang kitab Subulus-Salam): “Pakaian yang lebih dari itu (artinya menutupi mata kaki) sesungguhnya tidak berdosa bagi pelakunya dan pakaian yang lebih dari kedua mata kaki, itu baru haram kalau pemakaiannya untuk kesombongan/keangkuhan”.

Demikian jawaban singkat kami semoga duduk persoalannya menjadi jelas bagi saudara dan tidak lagi terombang-ambing oleh cara penetapan hukum (istimbat) yang tidak benar itu.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Suara Muhammadiyah No. 3 tahun ke-87 1422 / 2002

Jawab:

Kita katakan kepada mereka, “ذَٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ Itulah sejauh-jauhnya pengetahuan mereka.[an-Najm/53 : 30]

Kemudian kaidah ushul "Hamlul Muthlaq 'alal Muqoyyad" adalah kaidah yang telah disepakati dengan syarat-syarat tertentu. Untuk lebih jelasnya, mari kita simak perkataan ahlul ilmi dalam masalah ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah : “Isbal pakaian apabila karena sombong maka hukumannya Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak mengajak bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun apabila tidak karena sombong, maka hukumannya disiksa dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadits.

Dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga sabdanya : “Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, Adapun yang isbal karena tidak sombong, maka hukumannya sebagaimana dalam hadits : “Apa saja yang dibawah kedua mata kaki di dalam Neraka”. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mentaqyidnya dengan sombong atau tidak, maka tidak boleh mentaqyid hadits ini berdasarkan hadits yang lalu. Juga Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu telah berkata bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki, dan apa yang turun di bawah mata kaki, maka bagiannya di neraka, barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya”.

Di dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua permisalan dalam satu hadits, dan ia menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya. Keduanya berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hukum dan balasan. Maka selama hukum dan sebabnya berbeda, tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad (khusus), di antara syaratnya adalah bersatunya dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda, maka tidaklah ditaqyid salah satu keduanya dengan yang lain. Oleh karena itu ayat tayammum yang berbunyi :”Basuhlah mukamu dan tanganmu dengan tanah” tidak ditaqyid dengan ayat wudhu, “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku” maka tayammum itu tidak sampai siku, karena mengharuskan perlawanan”[As’ilah Muhimmah hal, 29-30, Lihat pula Fatawa Syaikh Utsaimin 2/921, Isbal Lighoiril khuyala hal. 26]

Maka kita katakan sekali lagi, bahwa ini penerapan ilmu ushul fiqh yang kurang tepat. Mereka tidak melihat lanjutan kedua hadist tersebut, disitu ada hukum yaitu:

Hadist 1: “tempatnya adalah di neraka

Hadist 2: Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Maka ini masuk bab “al-muthlaq dan Al-muqoyyad”. Karena ada sebab dan hukum.

Hadist 1:

Sebab: “Setiap pakaian yang melebihi mata kaki  [isbal]”

Hukum: “tempatnya adalah di neraka.”

Hadist 2:

Sebab: “menyeret pakaiannya [isbal] dengan sombong”

Hukum: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Dalam bab “al-muthlaq dan Al-muqoyyad”. Ada pembahasan tentang “hamlul muthlaq ‘alal muqoyyad” atau “taqyidul muthlaq”. Yaitu membatasi dalil muthlaq dengan muqoyyad. Berlaku jika, hukumnya sama. Jika hukumnya tidak sama maka dalil tersebut berdiri sendiri-sendiri. Tidak ada pembatasan. Maka dalam kasus ini, Hukumnya berbeda, jadi tidak ada pembatasan.  Mari kita lihat

Hukum Hadist 1: “tempatnya adalah di neraka.” Tentu BERBEDA dengan hukum hadidst 2: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Jika masih belum paham dengan uraian ushul fiqh perhatikan pembagian berikut dan logika akan membenarkan:

Hadist 1:

Sebab: “Setiap pakaian yang melebihi mata kaki  [isbal]”

Hukum: “tempatnya adalah di neraka.”

Hadist 2:

Sebab: “menyeret pakaiannya [isbal] dengan sombong”

Hukum: “Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”

Kemudian kita misalkan ada pernyataan seorang ibu kepada anaknya,

Pernyataan 1: jika kamu pakai baju adikmu, ibu jewer kupingmu

Kemudian ibu tersebut memberi pernyataan lagi setelahnya,

Pernyataan 2: jika kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal, maka ibu pukul kakimu.

Maka hukumnya BERBEDA, antara pernyataan 1: ibu jewer kupingmu dan pernyataan 2: ibu pukul kakimu

Seperti hal diatas maka kita dapatkan:

pernyataan 1:

sebab: “kamu pakai baju adikmu

hukum: ibu jewer kupingmu

pernyataan 2:

sebab: kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal

hukum: ibu pukul kakimu.

Maka secara logika, jika anak tersebut hanya memakai baju adiknya dan tidak nakal apakah ia selamat dari hukuman yang diberikan oleh ibunya? Tentu TIDAK, dia akan dijewer oleh ibunya.

Apakah bisa diterapkan “takhsis” dalam kasus anak ini? “kamu pakai baju adikmu”  adalah bersifat umum, sedangkan “kamu pakai baju adikmu dan kamu nakal” bersifat khusus sehingga bisa “takhsis”, ancaman hanya berlaku jika si anak memakai baju adiknya dan nakal? Tentu TIDAK.

untuk contoh yang lebih mengena lagi,  ada polisi bilang kepada seorang preman:
-jika kamu maling , kami penjarakan kamu
-jika kamu maling dan membunuh, kami bunuh juga kamu

apakah jika hanya maling saja kemudian tidak dipenjara? tentu tidak

Kesimpulannya :
 Kaidah "Membawa nash yang mutlak ke muqoyyad wajib" adalah kaidah yang telah muttofak alaihi (disepakati) pada keadaan bersatunya hukum dan sebab. Maka tidak boleh membawa nash yang mutlak ke muqoyyad apabila hukum dan sebabnya berbeda, atau hukumnya berbeda dan sebabnya sama! [Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy 1/217 karya Dr Wahbah Az-Zuhaili]

Begitu juga dengan hadist diatas, jika hanya isbal dan tidak sombong apakah ia selamat dari ancaman Allah? Tentu TIDAK.
Soal imam ash shon'ani
Imam al-Shan'ani dalam Subulus Salam berkata,

وَقَدْ صَرَّحَتْ السُّنَّةُ أَنَّ أَحْسَنَ الْحَالَاتِ أَنْ يَكُونَ إلَى نِصْفِ السَّاقِ كَمَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ خَالِدٍ

"Sunnah telah menyebutkan dengan jelas bahwasanya kondisi paling bagus adalah kain sampai pertengahan betis sebagaimana (hadits) yang dikeluarkan oleh al-Tirmidzi dan al-Nasai dari Ubaid bin Khalid. . ."

Terakhir ingin kami tutup dengan satu bab yang dibuat Imam Muslim dalam Shahihnya yang menerangkan tentang Isbal (menjulurkan kain di bawah mati kaki) adalah dilarang,

بَاب بَيَانِ غِلَظِ تَحْرِيمِ إِسْبَالِ الْإِزَارِ وَالْمَنِّ بِالْعَطِيَّةِ وَتَنْفِيقِ السِّلْعَةِ بِالْحَلِفِ وَبَيَانِ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

"Bab: Keterangan beratnya keharaman menjulurkan kain (di bawah mata kaki;- disebut Isbal-), mengungkit-ungkit pemberian, menjual barang dagangan dengan sumpah palsu adalah tiga golongan yang mereka tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka dan menyucikan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih."

Tidak ada komentar: