Imam Nawawi berkata :
هَذَا دَلِيل لِمَا قَالَهُ بَعْض السَّلَف أَنَّهُ يُسْتَحَبّ رَفْع الصَّوْت بِالتَّكْبِيرِ وَالذِّكْر عَقِب الْمَكْتُوبَة. وَمِمَّنْ اِسْتَحَبَّهُ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ اِبْن حَزْم الظَّاهِرِيّ. وَنَقَلَ اِبْن بَطَّال وَآخَرُونَ أَنَّ أَصْحَاب الْمَذَاهِب الْمَتْبُوعَة وَغَيْرهمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى عَدَم اِسْتِحْبَاب رَفْع الصَّوْت بِالذِّكْرِ وَالتَّكْبِير. وَحَمَلَ الشَّافِعِيّ -رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى- هَذَا الْحَدِيث عَلَى أَنَّهُ جَهَرَ وَقْتًا يَسِيرًا حَتَّى يُعْلِّمهُمْ صِفَة الذِّكْر, لا أَنَّهُمْ جَهَرُوا دَائِمًا قَالَ: فَأخْتَارَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم أَنْ يَذْكُرَا اللَّه تَعَالَى بَعْد الْفَرَاغ مِنْ الصَّلَاة وَيُخْفِيَانِ ذَلِكَ, إِلا أَنْ يَكُون إِمَامًا يُرِيد أَنْ يُتَعَلَّم مِنْهُ فَيَجْهَر حَتَّى يَعْلَم أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ, ثُمَّ يُسِرُّ, وَحَمَلَ الْحَدِيث عَلَى هَذَا.
Hadits ini merupakan dalil pendapatnya sebagian ulama salaf, yang mengatakan disunnahkannya mengeraskan takbir dan dzikir saat selesai sholat wajib. Diantaramuta’akhkhirin yang juga men-sunnah-kannya adalah Ibnu Hazm azh-Zhohiri.
Tapi Ibnu Baththol dan para ulama lainnya menukil, bahwa para ulama madzhab yang diikuti dan yang lainnya sepakat dengan pendapat tidak disunnahkannya mengangkat suara ketika dzikir dan takbir.
(Sedang) Imam Syafi’i -rohimahulloh-, beliau memaknai hadits ini dengan mengatakan: bahwa beliau -shollallohu alaihi wasallam- dahulu mengeraskannya hanya untuk sementara waktu saja, dengan tujuan mengajari para sahabatnya cara berdzikir, bukan berarti mereka mengeraskannya secara terus menerus. Imam Syafi’i mengatakan: “Saya memilih (pendapat) untuk imam dan ma’mum, agar mereka membaca dzikir setelah sholat dengan melirihkan suara, kecuali untuk imam yang ingin agar para ma’mumnya bisa belajar darinya, maka boleh baginya mengeraskan suaranya, hingga jika ia melihat para ma’mum telah belajar darinya, ia melirihkan kembali suaranya”. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan ini. (Syarah Shohih Muslim lin Nawawi).
Imam as-Shon’ani رحمه الله berkata dalam mengomentari hadist di atas:
فِي قَوْلِهِ: كَانَ يُصَلِّي، مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْعِبَارَةَ لَا تَدُلُّ عَلَى التَّكْرَارِ مُطْلَقًا؛ لِأَنَّ هَذَا الْحَمْلَ لِأُمَامَةَ وَقَعَ مِنْهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - مَرَّةً وَاحِدَةً لَا غَيْرُ.
“Tentang kalimat ‘كَانَ يُصَلِّي’, ini menunjukkan bahwa ungkapan ini tidak menunjukkan terjadi beberapa kali secara mutlak, karena Rosulullah ﷺ menggondong Umamah hanya terjadi satu kali.”(Subulus Salam: 1/211)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar