Senin, 28 Agustus 2017

Syubhat : memakai surban itu sunnah?


syubhat :


ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻗﺎﻝ: «ﻛﺎﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫا اﻋﺘﻢ ﺳﺪﻝ ﻋﻤﺎﻣﺘﻪ ﺑﻴﻦ ﻛﺘﻔﻴﻪ» ﻗﺎﻝ ﻧﺎﻓﻊ: ﻭﻛﺎﻥ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﺴﺪﻝ ﻋﻤﺎﻣﺘﻪ ﺑﻴﻦ
  ﻛﺘﻔﻴﻪ
Ibnu Umar berkata bahwa jika Nabi memakai Surban, maka dipanjangkan sampai kedua pundak Nabi. Navi' berkata bahwa Ibnu Umar memanjangkan surbannya diantara kedua pundak nya (HR Tirmidzi)
Syekh Albani: Hadis ini SAHIH
(Silsilah Shahihah 2/336)
Bagaimana cara Surban yang dipakai oleh Nabi?
ﻭﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼﻡ ﻗﺎﻝ: ﻗﻠﺖ ﻻﺑﻦ ﻋﻤﺮ: ﻛﻴﻒ ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻌﺘﻢ؟ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﻳﺪﻭﺭ ﻛﻮﺭ ﻋﻤﺎﻣﺘﻪ ﻋﻠﻰ ﺭﺃﺳﻪ، ﻭﻳﻐﺮﺯﻫﺎ ﻣﻦ ﻭﺭاﺋﻪ، ﻭﻳﺮﺳﻠﻬﺎ ﺑﻴﻦ ﻛﺘﻔﻴﻪ.
Abu Abdissalam bertanya pada Ibnu Umar: Bagaimana cara Nabi memakai Surban? Ibnu Umar menjawab: Nabi memutarkan ujung surbannya di kepalanya, dan ditancapkan dari arah belakang, dan melepaskannya diantara kedua pundak Nabi
ﺭﻭاﻩ اﻟﻄﺒﺮاﻧﻲ ﻓﻲ " اﻷﻭﺳﻂ " ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺭﺟﺎﻝ اﻟﺼﺤﻴﺢ ﺧﻼ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ اﻟﺴﻼﻡ ﻭﻫﻮ ﺛﻘﺔ
HR Thabrani dalam Mu'jam Ausath. Para perawi nya adalah perawi hadis sahih, kecuali Abi Abdissalam, ia terpercaya.

Jawab : he..betapa kasiannya ahli bid'ah..itukah keutamaan memakai surban???itu mah cara pakai surban doang.
قال المباركفوري في شرح الترمذي :
[ ص: 339 ] فائدة أخرى :
لم أجد في فضل العمامة حديثا مرفوعا صحيحا ، وكل ما جاء فيه فهي إما ضعيفة أو موضوعة .
syeikh al mubarokfuri dalam syarh attirmidzi hal 339 berkata : saya tidak menemukan keutamaan memakai surban satu hadits pun yg marfu' dan shohih,semua hadits tentang keutamaan itu cuma dua kemungkinan kalau tidak dho'if/lemah ya palsu

Syekh Utsaimin Membolehkan gelar haji?


syubhat :

ﺳﺌﻞ ﻓﻀﻴﻠﺔ اﻟﺸﻴﺦ: ﻋﻦ ﻗﻮﻝ " ﻳﺎ ﺣﺎﺝ "؟
ﻓﺄﺟﺎﺏ ﺑﻘﻮﻟﻪ: ﻗﻮﻝ: " ﺣﺎﺝ " ﻳﻌﻨﻲ ﺃﺩﻯ اﻟﺤﺞ ﻻ ﺷﻲء ﻓﻴﻬﺎ.

Syekh Utsaimin ditanya tentang panggilan "Wahai Pak Haji".
Syekh Utsaimin menjawab: Haji adalah untuk orang yang sudah melakukan ibadah haji. Tidak apa-apa dalam masalah ini (Majmu' Fatawa wa Rasail 3/97)

jawab : he..ini nampak jelas dari jawaban beliau bahwa perkataan haj untuk mengkabarkan dia telah haji  atau memanggil wahai orang yg telah berhaji, bukan gelar di depan namanya haji fulan seperti sekarang

ٍSyubhat gelar haji setelah pulang berhaji


Syubhat : Salah seorang ulama Wahabi, Syekh Albani, menghukumi bi’dah panggilan haji bagi orang yang sudah melakukan ibadah haji. Pernyataan ini jelas tidak menunjukkan sikap Salaf. Karena, di masa imam-imam dahulu panggilan haji ini sudah diperbolehkan bagi yang sudah melakukan haji:
ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ: " ﻭﻻ ﻳﻘﻮﻟﻦ ﺃﺣﺪﻛﻢ: ﺇﻧﻲ ﺣﺎﺝ ﻓﺈﻥ اﻟﺤﺎﺝ ﻫﻮ اﻟﻤﺤﺮﻡ " ﻣﺮﺳﻞ ﻭﻫﻮ ﻣﻮﻗﻮﻑ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﻣﺴﻌﻮﺩ
Abdullah Ibnu Mas'ud berkata: Janganlah di antara kalian mengatakan "Saya adalah haji. Sebab haji adalah orang yang ihram" riwayat mursal dan mauquf pada Abdullah Ibnu Mas'ud (Sunan Al-Baihaqi)
jawab : lucunya pecinta bid'ah,justru dalam riwayat itu ada larangan memanggil dg haji,kenapa jadi syekh albani yg dituduh?...
syubhat:
Imam Nawawi berkata:
ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻤﻦ ﺣﺞ ﺣﺎﺝ ﺑﻌﺪ ﺗﺤﻠﻠﻪ ﻭﻟﻮ ﺑﻌﺪ ﺳﻨﻴﻦ ﻭﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺗﻪ ﺃﻳﻀﺎ ﻭﻻ ﻛﺮاﻫﺔ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ
Boleh bagi orang yang sudah melakukan ibadah haji dipanggil "haji", meski setelah beberapa tahun dan sesudah wafatnya. Tidak ada kemakruhan dalam masalah ini (Al-Majmu' 8/281).
Tahu kenapa imam Nawawi membolehkan? Sebab sebelum masa beliau gelar haji sudah dikenal, khususnya pada ayahanda beliau sendiri:
ﻭﻓﻴﻬﺎ (٦٨٢) ﻛﺎﻧﺖ ﻭﻓﺎﺓ: اﻟﺤﺎﺝ ﺷﺮﻑ اﻟﺪﻳﻦ اﺑﻦ ﻣﺮﻯ، ﻭاﻟﺪ اﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻴﻲ اﻟﺪﻳﻦ اﻟﻨﻮﻭﻱ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ.
Pada tahun 682 wafat Haji Syarofuddin, ayahnya Syekh Muhyiddin An-Nawawi rahimahullah (Ibnu Katsir, Al Hidayah wan Nihayah 13/363)
Dulu bukan bid’ah, kok sekarang disebut bid’ah?
Jawab : he..itu semua sangat jelas dalam rangka ikhbar yakni mengabarkan kejadian yg telah lalu , bukan talqib alias bukan pemberian gelar.
itu nampak jelas bahwa yg pertama memberi tanda al haj itu ibnu katsir tahun 680 H.itu jelas jauh dari masa salaf.dan yg terpenting itu hanya di kitab-kitab tentang sejarah saja sebagai bentuk ikhbar tadi.jadi kalaupun dikatakan bukan bid'ah,itu bukan bid'ah dalam bahasa sejarah saja bukan pemberian gelar syar'i.
jadi sejak masa salaf dulu memang sudah bid'ah.justru tertulis di kitab siroh/sejarah baru-baru saja.

Sabtu, 26 Agustus 2017

Hukum mengamalkan asmaul husna dengan bilangan tertentu


Seorang muslim tidak boleh menetapkan sesuatu amalan dan fadhilah (keutamaan) kecuali dengan dalil yang shahih dan pemahaman yang benar.

Dan pendapat yang mengatakan bahwa setiap nama dari Asmaul Husna memiliki keutamaan khusus adalah pendapat yang tidak ada dalilnya dan termasuk mengada-ada di dalam agama. Demikian pula mengulang-ulang sebuah nama diantara Asmaul Husna juga tidak ada dalilnya.

Berkata Syeikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafidzahullahu berkata ketika menyebutkan beberapa kesalahan yang terjadi dalam pengamalan asmaul husna:

فمن ذلكم نشرة توزع في الآونة الأخيرة درجت بين العوام والجهال، يزعم كاتبها أن أسماء الله الحسنى لكل اسم منها خاصية شفائية لمرض معين، فلأمراض العين اسم، ولأمراض الأذن اسم، ولأمراض العظام اسم، ولأمراض الرأس اسم، وهكذا، وحدد لتلك الأمراض أعدادا معينة من تلك الأسماء.
وهذا من الباطل الذي ما أنزل الله به من سلطان، ولا قامت عليه حجة ولا برهان، بل ليس في الأذكار المشروعة والرقى المأثورة إلا ما هو جملة تامة، وليس فيها تكرار لاسم بهذه الطريفة المزعومة في تلك النشرة، وقد ارتكب بهذا العمل جنايتين:
الأولى: إدخال الناس في هذا العمل المحدث غير المشروع
الثانية: شغل الناس عن الأذكار المأثورة والرقى المشروعة في الكتاب والسنة

“Diantara (kesalahan-kesalahan tersebut) selebaran yang dibagikan akhir-akhir ini diantara orang awam dan orang-orang yang tidak tahu, penulisnya menyangka bahwa setiap nama diantara nama-nama Allah yang husna keutamaan penyembuhan untuk penyakit tertentu, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit mata, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit telinga, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit tulang, ada nama khusus untuk penyakit-penyakit kepala, dan seterusnya, dengan menentukan untuk setiap penyakit beberapa nama-nama Allah.”

“Ini semua adalah kebathilan yang Allah tidak menurunkan dalil tentangnya, tidak berdasarkan hujjah dan keterangan yang jelas, bahkan yang ada di dalam dzikir-dzikir yang disyariatkan dan ruqyah-ruqyah yang ada dalilnya adalah kalimat yang sempurna, dan tidak ada mengulang-ulang nama, sebagaimana dalam selebaran tersebut.”

dengan amalan ini telah melanggar 2 perkara:
Pertama: Memasukkan manusia di dalam amalan baru yang tidak disyariatkan ini
Kedua: Memalingkan manusia dari dzikir-dzikir dan ruqyah-ruqyah yang disyari’atkan di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. (Fiqh Al-Asmaul Husna hal: 66-67).

Cara yang benar adalah berdoa kepada Allah dengan Asmaul Husna dan berdoa dengan nama Allah yang sesuai dengan keadaannya. Allah ta’ala berfirman:

وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ) (الأعراف:180) )
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Qs. 7:180)

Misalnya:

Ya Syafi, isyfini (Wahai Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)
Ya Rahman, irhamni (Wahai Yang Maha Penyayang, sayangilah aku)
Ya Razzaq, urzuqni (Wahai Yang Maha Pemberi rezeki, berilah aku rezeki)
Kemudian hendaknya mengambil sebab untuk mewujudkan apa yang dia minta seperti bekerja, berobat dll, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah semata.

Jumat, 25 Agustus 2017

Bolehkan melafadzkan niat kurban?


Ucapan yang dilantunkan ketika menyembelih: Allahumma hadza minka wa laka annii [Ya Allah, ini nikmat dari-Mu, qurban untu-Mu, dariku] bukan niat tapi hanya i’lan (mengabarkan). Dia ucapkan itu, sebagai bentuk mengabarkan apa yang ada dalam hatinya.

Imam Ibnu Utsaimin, ulama yang bergelar faqihuz zaman, pernah ditanya, apakah lafal yang diucapkan ketika menyembelih termasuk bentuk melafalkan niat?

Beliau menjawab:

ليس هذا تلفظاَ بالنية ، “لأن قول المضحي : هذه عني وعن أهل بيتي ، إخبار عما في قلبه ، لم يقل اللهم إني أريد أن أضحي . كما يقول من يريد أن ينطق بالنية ، بل أظهر ما في قلبه فقط ، وإلا فإن النية سابقة من حين أن أتى بالأضحية وأضجعها وذبحها فقد نوى” انتهى .

“Ini bukan bentuk melafalkan niat. Karena perkataan orang yang menyembelih: ‘Ini qurban dariku dan keluargaku’ sifatnya sebatas memberitakan apa yang ada dalam hatinya. Karena dia sendiri tidak mengatakan: ‘Ya Allah, saya ingin berqurban.’ Sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang melafalkan niat. Akan tetapi yang dilakukan orang ini hanya menampakkan apa yang ada di hatinya saja. Kerena sesungguhnya niatnya sudah ada ketika hewan qurbannya dibawa, kemudian dibaringkan dan disembelih, berarti dia sudah niat.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 22/20)

Istri boleh minta cerai jika suami suka meninggalkan sholat


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :Suami saya meninggalkan shalat dan saya tahu bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, sementara saya sangat mencintainya dan kami keluarga hidup bahagia karena telah dikaruniai anak. Saya sering menasehatinya, akan tetapi dia selalu mengatakan : “suatu saat nanti saya akan mendapat petunjuk” Apa hukumnya jika saya meneruskan pernikahan tersebut?

Jawaban
Tidak boleh seseorang bertahan terhadap suami yang meninggalkan shalat karena dia mengetahui bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir. Maka dilarang bagi istri mempertahankan hidup bersama seorang suami yang telah dianggap kafir, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka” [Al-Mumtahanah : 10]

Dalam ayat di atas, wanita muslimah tidak halal bagi laki-laki kafir dan begitu pula sebaliknya, dengan demikian, sebaiknya wanita tersebut segera meninggalkan suaminya ini dan segera pisah sebab suami tersebut sudah tidak halal baginya. Mengenai cinta dan kemesraan hidup yang telah dijalani bersama suaminya, apabila mengetahui bahwa suami tersebut sudah tidak halal lagi baginya dan sudah menjadi orang lain, maka cinta dan kemesraan itu akan hilang dengan sendirinya sebab kecintaan seorang mukmin hanyalah kepada Allah, dan aturan Allah di atas segala-galanya. Setelah itu laki-laki tersebut tidak berhak menjadi wali bagi anak-anaknya, karena wali bagi seorang muslim harus beragama Islam.

Sebaiknya wanita tersebut selalu memberi nasehat kepada suaminya agar kembali ke jalan kebenaran dan melepas baju kekafiran serta segera menunaikan shalat sebaik mungkin dengan disertai amal shalih. Apabila suami tersebut bertetap hati dan bersungguh-sungguh pasti Allah akan memudahkan semuanya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah” [Al-Lail : 5-7]

Dan saya nasehatkan kepada sang suami agar bertaubat kepada Allah agar istri dan anak-anaknya tetap hidup bersamanya, bila tidak bertaubat, maka akan kehilangan istri dan anak-anaknya serta tidak dianggap kewaliannya.

[Fatawa Nurun Ala Darb Syaikh Utsaimin, hal. 89]

Hukum pembacaan Diba' maulid


pembacaan diba’ pada saat perayaan tersebut, ataupun lainnya, tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam. Karena pada di zaman Nabi Muhammad n dan para sahabat, diba itu tidak ada. Diba’ yang dimaksudkan ialah Maulid Ad Daiba’ii, buku yang berisi kisah kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan pujian serta sanjungan kepada Beliau. Banyak pujian tersebut yang ghuluw (berlebihan, melewati batas). Misalnya seperti perkataan:

فَجْرِيُّ الْجَبِيْنِ لَيْلِيُّ الذَّوَآئِبِ * اَلْفِيُّ الْأََنْفِ مِيْمِيُّ الْفَمِ نُوْنِيُّ الْحَاجِبِ *
سَمْعُهُ يَسْمَعُ صَرِيْرَ الْقَلَمِ بَصَرُهُ إِليَ السَّبْعِ الطِّبَاقِ ثَاقِبٌ *

Dahi Beliau (Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) seperti fajar, rambut depan Beliau seperti malam, hidung Beliau berbentuk (huruf) alif, mulut Beliau berbentuk (huruf) mim, alis Beliau berbentuk (huruf) nun, pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir), pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi). [Lihat Majmu’atul Mawalid, hlm. 9, tanpa nama penerbit. Buku ini banyak dijual di toko buku-toko buku agama].

Kalimat “pendengaran Beliau mendengar suara qolam (pena yang menulis taqdir)”, jika yang dimaksudkan pada saat mi’raj saja, memang benar, sebagaimana telah disebutkan di dalam hadits-hadits tentang mi’raj. Namun jika setiap saat, maka ini merupakan kalimat yang melewati batas. Padahal nampaknya, demikian inilah yang dimaksudkan, dengan dalil kalimat berikutnya, yaitu kalimat “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”. Dan kalimat kedua ini juga pujian ghuluw (melewati batas). Karena sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui perkara ghaib. Yang mengetahui perkara ghaib hanyalah Allah Azza wa Jalla. Allah berfirman:

قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ 

Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. [An Naml:65].

‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah menerima tuduhan keji pada peristiwa “haditsul ifk”. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui kebenaran tuduhan tersebut, sampai kemudian turun pemberitaan dari Allah dalam surat An Nuur yang membersihkan ‘Aisyah dari tuduhan keji tersebut. Dan buku Maulid Ad Daiba’ii berisi hadits tentang Nur (cahaya) Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang itu adalah hadis palsu.

Dalam peristiwa Bai’atur Ridhwan, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengetahui hakikat berita kematian Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu 'anhu, sehingga terjadilah Bai’atur Ridhwan. Namun ternyata, waktu itu Utsman Radhiyallahu 'anhu masih hidup. Bahkan Allah Subahnahu wa Ta'ala memerintahkan RasulNya untuk mengumumkan:

قُل لآأَقُولُ لَكُمْ عِندِى خَزَآئِنُ اللهِ وَلآأَعْلَمُ الْغَيْبَ

Katakanlah: "Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib”. [Al An’am:50].

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, bagaimana mungkin seseorang boleh mengatakan “pandangan Beliau menembus tujuh lapisan (langit atau bumi)”?

Semoga jawaban ini cukup bagi kita. Kesimpulan yang dapat kita ambil, bahwa selamatan kehamilan dan pembacaan diba’ termasuk perbuatan maksiat, karena termasuk bid’ah.

Sholat id di masjid sunnah atau bid'ah?


Ditekankannya pensyariatan shalat ‘Îd di tanah lapang.Ini adalah Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melaksanakannya di masjid, menurut madzhab Imam Malik t adalah (perbuatan) bid’ah

 kecuali jika ada alasan darurat (mendesak) untuk melaksanakannya di masjid, maka ini bukan perbuatan bid’ah. Karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya (shalai ‘Îd di masjid) dan juga para al-Khulafâ’ ar-râsyidîn (para Khalifah yang lurus, yaitu Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali Radhiyallahu anhum) sepeninggal Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam [ Kitab al-Madkhal, 2/283],

Pendapat ini didukung dan dikuatkan oleh Syaikh al-Albani, beliau rahimahullah berkata, “Hadits-hadits shahih (yang telah kami nukilkan sebelumnya) dan selainnya, kemudian perbuatan generasi pertama (umat ini yaitu para Sahabat Radhiyallahu anhum) yang selalu ( melaksanakan shalat ‘Îd di tanah lapang), lalu pernyataan para Ulama (Ahlus sunnah), semua itu menunjukkan bahwa (pelaksanaan) shalat ‘Îd di masjid-masjid saat ini (tanpa adanya ‘udzur syar’i) adalah (perbuatan) bid’ah …”[Kitab Shalâtul ‘Îdaini fil Mushalla Hiya as-Sunnah, hlm. 36]

Su'udhon yg di bolehkan


Allah berfirman,

إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“Karena sebagian dari prasangka itu dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Pemahaman kebalikannya, ada sebagian prasangka yang bukan dosa.

Al-Qurthubi mengatakan,

والظن في الشریعة قسمان محمود ومذموم ، فالمحمود منه : ما سلم معه دین الظان والمظنون به عند بلوغه . والمذموم : ضده

Dzan dalam syariat ada 2: terpuji dan tercela. Dzan yang terpuji adalah dzan yang tidak membahayakan agama orang yang berprasangka dan orang yang menjadi sasaran prasangka, ketika itu sampai kepadanya. Sementara dzan yang tercela adalah dzan kebalikannya. (Tafsir al-Qurthubi, 16/332).

Kemudian al-Qurthubi menyebutkan firman Allah di surat al-Hujurat: 12.

Diantara dzan yang boleh adalah dzan kepada orang yang secara lahiriyah dia jahat, atau terbiasa melakukan maksiat secara terang-terangan.

As-Syaukani mengatakan,

فأما أهل السوء والفسوق ، فلنا أن نظن بهم مثل الذي ظهر منهم

Untuk orang jahat, berakhlak jelek, menurut kami, kita boleh memiliki suudzan sesuai yang mereka tampakkan. (Fathul Qadir, 7/16)

Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam pernah suudzan kepada orang munafik. Beliau mengatakan kepada Aisyah,

مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا

Saya menyangka fulan dan fulan sama sekali tidak mengerti agama kita. (HR. Bukhari 6067)

kata Laits bin Sa’d, yang dimaksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dua orang dari kalangan munafiq.

Ini juga yang dilakukan para sahabat, ketika mereka melihat ada orang yang secara lahiriyah bermasalah.

Seperti, prasangka para sahabat untuk orang yang tidak hadir shalat jemaah.

Ibnu Umar mengatakan,

إنا كنا إذا فقدنا الرجل في عشاء الآخرة أسأنا به الظن

Dulu, ketika kami tidak menemukan seseorang ketika jamaah isya, maka kami memiliki suudzan kepadanya.

Karena itu, boleh saja orang suudzan kepada orang lain yang memiliki gelagat bermasalah.

Hukum menyembelih qurban dan mencacah daging di masjid


Jika shalat di tempat jagal hukumnya terlarang, maka sangat tidak layak jika masjid dijadikan tempat penyembelihan. Inilah yang menjadi alasan fatwa Syaikhul Islam yang melarang menyembelih hewan di masjid.

Beliau ditanya tentang hukum menyembelih qurban di masjid.

Jawaban Syaikhul Islam,

لا يجوز أن يذبح في المسجد: لا ضحايا ولا غيرها، كيف والمجزرة المعدة للذبح قد كره الصلاة فيها، إما كراهية تحريم، وإما كراهية تنزيه ؛ فكيف يجعل المسجد مشابها للمجزرة، وفي ذلك من تلويث الدم للمسجد ما يجب تنزيهه

Tidak boleh menyembelih apapun di masjid, baik qurban maupun  yang lainnya. Bagaimana mungkin menyembelih dilakukan di masjid, sementara tempat jagal termasuk tempat yang tidak boleh digunakan untuk shalat. Bisa larangan haram atau larangan makruh. Sehingga bagaimana mungkin masjid dijadikan seperti tempat jagal binatang. Padahal ini bisa mengotori masjid dengan darah, yang seharusnya dibersihkan. (al-Fatawa al-Kubro, 2/85)

Berdasarkan keterangan di atas, hindari setiap kegiatan mengotori masjid dengan kotoran hewan qurban, seperti mencacah daging di masjid.

Kamis, 24 Agustus 2017

Islam agama merdeka


َالا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
Ketahuilah  milik allah agama yg murni,bebas,merdeka dari penghambaan

makna merdeka
 1 bebas (dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya); berdiri sendiri:
Kalau ada seorang penceramah berucap di atas mimbar, “Sungguh perbuatan syirik dan pelanggaran tauhid sering terjadi dan banyak tersebar di masyarakat kita!”, mungkin orang-orang akan keheranan dan bertanya-tanya: “Benarkah itu? Mana buktinya?”. Tapi kalau sumber beritanya berasal dari firman Allâh k dalam al-Qur’ân, masihkah ada yang meragukan kebenarannya?. Simaklah, Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُم بِاللَّهِ إِلَّا وَهُم مُّشْرِكُونَ
 "Dan sebagian besar manusia tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan-Nya (dengan sembahan-sembahan lain)". [Yûsuf/12:106]
Dalam hadits yang shahih, Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih menegaskan hal ini:
 لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَلْحَقَ قَبَائِلُ مِنْ أُمَّتِي بِالْمُشْرِكِينَ وَحَتَّى يَعْبُدُوا الأَوْثَانَ

  "Tidak akan terjadi hari kiamat sampai beberapa qabilah (suku/kelompok) dari umatku bergabung dengan orang-orang musyrik dan sampai mereka menyembah berhala (segala sesuatu yang disembah selain Allâh)" [Hadits shahih riwayat Abu Dâwud no. 4252, at-Tirmidzi no. 2219 dan Ibnu Mâjah no. 3952.]
Disebutkan dalam salah satu hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya : ”Dosa apakah yang paling besar?” Beliau menjawab :
  أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ
"Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu" [HR. Al Bukhari dalam kitab tafsir bab tentang ayat :” Dan orang-orang yang tidak menyeru kepada ilah lain selain Allah.” 3/271; . Muslim dalam kitab Iman bab Syirik adalak seburuk-buruk dosa. 1/91 dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu.].
Berlebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri yang melarang hal ini dalam sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Janganlah kalian berlebihan dan melampaui batas dalam memujiku seperti orang-orang Nashrani berlebihan dan melampaui batas dalam memuji (Nabi Isa) bin Maryam, karena sesungguhnya aku adalah hamba (Allâh), maka katakanlah: hamba Allâh dan rasul-Nya". [12] Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang hamba yang tidak mungkin ikut memiliki sebagian dari sifat-sifat khusus yang dimiliki Allâh Azza wa Jalla, seperti mengetahui ilmu gaib, memberikan manfaat atau mudharat bagi manusia, mengatur alam semesta, dan lain-lain. Allâh Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُل لَّا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ ۚ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
 "Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan seandainya aku mengetahui yang gaib, tentulah aku akan melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". [al-A’râf/7:188] Di antara Bentuk Pengagungan Yang Berlebihan Dan Melampaui Batas Kepada Rasulullâh Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah sebagai berikut: - Meyakini bahwa beliau mengetahui perkara yang gaib dan bahwa dunia diciptakan karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. - Memohon kesembuhan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena semua perkara ini adalah khusus milik Allâh Subhanahu wa Ta'ala dan tidak ada seorang makhluk pun yang ikut serta memilikinya.
2 tidak terkena atau lepas dari tuntutan manusia: -- mengikuti agama lain,islam agama sempurna,bebas tuntutan tradisi masyarakat
Tidak Peduli Dengan Celaan Dan Pujian Manusia. Banyak orang binasa karena takut celaan manusia, senang dipuji, hingga tindak- tanduknya menuruti keridhaan manusia, mengharapkan pujian dan takut terhadap celaan mereka. Padahal yang seharusnya diperhatikan adalah, hendaknya kita bergembira dengan keutamaan dan rahmat dari Allah, bukan dengan pujian manusia.  Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

 "Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan
 rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [Yunus : 58].
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Hadiid : 16].
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan :
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20, tahqiq : Saamiy bin Muhammad Salaamah; Daarith-Thayyibah, Cet. 2/1420].
Allah telah berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لا يَعْلَمُونَ
“Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” [QS. Al-Munaafiquun : 8].
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]

3 tidak terikat, tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu; leluasa:
Dari Abul-Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idi rodhiallohu ‘anhu dia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkan aku suatu amal, jika aku lakukan akau akan dicintai Alloh dan dicintai oleh manusia. “Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya dicintai Alloh dan zuhud lah terhadap apa yang dimiliki orang lain, niscaya mereka akan mencintaimu” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan imam yang lainnya dengan sanad yang shahih)
Ummul-Mukminin ’Aisyahradliyallaahu ’anhaa :
وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ مُحَمَّدًَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَمَ شَيْئًَا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ عَلَيْهِ، فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَيْهِ الْفِرْيَةًَ، واللهُ يَقُوْلُ : (يَا أَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَه)
“Dan barangsiapa yang menyangka Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallammenyembunyikan sesuatu dari apa-apa yang diturunkan Allah, sungguh ia telah membuat kedustaan yang sangat besar terhadap Allah. Padahal Allah telah berfirman : ”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.”(QS. Al-Maidah : 67) [HR. Al-Bukhari no. 7380 dan Muslim no. 177].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tidak ada satupun perintah Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian, begitu juga tidak ada satupun larangan Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian" [Ash-Shahihah No. 1803]
Dalam Ar-Risalah, Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah mengatakan :
 إِنَّمَا الاستحسانُ تلذُّنٌ
“Sesungguhnya anggapan baik (al-istihsan) hanyalah menuruti selera hawa nafsu” [Ar-Risalah, hal. 507].

Solusi hamil sebelum nikah


Lelaki maupun wanita yang berzina dan dia belum bertaubat maka dia berhak disebut sebagai pezina. Jika keduanya menikah sementara belum bertobat dengan sebenar-benarnya, maka berarti pernikahan yang terjadi adalah pernikahan antara pezina. Karena itu, bagi yang terjerumus ke dalam perbuatan haram ini, segeralah bartobat. Memohon ampunan kepada Allah dengan disertai perasaan sedih dan bersalah. bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Semoga Allah mengampuni dan menerima taubat anda. Jika tidak, maka selamanya label pezina akan disandangnya. Sebelum membahas nikah, kami tegaskan untuk dengan serius bertobat terlebih dahulu. Baru setelah itu, memungkinkan untuk pembahasan pernikahannya.

tentang hukum menikah dengan wanita yang berzina dengannya. Ulama menjelaskan bahwa dalam masalah ini hukumnya dibagi menjadi dua:

Zina yang tidak sampai hamil. Lelaki tersebut hanya boleh menikahi sang wanita, jika rahimnya telah dipastikan bersih dan tidak ada janin (disebut dengan istibraa’). Acuannya adalah terjadinya haid. jika sang wanita sudah mengalami haid sekali maka keduanya boleh menikah.

Zina yang menyebabkan hamil. Lelaki tersebut tidak boleh menikahi wanita yang hamil dengan dirinya, sampai sang wanita melahirkan janinnya. Karena itu, tidak boleh bagi keluarga wanita untuk menikahkan putri yang sedang hamil dengan lelaki yang menghamilinya. Jika tetap dinikahkan maka nikahnya batal, dan semua hubungan setelah nikah batal adalah hubungan zina. Dengan demikian, menikahkan wanita hamil dengan lelaki yang menghamilinya sebelum dia melahirkan, justru akan menambah dosa. Karena dalam pernikahan ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, yaitu melegalkan perzinaan atas nama nikah. Semua ini ditetapkan agar air mani hasil zina tidak bercampur dengan air mani hasil nikah. Karena air mani zina hukumnya haram dan air mani nikah hukumnya halal. Dan tidak boleh mencampurkan antara yang halal dengan yang haram.

Anak hasil zina tidak boleh di-Bin-kan kepada bapak biologisnya, tetapi nanti di-Bin-kan kepada ibunya. Misal: Dono bin Siti. Karena anak itu bukan anak bapak biologis. Meskipun dia menjadi suami ibunya. Siapa yang meng-Bin-kan anak tersebut kepada bapaknya dia terkena ancaman, sebagaimana dalam hadis berikut,

Dari Abu Bakrah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mengaku anaknya seseorang yang bukan bapaknya, dan dia mengetahuinya maka surga haram baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sementara bapak biologis bukanlah bapaknya, karena itu, haram hukumnya untuk menge-Bin-kan dirinya kepada bapak biologisnya.

Subhaanallah...betapa banyaknya kerusakan yang ditimbulkan akibat perzinaan. Mulai dari kerusakan sosial, hingga bentuk mengubah nasab seseorang.

Rabu, 23 Agustus 2017

Mertua Tiri Apakah Mahram?


Gambarannya ayah istri kita mempunyai dua istri (poligami). Nah… apakah Ibu tirinya istri; yakni anggaplah istri ke-duanya ayah mertua, mahram untuk kita sebagai suami anak tirinya?

Dari ketiga sebab mahram di atas, ternyata tidak ada satupun sebab yang menggolongkan mertua tiri sebagai mahram. Tidak hubungan nasab, susuan, tidak pula pernikahan. Ini menunjukkan, bahwa mertua tiri bukan termasuk mahram. Sehingga tidak berlaku hukum-hukum mahram untuk mertua tiri.

Syaikh Abdulaziz bin Baz –rahimahullah– pernah ditanya tentang mertua tiri apakah mahram. Beliau menjawab,

زوجة الأب لا تكون محرما لزوج ابنته من غيرها ، وإنما المحرمية تكون لأم الزوجة بالنسبة إلى زوج ابنتها ؛ لقول الله عز وجل في بيان المحرمات من النساء : ( وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ )

Istri ayah (ibu tiri), bukanlah mahram untuk suami anak perempuan dari istri yang lainnya (suami anak perempuan tiri). Yang menjadi mahram untuk suami anak perempuannya adalah, ibu kandung istrinya. Berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla disaat menjelaskan tentang mahram-mahram perempuan, “Kemudian ibu-ibu mertua kalian…” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 21/15-16)

Apakah panitia itu amil?


Apakah panitia boleh meminta upah?

Panitia boleh meminta upah dari pemilik hewan, atas jasanya menangani hewan qurban. Karena wakil, boleh mendapatkan upah untuk tugas yang diwakilkan kepadanya (wakalah bil ujrah).

Hanya saja, ada persyaratan yang harus dipenuhi,

[1] Upah untuk panitia, tidak boleh diambilkan dari hasil qurban.

Jika upahnya diambilkan dari hasil qurban, berarti sohibul qurban mendapatkan sebagian manfaat berupa keuntungan secara finansial, dan ini tidak diperbolehkan.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا . قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk menangani onta kurbannya, mensedekahkan dagingnya, kulitnya, dan asesoris onta. Dan saya dilarang untuk memberikan upah jagal dari hasil qurban. Ali menambahkan: Kami memberikan upah dari uang pribadi. (HR. Bukhari 1717 & Muslim 1317).

Karena itu, upah diberikan dari uang pribadi sohibul qurban, di luar harga hewan qurban.

[2] Upah nilainya harus tertentu, jelas di depan

Misal, untuk pengelolaan seekor kambing upahnya 100rb. insyaaAllah praktek di masyarakat kita benar.

Hanya bagian ini yang menjadi hak panitia. Karena itu, mereka tidak boleh meminta jatah daging khusus sebagai tambahan upah. Tidak ada istilah jatah amil, karena panitia bukan amil.

benarkah nama thoyyib itu makruh?


1️⃣ Apakah Ath Thayyib الطيب adalah nama Allah Ta'ala:
1. Pendapat sebagian ulama berpendapat bahwa ia nama Allah.
2. Pendapat yang kedua (jumhur) bukan nama Allah tetapi dia termasuk sifat.
باب الصفات أوسع من باب الأسماء
Bab Sifat Allah lebih luas dari Bab Nama.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua, karena biasanya nama Allah disertai dengan kata Mu'arraf (ال).
Jika mengambil pendapat pertama maka tetap boleh seorang manusia dinamai Ath Thayyib karena nama tersebut tidak khusus bagi Allah Ta'ala.

Selasa, 22 Agustus 2017

Tiada alasan tidak berkurban


Imam Syafi’i rahimahullah berkata,

لاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا لِمَنْ قَدَّرَ عَلَيْهَا

“Aku tidaklah memberi keringanan untuk meninggalkan berkurban bagi orang yang mampu menunaikannya.” (Ahkamul Udhiyah wal ‘Aqiqah wat Tadzkiyah, hal. 12).

Qiyas tidak boleh bertentangan sunnah


Qadhi Syuraih rahimahullah berkata, “celakalah kalian, sungguh sunnah telah mendahului qiyasmu, maka ikutilah sunnah jangan membuat kebid’ahan, karena kalian tidak akan tersesat selagi masih mengambil atsar.” [HR. Ad-Darimi dalam sunannya, (202) 1/71]

Yang benar hajinya itu sedikit


Syuraih al-Qâdhi: "Yang (benar-benar) berhaji sedikit, meski jama`ah haji banyak. Alangkah banyak orang yang berbuat baik, tapi alangkah sedikit yang ikhlas karena Allah Azza wa Jalla ."[Lathâiful Ma'ârif 1/257 ]

tanda haji mabrur


Di antara amalan khusus yang disyariatkan untuk meraih haji mabrûr adalah bersedekah dan berkata-kata baik selama haji. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang maksud haji mabrûr, maka beliau menjawab:

إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ

Memberi makan dan berkata-kata baik.[HR. al-Baihaqi 2/413 (no. 10693), dihukumi shahîh oleh al-Hâkim dan al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah 3/262 (no. 1264)]

Selasa, 08 Agustus 2017

Hubungan thoriqoh naqsabandi dengan syiah



1. Thariqat ini di nisbatkan kepada Muhammad bin Baha'uddin An-Naqsyabandiy Al-Bukhariy. kemudian lebih dikenal sebagai Syah Naqsyabandi. wafat pada tahun 781 H.
2. Versi lain menyebutkan Thariqat ini menisbatkan diri kepada Abu Yazid Al-Busthamiy. Wafat 261 H.
(Biografi beliau disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Bidayah Wan Nihayah dan oleh Imam Adz-Dzhabiy dalam Siyar. di antara ucapan beliau yang masyhur adalah :

إذا رأيت الرجل قد أعطي من الكرامات حتى يرتفع في الهواء، فلا تغتروا به حتى تنظروا كيف تجدونه عند الأمر والنهي، وحفظ الحدود والوقوف عند الشريعة

"Apabila kamu melihat seorang telah diberikan bagian dari ke-karomahan yang sampai (bisa) meninggi di udara (baca: terbang) maka janganlah kalian tertipu daya dengannya sehingga kalian melihat bagaimana dia di sisi perintah (Allah) dan larangan (Allah), dan bagaimana ia menjaga batasan-batasan Allah dan ketaatannya di sisi Syariat.")
3. Silsilah emas keguruan Thariqat Naqsyabandiyyah mengerucut ke para imam sekte (syia'ah) Rafidlah. dari itu kita dapati mereka memiliki kecenderungan kepadanya.
[ Ath-Thuruqush Shufiyyah oleh Dr. Abdullah As-Shaliy 1/ 91/ lihat tautan gambar ]
Penceramah yang membaiat diri kepada Thariqat ini maka waspadakan diri Anda darinya.

copas

Senin, 07 Agustus 2017

Hukum Kurban hewan hamil

hukum asalnya sah, tidak masalah, cuma lebih afdhol bukan yang lagi hamil.
 
ﻭﻓﻲ ” ﺣﺎﺷﻴﺔ ﺍﻟﺒﺠﻴﺮﻣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺨﻄﻴﺐ (335 / 4) ” ﻭﻫﻮ ﻣﻦ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ: ” ﻭﺍﻟﺤﺎﻣﻞ ﻻ ﺗﺠﺰﺉ, ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻌﺘﻤﺪ ] ﻳﻌﻨﻲ : ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ؛ [ ﻷﻥ ﺍﻟﺤﻤﻞ ﻳﻨﻘﺺ ﻟﺤﻤﻬﺎ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻋﺪﻭﻫﺎ ﻛﺎﻣﻠﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ، ﻷﻥ ﺍﻟﻘﺼﺪ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻨﺴﻞ ﺩﻭﻥ ﻃﻴﺐ ﺍﻟﻠﺤﻢ" ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺑﺘﺼﺮﻑ
 
Wa'alaikumussalam, menurut qoul mu'tamad madzhab syafi'i : hewan yg sedang hamil tidak mencukupi untuk dijadikan qurban, [ref: kitab bujaeromi juz 4 hal 335].
 
  وصحح ابن الرفعة الإجزاءحاشية البجيرمى على شرح منهج الطلاب
 
dalam jilid 4 hal 454 (dalam kitab majmuu’, imam nawawi memilih pendapat dari ashhab imam syafi’i yang mengatakan mencegah qurban dgn hewan yg sedang hamil,dan imam ibnu rif’ah menshohihkan pendapat yang mengatakan “cukup”). [Hasyiah bujaeromi 'ala syarh minhaj ath thulab jld 4 hal 454, Daarl fikr, Beirut]
Yang kedua ini,sy langsung comot dari kitabnya.
Cara menyikapi bila ada muslimin yang akan berkurban dgn hewan yang hamil, seyogyanya jangan ditolak, mengacu pada qoul ibnu rif’ah, walau pendapat imam nawawi jadi qoul mu’tamad madzhab syafi’i.

Dalam kitab Fat_hul Mu’in (I’anah 2/330) disebutkan :
 
وَالْمُعْتَمَدُ عَدَمُ إِجْزَاءِ التَّضْحِيَةِ بِالْحَامِلِ خِلَافًا لِمَا صَحَّحَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ 
 
Menurut pendapat yang mu’tamad, qurban tidak cukup dengan hewan yang bunting, berbeda dengan pendapat yang dishahihkan oleh Ibnurrif’ah.
keadaan hamilnya hewan tidak berpengaruh terhadap keabsahan hewan kurban. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a’lam. (lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/373)