Sabtu, 30 September 2017

Anakmu penolongmu atau musuhmu?


Jangan sampai salah mendidik karena hasil didikan akan sangat terasa di penghujung usia kita.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan,
ﺍﻛﺜﺮ ﺍﻷﻭﻻﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﺟﺎﺀ ﻓﺴﺎﺩﻫﻢ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﺍﻵﺑﺎﺀ, ﻭﺇﻫﻤﺎﻟﻬﻢ, ﻭ ﺗﺮﻙ ﺗﻌﻠﻴﻤﻬﻢ ﻓﺮﺍﺋﺾ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻭﺳﻨﻨﻪ, ﻓﻀﺎﻋﻮﻫﻢ ﺻﻐﺎﺭﺍ
“Kebanyakan kerusakan anak disebabkan karena orangtua mereka, mereka menelantarkannya dan tidak mengajarkan anak ilmu dasar-dasar wajib agama dan sunnah-sunnahnya. Mereka menyia-nyiakan anak-anak di masa kecil mereka.”

 ﻳﺎﺃﺑﺖ, ﺇﻧﻚ ﻋﻘﻘﺘﻨﻲ ﺻﻐﻴﺮﺍ ﻓﻌﻘﻘﺘﻚ ﻛﺒﻴﺮﺍ, ﻭﺃﺿﻌﺘﻨﻲ ﻭﻟﺪﺍ ﻓﺄﺿﻌﺘﻚ ﺷﻴﺨﺎ
“Wahai ayahku, sungguh engkau mendurhakaiku di waktu kecil maka aku pun mendurhakaimu dikala aku besar. Engkau menelantarkanku di waktu kecil maka aku terlantarkan engkau di kala tua nanti.”
[ Tuhfatul Maulud hal. 387]

Jangan dikira maksiat tidak berpengaruh ke kejiwaan anak istri kita
Sebagian ulama berkata,

إن عصيت الله رأيت ذلك في خلق زوجتي و أهلي و دابتي

 “Sungguh, ketika bermaksiat kepada Allah, aku mengetahui dampak buruknya ada pada perilaku istriku, keluargaku dan hewan tungganganku.”

Tidak mungkin anak memintakan ampun orangtuanya kalau tidak dikenalkan tuhannya dan rasulnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ

“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”.[ HR Ibnu Hibban 9/338,Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no 1784]

Bisa jadi anak ujian yg menggagalkan kita masuk syurga
Allah berfirman,

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah fitnah/ujian (bagimu).” (At-Taghabun: 15)
Pastikan anak menjadi pengingat alloh bukan melalaikannya
Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah.” (Al-Munafiqun: 9)

Luangkan waktu mendidik keluarga walau sebentar,begitu pula istri berkewajiban menemani anaknya belajar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرجل راع على أهل بيته، وهو مسئول عنهم، والمرأة راعية على بيت بعلها وولده

“Seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin bagi anggota keluarga suaminya serta anak-anaknya (HR. Bukhari 893 dan Muslim 1829).

Hukum kirim al fatihan kepada nabi?

Imaduddin Ibnul Athar muridnya an-Nawawi pernah ditanya,
هل تجوز قراءة القرآن وإهداء الثواب إليه صلى الله عليه وسلم وهل فيه أثر؟
Bolehkah membaca al-Quran dan menghadiahkan pahalanya untuk Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam? Adakah dalil praktek sahabat dalam masalah ini?
Jawaban yang beliau sampaikan,
أما قراءة القرآن العزيز فمن أفضل القربات ، وأما إهداؤه للنبي صلى الله عليه وسلم فلم ينقل فيه أثر ممن يعتد به ، بل ينبغي أن يمنع منه ، لما فيه من التهجم عليه فيما لم يأذن فيه ، مع أن ثواب التلاوة حاصل له بأصل شرعه صلى الله عليه وسلم ، وجميع أعمال أمته في ميزانه
Membaca al-Quran, termasuk amal soleh yang sangat utama. Akan tetapi, menghadiahkannya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah ada nukilan yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan sebaliknya, selayaknya amalan ini dicegah karena termasuk membebani diri yang tidak disyariatkan. Sementara pahala bacaan al-Quran juga beliau dapatkan, disebabkan beliau yang pertama kali mensyariatkannya. Dan semua amal umatnya juga sama. (Mawahib al-Jalil, 3/520).
Kemudian juga dinyatakan oleh as-Sakhawi – murid Ibn Hajar al-Asqalani – beliau ditanya tentang orang yang membaca al-Quran, lalu dia hadiahkan pahalanya untuk menambah kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jawaban beliau,
هذا مخترع من متأخري القراء لا أعلم لهم سلفا فيه
Ini perbuatan bid’ah, yang dibuat-buat oleh para pembaca al-Quran geenerasi belakangan ini. Saya tidak mengetahui adanya ulama pendahulu untuk mereka dalam masalah ini. (Mawahib al-Jalil, 3/520)

Jumat, 22 September 2017

10 HADIAH BUAT SYIAH SAAT ASYURO

syiah tak mampu menjawab 10 pertanyaan seputar kedua ritual tersebut:
  1. Jika duka mengenang kematian adalah ritual yang baik, mengapa Husein tidak memperingati wafatnya Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan majelis duka padahal ia hidup selama 21 tahun sepeninggal sang ayah?
  2. Mengapa pula anak-anak Ali bin Abu Thalib lainnya dan juga keturunannya tidak mengenang wafatnya Ali dengan majelis duka tiap tahun?
  3. Ali bin Abu Thalib juga wafat terbunuh. Jika tathbir adalah ritual yang baik, mengapa pula Husein tidak melukai dirinya sendiri demi mengenang duka atas wafatnya Ali?
  4. Mengapa pula anak-anak Ali bin Abu Thalib lainnya dan juga keturunannya tidak mengenang wafatnya Ali dengan tathbir tiap tahun?
  5. Kalaupun majelis duka tahunan khusus untuk wafatnya Husein, mengapa anak keturunan Husein tidak menggelar majelis duka tiap tahun dan ritual itu baru digelar pada mulai tahun 352 Hijriyah, 3 abad setelah wafatnya Husein?
  6. Kalaupun tathbir khusus untuk memperingati wafatnya Husein, mengapa anak keturunan Husein tidak menggelar majelis duka tiap tahun dan ritual itu baru digelar lebih dari 3 abad setelah wafatnya Husein?
  7. Mengapa hanya Husein yang disebut-sebut di hari asyura dan diperingati syiah, padahal pada tanggal 10 Muharram 61 H itu wafat pula Muhammad bin Ali bin Abu Thalib bersama Husein bin Ali bin Abu Thalib?
  8. Mengapa hanya Husein yang disebut-sebut di hari asyura dan diperingati syiah, padahal pada tanggal 10 Muharram 61 H itu wafat pula Abu Bakar bin Ali bin Abu Thalib bersama Husein bin Ali bin Abu Thalib?
  9. Mengapa hanya Husein yang disebut-sebut di hari asyura dan diperingati syiah, padahal pada tanggal 10 Muharram 61 H itu wafat pula Utsman bin Ali bin Abu Thalib bersama Husein bin Ali bin Abu Thalib?
  10. Jika menurut kaum Syiah Ali bin Abu Thalib benci kepada Abu Bakar dan Ustman, mengapa Ali memberi nama putranya dengan nama mereka? Dan keduanya pun wafat terbunuh bersama Husein.

MATI MEMBELA TANAH AIR BUKAN MATI SYAHID

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,
“Jika niatan seseorang dalam berperang hanyalah untuk membela tanah air, maka itu adalah niatan yang keliru. Niat seperti itu sama sekali tidaklah bermanfaat. Tidak ada beda antara muslim dan kafir jika niatannya hanyalah untuk membela tanah air. Sedangkan hadits yang menyebutkan “hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman)”, ini adalah hadits dusta, yang bukan berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Cinta tanah air jika yang dimaksud adalah cinta negeri Islam, maka itu disukai karena yang dibela adalah Islam. Namun sebenarnya tidak ada beda antara negerimu dan negeri Islam yang jauh, semua adalah negeri Islam yang wajib dibela.
Jadi patut diketahui niat yang benar ketika berperang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela negeri kita yang termasuk negeri Islam, bukan sekedar membela tanah air.” (Syarh Riyadhus Sholihin, 1: 66).
Beliau mengatakan pula di halaman yang lain,
“Yang harus diperhatikan bahwa di berbagai media banyak yang berkoar ketika berjihad (berperang) dengan menuliskan ‘ayo bela tanah air kita, ayo bela tanah air!’ Ini bukan Islam yang dibela. Ini sungguh kekurangan yang besar. Harusnya umat Islam diarahkan ke jalan yang benar ketika ingin berjihad.” (Idem, hal. 69).
Faedah lain dari hadits ini diterangkan oleh Syaikh Musthofa Al Bugho hafizhohullah, “Yang disebut keutamaan jihad di jalan Allah adalah jika Islam yang dibela. Akan tetapi hal ini tidaklah menghalangi untuk tetap memandikan orang yang mati di medan perang dan dianggap sebagai syahid sehingga ketika matinya tidak mandikan, tidak dikafani, tidak dishalati, namun langsung dikuburkan. Sedangkan niatan yang benar atau keliru dari orang yang mati tersebut, semuanya diserahkan pada Allah.” (Nuzhatul Muttaqin, hal. 16).

Selasa, 05 September 2017

Hadits ghudhaif minta dibacakan yasin saat sakarotul maut?


Syubhat:
Ahmad bin Hanbal (Diriwayatkan juga oleh Ibnu Sa'd dalam al-Thabaqat 7/443 dan Ibnu Katsir dalam tafsirnya)

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ حَدَّثَنِي أَبِي ثَنَا أَبُوْ الْمُغِيْرَةِ ثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنِي الْمَشِيْخَةُ اَنَّهُمْ حَضَرُوْا غُضَيْفَ بْنَ الْحَرْثِ الثَّمَالِيَ حِيْنَ اشْتَدَّ سَوْقُهُ فَقَالَ هَلْ مِنْكُمْ أَحَدٌ يَقْرَأُ يس قَالَ فَقَرَأَهَا صَالِحُ بْنُ شُرَيْحٍ السُّكُوْنِي فَلَمَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ مِنْهَا قُبِضَ قَالَ فَكَانَ الْمَشِيْخَةُ يَقُوْلُوْنَ إِذَا قُرِئَتْ عِنْدَ الْمَيِّتِ خُفِّفَ عَنْهُ بِهَا قَالَ صَفْوَانُ وَقَرَأَهَا عِيْسَى بْنُ الْمُعْتَمِرِ عِنْدَ بْنِ مَعْبَدٍ (مسند أحمد بن حنبل 17010)
"Para guru bercerita bahwa mereka mendatangi Ghudlaif bin Hars al-Tsamali ketika penyakitnya sangat parah. Shafwan berkata: Adakah diantara anda sekalian yang mau membacakan Yasin? Shaleh bin Syuraih al-Sukuni yang membaca Yasin. Setelah ia membaca 40 dari Surat Yasin, Ghudlaif meninggal. Maka para guru berkata: Jika Yasin dibacakan di dekat mayit maka ia akan diringankan (keluarnya ruh) dengan Surat Yasin tersebut. (Begitu pula) Isa bin Mu'tamir membacakan Yasin di dekat Ibnu Ma'bad" (Musnad Ahmad No 17010)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menilai atsar ini:

وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنُ اْلإِسْنَادِ (الإصابة في تمييز الصحابة للحافظ ابن حجر 5 / 324)
"Riwayat ini sanadnya adalah hasan" (al-Ishabat fi Tamyiz al-Shahabat V/324)

Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar juga menilai riwayat amaliyah ulama salaf membaca Yasin saat Ghudlaif akan wafat sebagai dalil penguat (syahid) dari hadis riwayat Ma'qil bin Yasar yang artinya: Bacakanlah Surat Yasin di dekat orang yang meninggal. (Raudlah al-Muhadditsin X/266)

Al-Hafidz Ibnu Hajar memastikan Ghudlaif ini adalah seorang sahabat:
هَذَا مَوْقُوْفٌ حَسَنُ اْلإِسْنَادِ وَغُضَيْفٌ صَحَابِىٌّ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ وَالْمَشِيْخَةُ الَّذِيْنَ نَقَلَ عَنْهُمْ لَمْ يُسَمُّوْا لَكِنَّهُمْ مَا بَيْنَ صَحَابِىٍّ وَتَابِعِىٍّ كَبِيْرٍ وَمِثْلُهُ لاَ يُقَالُ بِالرَّأْىِ فَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعُ (روضة المحدثين للحافظ ابن حجر 10 / 266)
"Riwayat sahabat ini sanadnya adalah hasan. Ghudlaif adalah seorang sahabat menurut mayoritas ulama. Sementara 'para guru' yang dikutip oleh Imam Ahmad tidak disebut namanya, namun mereka ini tidak lain antara sahabat dan tabi'in senior. Hal ini bukanlah pendapat perseorangan, tetapi berstatus sebagai hadis yang disandarkan pada Rasulullah (marfu')" (Raudlah al-Muhadditsin X/266)

jawab : Atsar ini dihasankan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Al-Ishaabah (biografi Ghudlaif). Namun penghasanan ini perlu ditinjau kembali karena dua hal, yaitu : Pertama, mubham-nya para orang tua (masyyakhah) yang menyampaikan riwayat kepada Shafwaan. Kedua, majhul-nya Shaalih bin Syuraih. Apalagi perkataan “apabila dibacakan (surat Yasin) di sisi mayit, maka akan diringankan deritanya (sakarat) dengan bacaan itu” dibawakan oleh Shaalih. Abu Haatim dalam kitabnya Al-Jarh wat-Ta’diil (4/405) menukil perkataan Abu Zur’ah, bahwasannya ia berkata tentang Shaalih : “Majhul”.

Kesimpulan dari atsar ini adalah lemah (dla’if).

Ibnu hajar melegalkan hadits pembacaan yasin?


Syubhat:
al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram I/195:

عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ (وأخرجه أحمد 20316 وأبو داود رقم 3121 وابن ماجه رقم 1448 وابن حبان رقم 3002 والطبرانى رقم 510 والحاكم رقم 2074 والبيهقى رقم 6392 وأخرجه أيضاً الطيالسى رقم 931 وابن أبى شيبة رقم 10853 والنسائى فى الكبرى رقم 10913)
"Dari Ma'qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Bacalah surat Yasin di dekat orang-orang yang meninggal.' Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban" (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad No 20316, Abu Dawud No 3121, Ibnu Majah No 1448, al-Thabrani No 510, al-Hakim No 2074, al-Baihaqi No 6392, al-Thayalisi No 931, Ibnu Abi Syaibah No 10853 dan al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra No 10913)

Dalam kitab tersebut al-Hafidz Ibnu Hajar tidak memberi komentar atas penilaian sahih dari Ibnu Hibban. Sementara dalam kitab beliau yang lain, Talkhis al-Habir II/244, kendatipun beliau mengutip penilaian dlaif dari Ibnu Qattan dan al-Daruquthni, di saat yang bersamaan beliau meriwayatkan atsar dari riwayat Imam Ahmad diatas.

Jawab :
Sanad hadits ini lemah (dla’iif), karena jahalah dari Abu ‘Utsman dan ayahnya serta adanya perselisihan (idlthirab) dalam sanadnya. An-Nasa’iy, Al-Baghawiy, dan Ibnu Hibbaan membawakan hadits ini tanpa menyebutkan “dari ayahnya” – yaitu ayah Abu ‘Utsman.

Atas dasar inilah Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiish (2/110) : “An-Nasa’iy dan Ibnu Majah tidak menyebutkan : ‘dari ayahnya’. Ibnul-Qaththaan men-ta’lil-nya dengan adanya idlthiraab, status mauquf (hanya sampai pada shahabat saja), serta jahalah Abu ‘Utsman dan ayahnya. Abu Bakr bin Al-‘Arabiy menukil dari Ad-Daruquthniy bahwasannya ia berkata : ‘Hadits ini sanadnya dla’iif, matan (redaksi)-nya majhul, dan tidak shahih satu pun hadits dalam bab ini” [selesai].

Hadits ini dibawakan dalam empat sanad yang berselisihan :

1. Dari Abu ‘Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil secara marfu’.

2. Dari Abu ‘Utsman, dari Ma’qil secara marfu´- dan di dalamnya tidak ada penyebutan : dari ayahnya.

3. Dari Ma’qil secara mauquf.

4. Dari seorang laki-laki, dari ayahnya, dari Ma’qil secara marfu’.

Al-Albaniy berkata dalam Irwaaul-Ghaliil (3/151) : “Sesungguhnya hadits ini terdapat ‘illat lain, yaitu adanya idlthiraab (kegoncangan). Sebagian perawinya berkata : ‘Dari Abu ‘Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil’. Sebagian lagi mengatakan : ‘Dari Abu ‘Utsman, dari Ma’qil’ – tanpa mengatakan : ‘dari ayahnya’. Dan ayahnya ini juga tidak dikenal” [selesai].

Adapun Abu ‘Utsman, maka ia adalah perawi majhul.

Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Miizaan (4/550) : “Abu ‘Utsman - dikatakan bahwa namanya Sa’d - , dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasaar dengan hadits : ‘Bacakanlah (surat) Yaasiin pada orang yang akan mati di antara kalian’. Ayahnya tidaklah dikenal, begitu juga ia (Abu ‘Utsman). Tidak ada orang yang meriwayatkan darinya selain Salmaan At-Taimiy” [selesai].

An-Nawawiy berkata dalam Al-Adzkaar (hal. 122; tahqiq : Al-Arna’uth) : “Sanadnya dla’iif, padanya terdapat dua orang yang majhul. Namun hadits ini tidak di-dla’if-kan oleh Abu Dawud” [selesai].

Dua orang majhul yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy tersebut adalah Abu ‘Utsman dan ayahnya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dan Al-Albaniy.

Dicantumkannya Abu ‘Utsman oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Al-Futuhaat Ar-Rabbaaniyyah oleh Ibnu ‘Allaan (4/119; Daar Ihyaa At-Turats, Beirut) tidak perlu dihiraukan, karena ia memang terkenal gampang memberikan tautsiq kepada para perawi majhul.
Ibnu Hajar berkata :

قلت وهذا الذي ذهب اليه بن حبان من ان الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على العدالة الى ان يتبن جرحه مذهب عجيب والجمهور على خلافه وهذا هو مساك بن حبان في كتاب الثقات الذي الفه فإنه يذكر خلقا من نص عليهم أبو حاتم وغيره على انهم مجهولون وكان عند بن حبان ان جهالة العين ترتفع برواية واحد مشهور وهو مذهب شيخه بن خزيمة ولكن جهالة حاله باقية عند غيره

“Aku berkata : Inilah pendapat Ibnu Hibban bahwa seorang perawi yang hilang majhul ‘ain-nya, maka ia berstatus ‘adil sampai dijelaskan jarh-nya. Ia adalah pendapat yang sangat mengherankan. Jumhur ulama telah menyelisihinya. Inilah jalan yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat buah karyanya. Ia menyebutkan sejumlah orang yang dinyatakan oleh Abu Haatim dan yang lainnya sebagai orang-orang yang majhul; dimana orang-orang tersebut menurut Ibnu Hibban hilang status majhul ‘ain-nya hanya dengan riwayat satu orang yang terkenal. Dan itu pulalah yang menjadi pendapat gurunya, Ibnu Khuzaimah. Akan tetapi, majhul haal tetaplah ada menurut ulama yang lain” [Lisaanul-Miizaan, hal. 14].

Senin, 04 September 2017

Syubhat Dalil Membaca Surat Yasin Untuk Orang Mati


Syubhat :
Diantaranya adalah sebagai berikut:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وسَلَّمَ مَنْ قَرَأَ يس فِى لَيْلَةٍ اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ (رواه البيهقى فى شعب الإيمان رقم 2464 وأخرجه أيضًا الطبرانى فى الأوسط رقم 3509 والدارمى رقم 3417 وأبو نعيم فى الحلية 2/159 والخطيب البغدادي 10/257 وأخرجه ابن حبان عن جندب البجلى رقم 2574)
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa membaca Surat Yasin di malam hari seraya mengharap rida Allah, maka ia diampuni" (HR al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 2464, al-Thabrani dalam al-Ausath No 3509, al-Darimi No 3417, Abu Nuaim dalam al-Hilyat II/159, Khatib al-Baghdadi X/257 dan Ibnu Hibban No 2574)
Hadis ini diklaim oleh banyak pihak sebagai hadis palsu, khususnya dibesarkan-besarkan oleh kelompok yang anti tahlil karena hampir setiap acara tahlilan terlebih dahulu membaca Surat Yasin bersama atau dibaca saat berziarah. Untuk membantahnya kami paparkan ke hadapan mereka pendapat ulama dari kalangan mereka sendiri dan sekaligus dikagumi oleh mereka, yaitu Muhammad bin Ali al-Syaukani. Ia berkata:
حَدِيْثُ مَنْ قَرَأَ يس اِبْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ غُفِرَ لَهُ رَوَاهُ الْبَيْهَقِي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوْعًا وَإِسْنَادُهُ عَلَى شَرْطِ الصَّحِيْحِ وَأَخْرَجَهُ أَبُوْ نُعَيْمٍ وَأَخْرَجَهُ الْخَطِيْبُ فَلاَ وَجْهَ لِذِكْرِهِ فِي كُتُبِ الْمَوْضُوْعَاتِ (الفوائد المجموعة في الأحاديث الموضوعة لمحمد بن علي بن محمد الشوكاني 1 / 302)
"Hadis yang berbunyi: 'Barangsiapa membaca Surat Yasin seraya mengharap rida Allah, maka ia diampuni' diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah secara marfu', sanadnya sesuai kriteria hadis sahih. Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dan Khatib (al-Baghdadi). Maka tidak ada jalan untuk mencantumkannya dalam kitab-kitab hadis palsu!" (al-Fawaid al-Majmu'ah I/302)

jawab : hadits ini memang bukan palsu tapi itu tetap hadits lemah tidak bisa dibuat sandaran hukum.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).

Syubhat :
Begitu pula ahli hadis al-Fatanni berkata:
مَنْ قَرَأَ يس فِي لَيْلَةٍ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ وَمَنْ قَرَأَ الدُّخَانَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَصْبَحَ مَغْفُوْرًا لَهُ فِيْهِ مُحَمَّدُ بْنُ زَكَرِيَّا يَضَعُ  قُلْتُ لَهُ طُرُقٌ كَثِيْرَةٌ عَنْهُ بَعْضُهَا عَلَى شَرْطِ الصَّحِيْحِ أَخْرَجَهُ التُّرْمُذِي وَالْبَيْهَقِي (تذكرة الموضوعات للفتني 1 / 80)
"Hadis yang berbunyi: 'Barangsiapa membaca Surat Yasin di malam hari, maka di pagi harinya ia diampuni dan barangsiapa membaca Surat al-Dukhan di malam Jumat, maka di pagi harinya ia diampuni' Di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Zakariya yang memalsukan hadis. Saya (al-Fatanni) berkata: Hadis ini memiliki banyak jalur riwayat, yang sebagiannya sesuai kriteria hadis sahih yang diriwayatkan oleh al-Turmudzi dan al-Baihaqi" (Tadzkirat al-Maudlu'at I/80

jawab :kenapa anda memakai standar ganda,padahal kalau anda berniat memakai imam assyaukani dalam penilaian hadits,maka beliau telah menyatakan kepalsuannya
 حديث من قرأ يس في ليلة أصبح مغفورا له ومن قرأ الدخان ليلة أصبح معفورا له في إسناده محمد بن زكريا وضاع ورواه الدارقطني من طريق عمر بن راشد وهو أيضا وضاع قال في اللآلىء أخرجه الترمذي ومحمد بن نصر في كتاب الصلاة قلت ولكن من طريق عمر بن راشد المذكور
Hadits ini Palsu.

Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).

Minggu, 03 September 2017

Takbir dulu atau dzikir dulu?


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin - rahimahullah- ditanya:

“Apakah takbir didahulukan sebelum berdzikir selepas shalat lima waktu?”

[ Beliau menjawab ]

■ “Tidak ada dalil yang shahih dan jelas dari Nabi -ﷺ- yang menjelaskan tentang kapan takbir muqayyad dilakukan. Hanya saja di sana ada beberapa atsar para ulama dan ijtihad mereka.”

◈ Mereka menyatakan: “Bahwasanya beliau -ﷺ- mendahulukan takbir sebelum membaca dzikir setelah shalat lima waktu.”

📚[Majmu' Fatawa wa Rasail Al-'Utsaimin 16/209)]

❱ Al-Lajnah ad-Da'imah (dalam Fatwa no. 21550) juga menjelaskan tentang kapan bertakbir muqayyad:

“... dibaca langsung setelah salam sebelum memulai berdzikir.”

HUKUM MENGERASKAN DZIKIR SETELAH SHALAT


(ASY SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-UTSAIMIN RAHIMAHULLAH)

Pertanyaan:
Apakah dzikir yang mana seseorang mengeraskan suaranya setelah shalat wajib?
Dan apa pendapat Anda berkaitan perkataan sebagian orang bahwasanya mengeraskan suara pada jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tujuannya untuk memberikan pengajaran?
Dan apa pendapat Anda berkaitan dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah, bahwa tempat untuk berdoa adalah sebelum salam dan tempat untuk berdzikir adalah setelah salam?

Jawaban:
Dzikir-dzikir yang mana seseorang mengeraskan suaranya setelah shalat wajib adalah setiap dzikir yang disyariatkan setelah shalat. Berdasarkan apa yang datang dalam Shahih al-Bukhari dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Adalah mengeraskan suara ketika berdzikir setelah orang-orang selesai dari shalat wajib diamalkan pada jaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Dan aku mengetahui orang-orang selesai dari shalat apabila aku mendengar suara mereka”. Maka ini menunjukkan bahwa setiap dzikir yang disyariatkan setelah shalat adalah dengan mengeraskan suara.

Adapun persangkaan dari sebagian ahli ilmu, bahwasanya mengeraskan suara ketika berdzikir pada jaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tujuannya adalah untuk memberikan pengajaran, dan tidak disunnahkan mengeraskan suara ketika berdzikir, maka sesungguhnya hal ini merupakan awal yang berbahaya. Karena, seandainya setiap sunnah yang datang kepada kita yang serupa dengan perkara ini kemudian kita katakan bahwa sunnah tersebut tujuannya untuk pengajaran, dan orang-orang sekarang ini telah mempelajarinya sehingga tidak disyariatkan sunnah ini, maka akan menjadi batal begitu banyak sunnah dengan metode ini.
Kemudian kita katakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada para shahabat hal-hal yang disyariatkan setelah shalat. Sebagaimana dalam kisah orang-orang faqir yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena orang-orang kaya telah mendahului mereka dalam amalan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku beritahu kalian sesuatu yang dengannya kalian bisa mencapai apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mendahului kalian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka untuk bertasbih, bertakbir dan bertahmid sebanyak 33 kali. Maka di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari mereka dengan ucapan beliau.
Sehingga yang benar dalam permasalahan ini, disyariatkan bagi seseorang setelah selesai shalat-shalat wajib untuk mengeraskan setiap yang datang dari bacaan dzikir, baik itu tahlil, tasbih atau istighfar setelah salam sebanyak 3 kali, atau pun dengan ucapannya Allahumma antas salam.

Adapun yang penanya sebutkan dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berupa permasalahan bahwa tempat berdoa adalah sebelum salam dan berdzikir setelah salam, ini adalah pendapat yang sangat bagus. Dan yang menunjukkan hal ini adalah hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika menyebutkan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari mereka bacaan tasyahhud, beliau bersabda setelahnya, “Kemudian hendaknya engkau memilih doa yang ia senangi.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing seorang yang shalat untuk langsung berdoa setelah membaca tasyahhud dan sebelum salam.
Adapun berdzikir, tempatnya setelah salam. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِكُمْ
“Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah diwaktu berdiri, pada waktu duduk dan ketika berbaring..” (Q.S: An Nisa’ 103)

Maka dari sini, hal yang dikerjakan setelah salam adalah berdzikir dan hal yang dikerjakan sebelum salam adalah berdoa. Ini merupakan kandungan hadits, kandungan al-Qur’an. Dan demikian pula secara makna, menunjukkan bahwa seorang yang shalat menghadap Allah ‘Azza wa Jalla, selama ia berada dalam shalatnya, ia bermunajat kepada Rabbnya, sebagaimana yang diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila ia telah selesai dan mengucapkan salam, selesai pula dari hal tersebut. Sehingga bagaimana mungkin kita mengatakan, “Akhirkanlah berdoa hingga engkau selesai bermunajat kepada Allah.” Secara akal, menunjukkan bahwa tempat untuk berdoa adalah sebelum salam selama ia masih bermunajat kepada Rabbnya, Tabaraka wa Ta’ala.
Maka ini menunjukkan, bahwa pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan muridnya Ibnul Qayyim adalah pendapat yang benar yang berdasarkan dalil naql (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan ‘aql (secara akal). Akan tetapi tidak mengapa apabila seseorang terkadang berdoa setelah shalat. Adapun apabila menjadikan hal tersebut setelah shalat sunnah ratibah, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, setiap selesai dari shalat sunnah ia mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, hal ini tidak kami ketahui suatu sunnah pun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sumber artikel:
Majmu’ Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 13/244-246

Makan Jeroan sunnah?

Syubhat:
ﻋﻦ ﺑﺮﻳﺪﺓ، ﻗﺎﻝ: " ﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫا ﺭﺟﻊ ﺃﻛﻞ ﻣﻦ ﻛﺒﺪ ﺃﺿﺤﻴﺘﻪ "

Dari Buraidah bahwa jika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam telah pulang (dari Salat idul Adha) beliau memakan hati hewan Qurban beliau" HR Al Baihaqi

Saat ini jeroan masuk kategori organ tubuh hewan yang memiliki kadar kolesterol tinggi. Apa yang dilakukan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam ini adalah menunjukkan hukum boleh. Bukan berarti Nabi tidak memperhatikan kesehatan. Sebab Rasulullah shalallahu alaihi wasallam termasuk jarang sakit karena cara hidup beliau adalah gaya hidup sehat.

Jawab: ini riwayat yg lemah,Karena dalam sanadnya ada al walid bin muslim dia seorang mudallis lihat kitab attaqrib(7506)
Ada juga abdulloh al ashom dia perawi lemah lihat kitab attaqrib (4676)
Tidak mungkin nabi mensunnahkan sesuatu yg menyengsarakan umat.

Syubhat Dalil Membaca al-Quran Di Kuburan

Syubhat:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ سُوْرَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ (رواه الطبراني في الكبير رقم 13613 والبيهقي في الشعب رقم 9294 وتاريخ يحي بن معين 4 / 449)
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda: Jika diantara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan hendaklah di dekat kepalanya dibacakan pembukaan al-Quran (Surat al-Fatihah) dan dekat kakinya dengan penutup surat al-Baqarah di kuburnya" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 13613, al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 9294, dan Tarikh Yahya bin Maid 4/449)
Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi penilaian pada hadis tersebut:
فَلاَ تَحْبِسُوْهُ وَأَسْرِعُوْا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ أَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِي بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ (فتح الباري لابن حجر 3 / 184)
"HR al-Thabrani dengan sanad yang hasan" (Fath al-Bari III/184)

Jawab: ini riwayat sangat lemah,imam al haitsami menyatakan ada perawi lemah bernama yahya ibn abdillah.
Lihat kitab beliau majma azzawaid (3/44)
Begitu juga gurunya ayyub, matruk haditsnya ditinggalkan.
Ini jelas dua cacat yg menggugurkan penghasan tersebut
Adapun penghasanan ibnu hajar perlu ditinjau kembali,sebab riwayat thobroni ada dua riwayat,ada yg mauquf ibnu umar ada yg marfu dari abdurrahman,padahal jelas ibnu hajar mendiamkan alias tidak menghasan hadits yg marfu' dari abdurrahman,lihat kitab at talkhis al habir (2/130).
jadi tidak benar penghasanan hadits ibnu umar yg marfu'.