Sabtu, 29 November 2014

syubhat idrus tentang asal ibadah


dia berkata : Karena itu kaedah ini tidak masuk dalam kitab-kitab kaedah fiqih, karena konteksnya terbatas, tidak bersifat umum.
Dan seandainya kaedah tersebut masuk dalam jajaran kaedah-kaedah yang terdapat dalam kitab-kitab kaedah fiqih, seperti al-Asybah wa al-Nazhair,
jawab :
asal ibadah menurut ushul fiqh
و لهذا كان أحمد و غيره من فقهاء أهل الحديث يقولون إن الأصل في العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله
oleh karena itu ahmad dan selainnya dari ahli fuqoha' hadits mereka berkata : asal ibadah berhenti,tidak disyariatkan kecuali yg disyariat alloh
فذهب ابن سريج من أصحاب الشافعي رحمه الله تعالى إلى أن موجب الأمر، أي الأثر الثابت به التوقف
Maka ibnu suraij dari ashab imam syafi’I berpendapat bahwa yang mewajibkan sesuatu yakni atsar yang tetap adalah tawaqquf(berhenti)(syarh talwih ‘ala at-taudhih)
لأن الأصل في اسامي الرب تعالى هو التوقيف
Karena asal dalam nama tuhan adalah tauqif(berhenti pada dalil)(qowati’ul adillah fil ushul 1/28)
لا يثبت الحكم إلا توقيفا
Tidak tetap hukum kecuali berhenti pada dalil(almustashfa min ‘ilmil ushul 1/305)
وَإِنْ لَمْ يُوَافِقْ قَوْلُ الصَّحَابِيِّ الْقِيَاسَ ( حُمِلَ عَلَى التَّوْقِيفِ ) ظَاهِرًا عِنْدَ أَحْمَدَ وَأَكْثَرِ أَصْحَابِهِ , وَالشَّافِعِيِّ وَالْحَنَفِيَّةِ
Dan ketika perkataan sahabat tidak sesuai dengan qiyas maka dibawa ke tauqif berhenti pada dalil,itu Nampak jelas dari imam ahmad dan ashabnya dan imam syafi’I dan hanafi(alkaukab almunir 2/12 )
جملة الصلوات المخترعة ، كالألفية ، والرغائب ، وصلاة التسابيح ، وغيرها كثيرة جدًا كلها من جملة البدع لعدم ثبوت الدليل الشرعي الصحيح بمشروعيتها ، والعبادات مبناها على التوقيف
Ibadah dibangun atas tauqif (berhenti pada dalil)(talqihul afham al’aliyyah 3/27)
والجامع في ذلك أن تخصيص زمانٍ من الأزمنة ، أو مكان من الأمكنة بفعلٍ أو قولٍ يفعل فيه دون غيره فإنه يحتاج إلى دليل شرعي صحيح ، وإلا فهو بدعة ؛ لأن الأصل في العبادة الحظر والتوقيف
Dan kesimpulannya bahwa pengkhususan waktu dari beberapa waktu atau tempat dari berbagai tempat dg suatu perbuatan atau perkataan dilakukan padanya tanpa pada lainnya.maka itu membutuhkan dalil syar’I shohih,kalau tidak maka itu bid’ah karena asal ibadah adalah terlarang dan berhenti pada dalil(talqihul afham al’aliyyah 3/27)
لأنَّ مبنى العباداتِ على النَّصِّ، فالأصلُ فيها التَّوقيفُ
Karena ibadah dibangun atas nash,maka asal didalamnya adalah tauqif berhenti pada dalil(taysir ilmi ushul al fiqh 2/56)
الأصل في العبادات التوقيف على الدليل
Asal ibadah berhenti pada dalil(isalah fi tahqiqi qowa’id anniyah 1/29,al afah alqodimah 1/45)
{ أن الأصل في العبادات المنع والحظر }
Asal ibadah adalah tertolak dan terlarang (imam syatibi dalam I’tishom)
أن الأصل في العبادات المنع
Asal ibadah adalah tertolak (ushul fiqh ‘ala manhaj ahlil hadits 1/53)
imam assyuyuti hukum syariat berlandaskan sesuai nashnya.
مُقَدَّرَاتُ الشَّرِيعَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ أَحَدُهَا : مَا يُمْنَعُ فِيهِ الزِّيَادَةُ وَالنُّقْصَانُ , كَأَعْدَادِ الرَّكَعَاتِ وَالْحُدُودِ وَفُرُوضِ الْمَوَارِيثِ . الثَّانِي : مَا لا يَمْنَعُهَا كَالثَّلاثِ فِي الطَّهَارَةِ . الثَّالِثُ : مَا يَمْنَعُ الزِّيَادَةَ دُونَ النُّقْصَانِ . كَخِيَارِ الشَّرْطِ بِثَلاثٍ وَإِمْهَالِ الْمُرْتَدِّ بِثَلاثٍ , وَالْقَسَم بَيْنَ الزَّوْجَاتِ بِثَلاثٍ . الرَّابِعُ : عَكْسُهُ كَالثَّلاثِ فِي الاسْتِنْجَاءِ , وَالتَّسْبِيعِ فِي الْوُلُوغِ , وَالطَّوَافِ
Ukuran dalam syari’at ada 4 macam,yg pertama : apa yg tidak boleh ada tambahan dan pengurangan seperti jumlah rokaat,hudud dan pembagian warisan,kedua apa yg tidak batal ditambah seperti 3kali dalam bersuci.ketiga,apa yg tidak boleh ditambah tapi boleh pengurangan seperti khiyar syarat 3 hari,penundaan hukuman murtad 3hari,sumpah anra suami istri 3 kali.keempat,sebaliknya seperti 3kali dalam istinja’ dan 7 kali dalam penyucian jilatan anjing dan thowaf
(asbah wan nadhoir hal 421-422)

Minggu, 23 November 2014

SYUBHAT IDRUS SEPUTAR USHUL FIQH


dia : Hukum asal dalam semua hukum syar’i adalah al-ta’aqqul (bisa dirasionalkan), sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi al-Hanbali dalam kitab al-Mughni,
jawab : justru didalamnya banyak menerangkan hukum asal ibadah tauqif
ولأن نصب الزكاة إنما ثبتت بالنص والتوقيف
dan karena sesungguhnya nashobnya zakat telah tetap dg nash dan itu tauqif
بدليل توقف الحكم على وجوده
dg dalil berhentinya hukum atas keadaannya
sebenarnya perkataan Hukum asal dalam semua hukum syar’i adalah al-ta’aqqul telah dibantah para ulama,lihat bahrul muhith fi ushulil fiqh

يُقَالَ الشَّرْعُ يَنْقَسِمُ إلَى ما يُعْقَلُ مَعْنَاهُ وَإِلَى تَعَبُّدٍ كَرَمْيِ الْجِمَارِ وَكِلَاهُمَا تَوْقِيفٌ لَكِنْ يُسَمَّى ما عُقِلَ مَعْنَاهُ قِيَاسًا لِمَا انْقَدَحَ فيه من الْمَعْقُولِ وَهَذَا هو الذي نَقُولُ بِهِ وهو بهذا الْمَعْنَى أَحَدُ نَوْعَيْ التَّوْقِيفِ وَلَيْسَ مُقَابِلًا له
dikatakan syar' dibagi 2 yg bisa diketahui maknanya dan ta'abudi seperti lempar jumroh dan sebenarnya keduanya tauqif akan tetapi yg diketahui maknanya disebut qiyas

Sabtu, 22 November 2014

IBNU TAIMIYYAH MEMBOLEHKAN PAKAI TASBIH


beliau berkata :
وعد التسبيح بالأصابع سنة كما قال النبي للنساء سبحن واعقدن بالأصابع فإنهن مسؤولات مستنطقات
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضي الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبي أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
وأما التسبيح بما يجعل في نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه , وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
“Menghitung tasbih dengan jari itu dianjurkan (disunnahkan). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita, “Bertasbihlah dan hitunglah dengan jari karena sesungguhnya jari jemari itu akan ditanyai dan diminta untuk berbicara.”
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukan seperti itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
JAWAB : lihatlah beliau bersandarkan pada riwayat yang ada,sedangkan riwayat tersebut lemah.

Bahkan Dalam fatwa beliau yg lain disebutkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitab Fatawa, 22/187 mengatakan: “Terkadang ada orang yang tampak meletakkan sajadah di lututnya dan tasbih di tangannya dan menjadikan hal itu sebagai syiar agama dan shalat. Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Nabi sallallahu’alaihi wa sallam beserta para shahabatnya tidak menjadikan hal ini sebagai syiarnya. Dahulu mereka bertasbih dan menghitungnya dengan jari jemarinya sebagaimana dalam hadits,
وَأَنْ يَعْقِدْنَ بِالأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ.
"Dan hitunglah dengan jari jemari, karena sesungguhnya (jari-jemari itu) akan ditanya dan akan berbicara." (HR. Abu Daud dan Tirmizi)
Boleh jadi ada yang bertasbih dengan kerikil atau biji. Bertasbih dengan tasbih sebagian orang ada yang menganggapnya makruh, di antara mereka ada yang meringankan (boleh). Akan tetapi tidak ada satupun yang mengatakan, ‘Bahwa bertasbih dengannya itu lebih baik daripada bertasbih dengan jemari atau lainnya."
Kemudian baliu rahimahullah berbicara tentang bab riya, "Bertasbih dengan tasbih termasuk riya dengan perkara yang tidak disyariatkan. Hal itu lebih buruk dibandingkan riya dengan perkara yang tidak disyariatkan." 
Justru Banyak atsar sahabat dan tabi’in lainnya yang menunjukkan, bahwa mereka mengingkari orang yang menggunakan bijian atau kerikil untuk menghitung dzikirnya. Diantara atsar tersebut ialah:
Atsar Abdullah bin Mas’ud lainnya, dari Ibrahim berkata:
كَانَ عَبْدُ اللهِ يَكْرَهُ العَدَّ وَيَقُوْلُ أَيَمُنُّ عَلَى اللهِ حَسَنَاتِهِ
Abdullah bin Mas’ud membenci hitungan (dengan tasbih) dan berkata,”Apakah mereka menyebut-nyebut kebaikannya di hadapan Allah?” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Al Mushnaf, no. 7667 dengan sanad yang shahih]
Atsar dari Amru bin Yahya; dia menceritakan pengingkaran Abdullah bin Mas’ud terhadap halaqah di masjid Kuffah yang orang-orangnya bertasbih, bertahmid dan bertahlil dengan kerikil. [Riwayat selengkapnya, lihat Sunan Ad Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Tarikh Wasith, Aslam bin Sahl Ar Razzaz Al Wasithi. Syaikh Al Albani menshahihkan sanad hadits ini dalam As Silsilah Ash Shahihah, hadits no. 2005]
adapun menyangka itu hanya alat seerti mikrofon maka dia telah salah karena itu bagi sarana yg belum ditentukan,sedangkan dzikir sudah ada cara tersendiri yg nabi pilih untuknya dan ummatnya,bahkan menjadi saksi pada hari kiamat
Syaikh Bakr Abu Zaid menyebutkan, bahwa tasbih sudah dikenal sejak sebelum Islam. Tahun 800M orang-orang Budha sudah menggunakan tasbih dalam ritualnya. Begitu juga Al Barahimah di India, pendeta Kristen dan Rahib Yahudi. Dari India inilah kemudian berkembang ke benua Asia. Beliau juga mengutip sejarah tasbih yang dimuat di Al Mausu’at Al Arabiyah Al ‘Alamiyah, 23/157,
Perkembangan tasbih yang pesat terjadi pada abad 15 M dan 16 M. Dalam kitab Musaahamatul Hindi disebutkan, bahwa orang-orang Hindu terbiasa menggunakan tasbih untuk menghitung ritualnya. Sehingga menghitung dzikir dengan tasbih diakui sebagai inovasi dari orang Hindu (India) yang bersekte Brahma. Dari sanalah kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Sudah disepakati oleh ahli sejarah, bahwa orang-orang Arab Jahiliyah tidak mengenal istilah dan penggunaan tasbih dalam peribadatan mereka. Itulah sebabnya, satu pun tidak ada syair jahiliyah yang menyebutkan kalimat tasbih. Ia merupakan istilah yang mu’arrabah (diarabkan). Begitu juga pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka tidak mengenal istilah tasbih, apalagi menggunakannya. Hal ini berlangsung sampai akhir masa tabi’in. Jika mendapatkan sebuah hadits yang memuat lafadz “subhah” jangan sekali-kali membayangkan, bahwa makna lafadz tersebut adalah alat tasbih, seperti yang dipakai oleh orang sekarang ini. Karena, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara dengan sahabat dan umatnya dengan bahasa yang mereka pahami dan ketahui. Sedangkan tasbih -seperti yang beredar sekarang ini- tidak dikenal oleh sahabat dan juga tabi’in.
Adapun yang membawa masuk alat tersebut ke dunia Islam dan yang pertama kali memperkenalkannya ialah kelompok-kelompok thariqat atau tasawuf; disebutkan oleh Sidi Gazalba sebagai hasil kombinasi pemikiran antara Islam dengan Yahudi, Kristen, Manawi, Majusi, Hindu dan Budha serta mistik Pytagoras [Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta, Bulan Bintang, Juli 1991), Cet. Kelima, hlm. 20].

DALIL PAK KYAI PAKAI TASBIH


1.Hadis:
عن سعد بن أبى وقاص رضى الله عنه أنه دخل مع رسول الله صلى الله عليه وسلم على امرأة و بين يديها نوى أو حصى تسبح به فقال : " ألا أخبرك بما هو أيسر عليك من هذا أو أفضل ؟ سبحان الله عدد ما خلق فى السماء و سبحان الله عدد ما خلق و سبحان الله عدد ما بين ذلك و سبحان الله عدد ما هو خالق و الله أكبر مثل ذلك و الحمد لله مثل ذلك و لا إله إلا الله مثل ذلك و لا حول و لا قوة إلا بالله مثل ذلك " رواه ابو داود والنسائي والترمذي والطبراني فى الدعاء (روضة المحدثين - ج 10 / ص 466)
قال الحافظ ابن حجر : حسن ( نتائج الأفكار 77/1 )

“Diriwayatkan dari Sa’ad Abi Waqqash bahwa Rasulullah masuk ke (tempat) seorang wanita yang di depannya ada kerikil yang digunakannya untuk membaca Tasbih. Kemudian Rasulullah Saw mengajarkan bacaan Tasbih….” (HR Abu Dawud, Nasai, Turmudzi dan Tabrani)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: “Sanadnya hasan”
jawab : penghasanan ini perlu ditinjau kembali.
karena huzaimah adalah perawi majhul tidak diketahui.
sebagai mana dikatakan adzdzahabi dalam al mizan.dan juga ibnu hajar sendiri dalam taqribnya :قال في التقريب : عن عائشة بنت سعد لا يعرف jika meriwayatkan dari aisyah binti sa'd maka itu tidak dikenal.
para pengarang kitab tahrir taqrib attahdzib :مجهول ، تفرد عنه سعيد بن أبي هلال ، ولم يوثقه سوى ابن حبان di majhul dan bersendirian meriwayatkan sa'id bin abi hilal dan tidak menganggapnya terpercaya kecuali ibnu hibban.sedangkan dian mutasahil.
tentang sa'id bin abi hilal berkata ibnu hajar : قال في التقريب : صدوق لم أر لابن حزم في تضعيفه سلفا إلا ما حكي عن أحمد أنه اختلط dia jujur,dulu saya tidak melihat ibnu hazm melemahkan kecuali apa yg dia meriwayatkan dari ahmad maka sesungguhnya telah ikhtilat kacau/tercampur.
mungkin penghasanan itu karena ada jalur lain para perawi tsiqoh meriwayatkan tanpa penyebutan huzaimah maka sanadnya terputus.lalu bagaimana dia hasan lighoirihi sedangkan ibn abu hilal infirod dari huzaimah.
2. Atsar Abu Hurairah
حدثنا أحمد بن جعفر بن حمدان ثنا عبدالله بن أحمد بن حنبل ثنا الحسن بن الصباح ثنا زيد بن الحباب عن عبدالواحد بن موسى قال أخبرني نعيم بن المحرر بن أبي هريرة عن جده أبي هريرة أنه كان له خيط فيه ألفا عقدة فلا ينام حتى يسبح به (حلية الأولياء لابي نعيم الحلية الاولياء - ج 1 / ص 383)
“Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah memiliki tali yang terdiri dari 1000 ikatan (bundelan). Beliau tidak tidur sampai bertasbih dengannya” (Abu Nuaim, Hilyat al-Auliya’ 1/383)
jawab : atsar ini lemah karena abdul wahid ibn musa majhul,begitu juga nu'aim ibn muharror dalam riwayat lain abu nu'aim ibn muharror

Selasa, 18 November 2014

SYUBHAT : PEMBACAAN AL QUR'AN KEPADA ORANG MATI ADALAH IJMA' 2


Ibnu Qudamah al-Maqdisi (w 620 H) mengabadikan informasi ini didalam kitab al-Mughni [2/242] :
وقال بعضهم: إذا قرئ القرآن عند الميت، أو أهدي إليه ثوابه، كان الثواب لقارئه، ويكون الميت كأنه حاضرها، فترجى له الرحمة. ولنا، ما ذكرناه، وأنه إجماع المسلمين؛ فإنهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرءون القرآن، ويهدون ثوابه إلى موتاهم من غير نكير
“Ketika dibacakan al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati maka ada pahala bagi pembacanya sedangkan orang mati seperti orang yang hadlir, maka diharapkan orang mati tersebut mendapatkan rahmat. Dan bagi kami, apa yang telah kami sebutkan, bahwa kegiatan tersebut merupakan ijma’ kaum Muslimin, karena sesungguhnya mereka pada setiap masa dan kota berkumpul bersama-sama, mereka membaca al-Qur’an dan mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkarinya”.
Jadi, menghadiahkan pahala seperti kegiatan tahlilan ini telah menjadi sebuah ijma’ kaum Muslimin, yang mana pada prakteknya memang mereka berkumpul. Frasa “wa yuhduuna tsawaabahu ilaa mawtahum (mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang mati diantara mereka)”,
Imam lainnya yang menuturkan masalah ini adalah Syamsuddin Abdurrahman bin Muhammad al-Maqdisi al-Hanbali (w 682 H) didalam al-Syarhu al-Kabiir ‘alaa Matni al-Muqna’ [2/426] :

وقال بعضهم إذا قرئ القرآن عند الميت أو أهدى اليه ثوابه كان الثواب لقارئه ويكون الميت كأنه حاضرها فترجى له الرحمة ولنا ما ذكرناه وانه اجماع المسلمين فانهم في كل عصر ومصر يجتمعون ويقرأون القرآن ويهدون ثوابه الى موتاهم من غير نكير
JAWAB : sebenarnya sangat mudah membantahnya.dalam kata :
وانه اجماع المسلمين
dhomir hu disitu kembali kemana?kalau dikembalikan ke “wa yuhduuna tsawaabahu ilaa mawtahum,jelas ini kesalahan fatal karena itu terletak sesudahnya.
sedangkan Kaidah yang umum ditetapkan oleh para ulama ahli bahasa adalah bahwa marji’ (tempat kembalinya) dhamir ghaib harus mendahuluinya. Hal ini dimaksudkan agar apa yang dimaksudkan dapat diketahui lebih dahulu.
Mengenai hal ini Ibn Malik dalam Al-Tashil mengatakan :
“Pada dasarnya tempat kembalinya dhamir ghaib itu harus didahulukan. Dan tidak diperbolehkan menyalahinya kecuali ada dalil yang menunjukkan hal itu. Terkadang ia dijelaskan lafadznya dan terkadang pula tidak dijelaskan karena adanya dalil, baik yang inderawi maupun yang diketahui melalui penalaran (ilmi), atau karena telah disebutkannya baik sebagian, keseluruhannya, imbangannya atau yang menyertainya, dalam bentuk apapun”. [Al-qaththan, manna, mabahis fi ulumul al-quran, Riyadh: mansyurat al- ‘ashar al-hadist, t.th, hal 197]
jadi dhomir itu kembali ke kalimat sebelumnya yaitu''Ketika dibacakan al-Qur’an disamping orang mati atau menghadiahkan pahalanya kepada orang mati maka pahala BAGI PEMBACANYA sedangkan orang mati seperti orang yang hadlir, maka DIHARAPKAN orang mati tersebut mendapatkan RAHMAT.
jadi bukan pahalanya untuk mayyit.jelas ini perbedaan yang jauh

SYUBHAT : PEMBACAAN AL QUR'AN KEPADA ORANG MATI ADALAH IJMA'

Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jami’ at-Turmidzi [3/275] Abul ‘Alaa Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri.• Kitab ini dikarang oleh Syaikh Abul ‘Alaa Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri. Didalamnya terdapat beberapa riwayat terkait pembacaan al-Qur’an untuk orang mati. Kemudian dikomentari sebagai berikut : Hadits-hadits ini jika memang dlaif, maka pengumpulannya menunjukkan bahwa yang demikian memang asal, dan sungguh kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut pada setiap masa dan kota, mereka berkumpul dan membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati diantara mereka tanpa ada yang mengingkari maka jadilah itu sebagai Ijma’.”
JAWAB : inilah teks aslinya :
وهذه الأحاديث وإن كانت ضعيفة فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا وأن المسلمين ما زالوا في كل مصر وعصر يجتمعون ويقرأون لموتاهم من غير نكير فكان ذلك إجماعا
sebenar kalau kita melanjutkan sedikit saja teksnya maka akan ketahuan belangnya.lihat lanjutannya :
ذكر ذلك كله الحافظ شمس الدين بن عبد الواحد المقدسي الحنبلي في جزء ألفه في المسألة انتهى ما في المرقاة بتقديم وتأخير
menyebut itu semua al hafidz syamsuddin ibn abdul wahid al maqdisi alhambali dalam juz yg dikarangnya tentang masalah ini,selesailah dalam al mirqoh dg pendahuluan dan penutup.
jadi jelas itu bukan perkataan syeikh mubarokburi,namun nukilan beliau sebagai amanat ilmiah beliau.
bahkan dalam teks lanjutnya dalam halaman yg sama,syekh mubarokfuri justru membantah pendapat ini.lihat teksnya :
قلت قوله فمجموعها يدل على أن لذلك أصلا فيه تأمل فلينظر هل يدل مجموعها على أن لذلك أصلا أم لا وليس كل مجموع من عدة أحاديث ضعاف يدل على أن لها أصلا
فأما قوله وأن المسلمين ما زالوا في كل مصر وعصر يجتمعون ويقرأون لموتاهم ففيه نظر ظاهر فإنه لم يثبت عن السلف الصالحين رضي الله عنهم اجتماعهم وقراءتهم لموتاهم ومن يدعي ثبوته فعليه البيان بالإسناد الصحيح
saya(mubarokfuri) perkataan dia(syamsuddin) bahwa kumpulan hadits2 lemah menunjukkan bahwa yang demikian memang punya asal, maka haus diteliti apakah kumpulan hadits lemah itu menunjukkan punya asal atau tidak.dan karena tidak setiap kumpulan hadits lemah yg banyak menunjukkan itu punya asal.
adapun perkataan dia(syamsuddin) bahwa kaum Muslimin tidak pernah meninggalkan amalan tersebut pada setiap masa dan kota mereka berkumpul dan membaca al-Qur’an untuk orang-orang mati,maka itu perlu dicek ulang lebih jelas lagi karena tidak ada keterangan yg kuat dari orang2 sholih terdahulu bahwa mereka berkumpul dan membaca untuk orang mati diantara mereka.barangsiapa mengaku ada keterangan yg kuat maka baginya hendaknya menyampaikan keterangan itu dg sanad yg shohih.
ini bantahan syekh mubarokfuri.bahkan dalam teks selanjutnya beliau menyebutkan bantahan imam syaukani juga.lihat teks :
وقال الشوكاني في النيل والحق أنه يخصص عموم الاية يعني آية ليس للإنسان إلا ما سعى بالصدقة من الولد وبالحج من الولد ومن غير الولد أيضا وبالعتق من الولد لما ورد في هذا كله من الحديث
dan berkata imam syaukani dalam nailul autor : dan yg benar adalah sesungguhnya keumumuman ayat yg artinya'' tidaklah bagi manusia kecuali apa yg diusahakan'' dikhususkan dg shodaqoh dari anak dan haji dari anaknya dan dari selain anaknya juga dan dg pembebasan budak dai anaknya karena telah datang dalam hal ini semua dari hadits nabi.
walhasil,syubhat diatas hanyalah nukilah yg telah disunat untuk mengikuti hawa nafsunya.

Minggu, 16 November 2014

TUDUHAN IDRUS :IBNU TAIMIYYAH PECINTA TAHLILAN


IDRUS : Fenomena bahwa Tahlilan telah berkembang sejak abad pertengahan, diterangkan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah dalam fatwanya:
وَسُئِلَ: عَنْ رَجُلٍ يُنْكِرُ عَلَى أَهْلِ الذِّكْرِ يَقُولُ لَهُمْ : هَذَا الذِّكْرُ بِدْعَةٌ وَجَهْرُكُمْ فِي الذِّكْرِ بِدْعَةٌ وَهُمْ يَفْتَتِحُونَ بِالْقُرْآنِ وَيَخْتَتِمُونَ ثُمَّ يَدْعُونَ لِلْمُسْلِمِينَ الْأَحْيَاءِ وَالْأَمْوَاتِ وَيَجْمَعُونَ التَّسْبِيحَ وَالتَّحْمِيدَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّكْبِيرَ وَالْحَوْقَلَةَ وَيُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم؟” فَأَجَابَ : الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ وَهُوَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُرُبَاتِ وَالْعِبَادَاتِ فِي الْأَوْقَاتِ فَفِي الصَّحِيحِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ : ( إنَّ للهِ مَلَائِكَةً سَيَّاحِينَ فِي الْأَرْضِ فَإِذَا مَرُّوا بِقَوْمِ يَذْكُرُونَ اللهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إلَى حَاجَتِكُمْ ) وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَفِيهِ ( وَجَدْنَاهُمْ يُسَبِّحُونَك وَيَحْمَدُونَك )… وَأَمَّا مُحَافَظَةُ الْإِنْسَانِ عَلَى أَوْرَادٍ لَهُ مِنْ الصَّلَاةِ أَوْ الْقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ أَوْ الدُّعَاءِ طَرَفَيْ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنْ اللَّيْلِ وَغَيْرُ ذَلِكَ : فَهَذَا سُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِ اللهِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا. (مجموع فتاوى ابن تيمية، ٢٢/٥٢٠).
“Ibn Taimiyah ditanya, tentang seseorang yang memprotes ahli dzikir (berjamaah) dengan berkata kepada mereka, “Dzikir kalian ini bid’ah, mengeraskan suara yang kalian lakukan juga bid’ah”. Mereka memulai dan menutup dzikirnya dengan al-Qur’an, lalu mendoakan kaum Muslimin yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka mengumpulkan antara tasbih, tahmid, tahlil, takbir, hauqalah (laa haula wa laa quwwata illaa billaah) dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.?” Lalu Ibn Taimiyah menjawab: “Berjamaah dalam berdzikir, mendengarkan al-Qur’an dan berdoa adalah amal shaleh, termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu. Dalam Shahih al-Bukhari, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki banyak Malaikat yang selalu bepergian di muka bumi. Apabila mereka bertemu dengan sekumpulan orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka memanggil, “Silahkan sampaikan hajat kalian”, lanjutan hadits tersebut terdapat redaksi, “Kami menemukan mereka bertasbih dan bertahmid kepada-Mu”… Adapun memelihara rutinitas aurad (bacaan-bacaan wirid) seperti shalat, membaca al-Qur’an, berdzikir atau berdoa, setiap pagi dan sore serta pada sebagian waktu malam dan lain-lain, hal ini merupakan tradisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan hamba-hamba Allah yang saleh, zaman dulu dan sekarang.” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 22, hal. 520).
Pernyataan Syaikh Ibn Taimiyah di atas memberikan kesimpulan bahwa dzikir berjamaah dengan komposisi bacaan yang beragam antara ayat al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, shalawat dan lain-lain seperti yang terdapat dalam tradisi tahlilan adalah amal shaleh dan termasuk qurbah dan ibadah yang paling utama dalam setiap waktu.
JAWAB : 1) dia menyelewengkan terjemahan dari perkataan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah AL-IJTIMA’ LI DZIKRILLAH diterjemahkan Berjamaah dalam berdzikir yang seharusnya AL-IJTIMA’ LI DZIKRILLAH diterjemahkan “perkumpulan untuk mengingat Allah
2) ibnu taimiyyah :أَنْ يَكُونَ هَذَا أَحْيَانًا فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ وَالْأَمْكِنَةِ AKAN TETAPI HAL INI HENDAKNYA DILAKUKAN KADANG2 DI SEBAGAIAN WAKTU DAN TEMPAT artinya tidak terikat waktu,tidak boleh mengkhususkan
3)yg disebut amal sholih adalah masing amalan bukan modifikasi,campuraduk seenaknya.lihat الِاجْتِمَاعُ لِذِكْرِ اللهِ وَاسْتِمَاعِ كِتَابِهِ وَالدُّعَاءِ عَمَلٌ صَالِحٌ tidak ada isyarat pencampuran sedikitpun
IDRUS : Walaupun Tahlilan belum ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri menganggapnya sebagai amal saleh dalam setiap waktu. Kalau sudah amal saleh, mengapa tidak dirutinkan saja? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن عائشة قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « أحب الأعمال إلى الله أدومها ، وإن قل »
“Aisyah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Amal (saleh) yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan paling rutin, meskipun sedikit”. (HR. al-Bukhari [6100], Muslim [783], Ahmad [25356], dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra [4342]).
Pandangan Ibnu Taimiyah bahwa amal saleh yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak boleh dirutinkan, jelas tidak berdalil. Dan dalil hadits, justru sebaliknya, menganjurkan dirutinkan
JAWAB : karena yg dirutinkan yg jelas sunnahnya dirutinkan demikianlah penjelasan sahabat dan para ulama' bahwa adwam itu tidak mesti berarti mengkhususkan.
aisyah sendiri saat ditanya :هل كان يَخُصَّ شيئًا من الأيام ؟ apakah nabi mengkhususkan sesuatu dari hari-harinya? aisyah menjawab : لا ، كان عَملُه دِيمةً tidak,amal beliau tetap(HR.BUKHORI)
yakni tetap seperti air hujan bukan campur aduk,akan tetai tetap sederhana
sebagaimana dikatakan ibnu atsir dalam jamiul ushul:شَبَّهَتْ عمله في دوامه مع الاقتصاد بديمة المطر menyerupai amalnya dalam tetapnya seperti tetapnya air hujan
dan ini hanya untuk ibadah yg dirutinkan,oleh karena para ulama mencontohkannya seperti sholat tathowwu' atau rowatib,dsb yang jelas waktunya.seperti imam syafi'i memasukkannya dalam kitab tathowwu',lihat ma'rifatus sunan wal atsar juz 3 hal 429
IDRUS : Al-Imam Ahmad bin Hanbal rutin mendoakan gurunya dalam shalat sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Baihaqi berikut ini:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، 2/254).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun secara rutin.
JAWAB : soal isi doa terseah asal baik,memang nabi memberi kebebasan,soal rutin dalam sholat,memang dalam sholat tempat2 berdoa bebas,bahkan mustajab.
seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepada Ibnu Mas’ud, nabi bersabda,
ثم ليتخير من الدعاء ما شاء
“Kemudian pilihlah doa yang dia inginkan.”(HR.muslim)
ibnu hajar berkata :واستدل به على جواز الدعاء في الصلاة بما اختار المصلي من أمر الدنيا والآخرة dan itu menjadi dalil bahwa boleh berdoa dalam sholat dg apa yg dipilih musholi dari perkara dunia dan akhirat.
jadi boleh dirutinkan dalam sholat karena tempat doanya jelas,dan isinya bebas dalam kebaikan
IDRUS :Syaikh Ibnu Taimiyah tidak melarang melakukan Tahlilan secara rutin. Beliau hanya menganjurkan, agar jangan terlalu rutin saja, yakni melakukan Tahlilan kok rutin seperti menunaikan shalat berjamaah lima waktu. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah tidak mengharamkan atau melarang Tahlilan secara rutin.
JAWAB :1) ibnu taimiyyah berkata : فَلَا يُجْعَلُ سُنَّةً رَاتِبَةً jadi tidak dijadikan sunnah ratibah dirutinkan,bukan berarti boleh jangan terlalu rutin atau boleh agak rutin.ini akal2an.disitu nafyu penafian rutin secara mutlak mau setengah utin atau seperemat rutin sama saja.kecuali yg rutin saja seperti sholat jamaah,artinya selain yg rutin dimutlakkan saja.
2)justru ibnu taimiyyah jelas melarang tahlilan,masih di kitabnya yang sama di Majmu’ Fatawa juz 24 hal 316
Dimana beliau berkata:
وَأَمَّا صَنْعَةُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا يَدْعُونَ النَّاسَ إلَيْهِ فَهَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ وَإِنَّمَا هُوَ بِدْعَةٌ بَلْ قَدْ قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ : كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ . وَإِنَّمَا الْمُسْتَحَبُّ إذَا مَاتَ الْمَيِّتُ أَنْ يُصْنَعَ لِأَهْلِهِ طَعَامٌ ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ : { اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ }.
“ Adapun keluarga mayit membuat makanan, dan mengundang manusia ke rumahnya maka ini sama sekali tidak di Syari’atkan dan itu termasuk BID’AH bahkan, (salah seorang sahabat yang bernama )Jarir Bin Abdillah berkata:” kami dahulu menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan untuk manusia termasuk dalam Niyahah (meratap), akan tetapi yang disukai jika ada seorang yang meninggal adalah membuat makanan untuk keluarga mayit sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far karena sekarang mereka telah di timpa kesedihan.”

Sabtu, 15 November 2014

TUDUHAN IDRUS : IBNU TAIMIYYAH PECINTA BID'AH


IDRUS : Syaikh Ibnu Taimiyah memiliki rutinitas bid’ah hasanah yang tidak kalah gemparnya, dan Wahabi sampai saat ini belum mampu, dan tidak akan mampu menjawabnya sampai hari kiamat, menjawab rutinitas Ibnu Taimiyah yang tidak memiliki dasar Sunnah versi Wahabi. Al-Imam Umar bin Ali al-Bazzar, murid Ibnu Taimiyah, berkata dalam al-A’lam al-‘Aliyyah fi Manaqib Ibn Taimiyah (hal. 37-39):
فَإِذَا فَرَغَ مِنَ الصَّلاةِ أَثْنَى عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ هُوَ وَمَنْ حَضَرَ بِمَا وَرَدَ مِنْ قَوْلِهِ الَلَّهُمَّ اَنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ ثُمَّ يُقْبِلُ عَلَى الْجَمَاعَةِ ثُمَّ يَأْتِيْ بِالتَّهْلِيْلاَتِ الْوَارِدَاتِ حِيْنَئِذٍ ثُمَّ يُسَبِّحُ اللهَ وَيَحْمَدُهُ وَيُكَبِّرُهُ ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَيَخْتِمُ الْمِائَةَ بِالتَّهْلِيْلِ كَمَا وَرَدَ وَكَذَا الْجَمَاعَةُ ثُمَّ يَدْعُو اللهَ تَعَالى لَهُ وَلَهُمْ وَلِلْمُسْلِمِيْنَ. وَكَانَ قَدْ عُرِفَتْ عَادَتُهُ؛ لاَ يُكَلِّمُهُ أَحَدٌ بِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ بَعْدَ صَلاةِ الْفَجْرِ فَلاَ يَزَالُ فِي الذِّكْرِ يُسْمِعُ نَفْسَهُ وَرُبَّمَا يُسْمِعُ ذِكْرَهُ مَنْ إِلَى جَانِبِهِ، مَعَ كَوْنِهِ فِيْ خِلاَلِ ذَلِكَ يُكْثِرُ فِي تَقْلِيْبِ بَصَرِهِ نَحْوَ السَّمَاءِ. هَكَذَاَ دَأْبُهُ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَمْسُ وَيزُوْلَ وَقْتُ النَّهْيِ عَنِ الصَّلاةِ. وَكُنْتُ مُدَّةَ إِقَامَتِيْ بِدِمَشْقَ مُلاَزِمَهُ جُلَّ النَّهَارِ وَكَثِيْراً مِنَ اللَّيْلِ. وَكَانَ يُدْنِيْنِيْ مِنْهُ َحتَّى يُجْلِسَنِيْ إِلَى جَانِبِهِ، وَكُنْتُ أَسْمَعُ مَا يَتْلُوْ وَمَا يَذْكُرُ حِيْنَئِذٍ، فَرَأَيْتُهُ يَقْرَأُ الْفَاتِحَةَ وَيُكَرِّرُهَا وَيَقْطَعُ ذَلِكَ الْوَقْتَ كُلَّهُ ـ أَعْنِيْ مِنَ الْفَجْرِ إِلَى ارْتِفَاعِ الشَّمْسِ ـ فِيْ تَكْرِيْرِ تِلاَوَتِهَا. فَفَكَّرْتُ فِيْ ذَلِكَ؛ لِمَ قَدْ لَزِمَ هَذِهِ السُّوْرَةَ دُوْنَ غَيْرِهَا؟ فَبَانَ لِيْ ـ وَاللهُ أَعْلَمُ ـ أَنَّ قَصْدَهُ بِذَلِكَ أَنْ يَجْمَعَ بِتِلاَوَتِهَا حِيْنَئِذٍ مَا وَرَدَ فِي اْلأَحَادِيْثِ، وَمَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ: هَلْ يُسْتَحَبُّ حِيْنَئِذٍ تَقْدِيْمُ اْلأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ عَلَى تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ أَوِ الْعَكْسُ؟ فرَأَى أَنَّ فِي الْفَاتِحَةِ وَتِكْرَارِهَا حِيْنَئِذٍ جَمْعاً بَيْنَ الْقَوْلَيْنِ وَتَحْصِيْلاً لِلْفَضِيْلَتَيْنِ، وَهَذَا مِنْ قُوَّةِ فِطْنَتِهِ وَثَاقِبِ بَصِيْرَتٍهٍ، اهـ (عمر بن علي البزار، الأعلام العلية في مناقب ابن تيمية، ص/37-39).
“Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah bersama jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Allahumma antassalam . . . Lalu ia menghadap kepada jamaah, lalu membaca tahlil-tahlil yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu tasbih, tahmid dan takbir, masing-masing 33 kali. Dan diakhiri dengan tahlil sebagai bacaan yang keseratus. Ia membacanya bersama jamaah yang hadir. Kemudian ia berdoa kepada Allah SWT untuk dirinya dan jamaah serta kaum Muslimin. Kebiasaan Ibn Taimiyah telah maklum, ia sulit diajak bicara setelah shalat shubuh kecuali terpaksa. Ia akan terus berdzikir pelan, cukup didengarnya sendiri dan terkadang dapat didengar oleh orang di sampingnya. Di tengah-tengah dzikir itu, ia seringkali menatapkan pandangannya ke langit. Dan ini kebiasaannya hingga matahari naik dan waktu larangan shalat habis. Aku selama tinggal di Damaskus selalu bersamanya siang dan malam. Ia sering mendekatkanku padanya sehingga aku duduk di sebelahnya. Pada saat itu aku selalu mendengar apa yang dibacanya dan dijadikannya sebagai dzikir. Aku melihatnya membaca al-Fatihah, mengulang-ulanginya dan menghabiskan seluruh waktu dengan membacanya, yakni mengulang-ulang al-Fatihah sejak selesai shalat shubuh hingga matahari naik. Dalam hal itu aku merenung. Mengapa ia hanya rutin membaca al-Fatihah, tidak yang lainnya? Akhirnya aku tahu –wallahu a’lam–-, bahwa ia bermaksud menggabungkan antara keterangan dalam hadits-hadits dan apa yang disebutkan para ulama; yaitu apakah pada saat itu disunnahkan mendahulukan dzikir-dzikir yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada membaca al-Qur’an, atau sebaliknya? Beliau berpendapat, bahwa dalam membaca dan mengulang-ulang al-Fatihah ini berarti menggabungkan antara kedua pendapat dan meraih dua keutamaan. Ini termasuk bukti kekuatan kecerdasannya dan pandangan hatinya yang jitu.”
Kesimpulan dari riwayat ini, sehabis shalat shubuh Ibn Taimiyah berdzikir secara berjamaah, dan berdoa secara berjamaah pula seperti layaknya warga nahdliyyin. Pandangannya selalu diarahkan ke langit (yang ini tidak dilakukan oleh warga nahdliyyin). Sehabis itu, ia membaca surah al-Fatihah hingga matahari naik ke atas.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini murni bid’ah dari dirinya. Ia menetapkan satu bacaan secara khusus, yaitu surah al-Fatihah, tanpa ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia membacanya secara rutin pula setiap selesai shalat shubuh hingga matahari naik tanpa ada nash dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.Toh, walaupun apa yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah ini tidak memiliki dalil, kecuali hasil ijtihadnya sendiri, ia masih berhak mendapat pujian dari muridnya, al-Imam Umar bin Ali al-Bazzar dan orang-orang Wahabi, bahwa hal itu sebagai bukti kekuatan kecerdasan Ibn Taimiyah dan pandangan hatinya yang jitu. Di sini kita bertanya-tanya, mengapa Ibn Taimiyah selalu mendapat bonus pujian dari mereka, meskipun melakukan sesuatu tanpa ada dasarnya secara khusus, sementara orang lain akan dikritik bid’ah, syirik dan sesat, manakala rutin mengamalkan shalawat, tahlil, maulid dan lain-lain. Wallahu a’lam.
JAWAB : itulah ahli bid'ah.dalilnya kalau gak lemah ya terjemahannya diacak2nya dg nafsunya.
1) lihat artinya :Apabila Ibn Taimiyah selesai shalat shubuh, maka ia berdzikir kepada Allah BERSAMA jamaah dengan doa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Allahumma antassalam . .
sedangkan disana tidak ada lafadz ma'a atau jamaa'atan.inilah tiu muslihatnya
2)وَكَذَا الْجَمَاعَةُ diartikan Ia membacanya bersama jamaah yang hadir
anak yg baru belajar pun akan ketawa melihat tiu muslihat ini
seharusnya,demikian juga para jamaah juga berdzikir sesuai dg yg datang dari nabi
3)Di tengah-tengah dzikir itu, ia SERINGKALI menatapkan pandangannya ke langit.
ini juga kurang pas
YUKSIR artinya banyak bukan sering sehingga terkesan menyeringkan.jelas ini penyelewangan makna
4) adapun mengulang alfatihah,itu adalah dalam rangka doa dan mengulang2 bukan berarti merutinkan.lazima juga bukan berarti rutin seperti terjemah idrus.tapi mengharuskan memilih alfatihah dibanding selainnya.
karena memang dibolehkan berdoa sendiri setelah sholat sedangkan dalam alfatihah ada doanya
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَـمِينِهِ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ رَبِّ قِنِي عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ أَوْ تَجْمَعُ عِبَادَكَ
Dari al-Bara’ radhiyallâhu'anhu, dia berkata, "Jika kami shalat di belakang Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam, kami senang berada di sebelah kanan beliau. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam akan menghadapkan wajahnya kepada kami. Aku pernah mendengar beliau berdo'a, 'Wahai Rabb-ku, jagalah aku dari siksa-Mu pada hari (kiamat) yang Engkau akan membangkitkan atau mengumpulkan hamba-hamba-Mu'”.
(HR.Muslim, no. 709)
Di dalam hadits lain disebutkan :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ ﻛَﺎنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سَلَّمَ مِنَ الصَّلَاةِ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ ﻟِﻲ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَﺳْﺮَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَﺳْﺮَفْتُ وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي,
أَنْتَ الْـمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْـمُؤَخَّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu, dia berkata, "Kebiasaan Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, jika telah mengucapkan salam (selesai) shalat, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam berdo'a, 'Wahai Allâh Ta'âla ampunilah dosaku yang telah aku lakukan dan (dosa akibat dari kewajiban) yang telah aku tinggalkan, (dosa) yang aku rahasiakan dan yang aku lakukan dengan terang-terangan, yang aku telah melakukan dengan berlebihan dan segala dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripadaku. Engkau adalah Muqaddim (Dzat Yang memajukan orang yang Engkau kehendaki dengan sebab mentaati-Mu atau sebab lainnya) dan Muakhkhir (Yang memundurkan orang yang Engkau kehendaki). Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Engkau'".
(HR. Abu Dâwud, no. 1509; dishahihkan yaikh Al-Albâni rahimahullâh)
Hadits ini dimuat oleh imam Abu Dâwud rahimahullâh dalam kitab Sunannya dalam bab: Mâ yaqûlur rajulu idza sallama (Apa yang diucapkan oleh seseorang jika telah selesai salam)

AQIDAH MA'RUF KHOZIN ASUAWAJA


DIA BERKATA : Uang Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Butuh Uang
( إِذَا كَانَ فِي آخِرِ الزَّمَانِ ؛ لَا بُدَّ لِلنَّاسِ فِيهَا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ ؛ يُقِيمُ الرَّجُلُ بِهَا دِينَهُ وَدُنْيَاهُ ). أخرجه الطبراني في " المعجم الكبير " (20/ 279/660)
Hadis: "Di akhir zaman manusia tidak bisa lepas dari uang. dengan uang ia bisa menegakkan agamanya dan urusan dunianya" (HR Thabrani dalam Mu'jam Kabir)

JAWAB : itulah ibadah mereka hanya dikaitkan uang dan makanan dan pandangan manusia.tahlilah jelas bukan sunnah nabi malah disuburkan,kalau itu hilang banyak kyai hilang uang,makanan dan pandangan manusia serta mata pencaharian pokoknya
padahal hadits itu LEMAH,karena ada perowi abu bakar bin abi maryam,
ibnu hajar :قال في التقريب : ضعيف وكان قد سرق بيته فاختلط dia rowi lemah,telah dicuri rumahnya lalu tecampurlah pikirannya.
yang benar kita semua butuh rizqi alloh

IBN BAZ ATAU IDRUS RAMLI YANG JAHIL TENTANG QIYAS


idrus : kaedah yang Anda sebutkan (الأصل في العبادة التوقيف Hukum asal dalam ibadah itu harus ada tuntunan.) ternyata tidak ada dalam kitab-kitab para fuqaha terdahulu. Kaedah yang Anda sebutkan itu sepertinya buatan al-Albani, ulama Wahabi yang tidak mengerti ilmu fiqih, dan berpenampilan seolah-olah ahli hadits. Kaedah yang Anda sebutkan jelas salah, dan tidak benar.”
JAWAB : he,ente gak tau bukan berarti gak ADA,jangan mencela kecuali diri kamu sendiri atas kebodohanmu.
(1) فتح الباري للشيخ ابن حجر الجزء الثالث ص: 54
الأصل في العبادة التوقف.
(2) وفيه أيضا (2/80):
التقرير فى العبادة إنما يؤخذ عن توقيف.
وفي شرح زُبَدِ ابن رسلان للشافعي الصغير (1/79):
الأصل في العبادات التوقيف.
(3) إحكام الأحكام شرح عمدة الأحكام ابن دقيق العيد – (ج 1 / ص 281)
لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ.
(4) الآداب الشرعية لابن مفلح (2/265)
الأعمال الدينية لا يجوز أن يتخذ شيء منها سببا إلا أن تكون مشروعة فإن العبادات مبناها على التوقيف
(5) شرح الزرقاني على الموطأ (1/434)
الأصل في العبادة التوقيف .
(6) قال ابن تيمية في مجموع الفتاوى (29/17)
ولهذا كان أحمد وغيره من فقهاء أهل الحديث يقولون: إن الأصل فى العبادات التوقيف فلا يشرع منها إلا ما شرعه الله تعالى.
(7) أصول السرخسي الحنفية – (ج 2 / ص 122)
ولا مدخل للرأي في معرفة ما هو طاعة لله، ولهذا لا يجوز إثبات أصل العبادة بالرأي
(8) نيل الأوطار – (ج 2 / ص 413)
وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ: {أُمِرَ بِلَالٌ أَنْ يَشْفَعَ الْأَذَانَ وَيُوتِرَ الْإِقَامَةَ إلَّا الْإِقَامَةَ}.رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ. وَلَيْسَ فِيهِ لِلنَّسَائِيِّ وَالتِّرْمِذِيِّ وَابْنِ مَاجَهْ إلَّا الْإِقَامَةَ .
قَوْلُهُ: (أُمِرَ بِلَالٌ) هُوَ فِي مُعْظَمِ الرِّوَايَاتِ عَلَى الْبِنَاءِ لِلْمَفْعُولِ. وَقَدْ اخْتَلَفَ أَهْلُ الْأُصُولِ وَالْحَدِيثِ فِي اقْتِضَاءِ هَذِهِ الصِّيغَةِ لِلرَّفْعِ، وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ مُحَقِّقِي الطَّائِفَتَيْنِ أَنَّهَا تَقْتَضِيهِ؛ لِأَنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْآمِرِ مَنْ لَهُ الْأَمْرُ الشَّرْعِيُّ الَّذِي يَلْزَمُ اتِّبَاعُهُ، وَهُوَ الرَّسُولُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا سِيَّمَا فِي أُمُورِ الْعِبَادَةِ ، فَإِنَّهَا إنَّمَا تُؤْخَذُ عَنْ تَوْقِيفٍ
Ulama Syafi’iyyah.
Perkataan al-Imam as-Subki seperti yang dinukilkan oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani as-Syafi’ie:
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah tawaqquf (berhenti hingga ada dalil)”.
(Fath al-Bari: 4/174)
Kata pengarang Nihayah al-Muhtaj dalam mazhab As-Syafi’ie:
الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ أَنَّهَا إذَا لَمْ تُطْلَبْ لَا تَنْعَقِدُ
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah jika ia tidak dituntut, ia tidak berlaku”.
(Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj:3/109)
Kata al-Bujairami as-Syafi‘ie menukilkan perkataan as-Syaubari:
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ إذَا لَمْ تَطْلُبْ بُطْلَانَهَا
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah jika tidak dituntut, adalah terbatal”.
(Hasyiah al-Bujairami ‘ala al-Khatib: 3/497)
Kata Muhammad Bin Yusuf Bin Isa Atfisy al-Ibadi:
وَأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَةِ أَنْ لَا تُحْمَلَ عَلَى الْوُجُوبِ إلَّا لِدَلِيلٍ
Terjemahan: “ Bahawasanya asal hukum di dalam ibadat adalah tidak membawa kepada wajib melainkan dengan adanya dalil”.
(Syarh al-Nayl wa Syifa’ al-‘Alil: 7/211)
Kata as-Syeikh Muhammad Bin Muhammad:
الْأَصْلُ فِي الْمَنَافِعِ الْإِبَاحَةُ وَفِي الْمَضَارِّ التَّحْرِيمُ فَقَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْهُمْ الْإِسْنَوِيُّ وَهَذَا إنَّمَا هُوَ بَعْدَ وُرُودِ الشَّرْعِ بِمُقْتَضَى الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ وَأَمَّا قَبْلَ وُرُودِهِ فَالْمُخْتَارُ الْوَقْفُ
Terjemahan: “Asal hukum dalam perkara bermanafaat ialah mubah (harus) manakal dalam perkara mudarat ialah haram. Maka berkata ramai ulama antaranya al-Imam al-Isnawi: dan ini hanya berlaku selepas disyariatkan dengan dalil-dalil syar‘ie, sedangkan sebelum warid (ada dalil), maka pilihan para ulama ialah waqf (berhenti pada dalil)”.
(Al-Taqrir wa al-Tahbir: 3/19 8)
Kata pengarang kitab Syarah al-Bahjah al-Wardiyyah dalam Fiqh Syafi‘ie:
الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ
Terjemahan: “Asal hukum di dalam ibadat adalah tawqif (bersandarkan kepada dalil)”.(Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: 4/150)
Imam Ibnu Daqiiq Al ‘Iid:
“Karena umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”
 SYARH ZUBAD karya arRomly asySyafii(w.1004)
وفي شرح زُبَدِ ابن رسلان للشافعي الصغير (1/79): (( الأصل في العبادات التوقيف ))
Ulama Hanabilah (Imam Ahmad Bin Hanbal).
Imam Ibnu Muflih:
“Amal-amal yang berkaitan dengan agama tidak boleh membuat sebab (berkreasi), kecuali disyariatkan. Karena pokok ibadah adalah tauqif (diam sampai datang dalil).”
Ulama Malikiyyah
Imam Zarqoni:
“Asal dalam Ibadah adalah tauqif”
Ulama Hanafiyyah (Imam Abu Hanifah)
Imam Syarkhisyi:
“Logika tidak masuk dalam mengetahui sesuatu yang merupakan taat kepada Alloh (ibadah), oleh karena itu tidak boleh menetapkan asal ibadah dengan logika”.
Ulama Zaidiyyah
Imam Syaukani:وفي نيل الأوطار للشوكاني (2/20): (( ... لا سِيَّمَا في أُمُورِ الْعِبَادَةِ فَإِنَّهَا إنَّمَا تُؤْخَذُ عن تَوْقِيفٍ ))
“Ibadah di ambil dari tauqif.”

IDRUS :Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu, juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:
حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي دُعَاءِ الْوِتْرِ
س: مَا حُكْمُ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي الْوِتْرِ؟
ج: يُشْرَعُ رَفْعُ الْيَدَيْنِ فِيْ قُنُوْتِ الْوِتْرِ؛ لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ فِي النَّوَازِلِ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ رَفَعَ يَدَيْهِ حِيْنَ دُعَائِهِ فِيْ قُنُوْتِ النَّوَازِلِ. خَرَّجَهُ الْبَيْهَقِيُّ رَحِمَه ُاللهُ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ .
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana). Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan sanad yang shahih.” (Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.)
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa qiyas termasuk sumber pengambilan hukum syari’at, termasuk hukum-hukum ibadah. Sedangkan asumsi sebagian kaum Wahabi bahwa qiyas tidak boleh dilakukan dalam bab ibadah, jelas tertolak, karena tidak memiliki landasan dari al-Qur’an, Sunnah dan tradisi para sahabat dan kaum salaf. Wallahu a’lam.
JAWAB : itu akibat kejahilan ente.lihat kata syeikh ibn baz : لأَنَّهُ مِنْ جِنْسِ الْقُنُوْتِ karena termasuk jenis qunut.sedang nazilah dan witir cabangnya sedangkan dalam cabang ibadah disitu boleh qiyas.bukan ashl ibadah.Syaikh Dr Saad as Syatsri mengatakan, “Ashl ibadah
itu tidak boleh ditetapkan dengan dasar qiyas atau analog. Kita tidak
boleh menetapkan shalat baru dengan dasar qiyas. Andai ada yang
mengatakan bahwa di pertengahan siang ada dua shalat yaitu zhuhur dan
ashar maka hendaknya di pertengahan malam juga ada dua shalat yaitu Isya
dan selainnya. Dengan tegas kita katakan bahwa ini adalah amalan yang
tertolak dan tidak diterima karena ashl ibadah tidaklah ditetapkan
dengan qiyas.
بخلاف
تفاريع العبادة فإننا قد نثبتها بواسطة القياس مثال ذلك لو جاء الإنسان
فقال التيمم يشرع له التسمية قياسا على الوضوء. الوضوء واضح هناك الأحاديث
ترد التسمية في الوضوء فنقول بمشروعية التسمية للوضوء لذا لو جاء الإنسان
قال نقيس الوضوء بالاغتسال والتيمم فيقول يشرع لها البسملة فيكون بذلك
وجهه.
Lain halnya dengan cabang2 ibadah, maka terkadang kita
menetapkannya dengan qiyas. Misalnya dituntunkan untuk menyebut nama
Allah ketika bertayamum dengan dasar qiyas dengan wudhu. Untuk wudhu
terdapat hadits yang menunjukkan dituntunkannya tasmiyah atau menyebut
nama Allah ketika berwudhu sehingga dengan tegas kita katakan
dituntunkan menyebut nama Allah ketika berwudhu sehingga jika ada yang
mengatakan kita analogkan mandi dan tayamum dengan wudhu oleh karena itu
dituntunkan menyebut nama Allah ketika itu maka ini adalah pendapat
yang sangat beralasan”
demikianlah pemahaman ibn baz sama dg imam ahmad, kalau ente menyalahkan ibn baz sama aja ente merasa lebih hebat dari imam ahmad murid imam syafi'i langsung imam ahlussunnah.
idrus : Al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dengan sanad yang shahih:
عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ أَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكٍ : شَهِدَ جَنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ اْلأَنْصَارِ قَالَ فَأَظْهَرُوا اْلاِسْتِغْفَارَ فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ
“Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari terhadap mereka.” (HR. Ahmad [4080]).
Dalam hadits di atas, Anas bin Malik tidak mengingkari atau memprotes terhadap mereka yang membaca istighfar dengan suara keras di hadapan jenazah. Padahal bacaan tersebut belum pernah dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
JAWAB : itu akibat kedangkalan ilmu ente, sebenarnya dalam sanadnya ada husyaim,dia kata ibrohim ibn ya'qub : ما شئت من رجل غير أنه كان يروى عن قوم لم يلقاهم فالتثبت في حديثه الذي ليس فيه تبيان سماعه من الذين روى عنهم أصوب
aku tidak mencela dari lelaki selain karena dia sering meriwayatkan dari kaum yg tidak ditemuinya,maka tasabutlah,telitilah dulu haditsnya yg tidak ada kejelasan sama' yakni dia mendengar langsung dari mereka yg lebih benar.
sedangkan disana tidak ada kejelasan sama'nya
imam annasai berkata :dia mudallis
yazid ibn harun ما رأيت أحفظ من هشيم إلا سفيان الثوري إن شاء الله tidak ada yg lbih hafal darinya kecuali sufyan attsauri,sdangkan beliau sendiri berkata,imam sufyan astsauri: لا تكتبوا عنه jangan kalian tulis hadits darinya.
yahya ibn ma'in :ما أدراه ما يخرج من رأسه aku tidak tahu apa itu yg keluar dari kepalanya
begitu juga ada rowi kholid,ibnu ady memasukkan dalam daftar perawi lemah,
abu hatim arrozi:يكتب حديثه ، ولا يحتج به ditulis haditsnya tapi tidak berhujjah dengannya
ibnu hajar :ثقة يرسل ، وعاب عليه بعضهم دخوله في عمل السلطان tsiqoh tapi sering memursalkan dantelah mencelanya sebagian ahli hadits karena masuknya dia ke dalam amal sulton
kalaupun shohih,itu bukan hujjah qiyasnya idrus,tapi disana bukan sekedar menampakkan istighfar,namun istighfar minta ampun untuk mayit.dan tidak ada istighfar berjamaah.
kalau sekedar menampakkan minta amun untuk mayit itu temasuk sunnah nabi,ya jelas anas tidak mengingkarinya.
semua itu jelas dalam riwayat lengkapnya
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، أَخْبَرَنَا خَالِدٌ ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ ، شَهِدَ جِنَازَةَ رَجُلٍ مِنَ الأَنْصَارِ ، قَالَ : فَأَظْهَرُوا الاِسْتِغْفَارَ - فَلَمْ يُنْكِرْ ذَلِكَ أَنَسٌ ، قَالَ هُشَيْمٌ : قَالَ خَالِدٌ ، فِي حَدِيثِهِ - وَأَدْخَلُوهُ مِنْ قِبَلِ رِجْلِ الْقَبْرِ وَقَالَ هُشَيْمٌ مَرَّةً : إِنَّ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ مَاتَ بِالْبَصْرَةِ ، فَشَهِدَهُ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ ، فَأَظْهَرُوا لَهُ الاِسْتِغْفَارَ.
“menceritakan kami husyaim,mengkabarkan kami kholid,Dari Ibnu Sirin, bahwa Anas bin Malik menghadiri jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Lalu orang-orang membaca istighfar dengan suara keras. Ternyata Anas tidak mengingkari terhadap mereka.”husyaim berkata:kholid berkata dalam haditsnya,maka masukkan mayit itu melalui kaki qubur.suatu waktu husyaim berkata : sungguh seorang lelaki dari anshor mati di bashroh maka anas menyaksikannya,maka mereka menampakkan istighfar BAGI MAYIT

KEBOBROKAN DALIL TAWASUL


Diriwayatkan oleh al-Thabrani dalam kitab Mu'jam al Kabir dan al-Ausath dalam redaksi hadis yang sangat panjang dari Anas, bahwa ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim (Ibu Sayyidina Ali) wafat, maka Rasulullah turut menggali makam untuknya dan Rasul masuk ke dalam liang lahadnya sembari merebahkan diri di dalam liang tersebut dan beliau berdoa:
اللهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ اِغْفِرْ ِلأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ وَلَقِّنْهَا حُجَّتَهَا وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مَدْخَلَهَا بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِي فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ (رواه الطبراني في المعجم الكبير 20324 والاوسط 189 ورواه ابو نعيم فى حلية الاولياء عن انس 3 / 121)
"Allah yang menghidupkan dan mematikan. Allah maha hidup, tidak akan mati. Ampunilah ibuku, Fatimah binti Asad, tuntunlah hujjahnya dan lapangkan kuburnya, dengan haq Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Sesungguhnya Engkau dzat yang paling mengasihi" (HR al-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir No 20324, al-Ausath No 189 dan Abu Nuaim dalam Hilyat al-Auliya' III/121 dari Anas bin Malik)
Ahli hadis al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami mengomentari hadis tersebut:
رَوَاهُ الطَّبْرَانِي فِي الْكَبِيْرِ وَاْلاَوْسَطِ وَفِيْهَ رَوْحُ بْنُ صَلاَحٍ وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَفِيْهِ ضُعْفٌ ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيْحِ (مجمع الزوائد ومنبع الفوائد 9 / 210)
"Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitab Mu'jam al Kabir dan al-Ausath, salah satu perawinya adalah Rauh bin Shalah, ia dinilai terpercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, tetapi ia dlaif, sedangkan yang lain adalah perawi-perawi sahih" (Majma' al-Zawaid wa Manba' al-Fawaid IX/210)
Sayid Muhammad bin Alawy al-Maliki berkata:
وَاخْتَلَفَ بَعْضُهُمْ فِى رَوْحِ بْنِ صَلاَحٍ اَحَدِ رُوَاتِهِ وَلَكِنَّ ابْنَ حِبَّانَ ذَكَرَهُ فِى الثِّقَاتِ وَقَالَ الْحَاكِمُ ثِقَةٌ مَأْمُوْنٌ قَالَ الشَّيْخُ الْحَافِظُ الْغُمَّارِى فِى اتِّحَافِ اْلاَذْكِيَاءِ (ص 20) وَرَوْحٌ هَذَا ضُعْفُهُ خَفِيْفٌ عِنْدَ مَنْ ضَعَّفَهُ كَمَا يُسْتَفَادُ مِنْ عِبَارَاتِهِمْ وَلِهَذَا عَبَّرَ الْهَيْثَمِى بِمَا يُفِيْدُ خِفَّةَ الضُّعْفِ كَمَا لاَ يَخْفَى عَلَى مَنْ مَارَسَ كُتُبَ الْفَنِّ فَالْحَدِيْثُ لاَ يَقِلُّ عَنْ رُتْبَةِ الْحَسَنِ بَلْ عَلَى شَرْطِ ابْنِ حِبَّانَ (كلمة فى التوسل ص 11)
"Sebagian ulama berbeda pendapat mengenai salah satu perawinya, Rauh bin Shalah, namun Ibnu Hibban menggolongkannya sebagai orang-orang terpercaya dalam kitab al-Tsiqat, dan al-Hakim berkata: Ia terpercaya dan amanah. Al-Hafidz al-Ghummari berkata dalam Ittihaf al-Adzkiya' hal. 20: Perawi Rauh ini tingkat kedlaifannya rendah bagi ulama yang menilainya dlaif, hal ini diketahui dari redaksi penilaian mereka tentang Rauh. Oleh karenanya, al-Haitsami menilai dengan redaksi yang ringan (فيه ضعف) sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari ilmu ini (al-Jarh wa al-Ta'dil). Dengan demikian, hadis ini tidak kurang dari status hadis Hasan bahkan sesuai kriteria kesahihan Ibnu Hibban" (Kalimat fi al-Tawassul hal. 20)
JAWAB :
Hadits ini lemah sekali atau palsu didalamnya ada cacatnya:
Yang pertama:
Rawh bin As Shalah Al Misyri dan dikatakan bin Siyabah Al Haritsi "telah melemahkanya Ad Daruqutni dan selainnya"
Berkata Ibnu Ady "hadits lemah" (Al Kamil 3/146)
Berkata Ibnu Yunus "hadits mungkar"
Berkata Ibnu Makulan"hadits lemah"
Berkata Ats Tsauri "hadits mungkar"
Berkata Ibnu Al Jauzi "Rawh bin As Shalah Al Misyri orang yang tidak diketahui asalnya dan Ibnu Adi melemahkannya. (Al'ilal Al Mutanahiyah 1/270)
daruqutni :ضعيف في الحديث lemah dalam hadits
ibnul madini :ضعفه له أحاديث كثيرة في بعضها نكرة menyatakan dia lemah,dia punya hadits yg banyak yg sebagian ada ketidakjelasan
Berkata As Syaukani Hadits Fatimah binti Asad lemah karena didalamnya ada Rawaha bin As Shalah Al Misyri, dia orang yang lemah.(Ad Daru An Nadhid Fi Iklasi Kalimati At Tauhid hal 64)
Berkata As Syaikh Abdurrahman Ad Dausary "hadits ini tidak sehat baik dari formula mantannya, dari lafadznya yang aneh dan berlebihan sehingga menunjukkan ketidak benarannya dan sanadnya lemah"
Ulama’ yang menganggapnya tsiqoh (terpercaya) hanyalah Ibnu Hibban dan al-Haakim. Namun penilaian ke-tsiqohan tersebut dalam hadits ini tidak bisa diterima karena :
1. Pendapat Ibnu Hibban dan al-Haakim menyelisihi banyak ulama’ lain yang telah disebutkan di atas.
2. Ibnu Hibban dan al-Haakim dikenal sebagai mutasaahil (terlalu bermudah-mudahan) dalam penilaian tsiqah. Ibnu Hibban banyak meletakkan perawi dalam kitabnya ats-Tsiqaat yang sebenarnya majhuul (tidak dikenal).
As-Sakhowy –murid al-Hafidz Ibnu Hajar- menyatakan dalam Fathul Mughits juz 1 halaman 35 :
وابن حبان يداني الحاكم في التساهل
“ dan Ibnu Hibban mendekati al-Haakim dalam hal ‘tasaahul’ (menggampangkan)
بل ربما يخرج للمجهولين
“ bahkan kadang-kadang mengeluarkan (perawi) yang (masuk kategori) tidak dikenal”
3. Ibnu Hibban menyatakan dalam kitabnya ats-Tsiqoot tentang Rouh bin Sholaah :
روح بن صلاح: من أهل مصر، يروي عن يحيى بن أيوب، وأهل بلده، روى عنه محمد بن إبراهيم البوشنجي، وأهل مصر
“Rouh bin Sholaah termasuk penduduk Mesir. Meriwayatkan dari Yahya bin Ayyub dan penduduk negerinya. Orang yang meriwayatkan darinya adalah Muhammad bin Ibrahim al-Buusyinji dan penduduk Mesir” (Lihat Ats-Tsiqoot juz 8 halaman 244).
Perhatikanlah, bahwa sebenarnya Rouh bin Sholaah menurut biografi yang ditulis Ibnu Hibban seharusnya meriwayatkan hadits dari Yahya bin Ayyub atau penduduk negerinya yaitu Mesir. Sedangkan dalam hadits tentang tawassul tersebut Rouh bin Sholaah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsaury yang sebenarnya adalah penduduk Iraq, bukan Mesir. Sehingga hadits ini termasuk riwayat munkar dari Rouh bin Sholaah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil.
syubhat kedua :
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa’id al Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
“من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك” (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى “أقبل الله عليه بوجهه” ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .
Maknanya: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo’a: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo’a kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum’ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya” (H.R. Ahmad dalam “al Musnad”, ath-Thabarani dalam “ad-Du’a”, Ibn as-Sunni dalam” ‘Amal al Yaum wa al-laylah”, al Bayhaqi dalam Kitab “ad-Da’awat al Kabir” dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al ‘Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
JAWAB :
dari sisi riwayat, hadits ini lemah. Di dalamnya terdapat perawi yang bernama ‘Athiyyah. Imam an-Nawawi menyatakan dalam al-Adzkaar bahwa perawi ini lemah. AdzDzahaby menyatakan dalam kitab adDhu’afaa’ (1/88) bahwa perawi ini disepakati kelemahannya. AlBushiry menyebutkan dalam Misbahuz Zujaajah (2/52) :
هذا إسناد مسلسل بالضعفاء: عطية وفضيل بن مرزوق والفضل بن الموفق كلهم ضعفاء
“sanad hadits ini adalah mata rantai para perawi lemah : ‘Athiyyah, Fudhail bin Marzuq, dan al-Fadhl bin al-Muwaffiq seluruhnya lemah”.
ibnu hajar ttg fadhl :قال في التقريب : فيه ضعف padanya kelemahan
ibnu hajar ttg athiyyah :قال في التقريب : صدوق يخطىء كثيرا وكان شيعيا مدلسا jujur banyak salah,syiah dan mudallis
ibnu hajar ttg fudhoil : قال في التقريب : صدوق يهم ، ورمي بالتشيع jujur tapi wahm dan tertuduh syiah
syubhat ketiga
يَا مُحَمَّدُ اِسْتَسْقِ ِلاُمَّتِكَ فَاِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوْا (رواه ابن ابي شيبة باسناد صحيح)
jawab :
Pertama: Orang yang datang ke kuburan Nabi tersebut adalah majhul (tidak diketahui siapa ia), adapun perkataan Al Hafidz ibnu Hajar dalam fathul baari bahwa ia bernama Bilaal bin Al Harits sebagaimana dalam riwayat Saif bin Umar adalah tertolak, karena Saif bin Umar ini disepakati oleh para ulama hadits kelemahannya, bahkan ibnu Hibban berkata: “Ia suka meriwayat hadits-hadits maudlu’ (palsu) dari perawi yang tsiqat, dan mereka berkata bahwa ia suka memalsukan hadits, bahkan ibnu Hibban dan Al Hakim menuduhnya zindiq[Tahdzibuttahdzib 4/296.].
Bila ada yang berkata: “Akan tetapi Saif bin Umar dapat dipercaya periwayatannya dalam tarikh, sebagaimana yang dikatakan oleh Adz Dzahabi: “Ia (Saif) sama dengan Al Waqidi”. Yaitu dapat dipercaya dalam sejarah, dan itu juga yang dikatakan oleh Al Hafidz ibnu Hajar dalam dalam taqribnya, beliau berkata: “Dla’if dalam hadits dan umdah (sandaran) dalam tarikh (sejarah)”. Dan penyebutan nama adalah termasuk sejarah.
Dijawab: Bahwa Al Hafidz tidak menyebutkan dari siapa Saif meriwayatkan riwayat tersebut, terlebih Saif bin Umar meriwayatkan dari perawi-perawi yang banyak yang majhul sebagaimana dikatakan oleh Adz Dzahabi dalam Mizannya, sehingga inipun tidak dapat dijadikan sandaran, dan tidak dapat memberi kepastian tentang siapa nama laki-laki yang datang ke kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Malik Ad Daar perawi dalam kisah itu adalah majhul hal yaitu perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih dan tidak ada yang mentsiqahkan tidak juga menjarhnya, dan periwayatan majhul hal adalah tertolak.
Bila dikatakan: Akan tetapi disebutkan dalam riwayat lain bahwa Malik Ad Daar ini Bendahara Umar, dan tidak mungkin Umar mengangkat seseorang sebagai bendahara kecuali orang yang ‘adil dan dapat dipercaya.
Dijawab bahwa seorang yang dipercaya sebagai bendahara belum tentu dipercaya dalam periwayatan hadits, karena berbeda antara dua perkara tersebut, sebagaimana banyak perawi-perawi yang dipercaya menjadi qadli, namun dalam periwayatan haditsnya tertolak, sehingga alasan seperti ini adalah lemah dan tidak dapat diterima.
oleh karena itu imam Al Bukhari dalam Tarikhnya hanya mengeluarkan perkataan Umar saja: “Ya Rabb, Aku terus berusaha kecuali yang aku tidak mampu”. Dan tidak menyebutkan kisah tersebut, seakan kisah tersebut tidak sah di sisi beliau.

Jumat, 14 November 2014

PENJARA PEGAWAI


pegawai dalam islam sangat dilindungi hak-haknya,sedangkan yang merampasnya akan menjadi musuh alloh kelak.
Bukhari dan yang lainnya telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Allah Ta’ala berfirman,
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَجُلٌ أَعْطَى بِي ثُمَّ غَدَرَ , وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأكَلَ ثَمَنَهُ , وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ
“Tiga Jenis (manusia) yang Aku akan menjadi musuhnya kelak pada hari kiamat, yaitu: seseorang yang memberi dengan nama-Ku, kemudian berkhianat; seseorang yang menjual orang yang merdeka (bukan budak), kemudian memakan uangnya; dan seseorang yang mempekerjakan pekerja dan telah diselesaikan pekerjaannya, tetapi ia tidak memberikan upahnya.”


pegawai dibayar sesuai jam kerjanya,selain itu majikan tidak punya hak sama sekali untuk menahan pegawainya dikantor sedang pegawai itu tidak ada jam kerja disana.apalagi menyuruh 10 menit lebih awal atau pulang 10 menit lebih telat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).
adapun berdalil dg hadits Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)
Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Semua persyaratan yang bertentangan dengan Kitabullah maka itu batil, sekalipun berjumlah seratus syarat. ” (HR. Bukhari no. 2023 dan Muslim no. 2762 )
Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil).

PENAFSIRAN CUKUR QAZA' TERLUCU


ada seorang ustadz berkata :mencukur rambut itu harus sama panjangnya.kalau depan 2 cm semua depan kanan kiri juga harus 2 cm juga.kalau tidak itu haram karena termasuk cukur qaza'
JAWAB : he, sungguh terlalu.dari mana asal perkataan nyleneh semacam ini.maka kembalilah kepada penafsiran ulama'
Telah sah dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْقَزَعِ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang dari Qaza’.”
Ditanyakan kepada Nâfi’ yang meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, “Apa Qaza’ itu?”
Nâfi’ menjawab, “Sebagian kepala anak kecil digundul, dan sebagian yang lainnya ditinggalkan.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Lafazh hadits milik Muslim.]
Para ulama menyebutkan bahwa Qaza’ memiliki empat bentuk.
Pertama, menggundul tanpa berurut. Dia menggundul bagian kanan, bagian kiri, ubun-ubun dan tengguknya.
Kedua, menggundul bagian tengah dan meninggalkan dua bagian lainnya.
Ketiga, menggundul samping-sampingnya dan membiarkan bagian tengahnya.
Keempat, menggundul ubun-ubun saja dan membiarkan bagian yang lainnya.
[Baca Asy-Syarah Al-Mumti’ 1/167 karya Syaikh Ibnu ‘Utsamin dan Asy-Syarh Al-Mukhtashar ‘Alâ Zâd Al-Mustaqni’ 1/123 karya Syaikh Shalih Al-Fauzan]

SYUBHAT QUNUT SHUBUH 2


tentang hadits :
حدثنا أحمد بن منيع أخبرنا يزيد بن هارون عن أبي مالك الأشجعي قال: قلت لأبي: يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي بن أبي طالب هاهنا بالكوفة، نحوا من خمس سنين، أكانوا يقنتون؟ قال: أي بني محدث.
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’: Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun dari Abu Maalik Al-Asyja’iyia berkata : “Aku pernah bertanya kepada ayahku: ‘Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy di sini, yaitu di Kuufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka semua melakukan qunut ?”. Ayahku menjawab : “Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 402, dan ia berkata : “Hadits ini hasan shahih”].
mereka berkata : Sebagian ulama mengatakan hadits ini telah terjadi tashih dan tahrif. Ucapan rowi yang berbunyi :
أي بني محدث
“Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru)”
Telah terjadi kerancuan lafadznya dengan makna yang berbeda yang bukan maksud sebenarnya. Lafadz (أي)  dengan alif yang difathah, maknanya adalah “ Aku heran “, menjadi syubhat dengan lafadz  (إي) yang alifnya dikasrah yang bermakna  “ Ya “.
Sedangkan lafadz (محدث)  “ Perkara baru “ adalah isim yang rancu dengan lafadz (فحدث)   “ Maka sapaikanlah hadits ini “, huruf fa’nya dirubah menjadi huruf mim. Ini merupakan bentuk tashif yakni hadis yang sudah diubah titiknya (mushahhaf), dan bentuknya (muharraf). Maka seharunya berbunyi :
إي بني فحدث
“ Ya wahai anaku (mereka melakukan qunut), maka sampaikanlah dengan ini “.
Hadits tersebut dengan lafadz  أي بني محدث   dan semisalnya disebutkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah, padahal dari mereka pula telah datang hadits yang menentangnya sebagaimana pemaparan kami sebelumnya, terutama dari dua sahih.
Dan pertanyaan yang menggunakan huruf istifham seharusnya jawabannya pada umumnya menggunakan huruf Na’am (ya) atau Laa (tidak) atau semisalnya, dan ini menguatkan hujjah kami.
JAWAB : tashif darimana ??? justru banyak riwayat lain yang menjelaskan kebenaran,dan hadits satu dg yg lain saling menjelaskan.lihatlah :
1) memang sebagian riwayat memakai istifham dan sebagian tidak,dan semua mu'tamad.
(أكانوا يقنتون) بإثبات همزة الاستفهام. وفي نسخ المصابيح بإسقاطها. واختلفت نسخ الترمذي في ذلك، فبعضها بحذفها وبعضها بإثباتها
adapun lafadz (أكانوا يقنتون) dg menetapkan hamzah bentuk pertanyaan dan dalam naskah al mashobih dg menghilangkanya.dan berbeda2 pula naskah imam tirmidzi tentang itu,sebagian dg menghilangkannya dan sebagian menetapkannya(MURO'ATUL MAFATIH juz 4 hal 308)
2) adapun yang menetapkan ternyata ada yang sempurna dg jawabannya yaitu laa atau tidak dalam riwayat imam ahmad no 26570
حدثنا عبد الله حدثني أبى حدثنا حسين بن محمد ثنا خلف عن أبى مالك قال : كان أبى قد صلى خلف رسول الله صلى الله عليه و سلم وهو بن ست عشرة سنة وأبي بكر وعمر وعثمان فقلت له أكانوا يقنتون قال لا أي بني محدث
3) adapun yang tidak memakai soal pun juga ada,tanpa jawaban laa.riwayat ibnu majah no.1241
 حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة . حدثنا عبد الله بن إدريس وحفص بن غياث ويزيد بن هارون عن أبي مالك الأشجعي سعد بن طارق قال
 : - قلت لأبي يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى الله عليه و سلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي هاهنا بالكوفة نحوا من خمس سنين . فكانوا يقنتون في الفجر ؟ فقال أي بني محدث
4) adapula yg langsung menyatakan bid'ah bukan fahaddis,riwayat nasai no.1069
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، عَنْ خَلَفٍ وَهُوَ ابْنُ خَلِيفَةَ، عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، قال: صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ  " فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ فَلَمْ يَقْنُتْ، ثُمَّ قَالَ: يَا بُنَيَّ إِنَّهَا بِدْعَةٌ "
5) ibnu hajar telah mengesah riwayat semacam ini
قال الحافظ في التلخيص إسناده حسن
imam bukhori un mnshohihkan
قال البخاري : طارق بن الأشيم له صحبة .
 وهذا الإسناد صحيح
adapun yg mencacatnya hanyalah yg fanatik saja demikian dikatakan bukhori
وقد تعصب أبو بكر الخطيب فقال : في صحبة طارق نظر
imam ibnul hammam :
قال ابن الهمام وهذا سند لا غبار عليه وبما ذكرناه نقطع بأن القنوت لم يكن سنة راتبة ، ولو كان راتبة يفعله عليه الصلاة والسلام كل صبح يجهر به ، ويؤمن من خلفه أو يسر به ، كما قال مالك إلى أن توفاه الله تعالى ، لم يتحقق هذا الاختلاف بل كان سبيله أن ينقل كنقل جهر القراءة ومخافنتها وأعداد الركعات
sanad hadits ibni tidak ada debu diatasnya/tidak ada cacat padanya,dan dg itu kami nyatakan bahwa qunut bukan sunnah yg dirutinkan,andai dirutinkan tentu nabi melakukan tiap shubuh dan mengeraskan dan mengamini yg dibelakangnya atau melirihkannya,seperti dikatakan imam malik yakni sampai nabi wafat tidak jelas nampak perbedaan ini,justru seharusnya di nukil dari beliau seperti dinukilnya bacaan sholat saat mengeraskan dan melirihkannya dan seperti jumlah rokaat dalam kitab tuhfatul ahwadzi juz 2 hal 362
أن القول الراجح هو أن القنوت مختص بالنوازل
sesungguhnya pendapat yg terkuat adalah bahwa qunut dalam sholat wajib hanya khusus ketika nawazil ada bencana.
6) adapun perkataan Imam Sufyan Ats Tsauri yang berkata :
إِنْ قَنَتَ فِى الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ.
Jika melakukan qunut maka itu baik dan jika meninggalkannya itu juga baik
maka dijawab : ini menunjukan itu bukan sesuatu yg pantas dirutinkan.sedangkan Imam Sufyan Ats Tsauri yang berpendapat untuk tidak melakukan qunut,lihat lengkap perkataannya :
إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ فِي الْفَجْرِ

Jika melakukan qunut maka itu baik dan jika meninggalkannya itu juga baik dan Imam Sufyan Ats Tsauri memilih untuk tidak berqunut,begitu pula imam ibnul mubarok berpendapat tidak berqunut dalam sholat shubuh.

Selasa, 11 November 2014

SYUBHAT QUNUT SHUBUH


حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ يَعْنِي الرَّازِيَّ عَنِ الرَّبِيعِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Ja’far – yaitu Ar-Raaziy – , dari Ar-Rabii’ bin Anas, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan qunut di waktu Shubuh hingga meninggal dunia”[Diriwayatkan oleh Ahmad 3/162. Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4963, Ad-Daaruquthniy 2/370-372 no. 1692-1694, Ibnu Abi Syaibah 2/312, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 556, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/244, Al-Baihaqiy 2/201, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 639, Al-Haazimiy dalam Al-I’tibaar hal. 86, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 2128; semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-Raaziy. Al-Baihaqiy berkata : “Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah “.]
SYUBHAT :1)Abu Ja’far – yaitu Ar-Raaziy – telah ditsiqohkan banyak ulama
jawab : iya memang banyak yang mentsiqohkan,namun semua mujmal seperti Ibnu Abi Khaitsamah berkata, “ Yahya bin Ma’in ditanya tentang Abu Jakfar ar-Razi, maka beliau menjawab “ Dia shalih (baik/patut) “. padahal dalam riwayat lain disebutkan :يكتب حديثه ولكنه يخطىء,ditulis haditsnya(sebagai penguat) namun perawi yg salah.
“ Imam Ahmad ditanya tentang Abu Jakfar ar-Razi, maka beliau menjawab, “ Haditsnya baik .namun dalam riwayat lain dari anaknya :ليس بقوي فى الحديث
dia (Abu Ja’far) tidak kuat dalam hadits

Abu Zur’ah berkata bahwa dia (Abu Ja’far) sering keliru dan Al Fallas berkata bahwa hafalannya (Abu Ja’far) buruk, bahkan Ibnu Hibban berkata bahwa dia (Abu Ja’far) menceritakan riwayat-riwayat yang mungkar dari orang-orang yang terkenal.
dari sini saja terlihat ta'dilnya mujmal(global) sedang jarhnya mufassar.(terperinci)dan itu harus didahulukan menurut kesepakatan ahli hadits.
2)syubhat : ibnu hajar :  صدوق ، سيء الحفظ خصوصا عن المغيرة
Dia seorang yang jujur, tetapi hafalannya buruk, khususnya (riwayat) dari Mughirah. 
mereka  berkata : kesalahan dan jeleknya hafalan yang disematkan padanya hanya terkhusus pada riwayatnya dari Mughirah
jawab : disitu jelas dia lemah apalagi dari mughiroh,bukan berarti selain dari mughiroh tsiqoh.
misal ada orang ceramah berkata: hadirin yg saya hormati khususnya tuan rumah.ini bukan berarti selain tuan rumah tidak dihormati.
ini semakin jelas dalam perkataan ibnul madini  dari ayahnya : “Ia seperti Muusaa bin ‘Ubaidah. Ia sering kacau dalam hadits yang ia riwayatkan dari Mughiirah dan yang SEPERTINYA”.
JADI BUKAN DARI MUGHIROH SAJA.
3) HADITSNYA MINIMAL  HASAN KARENA RINGAN yaitu buruk HAFALANNYA

jawab : justru bahkan itu hadits mungkar.karena pengertian hadits mungkar yaitu 


هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَنْفَرِدُ بِرِوَايَتِهِ الرَّاوِي الضَّعِيْفِ، أَوْ مَا يُخَالِفُ بِهِ مَنْ هُوَ أَقْوَى مِنْهُ
Adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if, atau hadits itu bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat darinya.
Diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if; Maksudnya, adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dha’if dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat, atau yang setingkat apabila kedha’ifannya ringan.

syubhat : dia kan shoduq bagaimana disebut haditsnya munkar?
jawab :  Bahwa rawi yang shaduq kadang-kadang haditsnya dikategorikan munkar dalam dua kondisi; Pertama, Apabila ia meriwayatkan seorang diri dengan matan yang munkar tanpa diikuti dengan tabi’ dari periwayat yang lain, atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat dari rawi yang siqah. Contohnya, hadits yang diriwa-yatkan oleh Imam Ahmad (2/423 dan 510), Abu Dawud (2350) dengan jalan dari Hammad bin Salamah
 حَدَّثَنَا حَمَّادٌ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda; Apaila salah seorang di antara kalian mendengar adzan sedangkan piring ada di tangannya, maka janganlah diletakkan sehingga selesai memakannya.
Muhammad bin Amr bin Alqamah adalah shaduq, Dia telah melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits Abu Salamah. Ibnu Ma’in berkata, “Ia meriwayatkan hadits dari Abu Salamah sekali dengan riwayatnya, kemudian meriwayatkan hadits itu sekali lagi dari Abu Salamah dari Abu Hurairah”
Ia meriwayatkan hadits ini seorang diri dari Abu Salamah, dan tak ada tabi’ dari seorang pun. Demikian juga matan hadits ini munkar, jika dibandingkan dengan matan hadits dari Aisyah , yang tersebut di dalam shahihain secara marfu’;
كُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُؤَذِّنُ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ
Makanlah dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena ia tidak akan mengumandangkan adzan sebelum terbit fajar.
Kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sehingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan” berfungsi untuk menetapkan batas waktu. Maksudnya bahwa makan dan minum akan membatalkan puasa apabila telah dikumandangkan adzan. Adapun hadits Abu Hurairah, di dalamnya terkandung makna bolehnya melanjutkan makan setelah adzan dikumandangkan, dan menjadikan batasannya adalah selesainya makan dan minum.
Dengan demikian hadits ini munkar, padahal hadits datang dari rawi yang shaduq
syubhat :

dari Anas yaitu

أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن محمد بن مرزوق الباهلي حدثنا محمد بن عبد الله الأنصاري حدثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن أنس أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا إذا دعا القوم أو دعا على قوم

Telah menceritakan kepada kami Abu Thaahir yang berkata telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muhammad bin Marzuuq Al-Baahiliy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdullah Al Anshaariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah dari Qataadah dari Anas Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut, kecuali jika mendoakan kebaikan pada satu kaum atau mendoakan kejelekan pada satu kaum” [Shahih Ibnu Khuzaimah no. 620 ]
 hadis riwayat Ibnu Khuzaimah ini para perawinya tsiqat tetapi ia mengandung illat [cacat] yaitu Sa’id bin Abi Aruubah dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa ia tsiqat hafizh memiliki banyak tulisan, banyak melakukan tadlis, mengalami ikhtilath dan ia orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [Taqrib At Tahdzib 1/360]. Dan Ibnu Hajar sendiri menyatakan dengan jelas bahwa Muhammad bin ‘Abdullah Al Anshariy termasuk yang meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Aruubah setelah ia mengalami ikhtilath, ia pernah berkata tentang Sa’id bin Abi Aruubah

وأما ما أخرجه البخاري من حديثه عن قتادة، فأكثرُه من رواية مَن سمع منه قبل الاختلاط، وأخرج عمَّن سمع منه بعد الاختلاط قليلاً؛ كمحمد بن عبدالله الأنصاري، وروح بن عبادة، وابن أبي عدي

Adapun apa yang dikeluarkan Bukhari dari hadisnya dari Qatadah maka banyak riwayatnya dari orang yang mendengar darinya sebelum ia ikhtilath dan [Bukhariy] mengeluarkan juga sedikit riwayat dari orang yang mendengar darinya setelah ikhtilath seperti Muhammad bin ‘Abdullah Al Anshariy, Rauh bin ‘Ubadah dan Ibnu Abi Adiy [Fath Al Bariy 1/406]


jawab : itu karena tidak melanjutkan perkataan ibnu hajar : فإذا أخرج حديث هؤلاء انتقى ما توافقوا عليه
artinya jika dikeluarkan hadits mereka maka hilanglah kelemahannya jika ada riwayat yg berkesesuaian
disebutkan juga dalam an nadhm al mathlul
 Dikuatkan oleh hadits :
أنا أبو طاهر نا أبو بكر نا محمد بن يحيى نا أبو داود حدثنا إبراهيم بن يعد عن الزهري عن سعيد وأبي سلمة عن أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان لا يقنت إلا ان يدعو لأحد أو يدعو على أحد وكان إذا قال سمع الله لمن حمده قال ربنا ولك الحمد اللهم أنج وذكر الحديث
Telah memberitakan kepada kami Abu Thaahir : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Daawud : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid dan Abu Salamah, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali jika hendak mendoakan kebaikan kepada seseorang atau mendoakan kejelekan kepada seseorang. Jika beliau berkata : ‘sami’allaahu liman hamidahu’, beliau berkata : ‘rabbanaa wa lakal-hamdu, allaahumma anji….’ Kemudian ia menyebutkan haditsnya [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 619; shahih].
adapun tuduhan abu dawud lemah
mereka berkata :Abu Hatim pernah berkata tentangnya “ahli hadis yang shaduq banyak melakukan kesalahan, Abu Walid dan ‘Affan lebih aku sukai darinya”  
jawab :  iya sebagian ulama melemahkan,tapi banyak juga menguatkannya seperti :
adzahabi :  ثقة ، ما علمت به بأسا terpercaya,aku tidak mengetahui kerusakan padanya.
assuyuti : الحافظ ، أحد الأعلام al hafidz,salah seorang yg aling beilmu
'ali ibnul madini: ما رأيت أحدا أحفظ منه aku tidak tahu seseorang yg lebih hafal darinya
adapun menyelisihi  Ibrahim bin Sa’ad,maka tidak benar.ziyadatutstsiqoh maqbulah tambahan dari perawi tsiqoh diterima.tambahan :

قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ 
adalah  penjelas bahwa qunut itu adalah qunut nazilah dan yang dinafikan adalah qunut dalam sholat fardhu selain qunut nazilah
apalagi tidak pernah dinukil riwayat anas bin malik qunut shubuh.