Jumat, 25 Desember 2015

Maulid tergolong nadzar yg terlarang


Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya "Fathu Al Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik", 1/171 ketika ditanya tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia sedang hamil, lalu orang itu berkata "Kalau Allah menyembuhkan sapi-ku, maka wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid Rosulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina, kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil, apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan : "Alhamdulillah, dan sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rosulillah, dia tidak berkewajiban apa-apa, karena perayaan maulid Rosulillah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah disunnahkan".

Qoshidah burdah syirik akbar


Penyimpangan nyata dari Qasidah Burdah Bushiri tersebut, antara lain adalah ucapannya pada bagian ke tiga dari qasidahnya:
يَا أَكْرَمَ الرُّسُلِ مَالِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ حُلُوْلِ الْحَادِثِ الْعَمِمِ
Wahai Rasul yang paling mulia, tidak ada bagiku orang yang aku berlindung kepadanya kecuali engkau, di saat terjadinya musibah yang merata
Perkataan ini merupakan doa di saat kesusahan kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sedangkan doa kepada selain Allah adalah syirik akbar yang mengeluarkan dari agama Islam!

Membagi-bagi makanan saat maulid tidak ada sunnahnya


Jawaban Al Hafizh Abu Zur'ah Al-Iroqy ketika ditanya tentang orang yang melakukan maulid apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh perbuatannya?. Ia menjawab: "Memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi makan orang yang kelaparan". Lihat Tasyniiful Azan, hal: 136.

Maulid termasuk wasiat yg terlarang


Jawaban Imam Asy-Syatiby ketika ditanya tentang hal ini. Beliau menjawab : "Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan manusia ini adalah bid'ah yang diada-adakan, setiap bid'ah itu adalah sesat, bersepakat untuk melakukan bid'ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan, bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti ini". [Dikutip dari Fatwa Asy-Syatiby, no: 203, 204]

Hukum asal maulid bid'ah


Fatwa Abu Fahdal Ibnu Hajar Al-Asqolany tentang hukum maulid yang dinukil oleh As-Suyuthy dalam kitabnya "Husnul maqsad fi 'amalil maulid", di situ Ia katakan: "Asal perbuatan maulid adalah bid'ah tidak seorang pun dari generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama". Lihat "Al-Hawy lil Fatawa", hal: 1/196.

Maulid kurang kerjaan.cuma bagi yg hobi makan gratisan


Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid)

PENULIS KITAB BARZANJI SYIAH


Kitab Barzanji ditulis oleh “Ja’far al-Barjanzi al-Madani, dia adalah khathîb di Masjidilharâm dan seorang mufti dari kalangan Syâf’iyyah. Wafat di Madinah pada tahun 1177H/1763 M dan di antara karyanya adalah Kisah Maulîd Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.[ Al-Munjid fî al A’lâm, 125 ]
Sebagai seorang penganut paham tasawwuf yang bermadzhab Syiah tentu Ja’far al-Barjanzi sangat mengkultuskan keluarga, keturunan dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ini dibuktikan dalam doanya “Dan berilah taufik kepada apa yang Engkau ridhai pada setiap kondisi bagi para pemimpin dari keturunan az-Zahrâ di bumi Nu’mân”.[ Majmûatul Mawâlid, hal. 132. ]

Panitia acara bid'ah dilaknat rosul


Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
لَعَنَ اللهُ مَن ذَبَحَ لِغَيرِ اللهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن سَبَّ وَالِدَيهِ, و لَعَنَ اللهُ مَن غَيَّرَ مَنَارَ الأَرضِ,
لَعََنَ اللهُ مَن آوَى مُحدِثَا
Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang mencaci-maki kedua orang- tuanya. Allah melaknat orang yang merubah tanda batas tanah (orang lain), dan Allah melaknat orang yang melindungi orang yang mengada-adakan perkara baru dalam agama (bid'ah).
TAKHRIJ HADITS
- HR Bukhari di Adabul Mufrad, bab (8) man la’ana Allah man la’ana walidaih, no. 17.
- Muslim, dalam Shahih Muslim, kitab al adhahi, no. 3657, 3658, 3659.
- An Nasa-i, dalam as Sunan, kitab adh dhahaya, no. 4346, dan
- Ahmad di berbagai tempat dalam Musnad-nya.

Penulis kitab Barzanji zindiq


Dia menyakini tentang Nur Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang terungkap dalam syairnya:
وَماَ زَالَ نُوْرُ الْمُصْطَفَى مُتْنَقِلاً مِنَ الطَّيِّبِ اْلأَتْقَي لِطاَهِرِ أَرْدَانٍ
Nur Mustafa (Muhammad) terus berpindah-pindah dari sulbi yang bersih kepada yang sulbi suci nan murni.
Bandingkanlah dengan perkataan kaum zindiq dan sufi, seperti al-Hallaj yang berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki cahaya yang kekal abadi dan terdahulu keberadaannya sebelum diciptakan dunia. Semua cabang ilmu dan pengetahuan di ambil dari cahaya tersebut dan para Nabi sebelum Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menimba ilmu dari cahaya tersebut.
Demikian juga perkataan Ibnul Arabi Atthâ'i bahwa semua Nabi sejak Nabi Adam Alaihissalam hingga Nabi terakhir mengambil ilmu dari cahaya kenabian Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu penutup para Nabi”.[ kitab Mahabbatur Rasûlullâh oleh Abdur Rauf Utsman (169-192). ]

BARZANJI kitab syair gombal maulid



Dalam buku maulid barzanji ini tidak dijumpai satu ayatpun dari Alqur`an dan juga tidak terdapat satu kalimat pun dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang ada hanyalah sîrah atau sejarah perjalanan hidup beliau yang tersaji dalam untaian-untaian puisi sebagai sanjungan kepada Rasulullah Shallallahju 'alaihi wa sallam.
Kalau kita renungkan, mengapa kaum Muslimin negeri kita sangat cinta membaca kitab Barzanji ini? Mungkin di antara jawabannya adalah bahwa mereka hanya mengikuti tradisi dari pendahulu-pendahulu mereka, sehingga mereka taklîd buta dalam hal ini.

Senin, 07 Desember 2015

PASANG SUSUK BERKEDOK AGAMA




SYUBHAT : Ar-Ramli (ulama mazhab Syafi'i) dalam Nihayah Al-Muhtaj, hlm. 1/106 menyatakan secara eksplisit bolehnya memakai susuk dengan sejumlah syarat:

وقع السؤال عن دق الذهب والفضة وأكلهما منفردين أو مع انضمامهما لغيرهما من الأدوية هل يجوز ذلك كغيره من سائر الأدوية أم لا يجوز لما فيه من إضاعة المال ؟ والجواب عنه أن الظاهر أن يقال فيه أن الجواز لا شك فيه حيث ترتب عليه نفع بل وكذا إن لم تحصل فيه ذلك لتصريحهم في الأطعمة بأن الحجارة ونحوها لا يحرم منها إلا ما أضر بالبدن أو بالعقل وإما تحليل الحرمة بإضاعة المال فممنوع لأن الإضاعة إنما تحرم حيث لم تكن لغرض وما هنا لقصد التداوي وصرحوا بجواز التداوي باللؤلؤ في الإكتحال وربما زادت قيمته على المذهب .

Artinya: Ada pertanyaan tentang memakan emas dan perak secara sendiri atau mencampurnya dengan obat yang lain apakah itu boleh seperti obat yang lain atau tidak karena mengandung unsur menyia-nyiakan harta? Jawabnya adalah boleh karena mengandung manfaat walaupun seandainya tidak berhasil .. kecuali apabila membahayakan badan dan akal.. Ini juga tidak termasuk membuang-buang harta karena ada tujuannya yaitu untuk berobat. Ulama menjelaskan bolehnya berobat dengan mutiara dalam celak .. menurut mazhab terpilih.

Jadi, syaratnya menurut Imam Romli adalah asal tidak membahayakan fisik.

JAWAB : itu kesimpulan dari kantong ente sendiri.distorsi ilmiah penyunatan terjemah tidak diterjemahkan
 عن دق الذهب والفضة

menumbuk emas dan perak.
Itu namanya makan emas bukan pakai susuk.jadi salah alamat kalau berdalil dg itu

SYUBHAT: Dalam kitab Bulghah Al-Tullab, hlm. 96 dijelaskan:

( مسئلة ت ) غرز إبرة الذهب أو الفضة في جلد الرجل كما هو معروف في بعض بلدان للتداوي أو القوة أو غير ذلك جائز لأنه لايعد لبسا لأنها مستورة وليس هذا من الوشم لاستتارها وعدم ظهور دم فيه .

Artinya: Memasang jarum emas atau perak ke dalam kulit laki-laki (atau perempuan) sebagaimana dikenal di sebagian negara untuk pengobatan atau kekuatan atau lainnya hukumnya boleh karena tidak dianggap memakai emas. Karena benda tersebut tertutup dan tidak termasuk tato karena tertutup di dalam tubuh dan tidak tampak adanya darah di dalamnya.
JAWAB : jelas ini gagal faham terhadap hakikat susuk.semua penggemar susuk pasti ketawa mendengarnya.karena susuk dipasang dengan mantra tertentu atau dg emas tertentu yg di yakini punya daya magis tertentu tidak sembarang emas ditoko.disinilah letak larangannya yaitu jampi penuh kesyirikan atau minta bantuan syetan atau menerima kekuatan syetan dalam susuk itu.jadi bukan sekedar memasukkan jarum emas seperti pengobatan cina tusuk jarum dan semisalnya.jauh beda kalau tusuk jarum murni pengobatan tanpa mantra atau jarum bertuah.
Inilah yg dimaksud nabi dengan tiwalah alias pengasihan.
Imam alqoriy dalam kitab ‘aunul ma’bud juz 10 hal 262 :
والتوله بكسر التاء وبضم وفتح الواو نوع من السحر أو خيط يقرأ فيه من السحر أو قرطاس يكتب فيه شيء من السحر للمحبة أو غيرها
Dan attiwalah dg kasroh ta’nya atau dhommah dan wawunya fathah termasuk jenis sihir atau benang yg dibacakan didalamnya suatu sihir atau kertas ditulis didalamnya suatu sihir untuk pengasihan atau selainnya.
Imam An Nawawi mengutip pernyataan Abu ‘Ubaid, ia berkata :
التولة – بكسر التاء – هو الذى يحبب المرأة إلى زوجها وهو من السحر قال وذلك لا يجوز
At Tiwalah –dengan dibaca kasroh pada huruf Ta’- adalah jimat yang dipergunakan untuk menjadikan perempuan mencintai suaminya, dan hal ini adalah termasuk bagian dari sihir. Abu Ubaid berkata : “Yang demikian itu tidak boleh.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, vol. 9, hlm. 66)
Jadi bukan masalah emas atau peraknya bahkan kadang dai besi /gotri(bahasa jawa) untuk kebal.bukan sekedar beli emas di toko lalu dimasukkan kedalam kulit..tidak begitu.kalau Cuma kayak begitu ngapain mereka yg ingin pasang susuk tidak berbondong-bondong ke toko emas lalu suruh masang dokter..eee malah datang dukung atau kyai slametan

YANG MENGATAKAN MEMILIH PEMIMPIN NON MUSLIM BOLEH HANYALAH PELAWAK BERKEDOK AGAMA




SYUBHAT: Penanya yang budiman, ulama berbeda pendapat perihal memilih pemimpin dari kalangan non muslim. Misalnya Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i yang wafat di abad 8 H. Ia menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi.

وَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِي شَيْء من ولايات الْمُسلمين إِلَّا فِي جباية الْجِزْيَة من أهل الذِّمَّة أَو جباية مَا يُؤْخَذ من تِجَارَات الْمُشْركين. فَأَما مَا يجبى من الْمُسلمين من خراج أَو عشر أَو غير ذَلِك فَلَا يجوز تَوْلِيَة الذِّمِّيّ فِيهِ، وَلَا تَوْلِيَة شَيْء من أُمُور الْمُسلمين، قَالَ تَعَالَى: {وَلنْ يَجْعَل الله للْكَافِرِينَ على الْمُؤمنِينَ سَبِيلا} وَمن ولى ذِمِّيا على مُسلم فقد جعل لَهُ سَبِيلا عَلَيْهِ.
Tidak boleh mengangkat dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.

Allah berfirman, “Allah takkan pernah menjadikan jalan bagi orang kafir untuk mengatasi orang-orang beriman.” Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Lihat Badruddin Al-Hamawi As-Syafi’i, Tahrirul Ahkam fi Tadbiri Ahlil Islam, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

JAWAB : anda gagal faham.tidak ada perbedaan tentang keharaman pemimpin dari non muslim.justru para ulama’ sepakat IJMA tentang keharamannya.
Al-Imam Al-Qodhi ‘Iyadh Al-Yahshobiy -rahimahullah- berkata,
أجمع العلماءُ على أنَّ الإمامة لا تنعقد لكافر، وعلى أنَّه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Para ulama telah bersepakat (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak terlaksana (tidak sah) bagi orang kafir dan bahwa andaikan ia terkena kekafiran, maka ia terlengserkan.” [Lihat Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim (6/315) karya An-Nawawiy]
Al-Imam Ibnul Mundzir Asy-Syafi’iy -rahimahullah- berkata,
إنَّه قد أجمع كلُّ مَن يُحفَظ عنه مِن أهل العلم أنَّ الكافر لا ولايةَ له على المسلم بِحال
“Sesungguhnya telah ijma’ (bersepakat) semua ulama yang terhafal darinya ilmu bahwa orang kafir tidak memiliki hak kepemimpinan atau orang Islam sedikitpun.” [Lihat Ahkam Ahlidz Dzimmah (2/787) oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah]
Ibnu Hazm Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata,
واتَّفقوا أنَّ الإمامة لا تجوز لامرأةٍ ولا لكافر ولا لصبِي
“Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa kepemimpinan itu tidak boleh bagi wanita, orang kafir dan anak kecil.” [Lihat Marotib Al-Ijma’ (hal. 208)]
Al-Imam Al-Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata,
إنَّ الإمام ينعزل بالكفر إجماعًا، فيَجِب على كلِّ مسلمٍ القيامُ في ذلك، فمَن قوي على ذلك فله الثَّواب، ومَن داهن فعليه الإثم، ومن عَجز وجبَتْ عليه الهجرةُ من تلك الأرض
“Seorang imam (pemimpin) terlengserkan dengan sebab kekafirannya menurut ijma’. Wajib bagi setiap muslim bangkit (melengserkan si pemimpin kafir) dalam hal itu. Siapa saja yang kuat untuk (melakukan hal itu), maka ia akan meraih pahala. Siapa yang menjilat (mencari muka kepada si kafir itu), maka ia akan memetik dosanya. Siapa yang lemah (tidak mampu), maka wajib baginya berhijrah dari negeri itu.” [Lihat Fathul Bari (13/123) karya Ibnu Hajar]
SYUBHAT: Sementara ulama lain yang membolehkan pengangkatan non muslim untuk jabatan publik tertentu antara lain Al-Mawardi yang juga bermadzhab Syafi’i. Ulama yang wafat pada pertengahan abad 5 H ini memberikan tafshil, rincian terhadap jabatan.

ويجوز أن يكون هذا الوزير من أهل الذمة وإن لم يجز أن يكون وزير التفويض منهم

Posisi pejabat ini (tanfidz/eksekutif) boleh diisi oleh dzimmi (non muslim yang siap hidup bersama muslim). Namun untuk posisi pejabat tafwidh (pejabat dengan otoritas regulasi, legislasi, yudikasi, dan otoritas lainnya), tidak boleh diisi oleh kalangan mereka. (Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah, Darul Fikr, Beirut, Cetakan 1, 1960, halaman 27).

Al-Mawardi dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah menguraikan lebih rinci. Menurutnya, kekuasaan dibagi setidaknya menjadi dua, tafwidh dan tanfidz. Kuasa tafwidh memiliki cakupan kerja penanganan hukum dan analisa pelbagai kezaliman, menggerakkan tentara dan mengatur strategi perang, mengatur anggaran, regulasi, dan legislasi. Untuk pejabat tafwidh, Al-Mawardi mensyaratkan Islam, pemahaman akan hukum agama, merdeka.

Sementara kuasa tanfidz (eksekutif) mencakup pelaksanaan dari peraturan yang telah dibuat dan dikonsep oleh pejabat tafwidh. Tidak ada syarat Islam, alim dalam urusan agama, dan merdeka.
JAWAB : sebenarnya ini adalah pendapat yang lemah sebagaimana diisyaratkan oleh abu ya’la dalam Al-Ahkamus Sulthoniyah hal 29-30 dengan sighoh tamrid qod qiila.dan juga telah dibantah oleh imam al juwaini dalam kitabnya ghiyasul umam hal 114-115

SYUBHAT: Menurut hemat kami, memilih pajabat eksekutif seperti gubernur, walikota, bupati, camat, lurah, atau ketua RW dan RT dari kalangan non muslim dalam konteks Indonesia dimungkinkan. Pasalnya, pejabat tanfidz itu hanya bersifat pelaksana dari UUD 1945 dan UU turunannya. Dalam konteks Indonesia pemimpin non muslim tidak bisa membuat kebijakan semaunya, dalam arti mendukung kekufurannya. Karena ia harus tunduk pada UUD dan UU turunan lainnya. Pemimpin non muslim, juga tidak memiliki kuasa penuh. Kekuasaan di Indonesia sudah dibagi pada legislatif dan yudikatif di luar eksekutif. Sehingga kinerja pemimpin tetap terpantau dan tetap berada di jalur konstitusi yang sudah disepakati wakil rakyat. Mereka seolah hanya sebagai jembatan antara rakyat dan konstitusi.

Kecuali itu, sebelum menjadi pemimpin, mereka telah melewati mekanisme pemilihan calon, penyaringan ketat dan verifikasi KPU. Mereka juga sebelum dilantik diambil sumpah jabatan. Jadi dalam hal ini kami lebih cenderung sepakat dengan pendapat Al-Mawardi yang membolehkan non muslim menduduki posisi eksekutif. Di sinilah letak kearifan hukum Islam.
JAWAB : ini jelas pemaknaan tanfidz yg ngawur..maksud imam mawardi dh tanfidz itu pelaksana yg tidak punya kewenangan untuk mengeluarkan peraturan.adapun gubernur mungkinkah mengeluarkan peraturan gubernur yg itu harus ditaati???sangaaat
Beliau imam mawardi tentang tugas wazir tanfidz mengatakan:
ليعمل فيه ما يؤمر به ، فهو معين في تنفيذ الأمور وليس بوال عليها
Artinya : tugasnya melaksanakan apa yg diperintah kepadanya(tidak punya hak memerintah) maka tugasnya tertentu dalam hal pelaksanaan perintah atasan dan bukan sebagai wali pemimpin atas suatu wilayah(Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkamus Sulthoniyah wal Wilayatud Diniyah halaman 43).
Sebagaimana pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan non muslim sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut,
وَاسْتَأْجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِي الدِّيلِ هَادِيًا خِرِّيتًا، وَهُوَ عَلَى دِينِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar mengupah seorang laki-laki dari Bani Ad Diil sebagai petunjuk jalan, dan dia adalah seorang beragama kafir Quraisy.” (HR. Bukhari no. 2264). Namun ingat itu dipekerjakan, bukan berada di atas, bukan sebagai pemimpin.
Jadi kalau mau satpol pp atau tukang sapu kebersihan maka itu boleh menurut imam mawardi bukan gubernur atau walikota.jelas ini pemaknaan yg melenceng jauuh bainas samai wassumuur…

SYUBHAT: Sedangkan ayat pengharaman memilih pemimpin non muslim sering beredar menjelang pemilihan. Sebut saja ayat berikut ini.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah jadikan orang-orang yang membuat agamamu sebagai olok-olok dan mainan baik dari kalangan ahli kitab sebelum kamu maupun orang kafir sebagai wali. Bertaqwalah kepada Allah jika kamu orang yang beriman.”

Apakah kata “wali” yang dimaksud itu pemimpin? Penerjemahan “wali” inilah, menentukan jawaban dari yang saudara Abdurrahman pertanyakan. Imam Ala’uddin Al-Khazin menyebutkan dalam tafsirnya sebagai berikut.


والمعنى لا تتخذوا أولياء ولا أصفياء من غير أهل ملتكم ثم بين سبحانه وتعالى علة النهي عن مباطنتهم فقال تعالى: لا يَأْلُونَكُمْ خَبالًا

Maknanya, “Janganlah kamu jadikan orang-orang yang tidak seagama denganmu sebagai wali dan kawan karib.” Allah sendiri menjelaskan alasan larangan untuk bergaul lebih dengan sehingga saling terbuka rahasia dengan mereka dengan ayat “Mereka tidak berhenti menjerumuskanmu dalam mafsadat”. (Lihat Al-Khazin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil, Darul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut).

Pengertian “wali” di atas ialah teman dekat. Sehingga saking dekatnya, tidak ada lagi rahasia antara keduanya. Ayat ini turun dalam konteks perang. Sehingga sangat berisiko bergaul terlalu dekat dengan ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam suasana perang karena ia dapat mengetahui segala taktik perang, pos penjagaan, dapur umum, dan segala strategi dan rencana perang yang dapat membahayakan pertahanan umat Islam. Sementara komunitas-komunitas sosial saat itu berbasis agama.
JAWAB : jelas sekali dalam tafsir yg anda nukil sendiri diatas ada dua makna denganmu sebagai wali dan kawan karib.”  Mengapa hanya mengambil satu makna saja tanpa qorinah yg kuat. Bukankan makna teman dekat dan pemimpin kafir sama -sama haram? Inilah kesalahan fatal
Mereka meminta membuka tafsir? Baik. Kami akan berikan tafsir yang membahas Ahkam atau hukum -hukum yang terkandung dalam Al Qur’an yaitu kitab tafsir Al Jamii’ Li Ahkam Al Qur’an ‏ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ، ﻭﺍﻟﻤﺒﻴﻦ ﻟﻤﺎ ﺗﻀﻤﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭﺃﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻔﺮﻗﺎن  yang ditulis Imam ﻟﻤﺆﻟﻔﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻮ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﺍﻟﻘﺮطبي.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰَّ ﻭﺟﻞَّ :﴿ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﺍ ﺑِﻄَﺎﻧَﺔً ﻣِﻦْ ﺩُﻭﻧِﻜُﻢْ ﻟَﺎ ﻳَﺄْﻟُﻮﻧَﻜُﻢْ ﺧَﺒَﺎﻟًﺎ ﻭَﺩُّﻭﺍ ﻣَﺎ ﻋَﻨِﺘُّﻢْ ﻗَﺪْ ﺑَﺪَﺕِ ﺍﻟْﺒَﻐْﻀَﺎﺀُ ﻣِﻦْ ﺃَﻓْﻮَﺍﻫِﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺗُﺨْﻔِﻲ ﺻُﺪُﻭﺭُﻫُﻢْ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻗَﺪْ ﺑَﻴَّﻨَّﺎ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟْﺂﻳَﺎﺕِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﻌْﻘِﻠُﻮﻥَ ﴾ ‏[ﺁﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ : 118 ‏].
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲُّ: ” ﻧَﻬﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﺑِﻬﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ ﺃﻥ ﻳَﺘَّﺨِﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻜُﻔَّﺎﺭ ﻭﺍﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﺃﻫﻞ ﺍﻷﻫﻮﺍﺀ ﺩُﺧﻼﺀَ ﻭﻭُﻟَﺠﺎﺀ ﻳُﻔﺎﻭﺿﻮﻧﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻵﺭﺍﺀ، ﻭﻳُﺴﻨﺪﻭﻥ ﺇﻟﻴﻬﻢ ﺃﻣﻮﺭَﻫﻢ. ﺗﻔﺴﻴﺮ “ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ”
Berkata Imam Qurthubi dalam tafsir Surat Ali Imron:118 “Allah melarang/mengharamkan dengan ayat ini kepada kaum mukminin yang menjadikan orang -orang kafir, yahudi, dan ahlu ahwa yang menuruti hawa nafsunya hingga haram kaum mukminin menyerahkan pendapat -pendapatnya kepada mereka dan haram menyerahkan urusan -urusannya kepada mereka. (Juz 4 Hal. 179).
Lihatlah menyerahkan pendapat, perkara dan urusan mereka saja haram apalagi menjadikan pemimpin? Bukankan ulul amri adalah pemimpin? Dan lafadh اﻷمور adalah jama’ dari اﻷمر? Sebagaimana اﻷولياء adalah jama’ dari Wali yang di mana ada Waliyul Amri yang artinya pemimpin dan Wali Allah yang artinya kekasih? Jadi haram kekasih dan pemimpin kafir?
Imam al-jasshos dalam tafsirnya 2/291 menerangkan secara gamblang terang benderang maknanya saat menjelaskan surat annisa ayat 144
فَإِنَّ الْوَلِيَّ هُوَ الَّذِي يَتَوَلَّى صَاحِبَهُ بِمَا يَجْعَلُ لَهُ مِنْ النُّصْرَةِ وَالْمَعُونَةِ عَلَى أَمْرِهِ وَالْمُؤْمِنُ وَلِيُّ اللَّهِ بِمَا يَتَوَلَّى مِنْ إخْلاصِ طَاعَتِهِ , وَاَللَّهُ وَلِيُّ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا يَتَوَلَّى مِنْ جَزَائِهِمْ عَلَى طَاعَتِهِ . وَاقْتَضَتْ الآيَةُ النَّهْيَ عَنْ الاسْتِنْصَارِ بِالْكُفَّارِ وَالاسْتِعَانَةِ بِهِمْ وَالرُّكُونِ إلَيْهِمْ وَالثِّقَةِ بِهِمْ , وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْكَافِرَ لا يَسْتَحِقُّ الْوِلايَةَ عَلَى الْمُسْلِمِ بِوَجْهٍ وَلَدًا كَانَ أَوْ غَيْرَهُ . وَيَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لا تَجُوزُ الاسْتِعَانَةُ بِأَهْلِ الذِّمَّةِ فِي الأُمُورِ الَّتِي يَتَعَلَّقُ بِهَا التَّصَرُّفُ وَالْوِلايَةُ

artinya : maka sesungguhnya wali yaitu yg mengurusi temannya yg meminta pertolongan dan bantuan atas perintahnya.dan mukmin waliyulloh dg mengurusi keikhlasan ketaatannya.dan alloh adalah walinya orang2 beriman karena mengurus balasan pahala dari ketaatan kepadanya.dan ayat ini menuntut larangan dari minta tolong kepada orang2 kafir dan memperbantukan mereka dan merasa tenang bersama mereka dan percaya penuh dg mereka.dan juga menunjukkan bahwa orang kafir tidak berhak atas kepemimpinan atas orang islam dalam keadaan apapun entah itu anaknya atau bukan.dan juga tidak boleh memperbantukan ahli dzimmah dalam perkara-perkara yg berkaitan tentang tehnis dan kepemimpinan
jadi gamblang sekali siapa pengikut hawa nafsu musuh dalam selimut dan siapa pembela islam yg sebenarnya

SYUBHAT: Karenanya, mencermati ketarangan ulama di atas kita akan menemukan tidak sambung dan tidak tepat kalau ayat ini dijadikan dalil sebagai pengharaman atas pengangkatan calon pemimpin dari kalangan non muslim. Menurut hemat kami, kitab-kitab terjemah Al-Quran yang mengartikan “wali” sebagai pemimpin ada baiknya menelaah kembali tafsir-tafsir Al-Quran.

Saran kami berhati-hatilah memilih pemimpin baik muslim maupun non muslim. Karena mereka ke depan akan mengatur hajat hidup orang banyak. Kita perlu melihat integritas calon dan track record mereka. Kami juga berharap kepada warga untuk tidak mudah terporovokasi oleh isu-isu SARA menjelang pemilihan.

JAWAB : jelas anda pemahamannya yg asal comot sesuai selera.tidak ada yg salah terjemah kecuali yg dibutakan oleh gemerlap kekafiran.
Sejak kapan menyampaikan ilmu agama sebagai provokasi??? ya sejak ada syetan liberal berkeliaran pake jubah ijo

SYUBHAT: Ada yang membela pendapat si Maulana (pelawak yang berkedok agama) dengan qaul  yang dibawah ini:
ﻧَﻌَﻢْ ﺇِﻥِ ﺍﻗْﺘَﻀَﺖْ ﺍﻟْﻤَﺼْﻠَﺤَﺔُ ﺗَﻮْﻟِﻴَّﺘَﻪُ ﻓِﻲْ ﺷَﻲْﺀٍ ﻻ ﻳَﻘُﻮْﻡُ ﺑِﻪِ ﻏَﻴْﺮُﻩُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺃَﻭْ ﻇَﻬَﺮَ ﻣِﻦ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ ﺧِﻴَﺎﻧَﺔٌ ﻭَﺃَﻣِﻨَﺖْ ﻓِﻲْ ﺫِﻣِّﻲٍّ ﻭَﻟَﻮْ ﻟِﺨَﻮْﻓِﻪِ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺤَﺎﻛِﻢِ ﻣَﺜَﻠًﺎ ﻓَﻼَ ﻳَﺒْﻌُﺪُ ﺟَﻮَﺍﺯُ ﺗَﻮْﻟِﻴَّﺘِﻪِ ﻟِﻀَﺮُﻭْﺭَﺓ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻡِ ﺑِﻤَﺼْﻠَﺤَﺔِ ﻣَﺎ ﻭَﻟِّﻲَ ﻓِﻴْﻪِ، ﻭَﻣَﻊَ ﺫَﻟِﻚَ ﻳَﺠِﺐُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﻳَﻨْﺼِﺒُﻪُ ﻣُﺮَﺍﻗَﺒَﺘُﻪُ ﻭَﻣَﻨْﻌُﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺘَّﻌَﺮُّﺽِ ﻟِﺄَﺣَﺪٍ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ
“Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam, dan aman berada di kafir dzimmi walaupun karena rasa takutnya kepada penguasa. (Dalam konteks ini) maka boleh menyerahkan jabatan padanya karena adanya keharusan ( dlarurah ) untuk mewujudkan kemaslahatan sesuatu yang dia diangkat untuk mengurusinya. Meskipun demikian,bagi pihak yang mengangkatnya, harus selalu mengawasi orang kafir tersebut
dan mampu mencegahnya dari mengganggu terhadap siapapun dari kalangan umat Islam” (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al- Muhtaj, dalam Abdul Hamid asy-Syirwani dan Ibnu Qasim al-‘Abbadi, Hawasyai asy Syirwani wa al-‘Abbadi, Mesir-at-Tijariyyah al-Kubra, tt, juz, 9, h. 73)
JAWAB : TERLALU CEROBOH jika menisbatkannya kepada ulama setingkat ibnu hajar al haitami.
Jadi si pengutip disini mengambil qaul ini dari kitab Tuhfah, jadi seolah2 disini dia mengatakan bahwa qaul ini adalah qaulnya Ibnu Hajar al Haitami, padahal bukan qaul beliau.
Tetapi itu adalah qaulnya Imam Ali Syibra Malisi atau yg di rumuskan di fiqh dengan kode ( ﻉ ﺵ ),
Imam Ali Syibra ini mengatakan qaul diatas itu didalam kitab Hasyiah Nihayatul Muhtaj, yang beliau karang sendiri, dalam jilid 7 hal 407, inilah ibaratnya:
( ﻗﻮﻟﻪ : ؛ ﻷﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﺗﺴﻠﻴﻄﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ‏) ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﺟﻌﻠﻪ ﺟﻼﺩﺍ ﻳﻘﻴﻢ ﺍﻟﺤﺪﻭﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻩـ ﺯﻳﺎﺩﻱ . ﺃﻗﻮﻝ : ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﺍﻗﺘﻀﺖ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﺷﻴﺌﺎ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺟﻨﺎﻳﺔ ﻭﺃﻣﻨﺖ ﻓﻲ ﺫﻣﻲ ﻭﻟﻮ ﻟﺨﻮﻓﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻣﺜﻼ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﺪ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻴﻪ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻭﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﺎ ﻭﻟﻲ ﻓﻴﻪ، ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﺼﺒﻪ ﻣﺮﺍﻗﺒﺘﻪ ﻭﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻷﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺍﺳﺘﻌﻼﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ .
Dari sinilah kita tahu, bahwa awal-awal orang yang berpendapat kebolehannya itu adalah Imam Ali Syibra Malisi, dan  dicari-cari di beberapa kitab, ternyata Imam lain (jumhur) tidak sependapat dengan beliau, hanya beliau sendiri yang berpendapat seperti ini.
Syeikh Syarwani dalam kitabnya Hasyiah Tuhfah mengutip qaul yang ada dalam Hasyiah Nihayatul Muhtaj milik Imam Syibra Malisi itu, begini ibarat aslinya:
ﻭﻗﺎﻝ ﻋ ﺷ ﺑﻌﺪ ﻧﻘﻞ ﻣﺎ ﺫﻛﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﻱ ﺃﻗﻮﻝ ﻭﻛﺬﺍ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﺼﺒﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺭ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﺍﻗﺘﻀﺖ ﺍﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻻ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺃﻭ ﻇﻬﺮ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﻘﻮﻡ ﺑﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺧﻴﺎﻧﺔ ﻭﺃﻣﻨﺖ ﻓﻲ ﺫﻣﻲ ﻭﻟﻮ ﻟﺨﻮﻓﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻣﺜﻼ ﻓﻼ ﻳﺒﻌﺪ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﻮﻟﻴﺘﻪ ﻓﻴﻪ ﻟﻀﺮﻭﺭﺓ ﺍﻟﻘﻴﺎﻡ ﺑﻤﺼﻠﺤﺔ ﻣﺎ ﻭﻟﻲ ﻓﻴﻪ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﺼﺒﻪ ﻣﺮﺍﻗﺒﺘﻪ ﻭﻣﻨﻌﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻌﺮﺽ ﻷﺣﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﺍﺳﺘﻌﻼﺀ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺍﻩ
lalu disini seolah-olah qaulnya ada dalam kitab Tuhfah, padahal adanya dalam Hasyiah Tuhfahnya, bukan ada dalam dzat Tuhfahnya,
karena Hasyiah Syarwani ini isinya mengumpulkan bnyak kitab, diantaranya:
Mughnil Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, dan Tuhfah itu sendiri, dan Hasyiah2nya.

Minggu, 06 Desember 2015

SAHABAT MUGHIROH BIN SYU'BAH DALAM KACAMATA HITAM SYIAH




SYUBHAT : Sejarah mencatat bahwa diantara para Sahabat Nabi ternyata ada yang menghina Ahlul Bait Rasul SAW Ali bin Abi Thalib RA. Ada yang mengatakan bahwa hal ini sudah menjadi tradisi dan berawal pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Bahkan sebagian orang menyatakan bahwa tradisi ini justru merupakan perintah atau anjuran Muawiyah sendiri. Terlepas dari apa tujuan tradisi tersebut tetap saja tradisi itu telah menyalahi Ajaran islam. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan bahwa siapa saja yang mencaci-maki Ali RA berarti sama saja dengan mencaci-maki Beliau SAW.
JAWAB : bukan menghina pribadinya namun menunjukkan ketidaksetujuan mereka dg pendapat ali.walaupun ijtihad mereka salah.kita tidak punya hak untuk menghakimi mereka.tidak pernah ternukil satu riwayat pun mereka mencacat ketinggian kedudukan ali.perintah itu bukan untuk merendahkan kedudukan ali tapi menjelaskan pendapat ali yg salah itu saja.
Adapun hadits : مَنْ سَبَّ عَلِيًّا، فَقَدْ سَبَّنِي siapa saja yang mencaci Ali berarti sama saja dengan mencaciku.maka ini riwayat lemah karena dalam sanadnya ada abu ishaq assabi’i dia mudallis dan mukhtalid di akhir umurnya
SYUBHAT : Salah satu sahabat Nabi SAW yang mencaci-maki Imam Ali AS adalah Mughirah bin Syu’bah.
عن زياد بن علاقة عن عمه أن المغيرة بن شعبة سب علي بن أبي طالب فقام إليه زيد بن أرقم فقال يا مغيرة ألم تعلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن سب الأموات فلم تسب عليا وقد مات
Dari Ziyad bin Alaqah dari Pamannya bahwa Mughirah bin Syu’bah telah menghina Ali bin Abi Thalib kemudian Zaid bin Arqam berdiri dan berkata ”Hai Mughirah bukankah kamu tahu bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menghina orang yang sudah mati jadi mengapa kamu menghina Ali setelah kematiannya”.
Hadis Riwayat Al Hakim dalam Mustadrak As Shahihain juz 1 hal 541 hadis no 1419, dimana beliau berkata
هذا حديث صحيح على شرط مسلم ولم يخرجاه
Hadis ini shahih sesuai persyaratan Imam Muslim tapi beliau tidak meriwayatkannya.
Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid juz 8 hal 145 hadis no 13028 juga telah meriwayatkan hadis ini dan berkata
رواه الطبراني بإسنادين ورجال أحد أسانيد الطبراني ثقات
Riwayat Thabrani dengan sanad-sanadnya dan salah satu sanadnya para Perawinya tsiqat.
Jawab : terjemah yg benar riwayat thabrani dg dua sanad saja
SYUBHAT : Catatan Hadis
Thabrani meriwayatkan hadis ini dalam Mu’jam Al Kabir juz 5 hal 168 yaitu hadis no 4973, 4974 dan 4975. Hadis no 4973 dan 4975 di dalam sanadnya terdapat Abu Ayub Maula Bani Tsa’labah sebagaimana disebutkan dalam At Ta’jil Al Manfa’ah Ibnu Hajar juz 2 hal 411 no 1232 bahwa beliau adalah majhul.
Sedangkan hadis riwayat Thabrani no 4974 dan hadis riwayat Al Hakim dalam sanadnya tidak ada Abu Ayub tersebut. Hadis ini lah yang dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan seperti yang dikatakan Al Haitsami para perawinya tsiqat.
Hadis yang di dalam sanadnya ada Abu Ayub yaitu perawi yang majhul hal ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad juz 4 hal 369 hadis no 19307 tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Hadis ini sanadnya dhaif karena perawinya Abu Ayub adalah majhul tetapi hadis ini dikuatkan oleh riwayat Al Hakim dan Thabrani. Oleh karena itu Syaikh Syu’aib berkata mengenai hadis Abu Ayub ini
صحيح وهذا إسناد ضعيف
Shahih tetapi sanad hadis ini dhaif.
JAWAB : mencela disini karena menggunjing atau ghibah.karena ghibahnya sahabat ini dianggap mencela.oleh karena ibnu baththol dalam fathul bari 3/329 berkata :
سب الأموات يجري مجرى الغيبة فإن كان أغلب أحوال المرء الخير
Mencela orang yg telah mati termasuk ghibah jika yang digunjing itu orang yg kebaikannya lebih banyak.
Akan tetapi syiah mendramatisir seakan bermakna melaknat atau mencatat kemuliaannya.ini jelas kebatilannya
apakah setelah diingatkan tidak boleh mencela orang yang sudah wafat beliau terus mencela ali karena beda pendapatnya ??? tidak ada riwayat yg menyatakan demikian
ثنا محمد بن جعفر ثنا شعبة عن حصين عن هلال بن يساف عن عبد الله بن ظالم قال خطب المغيرة بن شعبة فنال من علي فخرج سعيد بن زيد فقال ألا تعجب من هذا يسب عليا رضي الله عنه أشهد على رسول الله صلى الله عليه و سلم انا كنا على حراء أو أحد فقال النبي صلى الله عليه و سلم أثبت حراء أو أحد فإنما عليك صديق أو شهيد فسمى النبي صلى الله عليه و سلم العشرة فسمى أبا بكر وعمر وعثمان وعليا وطلحة والزبير وسعدا وعبد الرحمن بن عوف وسمى نفسه سعيدا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang menceritakan kepada kami Syu’bah dari Hushain dari Hilal bin Yisaaf dari Abdullah bin Zhaalim yang berkata “Mughirah bin Syu’bah berkhutbah lalu ia mencela Ali. Maka Sa’id bin Zaid keluar dan berkata “tidakkah kamu heran dengan orang ini yang telah mencaci Ali, Aku bersaksi bahwa kami pernah berada di atas gunung Hira atau Uhud lalu Beliau bersabda “diamlah hai Hira atau Uhud, karena di atasmu terdapat Nabi atau shiddiq atau syahid. Kemudian Nabi SAW menyebutkan sepuluh orang. Maka [Sa’id] menyebutkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair , Sa’ad, Abdurrahman bin ‘Auf dan dirinya sendiri Sa’id” [Musnad Ahmad no 1638 dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir]
Sepertinya Setelah diingatkan oleh Zaid bin Arqam iapun tetap mencela Imam Ali di hadapan Sa’id bin Zaid.
Jawab : ya memang hanya sepertinya saja.bukan sebenarnya.karena pada kali yg lain mughiroh sendiri juga meriwayatkan  :
لا تسبُّوا الأمواتَ فتُؤذوا الأحياءَ
Jangan kalian mencela orang2 yg telah mati sehingga kalian menyakiti yg masih hidup(HR. imam ahmad no.17838 tirmidzi no.1901dishahihkan imam nawawi)