Kamis, 19 Mei 2016

Makmum tidak sah tanpa al fatihah dalam sholat jahr?


Syubhat:
Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:

(( لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))

(Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah)

Kembali perhatikan yang saya garis bawahi (laa shalata). Kata shalat bentuknya nakiroh.Adalah kaidah mengatakan :
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم

(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum)

Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah,sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam.Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).

Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud),apabila tidak mungkin dengan makna ini,maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah).Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal).Inilah urutan dari an-nafyu.

Contoh :
–Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
–Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
–Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.

Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”?Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Olehkarenanya penafian disini bukanlah penafian wujud.Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah).Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.

Kaidah mengatakan :
الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح

(Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyas yang shahih)

Pertanyaan , adakah disebutkan disana sesuatu yang mengkhususkan?

Jawab:
Pertanyaannya kapan tidak sah?semua? karena umum ?
Sama halnya mengikuti imam juga umum,tapi juga dikhususkan.

أخبرنا محمد بن عبد الله بن المبارك قال حدثنا محمد بن سعد الأنصاري قال حدثنا محمد بن عجلان عن زيد بن أسلم عن أبي صالح عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنما الإمام ليؤتم به فإذا كبر فكبروا وإذا قرأ فأنصتوا
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdllah bin Al-Mubaarak, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Sa’d Al-Anshaariy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Ajlaan, dari Zaid bin Aslam, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Imam itu hanyalah untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah. Dan apabila ia membaca, maka diamlah” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 922; shahih. Tambahan lafadh ‘apabila ia membaca, maka diamlah’; telah dishahihkan oleh Muslim dalam Shahih-nya no. 404].

Tidak ada komentar: