Jumat, 30 September 2016

Syiah dalang dibalik penolakan orang tua nabi kafir


Sebagaimana disebutkan imam ar rozi dalam tafsir mafatihul ghoib.

قالت الشيعة: إن أحداً من آباء الرسول عليه الصلاة والسلام وأجداده ما كان كافراً وأنكروا أن يقال أن والد إبراهيم كان كافراً وذكروا أن آزر كان عم إبراهيم عليه السلام. وما كان والداً له واحتجوا على قولهم بوجوه:

الحجة الأولى: أن آباء الأنبياء ما كانوا كفاراً ويدل عليه وجوه: منها قوله تعالى:
{ ٱلَّذِى يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِى ٱلسَّـٰجِدِينَ }
[الشعراء: 218، 219].

قيل معناه: إنه كان ينقل روحه من ساجد إلى ساجد وبهذا التقدير: فالآية دالة على أن جميع آباء محمد عليه السلام كانوا مسلمين. وحينئذ يجب القطع بأن والد إبراهيم عليه السلام كان مسلماً.

Nabi khidir masih hidup?


Apakah Nabi Khidir masih hidup di dunia sampai sekarang, dan akan tetap hidup sampai hari kiamat ?

Yang benar menurut para ulama adalah bahwa Nabi Khidir telah wafat sebelum Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Asy Syinqithi berkata:

“Hikayat orang-orang shaleh tentang Nabi Khidir banyak sekali dan tidak terbatas, bahkan di antara mereka menganggap Nabi Khidir dan Ilyas selalu menunaikan ibadah haji setiap tahunnya, mereka meriwayatkan dari keduanya beberapa doa-doa, semua itu adalah baik. Namun sandaran perkataan mereka tersebut sangat lemah; karena sebagian besar hikayat itu berasal dari orang-orang yang diduga keshalehannya, atau berdasarkan mimpi-mimpi, atau beberapa hadits yang disandarkan kepada Rasulullah dari Anas dan yang lainnya, dan semuanya lemah tidak bisa dipakai dalil yang kuat.

Yang paling nampak bagi saya, setelah mendalami masalah ini melalui beberapa dalil, bahwa Nabi Khidir sudah meninggal dunia, kesimpulan ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya:

Pertama:

Keumuman firman Allah yang menyatakan:

وما جعلنا لأحدٍ من قبلك الخلد أفإن مت فهم الخالدون (سورة الأنبياء: 34)

 “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal?”. (QS. Al Anbiya’ : 34)

Kedua:

Hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- :

اللهم إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض (رواه مسلم )

“Ya Allah, jika Engkau menghancurkan pasukan ini yang berasal dari kaum muslimin, maka tidak akan ada lagi orang yang mengabdi kepada-Mu.” (HR. Muslim)

Ketiga:

Berita dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwa pada ujung 100 tahun nanti terhitung sejak malam hari dimana beliau menyampaikan hadits tersebut, semua orang yang hidup pada malam itu akan meninggal dunia semuanya. Jika Nabi Khidir dianggap masih hidup, maka ia tidak akan datang terlambat setelah 100 tahun di atas. Muslim bin Hajjaj berkata, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:

صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات ليلة صلاة العشاء في آخر حياته فلما سلم قام فقال: " أرأيتكم ليلتكم هذه فإن على رأس مائة سنة منها لا يبقى ممن هو على ظهر الأرض أحد ، قال ابن عمر : فوهل الناس في مقالة رسول الله  صلى الله عليه وسلم تلك فيما يتحدثون من هذه الأحاديث عن مائة سنة وإنما قال رسول الله  صلى الله عليه وسلم : " لا يبقى ممن هو اليوم على ظهر الأرض أحد يريد بذلك أن ينخرم ذلك القرن . " …

“Setelah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendirikan shalat isya’ dengan kami pada suatu malam pada akhir-akhir masa hidup beliau, ketika beliua mngucapkan salam, seraya beliau berdiri dan bersabda: “Tidakkah kalian melihat pada malam hari ini, sesungguhnya pada penghujung 100 tahun sejak malam ini, tidak akan ada seseorang yang akan tetap hidup di muka bumi”. Ibnu Umar berkata: Maka masyarakat terkejut dengan pernyataan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut, mereka membicarakannya tentang hadits 100 tahun di atas. Padahal sesungghnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Tidak akan ada seseorang yang akan tetap hidup di muka bumi, yang dimaksud adalah berlalunya abad tersebut….”.

Keempat:

Bahwa kalau Nabi Khidir masih hidup pada zaman Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- niscaya ia akan termasuk dari pengikut beliau, dan akan menolongnya, berperang bersamanya; karena beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diutus kepada bangsa manusia dan jin”. (Adhwa-ul bayan: 4/178-183).

Hukum Merayakan Tahun Baru Islam


Oleh Al ‘Allamah Asy-Syaikh Utsaimin Rahimahullah

Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah kaum muslimin memperingati Tahun Baru Islam. Sehingga tanggal 1 Muharram termasuk salah satu Hari Besar Islam yang diperingati secara rutin oleh kaum muslimin.

Bagaimana hukum memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam? Apakah perbuatan tersebut dibenarkan dalam syari’at Islam?

Berikut penjelasan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala ketika beliau ditanya tentang permasalahan tersebut. Beliau adalah seorang Ulama Besar ahli fiqih paling terkemuka pada masa ini.

Pertanyaan :

Telah banyak tersebar di berbagai negara Islam perayaan hari pertama bulan Muharram pada setiap tahun, karena itu merupakan hari pertama tahun hijriyyah. Sebagian mereka menjadikannya sebagai hari libur dari bekerja, sehingga mereka tidak masuk kerja pada hari itu. Mereka juga saling tukar menukar hadiah dalam bentuk barang. Ketika mereka ditanya tentang masalah tersebut, mereka menjawab bahwa masalah perayaan hari-hari besar kembalinya kepada adat kebiasaan manusia. Tidak mengapa membuat hari-hari besar untuk mereka dalam rangka bergembira dan saling tukar hadiah. Terutama pada zaman ini, manusia sibuk dengan berbagai aktivitas pekerjaan mereka dan terpisah-pisah. Maka ini termasuk bid’ah hasanah. Demikian alasan mereka.

Bagaimana pendapat engkau, semoga Allah memberikan taufiq kepada engkau. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan ini termasuk dalam timbangan amal kebaikan engkau.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullahu Ta’ala menjawab :

تخصيص الأيام، أو الشهور، أو السنوات بعيد مرجعه إلى الشرع وليس إلى العادة، ولهذا لما قدم النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما

فقال: «ما هذان اليومان»؟ قالوا: كنا نلعب فيهما في الجاهلية، فقال رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وسلم: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى،

ويوم الفطر». ولو أن الأعياد في الإسلام كانت تابعة للعادات لأحدث الناس لكل حدث عيداً ولم يكن للأعياد الشرعية كبير فائدة.

ثم إنه يخشى أن هؤلاء اتخذوا رأس السنة أو أولها عيداً متابعة للنصارى ومضاهاة لهم حيث يتخذون عيداً عند رأس السنة الميلادية فيكون في اتخاذ شهر المحرم عيداً

محذور آخر. كتبه محمد بن صالح العثيمين

24/1/1418 هـ

Jawab :

Pengkhususan hari-hari tertentu, atau bulan-bulan tertentu, atau tahun-tahun tertentu sebagai hari besar/hari raya (‘Id) maka kembalinya adalah kepada ketentuan syari’at, bukan kepada adat.

Oleh karena itu ketika Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam datang datang ke Madinah, dalam keadaan penduduk Madinah memiliki dua hari besar yang mereka bergembira ria padanya, maka beliau bertanya : “Apakah dua hari ini?” maka mereka menjawab : “(Hari besar) yang kami biasa bergembira padanya pada masa jahiliyyah.

Maka Rasulullâh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari tersebut dengan hari raya yang lebih baik, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.“

Kalau seandainya hari-hari besar dalam Islam itu mengikuti adat kebiasaan, maka manusia akan seenaknya menjadikan setiap kejadian penting sebagai hari raya/hari besar, dan hari raya syar’i tidak akan ada gunanya.

Kemudian apabila mereka menjadikan penghujung tahun atau awal tahun (hijriyyah) sebagai hari raya maka dikhawatirkan mereka mengikuti kebiasaan Nashara dan menyerupai mereka.  Karena mereka menjadikan penghujung tahun miladi/masehi sebagai hari raya. Maka menjadikan bulan Muharram sebagai hari besar/hari raya terdapat bahaya lain.

Allah berfirman :

أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ“

Maukah kamu mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik?” (QS. Al-Baqarah : 61)

Ditulis oleh : Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn pada 24 – 1 – 1418 H

[dinukil dari Majmû Fatâwâ wa Rasâ`il Ibni ‘Utsaimîn pertanyaan no. 8131]

Para pembaca sekalian

Dari penjelasan di atas,  jelaslah bahwa memperingati Tahun Baru Islam dan menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Besar Islam tidak boleh, karena:

Perbuatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Islam. Karena syari’at Islam menetapkan bahwa Hari Besar Islam hanya ada dua, yaitu ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fitri.
Perbuatan tersebut mengikuti dan menyerupai adat kebiasaan orang-orang kafir Nashara, di mana mereka biasa memperingati Tahun Baru Masehi dan menjadikannya sebagai Hari Besar agama mereka.

Hukum Memberi Ucapan Selamat Merayakan Tahun Baru Islam


Fatwa Mufti Saudi Arabia sahamatus syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh –Hafizhahullah-

Pertanyaan :
Bolehkah memberi ucapan Selamat atau membuat perayaan tahun Baru?

Jawab:

Mengadakan perayaan tahun baru hijriyah atau merayakan peristiwa hijrah adalah perkara yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh sabiqunal awwalun (generasi yang pertama –sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in-) yang berhijrah dan mengerti betul peristiwa tersebut serta perkembangannya. Mereka tidak melakukan hal yang demikian sama sekali. Karena dengan peristiwa ini menguatlah keimanan di dalam hati-hati mereka.Inilah pengaruhnya kepada mereka.

Adapun mengadakan perayaan,khutbah, muhasabah, ini semua tidak pernah ada. Apabila Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali serta Imam mereka penghulu Manusia yang pertama dan terakhir tidak pernah membuat untuk peristiwa tersebut sebuah perayaan dan tidak pula khutbah tertentu, hal ini menegaskan kepada kita bahwa perkara itu semua adalah muhdats (ajaran Baru/Bid’ah). Dan yang Utama bagi kita adalah tidak mengadakan hal-hal yang demikian, melainkan apabila kita mengingat peristiwa tersebut kita bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan menguatlah keinginan kita dalam kebaikan dan bersyukur kepada-Nya atas kemenangan agama-Nya.ini yang diinginkan. Kita memohon kepada Allah subahanahu wa ta’ala agar kita dapat mengikuti Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan berpedoman kepadanya dalam ucapan dan amalannya agar kita bisa mewujudkan kecintaan yang sebenarnya,

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يعببكم الله

“Katakanlah , “jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Qs. Ali Imran:31)

Nuurrun ‘ala Ad-Darb (2/1/1427H)

Syubhat tafsir ruhul ma'ani : ortu nabi masuk surga


Syubhat:
ayat :

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

“ Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud “. (Q.S. As-Syu’ara’ : 218-219)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan تَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِين (perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud ) adalah perpindahan cahaya Nabi  dari sulbi seorang ahli sujud (muslim) ke ahli sujud lainnya, sampai dilahirkan sebagai seorang nabi.

Imam Alusi dalam tafsir Ruhul Ma`ani ketika berbicara mengenai ayat tersebut berkata :

واستدل بالآية على إيمان أبويه صلى الله تعالى عليه وسلم كما ذهب اليه كثير من أجلة أهل السنة وأنا أخشى الكفر على من يقول فيهما رضي الله تعالى عنهما

“ Aku menjadikan ayat ini sebagai dalil atas keimanan kedua orang tua Nabi  sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak daripada tokoh-tokoh ahlus sunnah. Dan aku khawatir kufurnya orang yang mengatakan kekafiran keduanya, semoga Allah meridhai kedua orang tua Nabi…” (Ruh Al-Ma’ani : 19/138)

jawab:
Itulah kerjaan ahli bid'ah kalau gak berdalil dg dalil lemah pasti memanipulasi dalil bahkan mendistorsi atau menyunatnya.
Cara membongkarnya sangat gampang tinggal kita kembali ke nash asli seutuhnya maka akan ketahuan belangnya.

واستدل بالآية على إيمان أبويه صلى الله عليه وسلم كما ذهب إليه كثير من أجلة أهل السنة، وأنا أخشى الكفر على من يقول فيهما رضي الله تعالى عنهما على رغم أنف عليّ القاري وأضرابه بضد ذلك إلا أني لا أقول بحجية الآية على هذا المطلب
Jelas ada lanjutannya,
Sedangkan imam al qori dan selainnya berpendapat sebaliknya,kecuali sungguh aku tidak sependapat dg pendalilan ayat atas kesimpulan semacam ini.

Jadi sudah jelas beliau hanya menyampaikan bahwa ada pendapat semacam itu,tetapi beliau tidak sependapat.

Pelopor penolak hadits ahad dalam aqidah


Orang pertama yang tidak menerima hadits ahad adalah Ibrahim bin Ismail bin Aliyah (193 H). Dia merupakan salah satu tokoh Jahmiyah. Setelah Imam Syafi’i mendebatnya dan membatalkan hujjah-hujjahnya, dan dia tetap mengingkari hadits ahad, maka Imam Syafi’i mengatakan : “Ibn Aliyah telah sesat. Dia duduk di pintu al-Dhawall (…???…) menyesatkan manusia”. (Mausu’ah Ahlis Sunnah 1/513). Jadi mereka tidak memiliki hujjah, kecuali hanya mengobral kata bahwa “Al Asnawi (772 H) telah berkata…, Al Amidi (631 H) telah berkata…, As Sarkhasi (494 H) telah berkata…, Al Badawi (482 H) telah berkata, dan seterusnya ………”.

Kalau pada zaman klasik dipelopori oleh Khawarij, Jahmiyah dan Mu’tazilah, lalu diikuti oleh Asy’ariyah dan Maturudiyah, seperti Al Kirmani Al Hanafi (543 H), Ar Razi (606 H) dan Al Juwaini (478 H). Maka pada abad modern ini dipelopori oleh Muhammad Abduh, Mahmud Syaltut, Muhammad Abu Zahrah, Dr. Abdul Hamid Mutawalli, kelompok Hizbut Tahrir, dan lain-lain. Bahkan untuk menguatkan kebid’ahannya, mereka tidak segan-segan berdusta atas nama para ulama. Misalnya, seperti Syaltut yang mengatakan, bahwa menolak hadits ahad dalam bidang aqidah merupakan ijma’ Ahli Ilmu, termasuk di dalamnya, yaitu imam madzhab yang empat. (Lihat Sulaiman Al Asyqar, Ashl Al I’tiqad, 14-15).

Ijma' hadits ahad hujjah dalam aqidah


sebagaimana kesaksian Al Hafizh Ibn Abd Al Barr (463 H) penulis kitab Asy Syawahid Fi Itsbat Khabar Wahid, dia menyatakan: “Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqih dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) –sepanjang yang saya ketahui- untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah berijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau Ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqaha’ di setiap negeri, sejak zaman sahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan beberapa kelompok Ahli Bid’ah. Yakni satu kelompok kecil yang (ketidak sepakatannya) tidak dianggap sebagai perbedaan pendapat”. (At-Tamhid, 1/ 11). lebih lanjut Ibn Abd Al Barr menegaskan : “Yang kami yakini, hadits ahad mengharuskan untuk diamalkan, bukan merupakan ilmu (dharuri), seperti kesaksian dua orang saksi dan empat orang saksi. Inilah yang dipegangi oleh mayoritas ahli fiqih dan atsar. Semua meyakini khabar al wahid al adl (hadits riwayat satu orang yang adil) dalam masalah aqidah; memusuhi dan mencintai karenanya, menjadikannya sebagai syari’at dan agama dalam keyakinan. Inilah pijakan Jamaah Ahlu Sunnah. Sedangkan sikap mereka dalam hukum seperti yang telah saya jelaskan”. (At Tamhid, 1/ 15).

Ibnu taimiyyah menolak hadits ahad dalam aqidah?


Syubhat:
Ibnu Taimiyyah berkata :

ان هذا من خبر الاحاد فكيف يثبت به اصل الدين اللذي لا يصح لايمان الا به

“ sesungguhnya ini termasuk hadits aahad, bagaimana pondasi agama yang merupakan standar keabasahan iman, bisa menjadi tsubut / tetap dengannya“. (Minhaj As-Sunnah juz 2 hal : 133)

Jawab:
Ibn Taimiyyah (716 H) berkata : “Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah hadits ahad bisa memberikan ilmu (keyakinan) manakala didukung oleh qarinah-qarinah yang meyakinkan, -demikian ini ucapan jumhur ulama-,…Meskipun asalnya dia sendiri tidak memberikan ilmu (keyakinan), akan tetapi ketika disertai oleh Ijma’ Ahli Hadits yang menerima dan membenarkannya, maka kedudukannya seperti Ijma’ ulama ahli fiqh atas satu hukum yang didasarkan kepada makna zhahir atau qiyas atau hadits ahad. Menurut jumhur, maka hukum tersebut menjadi qath’i. Dan jika tanpa Ijma’, maka tidak qath’i, sebab Ijma’ itu ma’shum”. (Majmu’ Al Fatawa 18/ 40, 41, 48, 70). Al Amidi (551-631 H) mengatakan : “Pendapat yang terpilih adalah terwujudnya ilmu (keyakinan) dengan hadits ahad bila didukung oleh qarinah. Dan hal tersebut tidak mungkin tanpa qarinah”. (Al Ihkam Fi Ushul Al Ahkam, 2/ 50). Kesimpulannya, secara umum hadits ahad itu memiliki karakter memberikan zhann, akan tetapi ucapan zhanniyah al hadits tidak bermakna lagi setelah hadits itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits, sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna zhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nazhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dharuri (apriori dan aksiomatik) yang didapat secara otomatis.

imam malik menolak hadits ahad


Syubhat:
Imam Malik sangat terkenal menolak hadits Aahad jika bertentangan dengan amal penduduk Madinah

Jawab:
Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dharuri (apriori) secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim ataupun oleh yang lain.

Ini adalah madzhab Daud Azh Zhahiri (200-270 H), Husain Al Karabisi (w. 245 H), Harits Al Muhasibi (243 H) dan Imam Malik (menurut Ibnu Khuwaiz Mindad), dan inilah yang dipilih oleh Ibn Hazm (384-456 H) dalam Al Ihkam, dia mengatakan : “Sesungguhnya perkataan satu orang yang adil dari orang yang sama sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan ilmu (keyakinan) dan amal sekaligus”.

Kelompok penolak hadits ahad


Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i, akan tetapi zhanni ats tsubut secara mutlak.

Ini adalah madzhab kelompok Mu’tazilah, Khawarij dan Syi’ah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Muturidiyah dari kalangan madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan mayoritas Malikiyah (maksudnya, kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah yang dalam beraqidah mengikuti Asy’ariyah atau Ma’turidiyah, Red). Di antaranya adalah Ar Razi (544-606 H), Al Ghazali (405-505 H), Al Juwaini (478 H) dan Ibn Abdis Salam (577-660 H). Dan inilah yang ditarjih oleh Imam Nawawi t (631-670 H).

Doa akhir tahun hijriyyah bid'ah


Dr. Bakr Abu Zaid (w. 1429 H) mengatakan,

لا يثبت في الشرع شيء من دعاء أو ذكر لآخر العام، وقد أحدث الناس فيه من الدعاء، ورتبوا ما لم يأذن به الشرع، فهو بدعة لا أصل لها.

Bab tentang Doa Akhir Tahun

Tidak terdapat dalil dalam syariat yang menyebutkan tentang doa atau dzikir akhir tahun. Masyarakat membuat-buat kegiatan doa, mereka susun kalimat-kalimat doa, yang sama sekali tidak diizinkan dalam syariat. Doa semacam ini murni bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada dasarnya.

(Tashih ad-Dua, hlm. 108).

Dr. Bakr Abu Zaid adalah Pengajar di Masjid Nabawi pada 1390 – 1400 H, dan anggota Majma’ al-Fiqhi al-Islami di bawah Rabithah Alam Islamiyah.

Idrus ramli: doa akhir tahun kedudukannya seperti alqur'an


Syubhat:
Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah (ulama Wahabi bukan Salaf), murid terkemuka Syaikh Ibnu Taimiyah (ulama rujukan Wahabi bukan Salaf), panutan kaum Wahabi-(bukan-Salafi), berkata:

وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ بَعْضَ الْكَلامِ لَهُ خَوَاصُّ وَمَنَافِعُ مُجَرَّبَةٌ فَمَا الظَّنُّ بِكَلامِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ الَّذِيْ فَضْلُهُ عَلَى كُلِّ كَلامٍ كَفَضْلِ اللهِ عَلَى خَلْقِهِ الَّذِيْ هُوَ الشِّفَاءُ التَّامُّ وَالْعِصْمَةُ النَّافِعَةُ وَالنُّوْرُ الْهَادِيْ وَالرَّحْمَةُ العَامَّةُ الَّذِيْ لَوْ أُنْزِلَ عَلَى جَبَلٍ َتَصَدَّعَ مِنْ عَظَمَتِهِ وَجَلالَتِهِ قَالَ تَعَالَى وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ للمؤمنين [ الإسراء: 82 ] وَ مِنْ هَا هُنَا لِبَيَانِ الْجِنْسِ لاَ لِلتَّبْعِيْضِ هَذَا أَصَحُّ الْقَوْلَيْنِ. (ابن القيم، زاد المعاد في هدي خير العباد، 2/162).

“Dan telah dimaklumi bahwa sebagian perkataan manusia memiliki sekian banyak khasiat dan aneka kemanfaatan yang dapat dibuktikan. Apalagi ayat-ayat al-Qur’an selaku firman Allah, Tuhan semesta alam, yang keutamaannya atas semua perkataan sama dengan keutamaan Allah atas semua makhlukNya. Tentu saja, ayat-ayat al-Qur’an dapat berfungsi sebagai penyembuh yang sempurna, pelindung yang bermanfaat dari segala marabahaya, cahaya yang memberi hidayah dan rahmat yang merata. Dan andaikan al-Qur’an itu diturunkan kepada gunung, niscaya ia akan pecah karena keagungannya. Allah telah berfirman: “Dan kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Quran Surat al-Isra’: 82). Kata-kata “dari al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar. (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, 2/162).

Perhatikan, dalam pernyataan di atas, Syaikh Ibnu Qayyimil Jauziyyah (ulama Wahabi bukan Salaf) menjelaskan bahwa khasiat doa dan dzikir termasuk hal yang dimaklumi di kalangan umat Islam. Bagi yang tidak percaya dengan khasiat tersebut, tangisilah dirinya, karena telah menyimpang dari kemakluman yang diakui dalam agama.”

Jawab:
bukan idrus ramli kalau gak ngawur asal gatuk,asal dicocokin aja..
maksud dari
Kata-kata “dari al-Qur’an”, dalam ayat ini untuk menjelaskan jenis, bukan bermakna sebagian menurut pendapat yang paling benar. (Ibn al-Qayyim, Zad al-Ma’ad, 2/162).
Sudah gamblang yaitu seluruh ayat alqur'an,kalau bukan ayat alqur'an ya gak masuk...ini kenapa doa akhir tahun yg gak ada asal usulnya dimasukkin kayak ayat alqur'an ??? Betapa lucunya tingkah ahli bid'ah..

Larangan taqlid kepad imam assyafi'i


Imam asy syafi'i sendiri yang melarang
كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ   خِلاَفُ قَوْلِي مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيثُ النَّبِيِّ أَوْلىَ فَلاَ تُقَلِّدُونِي

“Semua yang pernah kukatakan jika ternyata berseberangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama untuk diikuti dan janganlah kalian taqlid kepadaku.”[Tarikh Dimasyq, Ibnu ‘Asakir, 2: 9: 15.]

Syubhat tafsir ruhul ma'ani : ortu nabi masuk surga


Syubhat:
ayat :

الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ

“ Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud “. (Q.S. As-Syu’ara’ : 218-219)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan تَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِين (perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud ) adalah perpindahan cahaya Nabi  dari sulbi seorang ahli sujud (muslim) ke ahli sujud lainnya, sampai dilahirkan sebagai seorang nabi.

Imam Alusi dalam tafsir Ruhul Ma`ani ketika berbicara mengenai ayat tersebut berkata :

واستدل بالآية على إيمان أبويه صلى الله تعالى عليه وسلم كما ذهب اليه كثير من أجلة أهل السنة وأنا أخشى الكفر على من يقول فيهما رضي الله تعالى عنهما

“ Aku menjadikan ayat ini sebagai dalil atas keimanan kedua orang tua Nabi  sebagaimana yang dinyatakan oleh banyak daripada tokoh-tokoh ahlus sunnah. Dan aku khawatir kufurnya orang yang mengatakan kekafiran keduanya, semoga Allah meridhai kedua orang tua Nabi…” (Ruh Al-Ma’ani : 19/138)

jawab:
Itulah kerjaan ahli bid'ah kalau gak berdalil dg dalil lemah pasti memanipulasi dalil bahkan mendistorsi atau menyunatnya.
Cara membongkarnya sangat gampang tinggal kita kembali ke nash asli seutuhnya maka akan ketahuan bekangnya.

واستدل بالآية على إيمان أبويه صلى الله عليه وسلم كما ذهب إليه كثير من أجلة أهل السنة، وأنا أخشى الكفر على من يقول فيهما رضي الله تعالى عنهما على رغم أنف عليّ القاري وأضرابه بضد ذلك إلا أني لا أقول بحجية الآية على هذا المطلب
Jelas ada lanjutannya,
Sedangkan imam al qori dan selainnya berpendapan sebaliknya,kecuali sungguh aku tidak sependapat dg pendalilan ayat atas kesimpulan semacam ini.

Jadi sudah jelas beliau hanya menyampaikan bahwa ada pendapat semacam itu,tetapi beliau tidak sependapat.

wajib ikut salaf


قال الامام أبو حنيفة : " عليك بالأثر وطريقة السلف, وإياك وكل محدثة فإنها بدعة "
[انظر ذم التأويل لابن قدامة المقدسي ص (13) ]

Imam abu hanifah: wajib bagimu mengikuti para sahabat dan jalan para salaf,dan jauhi perkara baru yg itu sebenarnya bid'ah(dzammut takwil,ibnu qudamah,hal 13)

Sunnah dan bid'ah tidak mungkin bersatu


Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Hanya orang sesat yg bilang bid'ah itu baik


Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitab As Sunnah dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Umar. Lihat Ahkamul Janaiz, Syaikh Al Albani, hal. 258, beliau mengatakan hadits ini mauquf, shahih)

Bid'ah hasanah istilah bid'ah


sekalipun hal itu dianggap baik oleh kebanyakan manusia dan menamainya dengan bid’ah hasanah!! Aduhai, dari manakah mereka mendapatkan wahyu pengecualian tersebut?!! Bukankah ini berarti sebuah kritikan kepada hadits Nabi dan pengkhususan dari keumuman tanpa dalil?!! Sekali lagi, janganlah engkau tertipu dengan label “bid’ah hasanah” dalam agama karena istilah itu sendiri merupakan sebuah istilah yang bid’ah!![Syaikh Salim al-Hilali telah menepis syubhat-syubhat para penganut faham “bid’ah hasanah” dan meruntuhkannya satu persatu secara bagus dalam risalahnya “Al-Bid’ah wa Atsaruha Sayyi’ fil Ummah” hal. 207-247 -Jami’ Rosail-.]

Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu ketika menghidupkan shalat tarawih secara berjama’ah, beliau Cuma berkata,

نعمت الْبِدْعَةُ هَذِهِ

“Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.[ HR. Bukhari no. 2010.] Bukan bid'ah hasanah

Imam Syafi’i rahimahullah cuma berkata,

البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم

“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah mahmudah (yang terpuji) dan bid’ah madzmumah (yang tercela). Jika suatu amalan bersesuaian dengan tuntunan Rasul, itu termasuk amalan terpuji. Namun jika menyelisihi tuntunan, itu termasuk amalan tercela”[Dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 9: 113.]
Bukan bid'ah hasanah.
Jadi ini hanyalah istilah baru oleh ulama belakangan saja.bukan perkataan nabi atau sahabat.

Pengikut imam syafi'i itu anti bid'ah hasanah



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengatakan,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah adalah sesat” (HR. Muslim no. 867). Hadits semisal ini dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum, artinya mencakup semua bid’ah, yaitu amalan yang tanpa tuntunan atau tanpa dasar.

Imam Asy Syatibhi Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Rabu, 28 September 2016

AJARKAN ANAK BERDOA KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA


Kita semua telah mengetahui banyak hal tentang keutamaan doa. Berdoa adalah ibadah yang paling mudah mengidentifikasikan penghambaan diri seorang manusia. Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa doa adalah ibadah. Dan karena keagungan makna ibadah dalam berdoa sampai Allah Azza wa Jalla murka terhadap orang-orang yang meninggalkan ibadah agung ini. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Dan Rabmu berkata, “Berdoalah kepada-Ku, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdoa kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina. [Ghâfir/40:60]

Dengan demikian, maka diantara sekian banyak petunjuk Islam yang sepatutnya diajarkan oleh kedua orang tua kepada anaknya adalah penanaman pada diri mereka untuk selalu bertauhid, berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla , berdoa dan memohon hanya kepada Allah Azza wa Jalla dalam segala hal.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menggariskan keteladanan yang baik saat beliau menanamkan kemuliaan doa pada diri kemenakannya, ‘Abdullah bin `Abbâs Radhiyallahu anhuma yang masih berusia belia. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, "Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat; "Jagalah (hukum) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Peliharalah (hak) Allah , maka engkau akan mendapatkan (pertolongan) Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta (berdoa), maka memintalah hanya kepada Allah. Dan jika engkau mencari pertolongan, maka mintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah, sesungguhnya apabila semua manusia berkumpul untuk memberikanmu suatu manfaat, maka tidaklah hal itu terjadi melainkan apa yang telah Allah tetapkan bagimu. Dan apabila mereka bersatu untuk mencelakakannmu dengan sesuatu, maka mereka tiada dapat melakukannya melainkan apa yang telah Allah tentukan untukmu. Pena telah terangkat dan lembaran (takdir) telah mengering [Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 2043]

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menanamkan keagungan nilai tauhid kepada diri Ibnu `Abbâs c yang masih belia. Mengajarkannya untuk berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya, karena memang hanya Allah Azza wa Jalla semata Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Jika wasiat semacam ini diberikan oleh insan terbaik kepada seseorang yang termasuk generasi terbaik, sudah sepatutnyalah di zaman seperti sekarang ini, para orang tua lebih tertuntut memperhatikan prinsip-prinsip yang dapat menguatkan kedekatan putera-puteri mereka dengan Allah Azza wa Jalla . Bayangkanlah seandainya setiap kita (setiap orang tua) melakukan kepada anak kita sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kemenakannya.

Tidak kalah menarik, kisah percakapan yang terjadi antara seorang putera Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Abdurrahmân bin Abi Bakrah Radhiyallahu anhu dengan sang ayah, Abi Bakrah Radhiyallahu anhu. ‘Abdurahmân berkara kepada ayahnya:

“Wahai ayah, setiap hari aku mendengarmu melantunkan doa

اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ دِيْنِيْ اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ سَمْعِيْ اللَّهُمَّ عَافِنِيْ فِيْ بَصَرِيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ

(Ya Allah, selamatkanlah aku dalam agamaku, lindungilah aku dalam pendengaran dan penglihatanku, tiada ilâh yang berhak diibadahi selain Engkau)

dan ayah mengulanginya tiga kali pada waktu pagi dan petang. Demikian pula, setiap hari ayah membaca dan mengulanginya tiga kali di pagi dan petang (doa berikut)

اللَّهُمَّ إِنَّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقِْرِ اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ 

(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kemiskinan. Aku berlindung kepada Engkau dari adzab kubur, tiada tuhan yang berhak untuk disembah selain Engkau)”.

Abu Bakrah Radhiyallahu anhu menjawab, "Ya, benar wahai anakku. Sungguh aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya, maka dengan suka-cita aku meneladani petunjuk beliau. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan doa bagi seseorang yang tengah dalam kesulitan besar (yang berbunyi):

اللَّهُمّ َرَحْمَتَكَ أَرْجُوْ فَلاَ تَكِلْنِيْ إِلىَ نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إلِاَّ أَنْتَ 

(Ya Allah, kasih sayang-Mu yang aku harapkan, jangan Engkau lepaskan aku sekejap mata pun (bergantung) kepada diriku sendiri. Perbaikilah semua urusanku, (sungguh) tiada ilâh yang berhak untuk diibadahi selain Engkau) [ Lihat Irwâ'ul Ghalîl no: 356-357]

Demikianlah pembelajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat generasi Salaf kepada anak-anak mereka agar selalu dekat dengan Allah Azza wa Jalla , berdoa memohon kepada-Nya dan berharap untuk tidak dibiarkan oleh Allah Azza wa Jalla barang sekejap pun.

Kisah lain yang patut kita teladani adalah yang diriwayatkan dari Abu Na`âmah, dari Ibnu Sa`ad ia berkata, "Ayahku pernah mendengarku berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu Jannah, kenikmatannya, keelokannya, … dan seterusnya, … dan seterusnya. Aku berlindung kepada Engkau dari api neraka, rantai-rantainya, belenggu-belenggunya…. maka ayahku berkata, “Wahai anakku, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada sekelompok manusia yang berlebihan dalam berdoa". Janganlah engkau menjadi bagian dari mereka. Apabila engkau diberikan Jannah, engkau akan mendapatkannya beserta seluruh kebaikan di dalamnya. Dan apabila engkau diselamatkan dari api neraka, maka engkau akan dilindungi dari apinya dan seluruh kejelekan di dalamnya".[Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 1313]

Seorang ulama Salaf berkata, “Aku pernah sakit keras, dan (saat) kondisiku semakin parah, ayahku berkata kepadaku, “Wahai anakku, perbanyaklah berdzikir (berdoa) kepada Allah”.

Cermatilah semua contoh bimbingan ini. Alangkah besar perhatian mereka dalam menguatkan hubungan anak-anak dengan Allah Azza wa Jalla .

Minggu, 25 September 2016

Berbuka saat langit mendung


Seseorang yang berbuka puasa karena menduga matahari telah tenggelam kemudian nampak bahwa ternyata matahari belum tenggelam maka puasanya sah. Akan tetapi wajib baginya untuk kembali berpuasa sejak ia mengetahui belum tenggelamnya matahari sampai matahari benar-benar terbenam.
 di antara dalil yang mendasari kaidah ini adalah hadits Asmâ’ binti Abi Bakr Radhiyallahu anhuma, ia berkata :

أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ

Kami pernah berbuka puasa di zaman Nabi  Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat mendung, kemudian tiba-tiba matahari muncul. [ HR. Al-Bukhâri no. 1959.]

Dalam hadits tersebut disebutkan bahwa sebagian Shahabat berbuka puasa dengan dugaan kuat bahwa matahari telah terbenam. Setelah itu nampak bahwa ternyata matahari belum terbenam. Hal ini menunjukkan bolehnya beramal dengan dugaan kuat. Jika tidak diperbolehkan, tentu Rasûlullâh n memerintahkan mereka untuk mengqadha’ puasa.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka mengqadha’ puasa. Seandainya mengqada’ dalam kondisi itu wajib tentulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya. Dan seandainya Beliau memerintahkan tentulah sudah dinukil untuk kita, karena jika Beliau n memerintahkan pastilah itu termasuk bagian syariat, sedangkan syariat Allâh Azza wa Jalla senantiasa terjaga.” [ Syarh Manzhûmah Ushûl al-Fiqh wa Qawâ’idihi, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cet. I, Tahun 1426 H, Dar Ibni al-Jauzi, Damam, hlm. 149.]

Jumat, 23 September 2016

Benarkah Nafkah Adalah “Uang Jajan” Bagi Istri?


Sebuah tulisan di blog menyatakan,

“kalau kita kembalikan kepada aturan asalnya, yang namanya nafkah itu lebih merupakan ‘gaji’ atau honor dari seorang suami kepada istrinya. Sebagaimana ‘uang jajan’ yang diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.

Adapun kebutuhan rumah tangga, baik untuk makan, pakaian, rumah, listrik, air, sampah dan semuanya, sebenarnya di luar dari nafkah suami kepada istri. Kewajiban mengeluarkan semua biaya itu bukan kewajiban istri, melainkan kewajiban suami”

Inti dari tulisan tersebut menyatakan bahwa yang disebut nafkah dari suami kepada istri adalah pemberian suami di luar pemenuhan kebutuhan rumah, makan, pakaian dan turunannya yang bebas digunakan istri sesuai keinginannya. Dan menurut tulisan ini, nafkah dari suami adalah sebagaimana uang jajan dari orang tua kepada anaknya.

Sanggahan untuk pernyataan ini, terdiri dari beberapa poin:

Definisi nafkah istri secara syar’i adalah kebutuhan pokok dan umumnya berupa quut(makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunannya

Setelah mengetahui wajibnya nafkah suami kepada istri, kita telaah apa yang dimaksud nafkah. Nafkah atau an nafaqah secara bahasa artinya pengeluaran. Dalam kitab Al Fiqhul Muyassar (1/337) dijelaskan,

النفقة لغة: مأخوذة من الإنفاق، وهو في الأصل بمعنى الإخراج والنفاد، ولا يستعمل الإنفاق إلا في الخير

“An Nafaqah secara bahasa diambil dari dari kata al infaq, yang pada dasarnya bermakna: pengeluaran. Dan kata al infaq ini tidak digunakan kecuali dalam hal yang baik”.

Maka semua jenis pengeluaran harta itu secara bahasa dapat disebut infaq atau nafaqah,termasuk pula pengeluaran harta seorang suami untuk istrinya.

Sedangkan, makna nafaqah secara istilah (dan ini yang kita bahas), para ulama mendefinisikan sebagai berikut. Dalam Majma’ Al Anhar (1/484), kitab fiqih Hanafi, disebutkan definisi nafaqah:

مَا يَتَوَقَّفُ عَلَيْهِ بَقَاءُ شَيْءٍ مِنْ نَحْوِ مَأْكُولٍ وَمَلْبُوسٍ وَسُكْنَى

“sesuatu yang keberlangsungan sesuatu ditegakkan di atasnya, semisal makanan, pakaian dan tempat tinggal”

Dalam Fathul Qadir Ibnu Hammam (4/287) disebutkan juga definisi nafaqah,

الْإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا بِهِ بَقَاؤُهُ

“menyediakan untuk sesuatu yang bisa membuatnya tetap ada dan berlangsung”.

Dalam Ad Durr Al Mukhtar, kitab fiqih Syafi’i, disebutkan:

هِيَ الطَّعَامُ وَالْكُسْوَةُ وَالسُّكْنَى

“nafaqah adalah makanan, pakaian dan tempat tinggal” (dinukil dari Ar Raddul Mukhtar, 3/572).

Dalam Al Fiqhul Muyassar (1/337) juga disebutkan:

وشرعاً: كفاية من يَمُونُه بالمعروف قوتاً، وكسوة، ومسكناً، وتوابعها

“secara syar’i, nafaqah artinya memberikan kecukupan kepada orang yang menjadi tanggungannya dengan ma’ruf berupa quut(makanan pokok), pakaian, tempat tinggal dan turunan-turunan dari tiga hal tersebut”

Jika kita telaah perkataan para ulama, maka kita akan dapati mereka mendefinisikan bahwa nafkah itu tidak lepas dari 2 hal:

Nafkah adalah sesuatu yang membuat pihak yang diberi nafkah tetap eksis. Maka nafkah untuk istri adalah memberikan sesuatu (sebab) yang membuat istri tetap hidup, tetap sehat dan tergaja sebagaimana mestinya manusia. Dengan kata lain, nafkah bisa kita sebut dengan kebutuhan primer.Nafkah pada umumnya berupa tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Yang tiga hal ini berdasarikan dalil syar’i dan juga disepakati setiap orang yang berakal merupakan kebutuhan primer manusia.

Maka, memaknai nafkah sebagai “uang jajan” sama sekali tidak sesuai dengan definisi nafkah yang disebutkan para ulama. Karena “uang jajan” bukanlah kebutuhan primer.

Minggu, 18 September 2016

Semakin manfaat semakin utama


kaedah fikih yang disebutkan oleh Imam As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhair pada kaedah ke-20. Beliau menyatakan,

المُتَعَدِّي أَفضَلُ مِنَ القَاصرِ

“Amalan yang manfaatnya untuk orang banyak lebih utama daripada yang manfaatnya untuk segelintir saja.”

Imam Asy Syafi’i rahimahullah juga mengatakan,

طَلَبُ الْعِلْمِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ النَّافِلَةِ

“Menuntut ilmu itu lebih utama dari shalat sunnah.”

Doa memohon diberi kelancaran rizki


[1] Berlindung dari kefakiran

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْقِلَّةِ وَالذِّلَّةِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kemiskinan, kehinaan. Dan aku berlindung kepada-Mu jangan sampai aku mendzalimi atau didzalimi.” (HR. Ahmad 8053, Abu Daud 1546 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

[2] Doa agar semua utang dilunasi dan dihindarkan dari kefakiran

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan, jika kita hendak tidur, dianjurkan miring ke kanan, kemudian membaca doa,

اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ وَرَبَّ الأَرْضِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ وَالْفُرْقَانِ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَىْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ اللَّهُمَّ أَنْتَ الأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىْءٌ وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَىْءٌ اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ

“Ya Allah, Rabb yang menguasai langit yang tujuh, Rabb yang menguasai ‘Arsy yang agung, Rabb kami dan Rabb segala sesuatu. Rabb yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Rabb yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya (semua makhluk atas kuasa Allah). Ya Allah, Engkau-lah yang awal, sebelum-Mu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang lahir, tidak ada sesuatu di atasMu. Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang luput dari-Mu. Lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan (kecukupan) hingga terlepas dari kefakiran.” (HR. Muslim 2713)

[3] Berlindung dari kelilit utang dan kedzaliman manusia

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ وَالْبُخْلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ وَقَهْرِ الرِّجَالِ

”Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari bingung dan sedih. Aku berlindung kepada Engkau dari lemah dan malas. Aku berlindung kepada Engkau dari pengecut dan kikir. Dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan kesewenang-wenangan manusia.” (HR. Abu Dawud 1557)

[4] Doa mohon rizki yang halal

Doa ini dibaca setiap selesai salam shalat subuh.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa berikut, setelah salam shalat Shubuh,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا

“Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat (bagi diriku dan orang lain), rizki yang halal dan amal yang diterima (di sisi-Mu dan mendapatkan ganjaran yang baik).”(HR. Ibnu Majah 925 dan dishahihkan al-Hafizh Abu Thahir)

[5] Memohon kecukupan dengan yang halal

Dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan doa berikut,

اللَّهُمَّ اكْفِنِى بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِى بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal dan jauhkanlah aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari bergantung pada selain-Mu.” (HR. Ahmad 1319, Tirmidzi 3563 dan dihasankan al-Hafizh Abu Thahir)

[6] Memohon harta yang diberkahi,

اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي وَأطِلْ حَيَاتِي عَلَى طَاعَتِكَ، وَأحْسِنْ عَمَلِي وَاغْفِرْ لِي

 “Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendoakan sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dengan doa di atas. (HR. Bukhari dalam shahihnya 1982 dan Bukhari Adabul Mufrad 653 dan dishahihkan al-Albani)

[7] Meminta rizki ketika shalat

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika duduk antara dua sujud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca doa,

رَبِّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاجْبُرْنِي ، وَارْفَعْنِي ، وَارْزُقْنِي ، وَاهْدِنِي

Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad 2895).

Semoga Allah memberkahi rizki kita dan mengampuni dosa kita..

Amin.

Senin, 12 September 2016

Dzikir setelah sholat berjamaah sunnah?


hadits ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا نَعْرِفُ انْقِضَاءَ صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالتَّكْبِيرِ.

“Dari ibnu Abbas ia berkata, “Dahulu kami mengetahui selesainya sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan takbir.” (HR Muslim).

Dalam riwayat lain:

أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. وَأَنَّهُ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.

“Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ibnu Abbas berkata, “Aku mengetahui selesainya sholat mereka apabila aku mendengar suara.” (HR Al Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama berpendapat bahwa berdzikir setelah sholat hendaknya disirrkan berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan kita untuk berdzikir secara lirih:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ

“Dan berdzikirlah (mengingat) Rabbmu pada dirimu dengan penuh ketundukkan dan rasa takut dan suara yang tidak keras.” (QS Al A’raaf: 205).

Ini adalah pendapat jumhur ulama. Mereka menjawab hadits ibnu Abbas di atas bahwa hadits itu adalah dalam rangka ta’lim (mengajarkan) dzikir-dzikir setelah shalat[lihat syarah Al Muhadzab karya imam An nawawi rahimahullah 5/84.]. Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Perkataan ibnu Abbas, “Sesungguhnya mengangkat suara dengan dzikir setelah manusia selesai melaksanakan sholat fardlu ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” Menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dilakukan di zaman shahabat ketika ibnu Abbas menceritakan ini. Sebab kalaulah perbuatan tersebut dilakukan di zaman shahabat tentunya perkataan ibnu Abbas, “…ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” tidak mempunya makna. Ini sama halnya dengan perbuatan Abu Hurairah yang bertakbir pada setiap turun dan naik, dan berkata, “Aku adalah orang yang paling serupa shalatnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Padahal perbuatan tersebut tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara terus menerus sepanjang hidupnya. Lalu para shahabat memahami bahwa perbuatan itu bukan sesuatu yang dilakukan terus menerus. Maka merekapun meninggalkannya karena ada kekhawatiran akan disangka oleh orang yang kurang ilmunya bahwa perbuatan itu adalah syarat sah shalat. Oleh karena itu sebagian fuqoha memakruhkannya. Dan diriwayatkan dari Abiidah bahwa ia menganggapnya bid’ah.”
[Syarah shahih Al Bukhari karya ibnu Bathal 2/458.]

Belajar ilmu sama ustadz terkenal saja?


حدثنا أحمد بن قاسم وسعيد بن نصر قالا : حدثنا قاسم بن أصبغ، نا محمد بن إسماعيل الترمذي، نا نعيم، نا ابن المبارك، أخبرنا ابن لهيعة، عن بكر بن سوادة، عن أبي أمية الجمحى أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ( إن من اشراط الساعة ثلاثا: إحداهن أن يلتمس العلم عند الاصاغر).

قال نعيم : قيل لابن المبارك : من الاصاغر ؟ قال: الذين يقولون برأيهم فأما صغير يروى عن كبير فليس بصغير.

وذكر أبو عبيد في تأويل هذا الخبر عن ابن المبارك انه كان يذهب بالاصاغر إلى أهل البدع ولا يذهب إلى السن.

قال أبو عبيد: وهذا وجه. قال أبو عبيد: والذي أرى أنا في الاصاغر أن يؤخذ العلم عمن كان بعد أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم، فذاك اخذ العلم عن الاصاغر.

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir (orang-orang kecil)”.

Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir ?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut pikiran mereka semata. Adapun seorang yang kecil yang meriwayatkan hadits dari orang yang tua, maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.

Abu ‘Ubaid menyebutkan tentang penafsiran hadits ini dari Ibnul-Mubaarak, maka ia berpendapat bahwa maksud Al-Ashaaghir itu adalah para ahli bid’ah; dan ia tidak berpendapat tentang makna tersebut berkaitan dengan usia (muda).

Abu ‘Ubaid berkata : “Ini adalah satu sisi pendapat. Adapun pendapatku tentang makna Al-Ashaaghir adalah diambilnya ilmu dari orang-orang setelah shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka di situlah makna ilmu diambil dari Al-Ashaaghir”.[Hadits hasan. Diriwayatkan oleh Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd (61) dan darinya Abu ‘Amr Ad-Daaniy dalam Al-Fitan (2/62), Al-Laalikaaiy dalam Ushuul I’tiqaad Ahlis-Sunnah (1/102), Ath-Thabaraniy dalam Al-Kabiir (22/908/362), Al-Harawiy dalam Dzammul-Kalaam (2/137), Al-Haafidh ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Al-‘Ilm (2/16), dan Ibnu Mandah dalam Al-Ma’rifah (2/220/a); dari Ibnul-Mubaarak, dari Ibnu Lahi’ah yang selanjutnya sebagaimana sanad di atas.

Al-Haitsamiy berkata dalam Al-Majma’ (1/135) : “Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath dan Al-Kabiir, dan dalam sanadnya terdapat Ibnu Lahi’ah, seorang perawi dla’iif”.

Begitulah yang dikatakan Al-Haitsamiy rahimahullah. Ini keliru, sebab hadits ini merupakan hadits Ibnu Lahi’ah yang diriwayatkan oleh Al-‘Abaadilah – dimana Ibnul-Mubaarak salah satu dari keempat ‘Abaadilah tersebut. Riwayat Al-‘Abaadilah dari Ibnu Lahi’ah adalah diterima sebagaimana telah dimaklumi, karena mereka meriwayatkan darinya sebelum kitabnya terbakar.]
sependek pengetahuan saya tidak ada yang mengartikan orang-orang kecil dengan yang tidak terkenal

Takbirotul ihrom memutar tangan?


Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Satu kaidah baku yang patut selalu kita ingat, bahwa dalam semua gerakan maupun bacaan yang kita lakukan dalam shalat, harus berdasarkan dalil. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan acuan umum bagi kita, melalui sabdanya,

صَلُّوا  كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

”Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (HR. Bukhari 631)

Salah satu diantara nikmat Allah bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita dimudahkan dengan hadirnya para sahabat yang merekam semua gerakan dan bacaan shalatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melalui berita mereka, kita bisa mendapatkan informasi yang valid mengenai tata cara shalat beliau.

Salah satu diantara sahabat yang banyak menceritakan gerakan shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sahabat Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,

لَأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ يُصَلِّي، فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ فَقَامَ فَكَبَّرَ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَتَا بِأُذُنَيْهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى كَفِّهِ الْيُسْرَى وَالرُّسْغِ وَالسَّاعِدِ

“Sungguh, Aku akan perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Akupun melihat beliau memulai takbiratul ihram. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan telinganya, kemudian beliau letakkan tangan kanan di atas telapak tangan kirinya, atau pergelangannya, atau sepanjang hastanya.” (HR. Ahmad 18870, Nasai 889, Ibnu Khuzaimah 480 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)

Anda bisa perhatikan, betapa rincinya sahabat Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu dalam menceritakan cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk satu cuplikan cara takbiratul ihram hingga sedekap, beliau ceritakan semua yang beliau lihat. Hingga posisi tangan ketika sedekap. Namun di sana, tidak kita temukan keterangan, ’beliau memutar tangannya ketika hendak sedekap.’

Andai ini bagian dari tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu akan diceritakan oleh sahabat.

Dan kami tidak menjumpai adanya satupun riwayat yang menyebutkan anjuran memutar tangan ketika sedekap. Untuk itu, orang yang melestarikan tradisi memutar tangan ketika sedekap, dia berkewajiban mendatangkan dalil.

Demikian.

Allahu a’lam.

Hukum makan di warteg tanpa tanya harga dahulu


Pertanyaan: Makan di suatu tempat, misal warteg, di mana penjual langsung menghitung apa yang kita makan. Terkadang harga tinggi, kadang rendah; tidak tahu pasti harganya. Bagaimana hukumnya?

Jawab:
Jika memang sudah sesuai dengan harga kelas warteg, oke. Kita harus melihat juga fasilitas serta lokasi warung tersebut yang turut mempengaruhi tingginya harga. Namun, jika kelasnya sama, fasilitas sama; ternyata harganya beda jauh, maka kita berhak menuntut kepada penjual (tertipu). Kecuali, jika dari awal penjual telah menyampaikan harga kepada pembeli.

Takbiran Dulu atau Dzikir Dulu


Keterangan Syaikh Khalid Al-Musyaiqih,

ومتى يكبر ؟ هل يكبر بعد السلام مباشرة أو عقب الذكر ؟
نقول يكبر بعد الاستغفار وقول :( اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام ) ، فيستغفر الله ثلاثاً ثم يقول :( اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام ) ثم يشرع في التكبير ، يكبر ما شاء الله عز وجل ثم بعد ذلك يعود لأذكاره

Kapan mulai takbir setelah shalat? Apakah langsung bertakbir persis setelah salam ataukah setelah Dzikir?

Jawab:
Kami katakan, sebaiknya bertakbir setelah istighfar dan membaca,

اللهم أنت السلام ومنك السلام تباركت يا ذا الجلال والإكرام

Hendaknya dia istighfar 3 kali kemudian membaca; dzikir di atas (Allahumma antas salam…. dst.), setelah itu mulai bertakbir. Dia bisa bertakbir dengan jumlah bebas, kemudian kembali berdzikir lagi.

Sumber: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=264613

Sabtu, 10 September 2016

Doa hari arofah sebaik-baik doa bagi semua kaum muslimin


hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ

”Sebaik-baik doa adalah doa hari arafah.” (HR. Turmudzi 3585 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib no. 1536)

Al-Hafidz Ibnu Rajab (w. 795 H) menyebutkan sebuah riwayat dari jalur Nufai’ Abi Daud, bahwa Ibnu Umar mengatakan,

إذا كان يوم عرفة لم يبق أحد في قلبه مثقال ذرة من إيمان إلا غفر له قيل له: أللمعروف خاصة أم للناس عامة؟ قال: بل للناس عامة”

“Ketika hari arafah, setiap orang yang memiliki iman seberat telur semut maka dia akan diampuni.” ada yang bertanya kepada beliau, ’Apakah khusus untuk yang sedang wukuf di arafah ataukah umum mencakup semua orang?’ “Umum untuk semua manusia.” Jawab Ibnu Umar. (Lathaif al-Ma’arif, hlm. 492).

Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Dr. Sholih al-Fauzan. Ketika beliau ditanya, apakah keutamaan doa pada hari ‘Arafah khusus bagi para jamaah haji ataukah umum untuk semua manusia?

Jawaban beliau

الدعاء يوم عرفة عام للحجاج وغيرهم لكن الحجاج على وجه أخص لأنهم في مكان فاضل وهم متلبسون بالإحرام وواقفون بعرفة فهم يعني يتأكد الدعاء في حقهم والفضل في حقهم أكثر من غير الحجاج وأما بقية الناس الذين لم يحجوا فإنهم يشرع لهم الدعاء والاجتهاد بالدعاء في هذا اليوم ليشاركوا إخوانهم الحجاج في هذا الفضل

“Doa pada hari ‘Arafah berlaku umum untuk para jamaah haji dan selain jamaah haji. Akan tetapi, para jamaah haji lebih khusus karena mereka berada di tempat yang mulia, sedang melaksanakan ihram dan melakukan wuquf di arafah. Doa untuk mereka menjadi sangat ditekankan. Keutamaan untuk mereka lebih banyak dari pada selain jamaah haji. Adapun masyarakat lain yang tidak berhaji, disyariatkan untuk mereka berdoa serta bersungguh-sungguh dalam berdoa pada hari ini, agar sama-sama mendapatkan keutamaan sebagaimana saudara-saudara mereka, para jamaah haji.

Selanjutnya, Dr. Al-Fauzan menyebutkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang keutamaan doa ketika hari arafah, kemudian beliau menegaskan,

فالدعاء مشروع في يوم عرفة للحاج ولغيره لكنه في حق الحاج آكد وأفضل لما هو متلبس به من المناسك ولما هو فيه من المكان العظيم الفاضل وأما الزمان وفضل الزمان فيشترك فيه الحجاج وغير الحجاج وأما المكان فيختص به الحجاج وهو الوقوف بعرفة.

Oleh karena itu, doa pada hari Arafah disyariatkan untuk orang yang berhaji dan selainnya. Akan tetapi, bagi orang yang berhaji, lebih ditekankan dan lebih utama, karena mereka sedang melaksanakan berbagai manasik dan karena mereka berada di tempat yang agung nan utama. Adapun tentang batas waktu (hari arafah) dan keutamaan waktu, jama’ah haji dan selain jamaah haji sama-sama mendapatkannya. Sementara tempat (arafah) hanya khusus untuk jamaah haji, yaitu wuquf di arafah.” [sumber: http://alfawzan.af.org.sa/node/8980]

Bolehkah daging qurban untuk non muslim


Syaikh Abdulaziz bin Baz –rahimahullah– ketika ditanya apakah boleh memberikan daging qurban kepada non muslim?

Beliau memjawab :

لا حرج؛ لقوله جل وعلا: لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ، فالكافر الذي ليس بيننا وبينه حرب كالمستأمن أو المعاهد يعطى من الأضحيَّة ومن الصدقة.

Tidak mengapa, karena Allah jalla wa ‘ala berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”

Maka orang kafir yang tidak ada hubungan perang antara kita dengan mereka, seperti Musta’min (yang meminta jaminan keamanan) atau Mu’ahad (yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), boleh diberi daging qurban dan juga boleh diberi sedekah.
(Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 18/47)

Jadi hukumnya boleh membagikan daging qurban kepada non muslim. Namun tetap yang lebih afdhol, memprioritaskan kaum muslimin. Karena hubungan iman menjadikan mereka lebih berhak untuk diutamakan. Dan memberi daging qurban kepada mereka, membantu mereka dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

HUKUM MEMANGGIL SESEORANG DENGAN INISIAL


*HUKUM MEMANGGIL SESEORANG DENGAN INISIAL YANG TIDAK MENUNJUKKAN NAMANYA*

*_Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al 'Abbad hafizhahullah_*

*Pertanyaan:*
Kami di Indonesia memiliki kebiasaan  memanggil saudara-saudara kami dengan menyingkat nama mereka seperti jika seseorang namanya Abdurrahman, maka kami memanggilnya (Man!) dan jika namanya Abdullah kami memanggilnya (Dul). Bolehkah hal ini?

*Jawaban:*
Tidak ada keterpautan antara (Man) dan Abdurrahman. Seandainya namanya Manshur, maka bisa dia memanggilnya (Man) karena Man sebagian dari Manshur.

Namun saya katakan: Panggillah oleh kalian dengan nama lengkapnya itu lebih baik bagi kalian.

📀Syarhu Sunan Abi Dawud 496

 حكم مناداة الشخص برموز لا تدل على اسمه
السؤال: نحن في أندونيسيا من عادتنا أن ننادي إخواننا بأسمائهم مختصرة -فمثلاً- إذا كان الرجل اسمه عبد الرحمن، نناديه: (من!)، وإذا كان عبد الله نناديه (دل) فهل يجوز هذا؟الجواب: ليس هناك تناسق بين (من) و(عبد الرحمن) لو كان الاسم (منصور) فيمكن يناديه: (من) لأنه بعض (منصور)، فأقول: نادوا بالأسماء كاملة خير لكم.

Rabu, 07 September 2016

orang tua,Kakek nenek nabi tidak kafir?


Syubhat:
Imam Ath-Thobari menyebutkan hadits berikut yang telah ditakhrij oleh Abu Ali bin Syadzan dan juga terdapat dalam Musnad Al-Bazzar dari Ibu Abbas Ra, beliau berkata :

دخل ناس من قريش على صفية بنت عبد المطلب فجعلوا يتفاخرون ويذكرون الجاهلية فقالت صفية منا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالوا تنبت النخلة أو الشجرة في الأرض الكبا فذكرت ذلك صفية لرسول الله صلى الله عليه وسلم فغضب وأمر بلالا فنادى في الناس فقام على المنبر فقال أيها الناس من أنا قالوا أنت رسول الله قال أنسبوني قالوا محمد بن عبد الله بن عبد المطلب قال فما بال أقوام ينزلون أصلي فو الله إني لأفضلهم أصلا وخيرهم موضعا.

“ Beberapa orang dari Quraisy datang kepada Shofiyyah binti Abdil Muththalib, lalu merekasaling membangga-banggakan diri dan menyebutkan perihal jahiliyyah. Maka Shofiyyah berkata “ Dari kalangan kami lahir Rasulullah “, lalu mereka menjawab “ Kurma atau pohon tumbuh di tempat kotor “. Kemudian Shofiyyah mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw, maka Rasulullah Saw marah dan memerintahkan Bilal berseru pada orang-orang untuk berkumpul, lalu Rasulullah berdiri di atas mimbar dan bersabda “ Wahai manusia, siapakah aku ? mereka menjawab “ Engkau adalah utusan Allah. Kemudian Rasulullah bersabda lagi “ Sebutkanlah nasabku ! Mereka menjawab “ Muhammad bin Abdullah bin Abdil Muththalib “, maka Rasulullah bersabda “ Ada apa satu kaum merendahkan nenek moyangku, maka demi Allah sesungguhnya nenek moyangku seutama-utamanya nenenk moyang dan sebaik-baik tempat (kelahiran) “.

Jawab: ini riwayat dhaif/ lemah tidak bisa dijadikan hujjah.
Karena dalam sanadnya ada ismail bin yahya dia perawi matruk/ yg ditinggalkan

تُوُفِّيَ ابنٌ لِصَفِيَّةَ عَمَّةِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فبَكَتْ عليه وصاحَتْ فأتاها النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقال لها يا عمةُ ما يُبْكيكَ قالَتْ تُوُفِّيَ ابني قال يا عمَّةُ مَنْ تُوُفِّيَ لَهُ وَلَدٌ في الإسلامِ فصبرَ بنى اللهُ لَهُ بيتًا في الجنَّةِ فسَكَتَتْ ثم خرجَتْ من عندِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فاستقبلَها عمرُ بنُ الخطابِ فقال يا صفيةُ قدْ سمعْتُ صُراخَكِ إنَّ قرابَتَكِ من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لن تُغْنِيَ عنكِ منَ اللهِ شيئًا فبكتْ فسمِعَها النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وكانَ يُكْرِمُهَا ويُحِبُّها فقال يا عَمَّةُ أتبكينَ وقدْ قلْتُ لكِ ما قُلتُ قالت ليس ذاك أبكاني يا رسولَ اللهِ استقْبَلَني عمرُ بنُ الخطابِ فقال إنَّ قرابتَكِ من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لَنْ تُغْنِيَ عنكَ مِنَ اللهِ شيئًا قال فغَضِبَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وقال يا بلالُ هجِّرْ بالصلاةِ فهجَّرَ بلالٌ بالصلاةِ فصعِدَ المنبرَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فحمِدَ اللهَ وأثْنَى علَيْهِ ثم قالَ ما بالُ أقوامٍ يزعمونَ أنَّ قرابتي لا تَنْفَعُ كلُّ سَبَبٍ ونسَبٍ مُنْقَطِعٌ يومَ القيامةِ إلا سببي ونسبي فإنَّها موصولَةٌ في الدنيا والآخرةِ فقال عمرُ فتزوَّجْتُ أمَّ كلْثومٍ بنتَ علِيٍّ رضِيَ اللهُ عنهما لِمَا سَمِعْتُ من رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يومئذٍ أحْبَبْتُ أنْ يكونَ لي منه سببٌ ونسبٌ ثم خرجْتُ من عندِ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فمرَرَتُ علَى نفَرٍ من قريشٍ فإذا هم يتفاخرونَ ويذكرونَ أمرَ الجاهلِيَّةِ فقُلْتُ منَّا رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقالوا إنَّ الشجرَةَ لَتَنْبُتُ في الكِبَا قال فمرَرْتُ إلى النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فأخبرتُهُ فقال يا بلالُ هجِّرْ بالصلاةِ فحمِدَ اللهَ وأثْنَى علَيْهِ ثم قالَ يا أيُّها الناسُ مَنْ أنا قالوا أنتَ رسولُ اللهِ قال انسُبُونِي قالوا أنتَ محمدُ بنُ عبدِ اللهِ بنِ عبدِ المطلبِ قال أجلْ أنا محمدُ بنُ عبدِ اللهِ وأنا رسولُ اللهِ فما بالُ أقوامٍ يَبْتَذِلونَ أَصْلِي فواللهِ لَأَنَا أَفْضَلُهم أصْلًا وخيرُهم موضِعًا قال فلمَّا سَمِعَتِ الأنصارُ بذلِكَ قالَتْ قوموا فخُذوا السلاحَ فإن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قَدْ أُغْضِبَ قال فأخذوا السلاحَ ثم أَتَوُا النَّبيَ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم لَا تَرَى منهم إلَّا الحدَقَ حتى أحاطوا بالناسِ فجعلُوهم في مثلِ الحرَّةِ حتى تضايَقَتْ بهم أبوابُ المساجِدِ والسِّكَكِ ثم قاموا بينَ يَدَيْ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فقالُوا يا رسولَ اللهِ لا تأمُرُنا بأحدٍ إلَّا أَبَرْنَا عِتْرَتَهُ فلَمَّا رأَى النَّفَرَ من قريشٍ ذَلِكَ قامُوا إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فاعتذروا وتنصَّلُوا فقالَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الناسُ دِثارٌ والأنصارُ شعارٌ فأثْنَى عليهم وقال خيرًا

الراوي: عبدالله بن عباس المحدث: الهيثمي - المصدر: مجمع الزوائد - الصفحة أو الرقم: 8/219
خلاصة حكم المحدث: فيه إسماعيل بن يحيى بن سلمة بن كهيل وهو متروك

Gubernur kafir itu musibah


Allah menjelaskan dalam al-Quran, bahwa salah satu cara Allah memberi hukuman hamba-Nya adalah dengan Allah tunjuk orang dzalim untuk menjadi pemimpin mereka. Orang yang tindakannya selalu menyakiti hati rakyatnya. Menantang rakyatnya, dst.

Allah berfirman,

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Demikianlah Kami jadikan sebagian orang zalim menjadi penguasa bagi sebagian orang zalim lainnya disebabkan dosa yang mereka kerjakan. (QS. al-An’am: 129)

Al-baghawi menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas,

أن الله تعالى إذا أراد بقوم خيرا ولى أمرهم خيارهم ، وإذا أراد بقوم شرا ولى أمرهم شرارهم

Bahwa apabila Allah menghendaki kebaikan bagi satu kaum, maka Allah serahkan urusan mereka kepada orang terbaik di kalangan mereka (Allah tunjuk pemimpin yang baik). Dan jika Allah menghendaki keburukan pada satu kaum, Allah serahkan urusan mereka kepada orang terjahat di tengah mereka. (Tafsir al-Baghawi, 3/189)

Keterangan ini juga disampaikan al-Qurthubi dalam tafsirnya,

وهذا تهديد للظالم إن لم يمتنعْ من ظلمِه سلَّطَ اللهُ عليه ظالمًا آخر. ويدخلُ في الآيةِ جميعُ مَن يظلمُ نفسَه أو يظلِمُ الرَّعيَّة ، أو التَّاجرُ يظلمُ النَّاسَ في تجارتِه أو السَّارقُ وغيرُهم

Ini ancaman bagi setiap orang yang dzalim, selama mereka tidak menghentikan kedzalimannya, maka Allah akan tunjuk orang dzalim lainnya yang akan menindasnya. Termasuk dalam ayat, semua orag yang mendzalimi dirinya atau mendzalimi rakyatnya atau pedagang yang mendzalimi konsumen dalam berdagang, atau pencuri atau yang lainnya. (Tafsir al-Qurthubi, 7/85)

Seperti itulah bagaimana Allah memberi peringatan bagi hamba-Nya, agar mereka sadar diri. Kedzaliman dibalas dengan kedzaliman, bukan dari orang yang didzalimi, tapi dari orang lain. Termasuk kedzaliman dalam berdagang.

Dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا بَخَسَ قَوْمٌ الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ ، وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ ، وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ

Apabila masyarakat suka mengurangi takaran dan timbangan, maka mereka akan dihukum dengan kelaparan, susah mendapatkan penghasilan, dan kedzaliman dari pemimpin yang arogan. (HR. Ibnu Majah 4155, Thabrani dalam al-Ausath 4671, dan al-Baihaqi dalam Syuabul Iman 3041).

Saatnya kaum muslimin yang hidup di wilayah ini mulai introspeksi serius, mengapa sampai Allah menguji mereka dengan keberadaan pemimpin yang arogan semacam ini.

Dan jangan lupakan banyak istighfar, serta memperbanyak doa,

اللَّهُمَّ لاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Ya Allah, jangan engkau serahkan kepemimpinan wilayah kami kepada orang yang tidak mengasihi kami. (HR. Turmudzi 3841)

Yang mampu tidak ada alasan tidak berkurban


Imam Syafi’i sendiri yang menganggap hukum berqurban itu sunnah dalam hal ini menyatakan bahwa yang mampu jangan sampai meninggalkannya. Beliau rahimahullah berkata,

لاَ أُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا لِمَنْ قَدَّرَ عَلَيْهَا
Aku tidaklah memberi keringanan untuk meninggalkan berqurban bagi orang yang mampu menunaikannya.”[Ahkam Al-Udhiyyah wa Al-‘Aqiqah wa At-Tadzkiyah, hlm. 12.]
Qurban ini dilakukan setiap tahunnya, bukan sekali seumur hidup. Jadi, bagi yang memiliki kelebihan rezeki setiap tahunnya, hendaklah berqurban.

Larangan tinggal di pemukiman kafir


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِيْنَ

Aku melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap setiap Muslim yang bermukim (berdomisili) di antara kaum musyrikin[Shahih: HR. Abu Dawud (no. 2645), at-Tirmidzi (no. 1604), dari Jarir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Irwâ-ul Ghalîl (no. 1207)]

sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ

Barangsiapa yang berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia sama dengannya[HR. Abu Dawud (no. 2787), dari Shahabat Samurah bin Jundub Radhiyallahu anhu. Hadits ini hasan, lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2330)]

Minggu, 04 September 2016

Hukum berkunyah abul qosim


Syeikh utsaimin menyatakan boleh,karena yg dilarang yaitu saat zaman nabi saja supaya tidak salah panggil.berdasarkan asbabul wurud hadits tersebut.

سئل فضيلة الشيخ ابن عثيمين - رحمه الله -: رجل سمَّى ابنه القاسم، فما حكم تكنيته بذلك؟

فأجاب بقوله: التكني بأبي القاسم لا بأس به؛ لأن الصحيح أن النهي عنه إنما هو في عهد الرسول - عليه الصلاة والسلام - حين كان الناس ينادونه، فيتوهَّم الإنسان أنه رسول الله، حتى إنه نادى رجلٌ رجلاً بالبقيع: يا أبا القاسم، التفت إليه رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فقال: يا رسول، الله، إني لم أَعْنِك، إنما دعوت فلانًا، فقال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -: ((تسمَّوْا باسمي، ولا تَكَنَّوْا بكنيتي))؛ [مسلم]، ولهذا كان التكني بأبي القاسم في عهد الرسول - عليه الصلاة والسلام - منهيًّا عنه، أما بعد ذلك، فلا بأس"؛ [مجموع فتاوى ورسائل ابن عثيمين 25/203].

Hukum foto kamera dan menjadikan profil


Mengenai masalah foto dari jepretan kamera, para ulama ada khilaf (silang pendapat). Ada yang melarang dan menyatakan haram karena beralasan:

Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga mengharamkan dengan alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.

Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil di atas yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:

Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru. Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin.

Alasan kedua ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri hafizhohullah-, yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril ‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).

Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat dengan alasan yang sudah dikemukakan.

sebagian ulama membolehkan hal ini karena beralasan bahwa memajang di halaman web atau social media, tidak selamanya ada, sewaktu-waktu bisa hilang atau berpindah halaman. Namun dipajang sebaiknya ketika butuh saja seperti memajang foto sebagai identitas -jika memang butuh-, untuk kepentingan publikasi atau laporan yang mesti dengan gambar.

Penyakit bukan hanya lewat gambar
Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad (4: 153) berkata,

ونفس العائن لا يتوقف تأثيرها على الرؤية ، بل قد يكون أعمى فيوصف له الشيء فتؤثر نفسه فيه وإن لم يره ، وكثير من العائنين يؤثر في المعين بالوصف من غير رؤية

“’Ain bukan hanya lewat jalan melihat. Bahkan orang buta sekali pun bisa membayangkan sesuatu lalu ia bisa memberikan pengaruh ‘ain meskipun ia tidak melihat. Banyak kasus yang terjadi yang menunjukkan bahwa ‘ain bisa menimpa seseorang hanya lewat khayalan tanpa melihat.”

Hukum Kawat Gigi


Pertanyaan:
Assalamualaikum..
Ana mau tanya.. Gigi taring ana tumbuhnya tidak normal, terlalu masuk kedalam, jadi terlihat gak ada giginya, saran dokter untuk di behel, itu bagaimana hukumnya?
Syukron kastir
Dari: Yuli

Jawaban:
Allah menciptakan manusia dalam keadaan sangat sempurna.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. At-Tin: 4).
Al-Qurthubi mengatakan,
“في أحسن تقويم” وهو اعتداله واستواء شبابه، كذا قال عامة المفسرين
Makna: “bentuk yang sebaik-baiknya” kesempurnaan dan keseimbangan fisik manusia ketika usia muda. Demikian keterangan umumnya ahli tafsir. (Tafsir Al-Qurthubi, 20/114).
Demikianlah keadaan manusia dibanding makhluk lainnya, yang sama-sama memiliki kemampuan bergerak. Bentuk manusia jauh lebih sempurna dibanding lainnya.
Mengingat manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna, maka mereka dilarang untuk mengubah ciptaan Allah dari bentuk yang sempurna itu. Karena perbuatan semacam ini termasuk godaan setan. Sebagaimana yang Allah tegaskan,
وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيباً مَّفْرُوضاً وَلأُضِلَّنَّهُمْ وَلأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الأَنْعَامِ وَلآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّهِ
Setan itu mengatakan: “Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya goda) Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya. (QS. An-Nisa: 118 – 119)

Mengembalikan ke Bentuk Sempurna

Berdasarkan keterangan di atas, bahwa manusia diciptakan dalam bentuk paling sempurna dan tidak boleh mengubah ciptaan Allah yang sempurna itu, sebagian ulama kemudian menegaskan bahwa,
“mengembalikan bentuk anggota badan yang tidak sempurna (baca: cacat) pada keadaan sesuai yang Allah ciptakan, tidak termasuk mengubah ciptaan Allah.”

Diantara dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

Pertama, hadis dari Urfujah bin As’adradhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أُصِيبَ أَنْفُهُ يَوْمَ الْكُلَابِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَاتَّخَذَ أَنْفًا مِنْ وَرِقٍ فَأَنْتَنَ عَلَيْهِ  فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَّخِذَ أَنْفًا مِنْ ذَهَبٍ
Bahwa hidung beliau terkena senjata pada peristiwa perang Al-Kulab di zaman jahiliyah. Kemudian beliau tambal dengan perak, namun hidungnya malah membusuk. Kemudian Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menggunakan tambal hidung dari emas. (HR. An-Nasai 5161, Abu Daud 4232, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kedua, hadis dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
لُعنت الواصلة والمستوصلة والنامصة والمتنمصة والواشمة والمستوشمة من غير داء
“Dilaknat : orang yang menyambung rambut, yang disambung rambutnya, orang yang mencabut alisnya dan yang minta dicabut alisnya, orang yang mentato dan yang minta ditato, selain karena penyakit.” (HR. Abu Daud 4170 dan dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
نهى عن النامصة والواشرة والواصلة والواشمة إلا من داء
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang mencukur alis, mengkikir gigi, menyambung rambut, dan mentato, kecuali karena penyakit. (HR. Ahmad 3945 dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnaut).
As-Syaukani mengatakan,
قوله (إلا من داء) ظاهره أن التحريم المذكور إنما هو فيما إذا كان لقصد التحسين لا لداء وعلة، فإنه ليس بمحرم
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘kecuali karena penyakit’ menunjukkan bahwa keharaman yang disebutkan, jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan memperindah penampilan, bukan untuk menghilangkan penyakit atau cacat, karena semacam ini tidak haram. (Nailul Authar, 6/244).
Ketiga, hadis dari ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
لَعَنَ اللَّهُ الوَاشِمَاتِ وَالمُوتَشِمَاتِ، وَالمُتَنَمِّصَاتِ وَالمُتَفَلِّجَاتِ، لِلْحُسْنِ المُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ
“Semoga Allah melaknat orang yang mentatao, yang minta ditato, yang mencabut alis, yang minta dikerok alis, yang merenggangkan gigi, untuk memperindah penampilan, yang mengubah ciptaan Allah. (HR. Bukhari 4886).
An-Nawawi mengatakan,
وأما قوله:(المتفلجات للحسن) فمعناه يفعلن ذلك طلباً للحسن، وفيه إشارةٌ إلى أن الحرام هو المفعول لطلب الحسن، أما لو احتاجت إليه لعلاجٍ أو عيبٍ في السن ونحوه فلا بأس
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang merenggangkan gigi, untuk memperindah penampilan” artinya, dia melakukan hal itu untuk mendapatkan penampilan yang baik. Dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa yang diharamkan adalah melakukan perenggangan gigi untuk memperindah penampilan. Namun jika dilakukan karena kebutuhan, baik untuk pengobatan atau karena cacat di gigi atau semacamnya maka dibolehkan.” (Syarh Shahih Muslim, 14/107).
Keterangan An-Nawawi sangat jelas membedakan antara mengatur gigi untuk tujuan memperbagus penampilan dan untuk tujuan menormalkan yang tidak normal. Mengatur gigi yang sudah teratur dan sudah normal, termasuk bentuk tidak ridha dengan ciptaan Allah, sementara merapikan gigi dalam rangka menormalkan yang cacat, termasuk mengembalikan ciptaan Allah pada kondisi yang lebih sempurna.
Demikian keterangan Prof. Dr. Hisamuddin Affanah, sebagaimana yang dilansir di situshttp://www.onislam.net/
Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)

Kamis, 01 September 2016

Hukum menghafal dengan metode isyarat dan gambar


احترام القرآن
الفتوى رقم (23928)
س: استحدثت بعض مدارس تحفيظ القرآن طرقًا لتحفيظ القرآن الكريم منها:
1- طريقة الإشارة: حيث تشير الطالبة بيديها فمثلاً إذا تلت قوله تعالى: نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ تشير إلى رأسها ، وإذا كان في الآية تساؤل مثل: وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ تشير الطالبة بيديها تعبيرًا عن هذا التساؤل وهكذا
2- طريقة حفظ القرآن بالرسم ، فإذا تلت الطالبة قوله تعالى: وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا رسمت شمسًا ، وإذا تلت قوله تعالى : وَالْقَمَرِ إِذَا تَلاَهَا رسمت قمرًا ، وإذا تلت: وَالنَّهَارِ إِذَا جَلاَّهَا رسمت النهار ، وعند الانتهاء من قراءة السورة تكون قد رسمت منظرًا طبيعيًا
الجزء رقم: 1، الصفحة رقم: 193
السؤال: هل هذه الطرق مشروعة ، أفيدونا مأجورين ؟
Menghormati Al Qur’an
Fatwa no: 23928
Pertanyaan: Sebagian lembaga pendidikan tahfidz Al Qur’an menyelenggarakan sebuah metode penghafalan Al Qur’an Al Karim yang baru, diantaranya:
1. Metode Isyarat:
Dengan cara siswa memberikan isyarat dengan tangannya, sebagai contoh
Ketika membaca firman Allah Ta’ala:
نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ
Maka dia menunjukkan kepalanya
Dan apabila didalam aya-ayat yang mempertanyakan sesuatu perkara contohnya:
وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ
Maka siswa mengisyaratkan dengan tangannya untuk menggambarkan keadaan sedang bertanya-tanya
2. Metode menghafal Al Qur’an dengan menggambar:
Apabila siswa membaca firman Allah Ta’ala:
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا
Digambarkan matahari
Dan apabila membaca firman Allah Ta’ala:
وَالْقَمَرِ إِذَا تَلاَهَا
Digambarkan bulan
Apabila membaca:
وَالنَّهَارِ إِذَا جَلاَّهَا
Digambarkan sungai
Sehingga ketika selesai membaca surat akan tergambar sebuah pemandangan yang natural.
Juz. 1, hal. 193
Pertanyaannya adalah:
Apakah ini metode yang syar’I , Beri kami penjelasan semoga mendapatkan balasan yang baik?
ج: كلتا الطريقتين المذكورتين في السؤال لتعليم القرآن الكريم غير مشروعة ؛ لأنها تفسير للقرآن الكريم من غير بناء على أصول التفسير المقررة عند علماء التفسير ، وفيها عدم ملاءمة الإشارة والرسم للمعاني الشرعية المرادة في كلام الله - عز وجل - ، وقد تؤدي إلى التشبيه والتكييف لصفات الله تعالى حين الرسم والإشارة إذا ورد ذكر لصفة من صفات الله في الآية ، وكذا في وصف مشاهد القيامة والجنة ونعيمها والنار وعذابها بالمشاهدات في الدنيا حين الرسم والإشارة ، وهذا ممتنع ، وغير ذلك من المحاذير
وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Jawaban:
Kedua metode pendidikan Al Qur’an Al Karim yang disebutkan dalam pertanyaan ini tidak syar’I.
Karena itu adalah bentuk mentafsirkan Al Qur’an dengan tanpa menggunakan dasar penafsiran yang ditetapkan oleh para ulama tafsir.
Dan didalamnya juga ada ketidak singkronan isyarat dan gambar terhadap makna syariat yang dimaksudkan oleh firman Allah Azza wa Jalla.
Dan dapat pula menjadi penyebab terjatuh kepada penyerupaan dan mempertanyakan bentuk –bentuk sifat Allah tatkala menggambar dan mengisyaratkan ayat yang menceritakan tentang sifat-sifat Allah dan demikian pula membuat gambaran tentang kiamat, sorga dan kenikmatannya juga neraka dan adzabnya dengan gambaran-gambaran duniawi ketika mengisyaratkan dan menggambarkannya.
Dan ini adalah terlarang dan selain dari perkara-perkara yang ditahdzir (diperingatkan untuk ditinggalkan)
Wabillahit Taufiq wa shalallahu Alan Nabiyinaa Muhammad wa Alihi wa Shohbihi wa Salam
Al Lajnah Ad Daaimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wa Al ifta

Hukum wanita memakai hena tangan



Kaidah yang Allah berikan terkait pakaian wanita di depan umum,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَاوَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. an-Nur: 31)
Ibnu Mas’ud menjelaskan, bahwa perhiasan wanita (bagian yang mengundang perhatian lelaki) itu ada 2:
[1] Perhiasan yang hanya boleh ditampakkan kepada suaminya. seperti gelang, cincin, gelng kaki.
[2] Perhiasan yang boleh dilihat orang lain, itulah luar pakaiannya.
(Tafsir Ibnu Katsir, 6/45)
Karena itu, termasuk yang tidak boleh ditampakkan adalah punggung telapak tangannya, apalagi ketika dia diberi hena. Karena ini justru semakin menampakkan keindahan.
Imam Ibnu Baz mengatakan,

إذا خضبت يديها أو رجليها، تسترها عن الناس ، تكون ساترة لها بالثياب والملابس لأنها فتنة
Ketika wanita memberi hena untuk tangannya atau kakinya, harus dia menutupinya dari orang lain. Dia tutupi dengan kain atau bajunya, karena bisa mengundang fitnah. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 17/272)
Demikian pula keterangan yang disampaikan Ibnu Utsaimin,

يجب أن نعلم أن الحناء من جملة الزينة التي لا يجوز للمرأة أن تبديها لغير من أباح الله لها إبداء الزينة لهم ، أي أنها لا تبديها للرجال الأجانب ، فإذا أرادت أن تخرج إلى السوق مثلاً لحاجة ، فإنه لا بد أن تلبس على قدميها جوربين إذا كانت قد حنت قدميها ، وكذلك بالنسبة للكفين ، لا بد أن تسترهما
Wajib kita ketahui bahwa hena termasuk perhiasan yang tidak boleh ditampakkan oleh wanita di tempat selain yang Allah bolehkan untuk ditampakkan. Artinya, tidak boleh dia tampakkan di depan lelaki yang bukan mahram. Jika dia butuh berangkat ke pasar, dia harus memakai kaos kaki, jika ada henanya. Demikian pula untuk telapak tangan. Harus dia tutupi.. (Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, 2/7)
Menimbang penjelasan di atas, bahwa menggunakan hena hukumnya boleh, dengan ketentuan:
[1] Bagi yang sudah menikah, sehingga ada tujuan besar, yaitu berhias di depan suami
[2] Hanya ditampakkan di depan suami atau wanita lain.