Syaikh Waliyullah Adh Dhahawi, beliau menyatakan,
كَانَ أَهْل الْجَاهِلِيَّة يَقْصِدُونَ مَوَاضِع مُعَظَّمَة بِزَعْمِهِمْ يَزُورُونَهَا وَيَتَبَرَّكُونَ بِهَا ، وَفِيهِ مِنْ التَّحْرِيف وَالْفَسَاد مَا لَا يَخْفَى ، فَسَدَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَسَاد لِئَلَّا يَلْتَحِق غَيْر الشَّعَائِر بِالشَّعَائِرِ وَلِئَلَّا يَصِير ذَرِيعَة لِعِبَادَةِ غَيْر اللَّه وَالْحَقّ عِنْدِي أَنَّ الْقَبْر وَمَحَلّ عِبَادَة وَلِيّ مِنْ أَوْلِيَاء اللَّه وَالطُّور كُلّ ذَلِكَ سَوَاء فِي النَّهْي
“Dahulu kaum musyrikin jahiliyah sering bepergian ke tempat-tempat yang dianggap keramat menurut anggapan mereka. Mereka berziarah ke sana dan bertabarruk dengan tempat-tempat tersebut. Di tempat-tempat itu terjadi berbagai bentuk pelanggaran dan kerusakan secara jelas, tidak tersembunyi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegah kerusakan yang terjadi sehingga syi’ar-syi’ar Islam tidak ternodai dan tercampuri dengan sesuatu yang asing. Tindakan beliau juga bertujuan agar kerusakan yang timbul di berbagai tempat tersebut tidak menjadi sarana yang dapat menghantarkan manusia untuk beribadah kepada selain Allah. Pendapat yang benar menurutku adalah kuburan dan berbagai tempat peribadatan para wali Allah termasuk bukit Thursina, seluruhnya tercakup dalam larangan tersebut.” (Aunul Ma’bud 6/13)
Imam Asy Syafi’i sendiri pernah menyatakan bahwa beliau tidak suka seseorang dikultuskan sehingga kuburnya pun ikut diagungkan. Beliau berkata,
وأكره ان يعظم مخلوق حتي يجعل قبره مسجدا مخافة الفتنة عليه وعلي من بعده من الناس
“Dan aku membenci seorang makhluk dikultuskan sehingga kuburnya dijadikan sebagai tempat peribadatan (masjid) karena aku khawatir fitnah menimpa dirinya dan orang-orang yang hidup setelahnya.” (Al Majmu’ 5/314)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar