Kamis, 30 Juni 2016

hukum acara tukar menukar kado


Dalam sebuah acara arisan, semua peserta diminta datang dengan membawa barang bernilai minimal Rp 5.000,- yang dibungkus dengan rapi, sehingga isinya tidak bisa diketahui. Pada akhirnya, bungkusan-bungkusan tersebut dipertukarkan di antara sesama peserta arisan.

Yang terjadi dalam kasus ini adalah transaksi jual beli karena terdapat tukar-menukar harta dengan harta, namun nilai dan bentuk barang yang dibeli serta alat tukar pembayaran tidak diketahui secara pasti. Sehingga, dalam acara kado silang ini terdapat jual beli gharar dari dua sisi: barang yang dibeli dan alat tukar pembayarannya. Oleh karena itu, acara kado silang adalah suatu tradisi yang patut untuk dihindari.

Termasuk syarat objek transaksi yg sah adalah: harga barang atau nilai alat tukar pembayaran diketahui. Transaksi jual beli dalam kondisi harga barang tidak diketahui itu termasuk jual beli gharar yang terlarang.

Misalnya: Saya katakan, “Saya beli HP-mu dengan sejumlah uang yang ada di sakuku.” Lalu, pemilik HP menerima tawaran tersebut. Dalam kondisi semacam ini, penjual HP dalam posisi untung-untungan. Boleh jadi, dia untung besar karena ternyata uang yang ada di saku bernilai besar. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, pemilik HP merugi karena ternyata nilai uang yang ada di saku sangat kecil. Berada di antara dua kemungkinan–untung atau buntung–itulah yang disebut dengan perjudian, dan itulah jual beli gharar. Patut diingat bahwa jual beli gharar adalah bentuk perjudian yang terdapat dalam transaksi jual beli.

Jika ada orang yang mengatakan “Kubeli bukumu itu dengan setumpuk uang recehan yang sudah ada di depanmu,” maka sahkah jual beli semacam ini?

Hanabilah (para ulama yang ber-Mazhab Hanbali) menilai bahwa transaksi jual beli semacam itu adalah transaksi yang sah karena nilai alat tukar pembayaran telah diketahui dengan cara dilihat. Namun, yang benar, transaksi semisal di atas adalah transaksi yang tidak sah karena jelas-jelas mengandung gharar, sehingga termasuk dalam larangan jual beli gharar. (Asy-Syarh Al-Mumti’, jilid 8, hlm. 170, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan pertama, 1425 H)  
Jika ada yg berkilah ini kan akadnya hadiah, maka kita katakan kalau akad hadiah itu pemberian murni artinya tidak ada keharusan balik memberi lagi.
Namun kalau ada keharusan bertukar barang maka itu termasuk akad bai' akad jual beli akad tabadul saling tukar menukar.
Pada dasarnya memberikan hadiah kepada orang lain sangat dianjurkan, namun bagaimana dengan tukar kado apakah termasuk dengan memberikan hadiah? Tukar kado dan memberi hadiah sangatlah berbeda, jika memberi hadiah kita tidak boleh mengharapkan imbalan apapun kepada orang yang diberikan hadiah, Namun tukar kado kita memberikan hadiah tapi dengan syarat orang yang diberikan hadiah haruslah memberikan hadiah juga kepada   kita, apakah memberikan hadiah seperti ini dibolehkan dalam agama?
Hukum Tukar Kado adalah GHARAR yaitu adanya ketidak jelasan dalam akad karena tidak pastian objek, nilai dan harga suatu barang,

Padahal Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang jual beli yang mengandung ghoror atau spekulasi tinggi sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari jual beli ghoror (mengandung unsur ketidak jelasan)” (HR. Muslim no. 1513).

Rabu, 29 Juni 2016

Bersiwak hanya dg kayu arok?


Siwak (gosok gigi) itu bukan terbatas pada (menggunakan) ranting pohon arok (kayu siwak) sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, bahkan (sebenarnya) siwak adalah sebuah istilah bagi  aktifitas gosok gigi dan membersihkannya dengan alat apapun  juga, mencakup ranting apapun juga yang bisa digunakan untuk membersihkan gigi. Ahli bahasapun tidak membatasi siwak dengan ranting pohon arok (kayu siwak).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun juga menggosok gigi dengan ranting dari pohon kurma (Adapun dalilnya adalah riwayat) dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata

” تُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِي ، وَفِي يَوْمِي ، وَبَيْنَ سَحْرِي وَنَحْرِي، وَكَانَتْ إِحْدَانَا تُعَوِّذُهُ بِدُعَاءٍ إِذَا مَرِضَ ، فَذَهَبْتُ أُعَوِّذُهُ ، فَرَفَعَ رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَ: (فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى). وَمَرَّ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ وَفِي يَدِهِ جَرِيدَةٌ رَطْبَةٌ ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَظَنَنْتُ أَنَّ لَهُ بِهَا حَاجَةً ، فَأَخَذْتُهَا، فَمَضَغْتُ رَأْسَهَا، وَنَفَضْتُهَا، فَدَفَعْتُهَا إِلَيْهِ، فَاسْتَنَّ بِهَا كَأَحْسَنِ مَا كَانَ مُسْتَنًّا ، ثُمَّ نَاوَلَنِيهَا، فَسَقَطَتْ يَدُهُ، أَوْ: سَقَطَتْ مِنْ يَدِهِ ، فَجَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ رِيقِي وَرِيقِهِ فِي آخِرِ يَوْمٍ مِنَ الدُّنْيَا، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الآخِرَةِ “

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di rumahku, pada hari giliran yang menjadi jatahku dan (kepala beliau bersandar) di antara dada dan leherku.”

Salah seorang dari kami dahulu terbiasa membacakan do’a kepada beliau ketika beliau sakit. Lalu aku pun mendoakannya. Kemudian beliau mengangkat kepala (pandangan)nya ke atas dan mengucapkan,

فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى ، فِي الرَّفِيقِ الأَعْلَى

“Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi, Ya Allah, jadikanlah aku bersama dengan golongan teman-teman yang terbaik di Surga yang tertinggi“.

Lalu Abdurrahman bin Abu Bakr masuk sedangkan di tangannya ada ranting kayu siwak dari pohon kurma yang masih basah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampun menatapnya, saya menyangka beliau membutuhkan siwak tersebut.

Maka aku mengambilnya, mengunyah ujungnya dan mengibas-ngibaskannya, kemudian akupun menyerahkannya kepada beliau. Kemudian beliau menggosok gigi menggunakan ranting tersebut, dengan sebaik-baik cara bersiwak yang pernah beliau lakukan.

Setelah itu beliau memberikannya kepadaku, namun tangannya terjatuh atau ranting kayu siwak dari pohon kurma tersebut jatuh dari tangannya.

Maka Allah mengumpulkan antara air liurku dengan air liur beliau pada hari-hari terakhir beliau di Dunia dan pada hari-hari pertama di Akhirat kelak” (HR. Al-Bukhari no. 4451).

“Jaridah adalah ranting pohon kurma“. (Thalabuth Thalabah, hal. 161).

Berkata Al-Fayumi: “Jarid adalah ranting pohon kurma. Kata tunggalnya adalah jaridah. Dinamakan dengan jaridah (artinya: sesuatu yang dihilangkan, pent.) jika dihilangkan darinya daun yang melekat padanya (Al-Mishbah Al-Munir: 1/96).

Syaikh  Ibnu ‘Utsaimin ditanya: “Apakah menggunakan pasta gigi (dan sikat gigi, pent.) bisa mewakili kayu siwak (ranting pohon Al-Arok)?

Dan apakah orang yang menggunakannya (sikat & pasta gigi) dengan niat membersihkan mulut akan diberi pahala? Maksud (saya): Apakah  sepadan dengan pahala kayu siwak, yang dengan pahala tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyemangati orang yang membersihkan giginya? ”                          

Beliau Rahimahullah Ta’ala menjawab,

” نعم ؛ استعمال الفرشاة والمعجون يغني عن السواك ، بل وأشد منه تنظيفاً وتطهيراً ، فإذا فعله الإنسان حصلت به السنة ؛ لأنه ليس العبرة بالأداة ، العبرة بالفعل والنتيجة ، والفرشاة والمعجون يحصل بها نتيجة أكبر من السواك المجرد .لكن هل نقول إنه ينبغي استعمال المعجون والفرشاة كلما استحب استعمال السواك ، أو نقول إن هذا من باب الإسراف والتعمق ، ولعله يؤثر على الفم برائحة أو جرح أو ما أشبه ذلك ؟ هذا ينظر فيه ”

Ya benar, menggunakan sikat dan pasta gigi bisa mewakili kayu siwak, bahkan lebih mampu membersihkan dan mengeluarkan kotoran gigi, maka jika seseorang gosok gigi dengan sikat gigi (itu berarti) sudah terlaksana Sunnah (bersiwak) dengannya, karena yang dijadikan patokan bukanlah  alat untuk bersiwaknya, namun yang dijadikan patokan adalah perbuatan dan hasilnya. Sedangkan sikat dan pasta gigi bisa menghasilkan hasil (kebersihan gigi & keharuman bau mulut, pent.) yang lebih maksimal dibandingkan dengan kayu siwak saja.

Akan tetapi apakah bisa kita katakan bahwa penggunaan sikat dan pasta gigi itu sebaiknya ketika setiap kali disunnahkan penggunaan kayu siwak? Atau justru hal ini tergolong melampaui batas dan berlebih-lebihan? (karena) barangkali berdampak  pada mulut, baik berupa bau, luka atau semisalnya? Ini perlu pembahasan (lebih lanjut).

[Fatawa Nur ‘alad-Darb lil ‘Utsaimin :2/7, penomoran maktabah Syamilah].

Sikat gigi sore hari makruh?


Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya tentang hukum bersiwak ketika sedang melakukan puasa Ramadhan. Beliau memaparkan, “Tidak diragukan lagi bahwa bersiwak merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dianjurkan. Bersiwak memiliki keutamaan yang besar. Terdapat berbagai riwayat shahih yang menunjukkan dianjurkannya bersiwak, dapat kita lihat pada perbuatan maupun perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita mengamalkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hendaklah kita berusaha bersiwak, terlebih-lebih lagi pada saat diperlukan atau pada waktu yang disunnahkan untuk bersiwak, seperti sebelum berwudhu, ketika akan melaksanakan shalat, ketika hendak membaca al-Quran, ketika ingin menghilangkan bau mulut yang tak sedap, serta saat bangun tidur sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keadaan-keadaan tadi merupakan saat yang ditekankan untuk bersiwak. Dan asalnya, siwak itu disunnahkan di setiap waktu. Orang yang berpuasa pun dianjurkan untuk bersiwak sebagaimana orang yang tidak berpuasa. Pendapat yang tepat, bersiwak dibolehkan sepanjang waktu, dianjurkan untuk bersiwak di pagi hari maupun di sore hari.

Pendapat yang menyatakan tidak bolehnya bersiwak di sore hari sebenarnya bukan berasal dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebuah pertanyaan disampaikan kepada Syekh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, “Apakah bersiwak dengan siwak yang memiliki rasa membatalkan puasa?”

Syaikh Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin menyampaikan jawaban, “Bersiwak boleh dilakukan saat berpuasa, dan hukumnya disunnahkan di setiap waktu. Banyak ulama yang memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Mereka berpendapat demikian karena bersiwak menyebabkan hilangnya bau mulut yang baunya di sisi Allah bagaikan wangi misk.

Para ulama yang meneliti lebih jauh menguatkan pendapat bahwa bersiwak saat berpuasa tidaklah makruh, bahkan dianjurkan untuk bersiwak di pagi dan sore hari.

Sebagian ulama seperti ulama Malikiyah dan Asy-Sya’bi memakruhkan siwak basah karena memiliki rasa. Disebutkan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya, Ibnu Sirin berkata, “Tidak masalah menggunakan siwak basah.” Ada yang mengatakan, “Siwak basah memiliki rasa.” Ibnu Sirin menyanggah, “Air juga memiliki rasa, namun masih dibolehkan berkumur-kumur dengan air.”

Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, Ibnu ‘Umar juga berpendapat bahwa tidak mengapa menggunakan siwak yang basah maupun yang kering.

Intinya, siwak basah masih dibolehkan karena yang dikhawatirkan sesuatu yang masuk lewat mulut. Sebenarnya sama halnya dengan berkumur-kumur. Jika ada sesuatu basah yang berada di mulut dimuntahkan, maka tidak merusak puasanya. Lihat pembahasan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 488.

IMAM BUKHARI BERBUAT BID’AH ?


Imam Bukhari rahimahullah berkata :

ما كتبت في كتاب الصحيح حديثاً إلا اغتسلت قبل ذلك وصليت ركعتين

“Tidaklah kutulis dalam kitab sahih satu hadits pun melainkan aku mandi dahulu sebelumnya dan melakukan sholat dua roka’at”. (hadyus sariy muqaddimah fathul bari)

Mandi dan sholat shunat sebelum menulis hadits ini tidak pernah diajarkan ataupun diperintahkan Nabi Muhammad SAW, Jika menurut yang selalu mengatakan semua bid’ah itu sesat dan tempatnya di neraka berarti Imam bukhari mereka tuduh sesat dan sudah pasti masuk neraka, Tapi mengapa mereka bersandar pada sunah dari Hadist sahih yang di susun dan di tulis oleh imam bukhari ???

Mengkhususkan Sholat dua rokaat sebelum menulis hadits ? Sholat apa ini?

Ternyata Imam Bukhari juga melakukan Bid’ah yang selalu mereka bilang tidak ada bid’ah hasanah karena menurut mereka semua bid’ah itu sesat dan sesuatu yg tidak ada tuntunannya tidak ada ada dasarnya, tidak ada dalil pokoknya kata mereka semua bid,ah sesat ?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Tanggapan :

Imam Bukhari mandi sebelum menulis hadits tentu saja bukan bid’ah, karena mandi ada syari’atnya dalam Islam. Imam Bukhari mandi tujuannya jelas untuk membersihkan diri (badan).

Apakah dikatakan bid’ah apabila orang yang selalu mandi tiap mau berangkat kerja misalnya ?

Mandi tujuannya untuk membersihkan badan, bukankah Islam menyukai kebersihan ?

– Allah Ta’ala berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah; 222).

– Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

الطَّهُوْرُ شَطْرُالْاِيْمَانِ

”Kebersihan itu sebagian daripada iman”. (HR. Muslim).

Imam Bukhari mandi setiap mau menulis hadits tentu saja bukan bid’ah, karena Imam Bukhari tidak mewajibkannya, walaupun Imam Bukhari selalu melakukanya dan Imam Bukhari tidak mencela apabila ada orang yang menulis hadits tidak didahului dengan mandi ?

Hal itu berbeda dengan pelaku bid’ah, disamping dia melakukannya juga mencela orang yang tidak melakukannya. Karena dia menganggap bid’ah yang dilakukannya sebagai ibadah (syari’at Islam). Contohnya orang yang merayakan maulid Nabi atau tahlilan, disamping dia melakukannya dia juga mencela orang yang tidak melakukannya. Kenapa dia mencela orang yang tidak merayakan maulid Nabi dan tahlilan ?, Karena dia menganggap maulid Nabi dan tahlilan sebagai syari’at Islam yang tidak boleh ditinggalkan.

Shalat yang dilakukan Imam Bukhari sebelum menulis hadits juga bukan bid’ah.

Shalat apa yang dilakukan Imam Bukhari ?

Shalat yang dilakukan Imam Bukhari adalah shalat sunah istikharah. Sebagaimana yang diceritakan oleh Al-Firbari, salah seorang muridnya.

Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua raka’at memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”.

Shalat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan ketika seseorang hendak memohon petunjuk kepada Allah.

• Dalil disyariatkannya shalat istikharah :

Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا ، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ
إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an. Kemudian Beliau bersabda : “Jika salah seorang di antara kalian bertekad untuk melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua raka’at selain shalat fardhu, . .”. (HR. Ahmad, Al-Bukhari, Ibn Hibban, Al-Baihaqi dan yang lainnya).

Setiap muslim disunahkan untuk melaksanakan shalat sunah istikhoroh setiap hendak melakukan urusan. Dan tentu saja shalat ini bukan bid’ah.

Tuduhan para pembela bid’ah yang menyebutkan Imam Bukhari berbuat bid’ah karena setiap akan menulis hadits selalu mandi dan shalat istikhoroh dua raka’at adalah sangat keliru, karena mandi dan shalat istikhoroh ada tuntutannya.

Hadits kebersihan yg tidak bersih


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اَﻻِسْلَامُ نَظِيْفٌ فَتَنَظَّفُوْا فَاِنَّهُ ﻻَيَدْحُلُ الْجَنَّةَ اﻻَّ نَظِيْفٌ

“Agama Islam itu (agama) yang bersih, maka hendaklah kamu menjaga kebersihan, karena sesungguhnya tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang bersih”. (HR. Baihaqi).
الراوي: عائشة أم المؤمنين المحدث: الألباني - المصدر: ضعيف الجامع - الصفحة أو الرقم: 1414
خلاصة حكم المحدث: موضوع
الراوي: عائشة أم المؤمنين المحدث: الألباني - المصدر: ضعيف الجامع - الصفحة أو الرقم: 2281
خلاصة حكم المحدث: ضعيف
Hadits lemah bahkan palsu.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اِنَّ ﷲَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيْفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةُ

“Sesungguhnya Allah itu baik, mencintai kebaikan, bahwasanya Allah itu bersih, menyukai kebersihan . .”. (HR. Turmudzi).
سعيد بن المسيب يقول إن الله طيب يحب الطيب نظيف يحب النظافة كريم يحب الكرم جواد يحب الجود فنظفوا أراه قال أفنيتكم ولا تشبهوا باليهود . قال [ يعين صالح بن أبي حسان ] فذكرت ذلك لمهاجر بن مسمار فقال حدثنيه عامر بن سعد بن أبى وقاص عن أبيه عن النبى - صلى الله عليه وسلم - مثله إلا أنه قال نظفوا أفنيتكم 
الراوي: سعد  المحدث: الألباني - المصدر: ضعيف الترمذي - الصفحة أو الرقم: 2799
خلاصة حكم المحدث: ضعيف لكن قوله إن الله جواد إلخ صحيح
Hadits lemah kecuali lafadz alloh maha dermawan,dst..maka shohih.

Hukum witir tiga kali dalam satu malam


Imam at tirmidzi berkata:

: واختَلَف أهل العلم في الذي يوتر من أول الليل ثم يقوم من آخره ؛ فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم نقض الوتر ، وقالوا : يُضيف إليها ركعة ، ويُصلِّي ما بدا له ، ثم يوتر في آخر صلاته ، لأنه لا وتران في ليلة ، وهو الذي ذهب إليه إسحاق .

وقال بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم : إذا أوتر من أول الليل ثم نام ثم قام من آخر الليل فإنه يُصلي ما بدا له ولا ينقض وتره ، ويَدع وِتره على ما كان ، وهو قول سفيان الثوري ومالك بن أنس وابن المبارك والشافعي وأهل الكوفة وأحمد ، وهذا أصحّ ، لأنه قد روي من غير وجه أن النبي صلى الله عليه وسلم قد صلى بعد الوتر

Ulama berbeda pendapat tentang orang yang shalat witir di awal malam kemudian dia ingin tahajud di akhir malam.

Sebagian sahabat dan ulama setelahnya berpendapat bahwa orang ini harus membatalkan witirnya. Caranya adalah dia shalat satu rakaat (menggenapkan witirnya di awal malam), lalu dia bisa shalat sunah yang dia inginkan, kemudian witir di akhir tahajudnya. Karena tidak boleh ada dua witir dalam semalam. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahuyah.

Sebagian sahabat lain dan ulama lainnya berpendapat, apabila orang melakukan witir di awal malam, kemudian tidur, kemudian bangun di akhir malam maka dia boleh melakukan shalat tahajud semampunya, dan tidak perlu membatalkan witirnya, dia biarkan witirnya apa adanya (tidak digenapkan). Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, As-Syafii, ulama Kufah, dan Ahmad. Dan inilah yang paling benar, karena telah diriwayatkan dari banyak jalur bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat setelah witir. (Sunan At-Turmudzi 2/333, keterangan hadis no. 470).

Witir yg dilarang adalah dua kali saja bukan tiga kali.
hadis dari Thalq bin Ali radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا وتران في ليلة

“Tidak boleh melakukan 2 kali witir dalam satu malam.” (HR. Ahmad 16296, Nasai 1679, Abu Daud 1439, dan dihasankan Syuaib Al-Arnauth).

Bahkan Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ وِتْرًا

“Jadikanlah shalat terakhir kalian shalat witir.” (HR. Bukhari 472).

Teks hadis menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menjadikan shalat witir di penghujung shalat kita.

Akan tetapi disebutkan dalam banyak hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan dan bahkan melakukan shalat setelah witir.
hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menceritakan:

كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat 13 rakaat, (dengan cara): Beliau shalat 8 rakaat kemudian witir, kemudian shalat 2 rakaat (baca Al Fatihah dan surat) sambil duduk, sehingga apabila beliau hendak rukuk, beliau berdiri, lalu rukuk. Kemudian beliau shalat 2 rakaat antara adzan dan iqamah shalat subuh.” (HR. Muslim 126, Nasa’i dalam Al-Kubro 450, Abu Daud 1350).

 كنتُ مع ابنِ عمرَ بمكةَ، والسماءُ مُغَيِّمَةٌ، فخَشِيَ الصُّبْحَ، فأَوْتر بواحدةٍ، ثم انكشف، فرأى أن عليه ليلًا، فشفع بواحدةٍ ثم صلى ركعتين ركعتين، فلما خَشِيَ الصُّبْحَ أَوْتَر بواحدةٍ
الراوي: نافع مولى ابن عمر المحدث: الألباني - المصدر: تخريج مشكاة المصابيح - الصفحة أو الرقم: 1234
خلاصة حكم المحدث: إسناده صحيح
Nafi budak ibnu umar berkata:aku bersama ibnu umar di makkah dan langit mendung maka beliau kawatir shubuh lalu beliau witir satu rakaat,namun kemudian mendung tersingkap cerah kembali,maka beliau menggenapkan dg menambah satu rakaat lagi lalu sholat malam dua dua,ketika kawatir shubuh beliau baru witir satu rokaat.

Hukum memakai baju merah polos


Ada dua macam dalil yang membicarakan masalah ini. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.

Dalil yang melarang pakaian berwarna merah:

Hadits Al Baro’ bin ‘Azib, ia berkata,

نَهَانَا النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ وَالْقَسِّىِّ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami mengenakan ranjang (yang lembut) yang berwarna merah dan qasiy (pakaian yang bercorak sutera).” (HR. Bukhari no. 5838)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

نُهِيتُ عَنْ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ

“Aku dilarang untuk memakai kain yang berwarna merah, memakai cincin emas dan membaca Al-Qur’an saat rukuk.” (HR. An Nasai no. 5266. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Dalil yang membolehkan pakaian berwarna merah:

Hadits Al Barro’ bin ‘Azib, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian (hullah) merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. Bukhari no. 5848)

Dalam riwayat Muslim, Al Barro’ bin ‘Azib mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلاً مَرْبُوعًا بَعِيدَ مَا بَيْنَ الْمَنْكِبَيْنِ عَظِيمَ الْجُمَّةِ إِلَى شَحْمَةِ أُذُنَيْهِ عَلَيْهِ حُلَّةٌ حَمْرَاءُ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ -صلى الله عليه وسلم-.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berperawakan sedang, perpundak bidang, rambutnya lebat terurai ke bahu hingga sampai kedua cuping telinganya. Pada suatu ketika, beliau pernah mengenakan pakaian (hullah) berwarna merah, tidak ada seorangpun yang lebih tampan dari beliau” (HR. Muslim no. 2337)

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يلبس يوم العيد بردة حمراء

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengenakan burdah (kain bergaris) berwarna merah ketika shalat ‘ied.”[Diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Awsath (7/316).  Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (2/233-234) mengatakan bahwa perowinya tsiqoh.]

Dalil-dalil yang menyebutkan bolehnya pakaian berwarna merah  di sana menggunakan kata “hullah” dan “burdah”. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud burdah dan hullah adalah pakaian yang bergaris merah dan bukan pakaian merah polos.

Ibnul Qayyim mengatakan,

كَانَ بَعْض الْعُلَمَاء يَلْبَس ثَوْبًا مُشْبَعًا بِالْحُمْرَةِ يَزْعُم أَنَّهُ يَتْبَع السُّنَّة ، وَهُوَ غَلَط ، فَإِنَّ الْحُلَّة الْحَمْرَاء مِنْ بُرُود الْيَمَن وَالْبُرْد لَا يُصْبَغ أَحْمَر صِرْفًا

“Sebagian ulama ada yang memakai pakaian merah polos (merah seluruhnya) dan menganggapnya sebagai sunnah. Sungguh ini adalah keliru. Yang dimaksud “hullah” berwarna merah adalah burdah (pakaian bergaris) dari Yaman dan burdah di sini bukanlah pakaian yang dicelup sehingga berwarna merah polos (merah keseluruhan).”[ Fathul Bari, 16/415.]

Sehingga yang tepat dalam masalah ini, pria boleh menggunakan pakaian berwarna merah asalkan tidak polos (tidak seluruhnya berwarna merah). Namun jika pakaian tersebut seluruhnya merah, maka inilah yang terlarang.

Jasa penukaran uang yg haram VS yg halal


Terdapat dua model dalam bertransaksi jasa penukaran yg haram misalkan untuk mereka yang ingin menukarkan uang recehan sebesar 100 ribu dengan nominal recehan Rp. 1000, Rp. 2000, Rp. 5000,. Cara pertama yang digunakan adalah penyedia jasa tukar uang terlebih dulu dalam tiap jumlah 100 ribu-nya, mereka mengambil Rp. 5000-10.000, sebagai fee atas jasa mereka, sedang cara yang

kedua adalah penyedia jasa memberikan jumlah yang setara dengan besaran yang ingin ditukarkan, kemudian penyedia jasa meminta upah dari jasa tersebut sebesar nominal Rp, 5000-10.000, menggunakan prosentase berkisar antara 5-10%, hingga mempersilahkan untuk tawar menawar.

Cara model kayak begini haram karena jelas seperti jual beli uang alias menjadikan uang sebagai barang dagangan, Bukan sebagai penjual jasa

Kalau jual jasa seharusnya keuntungan itu per transaksi bukan per barang

Contoh jual jasa:
Tiap transaksi jasa penukaran uang 10 rb,berapapun uang yg ditukar.tidak bertambah walaupun jumlah uang yg ditukar lebih banyak.
Jadi tidak melihat jumlah yg ditukar, tetap sama imbal jasanya.
Karena dari pihak pertama yaitu pihak bank sendiri tidak membedakan tukar sedikit atau banyak.
dan imbal jasa yg logis sesuai capeknya alias ganti uang lelah.
Kalau tidak lelah sama sekali karena uang sendiri tidak ngantri di bank ini jelas terlarang.
Jadi persis seperti tranfer uang via ATM lalu pihak bank memungut biaya 5 rb misal tiap transaksi,maka apa ini riba? tentu tidak.

imam ghozali mengatakan:
kerja sebagai makelar itu tidak terukur kadang pontang-panting kadang tidak, sedangkan besaran komisi sebagai makelar itu biasanya tidak melihat kerjanya namun melihat harga barang yang dimakelari dan ini adalah kezaliman. Seharusnya besaran upah itu menimbang tingkatan rasa CAPEK yang didapatkan si makelar untuk melariskan barang dagangan.”

(Ihya Ulumuddin, Juz 2 Hal. 96, terbitan Darul Fikr Beirut 1428 H).

Selasa, 28 Juni 2016

HUKUM MENUKAR UANG LOGAM DENGAN UANG KERTAS BEDA HARGA


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta

Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Penukaran beberapa halalah. Haram atau halalkah jika saya menjual 9 riyal uang logam dengan10 riyal uang kertas. Dan di atas itu saya memberikan bonus permen karet atau pembersih gigi (siwak).

Jawaban.
Setelah dilakukan kajian oleh Lajnah Pemberi Fatwa serta penjelasan yang diberikannya menyangkut masalah tersebut, Komite berpendapat bahwasanya tidak ada larangan untuk membedakan nilai tukar dalam penukaran mata uang kertas Saudi dengan mata uang logam Saudi karena adanya perbedaan materi antara keduanya dengan syarat adanya serah terima di tempat pelaksanaan akad.

Wabillaahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.

Irene: buka bersama di gereja propaganda liberal


Mencuatnya buka bersama di gereja, baru-baru ini, mendapat tanggapan dari Irene Handono. Mantan Biarawati itu menjelaskan bahwa buka bersama di tempat ibadah berbeda seperti gereja adalah propaganda kaum liberal.

Irena menegaskan bahwa buka puasa tidaklah sama dengan makan dan minum biasa.

“Terkait buka bersama di tempat berbeda, ada yang menyebut, buka puasa sama dengan makan/minum seperti biasa. Ini perlu diluruskan,” kata Irena melalui akun Twitter pribadinya, @ummi_irena, Sabtu (18/6/2016) lalu.

“Kalau buka puasa sama denga rutinitas makan harian, Rasulullah tak akan mengkhususkan waktu berbuka sebagai waktu yang mustajab tuk berdoa. Kalau buka puasa sama dengan rutinitas makan/minum, maka, tak perlu ada do'a Dzahabazh zhama'u.. (dan seterusnya). Kalau buka puasa sama dengan rutinitas makan/minum biasa, pasti Rasulullah tidak akan memberi tuntunan dengan makan kurma dan air putih,” lanjutnya.

Lebih jauh ia menegaskan bahwa pernyataan buka puasa sama dengan makan biasa merupakan propaganda dari kaum liberal.

“Statement "buka puasa = makan biasa" hanyalah bentuk lain dari propaganda liberalis untuk membiasakan yang keliru. Bagaimana kalau saya nyatakan hosti = roti/anggur biasa? Pasti mereka juga akan menolak. Demikian halnya dengan berbuka puasa,” tandasnya.

Senin, 27 Juni 2016

Imam malik pelopor bid'ah?


Syubhat :
Para ulama salaf pun mengakui bahwa apa yang tidak pernah dilakukan sahabat, tidaklah selalu bid’ah yang sesat. Imam Malik pernah ditanya tentang qunut witir, dan beliau pun mengatakan bahwa itu tidak pernah dilakukan sahabat akan tetapi itu baik :

روي محمد بن يحيى عن مالك في المدونة انه قال عن قنوت الوتر : انه لحسن وهو محدث لم يكن في زمن ابي بكر وعمر وعثمان

“ Muhammad bin Yahya meriwayatkan dari Malik dalam al-Mudawwanah Sesungguhnya imam Malik mengatakan tentang qunut witir : “ Bahwasanya qunut witir itu baik dan itu adalah muhdats (perkara baru) yang tidak ada pada masa Abu Bakar, Umar dan Utsman “.[ Al-Hawadits wa al-Bida’, ath-Thurthusyi : 48]

Jawab:
He..kalau kita lihat teks aslinya akan kebongkar boroknya.
Lihatlah:

وروى محمد بن يحيى عن مالك في " المدونة " أنه قال: " يلعن الكفرة في رمضان إذا أوتر الناس، فصلى الركعتين، ثم قام في الثالثة، فركع، فإذا رفع
رأسه من الركوع؛ وقف يدعو على الكفرة ويلعنهم ويستنصر للمسلمين، ويدعو مع ذلك بشيء خفيف غير كثير، وكان للإمام دعاء معروف يجهر به كما يجهر بالقراءة، وإنه لحسن، وهو أمر محدث لم يكن في زمان أبي بكر وعمر وعثمان ".
Jadi yg tidak dilakukan para sahabat adalah mengkhususkan doa pada qunut witir pada bulan ramadhan bukan qunut witirnya.
Adapun qunut witirnya jelas ada amalan sahabat.

Salah satu diantara kebiasaan yang dilakukan di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu ketika tarawih adalah qunut ketika witir setelah memasuki pertengahan Ramadhan. Qunut ini dilakukan setelah berdiri dari rukuk (i’tidal).

Abdurrahman bin Abdul Qori menceritakan kebiasaan shalat jamaah tarawih di zaman Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu:

Mereka qunut dengan membaca doa laknat untuk setiap orang kafir setelah memasuki paruh Ramadhan. Doa yang mereka baca,

اللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِكَ وَيُكَذِّبُونَ رُسُلَكَ، وَلَا يُؤْمِنُونَ بِوَعْدِكَ، وَخَالِفْ بَيْنَ كَلِمَتِهِمْ، وَأَلْقِ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ، وَأَلْقِ عَلَيْهِمْ رِجْزَكَ وَعَذَابَكَ، إِلَهَ الْحَقِّ

Ya Alllah, binasakanlah orang-orang kafir yang menghalangi manusia dari jalan-Mu, mereka mendustakan para rasul-Mu, dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai-beraikan persatuan mereka dan timpakanlah rasa takut di hati mereka, serta timpakanlah siksaan dan azab-Mu pada mereka, wahai sesembahan yang haq.

Setelah membaca doa di atas, kemudian mereka bersalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kebaikan kaum muslimin semampunya, kemudian memohon ampunan untuk kaum mukminin.

Selanjutnya, mereka membaca,

اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، وَنَرْجُو رَحْمَتَكَ رَبَّنَا، وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ، إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ

Ya Allah, kami menyembah hanya kepada-Mu, hanya kepada-Mu kami shalat dan sujud, hanya untuk-Mu kami berusaha dan beramal, dan kami memohon rahmat-Mu, wahai Rabb kami. Kami pun takut kepada azab-Mu yang pedih. Sesungguhnya azab-Mu ditimpakan kepada orang yang Engkau musuhi.

Selesai membaca doa di atas, mereka bertakbir dan turun sujud.

[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1100; dikatakan pen-tahqiq-nya, “Sanadnya shahih.”]

Imam asy syafi'i pelopor bid'ah???


Syubhat:
imam asy-Syafi’i mengatakan :

كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف

“ Setiap perkara yang memiliki landasan dari syare’atnya, maka bukanlah bid’ah walaupun tidak dilakukan oleh ulama salaf “.[Dinukil dari kitab Husnu at-Tafahhum wa ad-Dark li mas-alah at-Tark, Abdullah al-Ghumari]

Jawab: he sejak kapan al ghumari jadi murid periwayat qoul imam asy syafi'i?
Coba sebutkan masdar dari mana perkataan ini.
Inipun pernah dinukil oleh ismail utsman

 (توضيح المقصود بأن استعمال مكبّرات الصوت فيما يطلب فيه الجهر من العبادات أمر محمود)، بقلم :إسماعيل عثمان زين اليمني المكي المدرس ببلد الله الحرام.
inipun tanpa menyebutkan maroji'nya/ referensinya dari mana?
Jadi jelas ini riwayat yg tidak jelas juntrungannya.
Riwayat lengkapnya:

(قال الامام الشافعي: "كل ما له مستند من الشرع، فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به، قد يكون لعذر قام لهم في الوقت، أو لِما هو أفضل منه، أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به" اهـ.). انتهى
Ada tambahan: karena mereka meninggalkan amal mungkin karena udzur waktu itu atau karena untuk sesuatu yg lebih utama,atau mungkin belum sampai ilmu hujjah pada mereka.

Jadi jelas kalau syarat tercapai maka pantas disebut bid'ah menurut imam asy syafi'i.
Pendapat imam asy syafi'i sama dg Ibnu Taimiyyah (w 728 H) juga telah mengatakan :

فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص

“ Perayaan seperti ini seandainya baik belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu murni kebabaikan atau unggul, tentu para salaf lebih berhak melakukannya daripada kita, karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih tamak kepada kebaikan…”[Iqtidlaa Ash-Shiraathil-Mustaqiim : hal 619-620]
Jadi sahabat adalah manusia pilihan tapi tetap tidaklah ilmu telah sampai semua pada mereka.
Contoh masalah menghadapi wabah thoun,umar sahabat senior saja tidak tahu sehingga meminta ilmu dari sahabat lain

Dari Abdulllah bin Abbas radhiallahu’anhuma sesungguhnya Umar bin Khatab radhiallahu’anhu  pergi menuju negeri Syam. Sampai ketika di Syargha beliau menjumpai panglima pasukan Abu Ubaidah bin Jarrah dan para shahabat. Mereka memberitahukan kepada Umar bahwa telah terjadi wabah penyakit di negara Syam. Ibnu Abbas berkata; Umar berkata: “Panggil para Muhajirin senior menghadapku, kemudian Abdurrahman bin Auf radhiallahu’anhu datang. Beliau bin auf waktu itu tidak hadir karena  suatu keperluan, kemudian beliau bin auf berkata: “Sesungguhnya ada aku ketahui dalam masalah ini. Aku  mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian mendengarnya (wabah penyakit) di suatu tempat, maka kalian jangan mendekat kepadanya. Kalau telah terjadi (wabah penyakit) di suatu daerah dan kalian berada di dalamnya, maka jangan kalian keluar lari darinya.” (HR. Bukhari, no. 5397, dan Muslim, no. 2219)

Lau kaana khoiron..antara manhaj ahlussunnah dan musyrikin


Ibnu katsir:
 أي : يتعجبون : كيف اهتدى هؤلاء دوننا ; ولهذا قالوا : ( لو كان خيرا ما سبقونا إليه ) وأما أهل السنة والجماعة فيقولون في كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة : هو بدعة ; لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه ؛ لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها .
orang musyrikin heran bagaimana mereka sahabat yg miskin lemah bisa dapat hidayah dibanding orang musyrik kaya.
“Sedangkan Ahlusunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perbuatan dan ucapan yang tidak ada dasarnya dari Sahabat Rasulullah adalah bid’ah, karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita, sebab mereka tidak pernah mengabaikan suatu kebaikanpun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya“

Kesimpulan:
1.ada dua kaidah,kaidah orang musyrikin yaitu لو كان خيرا ما سبقونا إليه
Dan ada kaidah ahlussunnah:
لو كان خيرا لسبقونا إليه
Bedanya jelas ما berarti tidak untuk menafikkan sedangkan  ل berarti sungguh untuk menetapkan.
Jadi salah besar yg menuduh ini menjiplak kaidah orang musyrik.
2. Justru yg termasuk tasyabuh/ meniru orang musyrik adalah menuduh ahlussunnah kuno nggak modern.
Imam atthobari:
قوله ( وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ ) يقول تعالى ذكره: وإذ لم يبصروا بمحمد وبما جاء به من عند الله من الهدى, فيرشدوا به الطريق المستقيم ( فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ ) يقول: فسيقولون هذا القرآن الذي جاء به محمد صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم أكاذيب من أخبار الأوّلين قديمة,

Hukum makmum menyimak dg mushaf


وهناك قيد للجواز ، وهو أن يكون الإمام يصلي من حفظه ، فيمسك أحد المصلين المصحف خلفه ليفتح عليه ، فقد روى ابن أبي شيبة بإسناد حسن (7223)(2/123) من طريق عيسى بن طهمان قال حدثني ثابت البناني قال كان أنس يصلي وغلامه يمسك المصحف خلفه فإذا تعايا في آية فتح عليه .
Dalil dibolehkannya ada dalam riwayat ibnu abi syaibah dg sanad yg hasan
dari jalan isa bin thohman bahwa pernah sahabat anas sholat dan budaknya memegang mushaf di belakangnya,ketika ragu suatu ayat dia membukanya.

Inipun pernah ditanyakan ke syaikh jibrin

وقد توسع الشيخ ابن جبرين في الأمر فجوزه مطلقاً :
السؤال :
ما حكم القراءة من المصحف للإمام الذي لا يحفظ؟ وما حكم متابعة المأموم الإمام بالنظر في المصحف عند القراءة بحجّة إصلاح خطأ الإمام، أو من أجل زيادة الفهم والتدبُّر والخشوع، كما يحتجون؟ وهل ترون هناك بأساً فيما إذا خصّص الإمام أحد المأمومين ليحمل المصحف ليصلح الأخطاء التي قد يقع فيها؟

الجواب:-
maka beliau menyatakan tidak masalah,
Tentunya salah satu makmum yg ditunjuk imam saja tidak semaunya makmum.
apalagi kalau semua makmum buka mushaf maka jelas ini kekeliruan.
لا أرى بأساً في حمل المصحف خلف الإمام، ومتابعته في القراءة لهذا الغرض، أو للفتح عليه إذا غلط، ويغتفر ما يحصل من حركة القبض وتقليب الأوراق، وترك السنة في قبض اليسار باليمين، كما يغتفر ذلك في حقّ الإمام الذي يحتاج إلى القراءة في المصحف، لعدم حفظه للقرآن، ففائدة متابعة الإمام في المصحف ظاهرة، بحضور القلب لما يسمعه، وبالرقة والخشوع، وبإصلاح الأخطاء التي تقع في القراءة من الأفراد، ومعرفة مواضعها، كما أن بعض الأئمة يكون حافظاً للقرآن فيقرأ في الصلاة عن ظهر قلب، وقد يغلط ولا يكون خلفه من يحفظ القرآن فيحتاج إلى اختيار أحدهم ليتابعه في المصحف، ليفتح عليه إذا ارتج عليه، ولينبهه إذا أخطأ، فلا بأس بذلك، إن شاء الله. اهـ كلام العلامة ابن جبرين .

Hukum puasa tapi mencicipi rasa makanan


Diperbolehkan bagi orang yang puasa, baik lelaki maupun wanita, untuk mencicipi makanan jika ada kebutuhan. Bentuknya bisa dengan meletakkan makanan di ujung lidahnya, dirasakan, kemudian dikeluarkan, dan tidak ditelan sedikit pun. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah perkataan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu,

لَا بَأسَ أَن يَذُوق الخَلَّ أو الشَيءَ مَا لَـم يَدخُل حَلقَه وهو صائم. رواه البخاري معلقا

“Tidak mengapa mencicipi cuka atau makanan lainnya selama tidak masuk ke kerongkongan.” (HR.Bukhari secara mu’allaq)

Jika orang yang puasa menelan makanan yang dicicipi karena tidak sengaja maka dia tidak wajib qadha, dan dia lanjutkan puasanya. Ini berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan dimaafkannya orang yang lupa dalam pelaksanaan syariat. Di samping itu terdapat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من نسي وهو صائم ، فأكل أو شرب فليتم صومه ، فإنما أطعمه الله وسقاه “. متفق عليه

“Siapa saja yang lupa ketika puasa kemudian makan atau minum maka hendaknya dia sempurnakan puasanya, karena Allah telah memberinya makan atau minum.” (HR.Bukhari dan Muslim)

Minggu, 26 Juni 2016

Hukum membayar zakat fitri di awal ramadhan


السؤال: هل يجوز إخراج زكاة الفطر في بداية رمضان؟
Soal: bolehkah mengeluarkan zakat fitri di permulaan ramdhan?

Jawab: yg sunnah adalah sehari,dua hari atau tiga hari sebelum idul fitri.
Namun jika dibutuhkan dikeluarkan di awal ramadhan maka diperbolehkan,sebagaimana pendapat imam asy syafi'i dnn sekelompok ahli ilmu.
Tapi yg lebih bagus sesuai waktu utamanya.
الإجابة: الذي دلت عليه السنة أنه يجوز تقديم زكاة الفطر بيوم أو يومين ونحوهما، ففي البخاري (1511) ومسلم (984) عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: "فرض النبي صلى الله عليه وسلم صدقة الفطر (أو قال: رمضان) على الذكر والأنثى، والحر والمملوك، صاعا من تمر، أو صاعا من شعير...وكانوا يعطون قبل الفطر بيوم أو يومين"، وهذا فيه أنه يجوز تقديم إخراجها للحاجة، فإذا دعت الحاجة إلى إخراجها من أول الشهر فالذي يظهر جواز ذلك، وهو مذهب الشافعي وجماعة من أهل العلم، لكن الأولى والأبرأ للذمة أن يحافظ على إخراجها في وقتها. 
14-10-1428هـ.

المصدر: موقع الشيخ خالد المصلح

http://ar.islamway.net/fatwa/

wajib Zakat uang tapi punya hutang


Misalnya kasus

Tabungan Si A mencapai 50 jt tepat ketika bulan Muharram 1436 H.  Berarti jatuh tempo zakatnya adalah Muharram 1437 H. Si A juga punya tanggungan utang 40 jt, yang boleh dilunasi sampai 3 tahun lagi. Selanjutnya, di sana ada 2 keadaan,

[1] Jika si A melunasi utangnnya sebelum datang Muharram 1437 H, maka si A tidak perlu bayar zakat. Karena pada saat haul, tabungan si A sudah turun di bawah satu nishab.

[2] Jika sampai Muharram 1437 H, si A sama sekali tidak membayar utangnya, sehingga tabungannya masih utuh 50 jt selama setahun, apakah si A berkewajiban zakat?

Dalam kasus ini ulama berbeda pendapat.

Pertama, si A tidak wajib zakat. Sekalipun tabungan si A di atas satu nishab, tapi dia punya utang yang bisa mengurangi tabungannya. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Ibnu Qudamah menyebutkan,

أن الدين يمنع وجوب الزكاة في الأموال الباطنة رواية واحدة وهي الأثمان وعروض التجارة وبه قال عطاء وسليمان بن يسار و ميمون بن مهران و الحسن و النخعي و الليث و مالك و الثوري و الأوزاعي و اسحق و أبو ثور وأصحاب الرأي

Utang bisa menghalangi wajibnya zakat untuk harta bathin, yaitu tabungan dan harta perdagangan, menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad.  Dan ini merupakan pendapat Atha’, Sulaiman bin Yasar, Maimun bin Mihran, Hasan al-Bashri, an-Nakkha’i, al-Laits, Imam Malik, Sufyan at-Tsauri, al-Auza’i, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, dan Ashabur ra’yi (ulama kufah). (al-Mughni, 2/633).

Kedua, bahwa utang bisa menghalangi wajibnya zakat, kecuali utang jangka panjang. Yang pembayarannya bisa ditunda lama. Utang semacam ini tidak menghalangi wajibnya zakat.

Ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. (al-Inshaf, 3/24).

Ketiga, bahwa utang tidak menghalangi zakat

Selama utang belum dibayarkan, masuk dalam perhitungan zakat, sehingga keberadaan utang tidak menghalangi zakat. Ini pendapat Imam Syafii dalam qoul jadid, dan pendapat yang dikuatkan para ulama kontemporer.

An-Nawawi mengatakan,

الدين هل يمنع وجوب الزكاة ؟ فيه ثلاثة أقوال ، أصحها عند الأصحاب , وهو نص الشافعي رضي الله عنه في معظم كتبه الجديدة : تجب … فالحاصل أن المذهب وجوب الزكاة سواء كان المال باطنا أو ظاهرا أم من جنس الدين أم غيره

Apakah utang menghalangi zakat? Di sana ada 3 pendapat. Yang paling benar, menurut ulama Syafiiyah, dan ini yang ditegaskan Imam Syafii radhiyallahu ‘anhu di mayoritas karyanya yang baru, bahwa tetap wajib zakat… kesimpulannya, syafiiyah berpendapat wajib zakat, baik itu harta bathin maupun dzahir, baik dari harta utang atau yang lainnya. (al-Majmu’, 5/344).

Pendapat ini dinilai lebih kuat oleh Imam Ibnu Baz. Beliau mengatakan,

وأما الدين الذي عليه فلا يمنع الزكاة في أصح أقوال أهل العلم

Utang yang menjadi tanggungan seseorang, tidak menghalangi zakat, menurut pendapat yang paling benar di antara ulama. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/189).

Keterangan semisal disampaikan Imam Ibnu Utsaimin,

والذي أرجحه أن الزكاة واجبة مطلقا ، ولو كان عليه دين ينقص النصاب ، إلا دَيْناً وجب قبل حلول الزكاة فيجب أداؤه ، ثم يزكي ما بقي بعده

Pendapat yang rajih, bahwa zakat itu hukumnya wajib secara mutlak. Meskipun muzakki (wajib zakat) memiliki utang yang bisa mengurangi nishab. Kecuali utang yang harus dilunasi sebelum jatuh tempo zakat, sehingga harus dia bayarkan. Kemudian dia bayar zakat untuk sisanya. (as-Syarh al-Mumthi’, 6/35)

Tarjih:

Pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat ketiga. Dengan beberapa pertimbagan,

[1] Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para amil zakat untuk mengambil zakat kaum muslimin di sekitar Madinah, beliau tidak memberikan rincian masalah utang. Apakah muzakki masih punya utang atau tidak.

[2] Riwayat dari as-Saib bin Yazid, beliau pernah mendengar Utsman mengatakan,

هَذَا شَهْرُ زَكَاتِكُمْ ، فَمَنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ فَلْيُؤَدِّهِ ، حَتَّى تُخْرِجُوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ

Ini adalah bulan zakat kalian. Siapa yang punya tanggungan utang, hendaknya dia lunasi utangnya, kemudian dia keluarkan zakat hartanya. (HR. al-Qasim bin Sallam dalam al-Amwal, no. 917).

Dalam riwayat lain, Utsman mengatakan,

فمن كان عليه دين فليقض دينه وليزك بقية ماله

Siapa yang punya tanggungan utang, segera dia lunasi utangnya, dan dia zakati sisa hartanya.

Pernyataan ini disampaikan Utsman di depan para sahabat lainnya, sementara tidak ada satupun diantara mereka yang mengingkari.

Ini menunjukkan, ketika utang itu belum dibayarkan, maka masuk hitungan zakat. Sebaliknya, ketika utang itu dibayarkan, dia tidak masuk dalam hitungan zakat.

Batasan bangunan yg termasuk masjid


Batasan penentuan kamar, ruangan yang masuk masjid dengan yang tidak masuk masjid adalah

1.      Kalau kamar yang menyatu dengan masjid disediakan untuk diabuat masjid atau berniat untuk dijadikan bagian dari masjid untuk shalat di dalamnya. Maka ia mempunyai hukum masjid. Maka diperbolehkan i’tikaf di dalamnya. Orang haid dan nifas dilarang (menetap) di dalamnya. Akan tetapi kalau diniatkan bagian untuk belajar, tempat pertemuan atau tempat tinggal imam dan muazin. Bukan dibuat tempat shalat, maka ketika itu, tidak mengambil hukum masjid.

2.      Kalau tidak diketahui niatan orang yang membangun masjid. Asalnya adalah sesuatu yang masuk dalam pagar masjid, dan ia ada pintu ke masjid. Maka ia mempunyai hukum masjid.

3.      Halaman dan pelataran yang dikelilingi pagar masjid, ia mempunyai hukum masjid. An-Nawawi rahimahullah berkata, ‘Tembok masjid di dalam dan luarnya, mempunyai hukum masjid dalam pemeliharaan dan menghormati kesuciannya. Begitu juga atapnya, sumur di dalamnya, begitu juga pelatarannya. Syafi’i dan teman-teman rahimahumullah telah mengaskan sahnya i’tikaf di pelataran dan atapnya. Dan sahnya shalat makmum di dalamnya yang mengikuti orang di dalam masjid.’ Selesai dari kitab ‘Al-Majmu’, 2/207.

Dalam kitab ‘Matolib Ulin Nuha, 2/234 dikatakan, ‘Diantara (batasan) masjid adalah belakangnya yakni atapnya. Diantaranya juga pelataran yang dikelilingi (tembok). Al-Qodi berkata, ‘Kalau ia ada pagar dan pintu, maka ia seperti masjid. Karena ia bersama masjid. Dan mengikutinya. Kalau tidak dikelilingi (pagar) maka, tidak ada ketetapan baginya hukum masjid. Diantaranya menara (masjid) yang mana pintunya (menyatu) dengan masjid. Kalau menara dan pintunya diluar masjid, meskipun dekat. Dan orang yang beri’tikaf keluar untuk azan, maka i’tikafnya batal.’ Selesai dengan ringkasan.

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, ‘Kamar yang ada di dalam masjid apakah beri’tikaf di dalamnya?

Beliau menjawab, ‘Ini ada beberapa kemungkinan. Barangsiapa yang melihat keumumam perkataan para ahli fiqih maka dia mengatakan, ia termasuk bagian dari masjid. Karena ruangan dan kamar yang dikelilingi tembok masjid, termasuk bagian dari masjid. Barangsiapa yang melihat bahwa dibangunnya bukan bagian dari masjid, bahwa kamar dikhususkan untuk imam. Maka ia seperti rumah Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Maka rumah Rasulullah pintu-pintunya langsung ke masjid, meskipun begitu ia termasuk rumah. Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam tidak masuk ke rumah (yakni ketika beri’tikaf). Yang lebih hati-hati, orang yang beri’tikaf jangan berada di dalamnya. Akan tetapi orang-orang sekarang menganggap kamar yang ada di dalam masjid termasuk masjid. Selesai dari ‘Syarkh Al-Kafi’

Beda masjid dan mushola


Meluruskan istilah masjid dan mushola

Secara bahasa, masjid [arab: مسجد] diambil dari kata sajada [arab: سجد], yang artinya bersujud. Disebut masjid, karena dia menjadi tempat untuk bersujud. Kemudian makna ini meluas, sehingga masjid diartikan sebagai tempat berkumpulnya kaum muslimin untuk melaksanakan shalat.

Imam Az-Zarkasyi mengatakan,

ولَمّا كان السجود أشرف أفعال الصلاة، لقرب العبد من ربه، اشتق اسم المكان منه فقيل: مسجد، ولم يقولوا: مركع

”Mengingat sujud adalah gerakan yang paling mulia dalam shalat, karena kedekatan seorang hamba kepada Tuhannya (ketika sujud), maka nama tempat shalat diturunkan dari kata ini, sehingga orang menyebutnya: ’Masjid’, dan mereka tidak menyebutnya: Marka’ (tempat rukuk). (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).

Kemudian Imam az-Zarkasyi, beliau menyebutkan makna masjid menurut istilah yang dipahami kaum muslimin (urf),

ثم إن العُرف خصص المسجد بالمكان المهيّأ للصلوات الخمس، حتى يخرج المُصلّى المجتمع فيه للأعياد ونحوها، فلا يُعطى حكمه

Kemudian, masyarakat muslim memahami bahwa kata masjid hanya khusus untuk tempat yang disiapkan untuk shalat 5 waktu. Sehingga tanah lapang tempat berkumpul untuk shalat id atau semacamnya, tidak dihukumi sebagai masjid. (I’lam as-Sajid bi Ahkam Masajid, az-Zarkasyi, hlm. 27, dinukil dari al-Masajid, Dr.Wahf al-Qahthani, hlm. 5).

Berdasarkan keterangan di atas, secara istilah syariah, mushola termasuk masjid. Karena musholah merupakan tempat yang disediakan khusus untuk shalat jamaah.

Untuk itu, sebagai catatan, bahwa kata masjid dalam istilah fikih ada dua,

Masjid jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu dan shalat jumat
Masjid ghairu Jami’, itulah masjid yang digunakan untuk shalat 5 waktu saja, dan tidak digunakan untuk jumatan.
Masjid jenis  kedua ini, di tempat kita disebut mushola.
Dan syarat masjid harus harus tanah wakaf bukan milik perorangan.
Adapun mushola dalam rumah pribadi bukan tanah wakaf,maka bukan masjid sama sekali

I'tikaf harus di masjid jami' ?


Batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf

Ibnu Rusyd menyebutkan, ada 3 pendapat ulama tentang batasan masjid yang boleh digunakan i’tikaf.

I’tikaf hanya bisa dilakukan di 3 masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini merupakan pendapat sahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu dan seorang tabiin Said bin al-Musayib. Dan ini pendapat yang lemah. Karena tidak ada batasan bahwa i’tikaf harus di 3 masjid tersebut.
I’tikaf hanya bisa dilakukan di masjid jami’, masjid yang digunakan untuk jumatan.
I’tikaf bisa dilakukan di semua masjid, baik jami’ maupun bukan jami’. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya as-Syafii, Abu Hanifah, at-Tsauri, dan pendapat masyhur dari Imam Malik.
(Bidayah al-Mujtahid, hlm. 261).

InsyaaAllah pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa tempat yang bisa digunakan untuk i’tikaf tidak harus masjid jami’, namun bisa semua masjid, meskipun tidak digunakan untuk jumatan.

Karena Allah hanya menyebutkan yang bersifat umum, ”ketika kalian sedang i’tikaf di masjid.” tanpa ada batasan, baik masjid jami’ maupun yang bukan jami’. Sehingga i’tikaf di mushola hukumnya boleh dan sah.

I'tikaf wanita sunnah bukan di rumah


tempat itikaf bagi wanita sama dengan laki-laki, yaitu di masjid. Mereka tidak boleh itikaf di mushola dalam rumah. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.

Dan pendapat inilah yang lebih kuat, dengan pertimbangan,

1. Allah kaitkan syariat itikaf dengan masjid,

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

”Janganlah kalian menggauli mereka sementara kalian sedang itikaf di masjid.”

Dan tidak ada pengecualian untuk ayat ini. Artinya berlaku umum, baik bagi lelaki maupun wanita.

2. Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itikaf di masjid. (HR. Muslim 1172)

Kegiatan wanita beritikaf di masjid merupakan hal yang biasa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau menganjurkan agar wanita lebih memilih shalat di rumah dari pada di masjid. Andaikan itikaf di rumah itu lebih baik, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyarankan mereka untuk itikaf di rumah.
Kecuali saat haid,terdapat sebuah riwayat dari A’isyah, beliau mengatakan

كن المعتكفات إذا حضن أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم  بإخراجهن من المسجد

“Dulu para wanita melakukan i’tikaf. Apabila mereka haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk keluar dari masjid.” (riwayat ini disebutkan Ibn Qudamah dalam al-Mughni 3:206 dan beliau menyatakan: Diriwayatkan oleh Abu Hafs al-Akbari. Ibnu Muflih dalam al-Furu’ 3:176 juga menyebutkan riwayat ini dan beliau nisbahkan sebagai riwayat Ibnu Batthah. Kata Ibnu Muflih: “Sanadnya baik”).

Sehingga kesimpulannya, pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, bahwa i’tikaf bagi wanita haid atau nifas atau junub statusnya terlarang, sampai mereka suci dan bersuci.
Tidak ada i'tikaf di rumah atau mushola dalam rumahnya.

Hukum mendiamkan (memboikot) seorang muslim


Ada 3 ancaman bagi orang yang memboikot sesama muslim dalam urusan dunia

Pertama, Sebab Tertahannya Amal

Memboikot sesama muslim tanpa alasan yang benar, menjadi sebab Allah tidak memperkenankan amalan seseorang.

Dalam hadis tentang pelaporan amal setiap Kamis dan Senin, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan,

تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْإِثْنَيْنِ، وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Pintu-pintu surga dibuka setiap hari senin dan kamis. Lalu diampuni selluruh hamba yang tidak berbuat syirik (menyekutukan) Allah dengan sesuatu apapun. Kecuali orang yang sedang ada permusuhan dengan saudaranya. Dikatakan: Tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… tunda amal dua orang ini, sampai keduanya berdamai… (HR. Imam Malik dalam Al-Muwatha’ 5/1334, Ahmad 9119, dan Muslim 2565).

Kedua, ancaman neraka jika belum damai sampai mati

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ، فَمَنْ هَجَرَ فَوْقَ ثَلَاثٍ فَمَاتَ دَخَلَ النَّارَ

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk memboikot saudaranya lebih dari 3 hari. Siapa yang memboikot saudaranya lebih dari 3 hari, kemudian dia meninggal maka dia masuk neraka.” (HR. Abu Daud 4914, dan dishahihkan Al-Albani).

Ketiga, boikot setahun sama dengan membunuhnya

Orang yang memboikot saudaranya tanpa alasan yang benar selama setahun, dosanya seperti menumpahkan darahnya. Dari Abu Khirasy As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

“Siapa yang memboikot saudaranya setahun, dia seperti menumpahkan darahnya.” (HR. Ahmad 17935, Abu Daud 4915, dan dishahihkan oleh Syuaib Al-Arnauth).

Memboikot dalam Rangka Nasehat

Boikot orang muslim, dalam rangka memberikan nasehat kepadanya, bukanlah satu hal yang terlarang. Karena boikot termasuk salah satu bentuk dakwah yang Allah ajarkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seluruh sahabatnya, untuk memboikot 3 orang (Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’) karena tidak ikut perang Tabuk.

وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. (QS. At-Taubah: 118).

Tiga orang itu, diboikot oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat sepulang beliau dari perang Tabuk. Hingga istri mereka diperintahkan untuk menjauhi suaminya.

Peristiwa Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan mereka yang diboikot karena tidak mengikuti perang tabuk, menjadi alasan dibolehkannya boikot bagi orang yang melakukan maksiat atau ahli bid’ah.

Ath-Thabariy mengatakan:

“Kisah Ka’ab bin Malik radliyallaahu ’anhu merupakan dalil pokok di dalam hajr (boikot) pelaku maksiat.”

Sementara larangan saling membenci dan memboikot sesama muslim seperti yang disebutkan dalam hadis di atas, berlaku untuk boikot karena masalah dunia, atau yang tidak berhubungan dengan masalah agama.

Waliyud Did Al-Iraqi mengatakan,

هذا التحريم محله في هجرانٍ ينشأ عن غضب لأمر جائز لا تعلق له بالدين ، فأما الهجران لمصلحة دينية من معصية أو بدعة : فلا مانع منه ، وقد أمر النبي صلى الله عليه وسلم بهجران كعب بن مالك وهلال بن أمية ومرارة بن الربيع رضي الله عنهم

Larangan dalam hadis di atas, berlaku untuk boikot yang muncul karena marah dalam masalah yang mubah, tidak ada kaitannya dengan agama. Adapun boikot karena maslahat agama, seperti karena maksiat atau bid’ah, hukumnya tidak terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memboikot Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Mararah bin Rabi’. (Tharhu At-Tasrib, 8/353)

Mengakhirkan berbuka 10 hari terakhir itu sunnah?


كانَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ إذا دخلَ العشرُ الأواخرُ طَوى فراشَهُ 
واعتزلَ النِّساءَ وجعلَ عشاءهُ سحورًا
Nabi saat masuk 10 hari terakhir melipat alas tidurnya dan menjauhi istrinya dan menjadikan makan malamnya di waktu sahur.
الراوي: أنس بن مالك المحدث: الهيثمي - المصدر: مجمع الزوائد - الصفحة أو الرقم: 3/177
خلاصة حكم المحدث: فيه حفص بن واقد البصري قال ابن عدي له أحاديث منكرة
          
5 - كانَ إذا دخلَ العَشرُ الأواخِرُ مِن رَمضانَ ؛ طَوى فراشَهُ [ وشَدَّ مِئزَرَهُ ] ، واعتزلَ النِّساءَ ، وجَعلَ عَشاءَهُ سَحورًا
الراوي: أنس بن مالك المحدث: الألباني - المصدر: السلسلة الضعيفة - الصفحة أو الرقم: 5997
خلاصة حكم المحدث: منكر بهذا التمام
Hadits munkar,dalam sanadnya hafsh bin waaqid al bashri dia banyak meriwayatkan hadits munkar.

Sholat isya' berjamaah dapat lailatul qodr?


من صلَّى العشاءَ في جماعةٍ فقد أخذَ بحظِّهِ من ليلةِ القدرِ
Barangsiapa sholat isya' berjamaah maka telah mengambil bagiannya dari lailatul qodr
الراوي: أبو أمامة الباهلي المحدث: ابن العراقي - المصدر: طرح التثريب - الصفحة أو الرقم: 4/161
خلاصة حكم المحدث: في إسناده مسلمة بن علي وهو ضعيف
          
مَنْ صلَّى العِشاءَ في جماعةٍ ؛ فَقَدْ أخَذَ بِحَظِّهِ من ليلَةِ القَدْرِ
الراوي: أبو أمامة الباهلي المحدث: الألباني - المصدر: ضعيف الترغيب - الصفحة أو الرقم: 226
خلاصة حكم المحدث: موضوع
Hadits lemah bahkan palsu karena ada perawi maslamah bin ali,dia perawi lemah.
Namun ada atsar shohih:
 أنَّ سَعيدَ بنَ المسيَّبِ كانَ يقولُ : مَن شَهِدَ العشاءَ من ليلةِ القَدرِ ، فقَد أخذَ بحظِّهِ مِنها
الراوي: مالك بن أنس المحدث: ابن عبدالبر - المصدر: الاستذكار - الصفحة أو الرقم: 3/300
خلاصة حكم المحدث: هذا لا يكون رأياً ولا يؤخذ إلا توقيفاً، ومراسيل سعيد أصح المراسيل
Namun ada atsar dari sa'id bin musayyab,sehingga ini mursal.namun mursalnya said sebaik2 mursal.

Mandi setelah maghrib di akhir ramadhan adalah sunnah?


أنَّ النبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ كانَ يغتسِلُ بينَ العِشاءينِ كل ليلَةٍ يعني من العشرِ الأواخِرِ
sesungguhnya nabi mandi antara maghrib dan isya' tiap malam yaitu 10 hari terakhir bulan ramadhan
الراوي: علي بن أبي طالب المحدث: ابن رجب - المصدر: لطائف المعارف - الصفحة أو الرقم: 346
خلاصة حكم المحدث: في إسناده ضعف
Disebutkan ibnu rojab dalam kitab lathoiful ma'arif dg sanad yg lemah,tidak bisa dijadikan hujjah.

Hukum memadamkan lampu saat tarawih di akhir malam


هل يجوز إطفاء المصابيح وقت دعاء القنوت في صلاة التروايح من أجل الخشوع ؟
apakah boleh memadamkan lampu saat qunut dalam sholat tarawih niat supaya lebih khusu'?
لا شك لا أصل له!
Syeikh bin baz menjawab: tidak ragu lagi itu tidak ada asalnya dalam agama ini.
هذه فتوى العلامة عبد العزيز بن باز- رحمه الله - في حكم إطفاء الأنوار أثناء صلاة القيام .
المصدر: ( الوجه الأول ) من الشريط الثاني من شرح بلوغ المرام (كتاب الطهارة - الأسئلة بعد باب المسح على الخفين ) .

- يقول السائل : بعض الأئمة يا شيخ في صلاة القيام في رمضان يتعمد بإطفاء السرج في المسجد
Penanya: sebagian imam masjid wahai syaikh saat sholat malam ramadhan sengaja memadamkan lampu masjid
- ( العلاّمة ابن باز ): ايش ؟
Syeikh bin baz: gimana itu?
- السائل : يتعمد بإطفاء النور في المسجد ولا يكون هناك إلا نور خافت.
Penanya:sengaja memadamkan cahaya di masjid kecuali cahaya yg samar
- ( العلاّمة ابن باز ) : ليه وش السبب ؟
Syeikh:untuk apa?
- السائل: يقول أكمل للخشوع
Penanya: dia mengatakan supaya lebih sempurna kekhusuannya.
- ( العلاّمة ابن باز ): هذا ما له أصل هذا كلامن ما له أصل
Syeikh: ini adalah tidak ada asalnya,perkataan ini tidak ada dasarnya.
- السائل: أمر مُبتَدَع يا شيخ ؟
Penanya: ini perkara bid'ah wahai syeikh?
- ( العلاّمة ابن باز ): هذا غلط يُبَيّن له أن هذا غلط . اهـ
syeikh: ini kesalahan,sebaiknya dijelaskan bahwa ini kesalahan.

حكم إطفاء الأنوار أثناء صلاة قيام الليل

سئل الشيخ عبيد الجابري حفظه الله :

(اطفاء) المصابيح فى حال القيام الى صلاة التراويح زعما منهم ان هذا يزيد فى الخشوع؟
soal serupa pernah ditanyakan ke syaikh ubaid al jabiri

اجاب الشيخ عبيد الجابرى حفظه الله فقال :

هذا هو السؤال الخامس عشر وقد سمعتموه باللغتين وجوابه :
soal ke-15
jawab beliau: itu termasuk bid'ah yg dilakukan manusia akhir2 ini.dan tidak dikenal oleh salaf dan salaf tidak memadamkan lampu,bahkan kebanyakan mereka membaca mushaf dg cahaya di malam hari .dan kebanyakan ahli ilmu juga.dan dg ini jelas itu termasuk bid'ah.
اطفاء المصابيح عند صلاة التروايح او التهجد مما احدثه الناس اخيرا ولم يكن معروفا عند السلف فما كان السلف يطفئون سراجا موقدا ؛ بل الكثير منهم يقرأ فى المصحف على السراج نعم ؛ الكثير من اهل العلم يقرا فى المصحف على السراج على ضوء السراج وبهذا تعلمون انه محدث بدعة . ا هـ

Sabtu, 25 Juni 2016

Hukum imam membaca mushaf alqur'an


Dalam kitab “Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadhan” karya al-Maruzi dinyatakan:

عن ابن أبي مليكة أن ذكوان أبا عمرو كانت عائشة أعتقته عن دبر فكان يؤمها ومن معها في رمضان في المصحف

Dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Dzakwan (Abu Amr) –budak yang dijanjikan bebas oleh Aisyah jika beliau (Aisyah) meninggal- mengimami Aisyah dan orang-orang bersama Aisyah di bukan Ramadhan dengan membaca mushaf. (HR. Bukhari secara Muallaq, dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf)

Ibnu Wahb mengatakan:

Imam Malik ditanya, ada sebuah kampung yang masyarakatnya tidak ada yang hafal Alquran. Bolehkah imam membaca mushaf ketika jamaah? Imam Malik menjawab: “Tidak masalah.”

Imam Ibnu Baz berpendapat bahwa hal semacam ini boleh jika dibutuhkan. Seperti shalat malam ketika Ramadhan yang panjang bagi imam yang tidak hafal Alquran. Hanya saja beliau menyarakan agar imam berusaha untuk menghafalkan Alquran, sehingga tidak perlu membawa Alquran ketika menjadi imam. (Kitab ad-Dakwah, 2:116)

Syubhat:
sementara an-Nakhai, Said bin Musayib, dan asy-Sya’bi membencinya. Mereka mengatakan: ‘Itu seperti perbuatan orang Nasrani.’” (Umdatul Qori, Syarh Shahih Bukhari, 5:225)
diantara ulama yang membenci, imam shalat sambil membaca mushaf adalah Mujahid, Ibrahim, dan Sufyan. Mereka membenci seseorang mengimami shalat ketika Ramadhan sambil membaca mushaf, khawatir termasuk tasyabbuh dengan ahli kitab.

Jawab:
alasan ini dibantah oleh al-Maruzi, dengan mengatakan:

Membaca Alquran terlalu jauh untuk disebut meniru ahli kitab, dibandingkan membaca buku-buku matematika. Karena membaca Alquran termasuk amal shalat, sementara buku-buku berhitung tidak termasuk bagian shalat.

Maksud al-Maruzi, sebagaimana kita boleh membaca buku umum yang bermanfaat dan itu tidak teramasuk tasyabbuh terhadap ahli kitab, maka mmebaca Alquran lebih layak untuk tidak disebut meniru kebiasaan orang kafir. (Fatwa Lajnah Daimah, 579).

Imam asy-Syafi’i beralasan bahwa itu bukan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir, karena kita juga makan apa yang mereka makan, dan itu tidak disebut meniru kebiasaan ahli kitab. (Bada’i ash-Shana’i, 1:236)

Mungkinkah lailatul qadr di awal dan pertengahan ramadhan?

Tidak mungkin,pendapat yg lemah tidak berdasar.
Para ulama sebenarnya berselisih pendapat kapankah lailatul qadar pasti terjadi. Al Hafizh Ibnu Hajar sampai menyebutkan ada 46 pendapat dalam masalah ini dan kebanyakan tidaklah berdasar. Namun dari pendapat-pendapat tersebut dapat dijadikan tiga:

a- Pendapat yang keliru yang menyatakan bahwa malam lailatul qadar sudah tidak ada lagi, atau pendapat yang menyatakan bahwa lailatul qadar itu di sepanjang tahun atau ada yang mengatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam nishfu Sya’ban.

b- Pendapat yang dho’if (lemah) yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi di awal atau pertengahan Ramadhan.

c- Pendapat terkuat yang mengatakan bahwa lailatul qadar terdapat di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.

Intinya, pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan malam ganjil itu lebih mungkin. Dan malam ke-27 lebih mungkin terjadi daripada malam lainnya. Sampai-sampai Ubay bin Ka’ab bersumpah bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27.

Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Bulughul Marom hadits no. 705,

وَعَنْ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ: – لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالرَّاجِحُ وَقْفُهُ.

وَقَدْ اِخْتُلِفَ فِي تَعْيِينِهَا عَلَى أَرْبَعِينَ قَوْلًا أَوْرَدْتُهَا فِي ” فَتْحِ اَلْبَارِي “

Dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata mengenai lailatul qadar itu terjadi pada malam ke-27. Diriwayatkan oleh Abu Daud. Namun pendapat yang kuat, hadits ini mauquf, yaitu hanya perkataan sahabat. Para ulama berselisih mengenai tanggal pasti lailatul qadar. Ada 24 pendapat dalam masalah ini yang dibawakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Abu Daud no. 1386.

Hadits tersebut menunjukkan bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ke-27. Ini adalah hasil ijtihad dari Mu’awiyah. Juga ada riwayat pendukung dari Ubay bin Ka’ab,

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ أُبَىٌّ فِى لَيْلَةِ الْقَدْرِ وَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهَا هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai malam lailatul qadar, “Demi Allah, aku sungguh mengetahui  malam tersebut. Malam tersebut adalah malam yang Allah memerintahkan untuk menghidupkannya dengan shalat malam, yaitu malam ke-27 dari bulan Ramadhan.” (HR. Muslim no. 762).

MEMINTA IZIN BERBEDA DENGAN UCAPAN SALAM


Sebagian orang beranggapan, bila salam telah dijawab, berarti ia boleh masuk ke dalam rumah tanpa harus meminta izin. Ini adalah anggapan yang jelas keliru. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرُُ لَّكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

"Hai, orang orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu selalu ingat".[An Nur:27].

Ayat di atas dengan jelas membedakan antara salam dan meminta izin. Dengan demikian, seseorang yang telah dijawab salamnya, harus meminta izin sebelum masuk ke dalam rumah. Inilah adab yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kaladah bin Al Hambal, bahwasanya Shafwan bin Umayyah mengutusnya pada hari penaklukan kota Makkah dengan membawa liba' [Susu yang diperah saat unta baru saja melahirkan], jadayah [ Rusa yang baru berusia enam bulan] dan dhaghabis [ Buah semacam mentimun]. Ketika itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di atas lembah. Aku menemui Beliau tanpa mengucapkan salam dan tanpa minta izin. Maka Beliau bersabda:

"اِرْجِعْ فَقُلْ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أأدخل"

"Keluarlah, ucapkanlah salam dan katakan: “Bolehkah aku masuk?” [Hadits shohih riwayat Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa’i,lihat shohih attirmidzi no.2710]

Hukum kencing sambil berdiri


Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : "Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang buang air kecil sambil berdiri sebagaimana diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah. Tetapi kemudian beliau buang air kecil sambil berdiri, bagaimana mengkompromikannya ?"

Jawaban.
Riwayat bahwa beliau melarang kencing sambil berdiri tidak shahih. Baik riwayat Aisyah ataupun yang lain.

Disebutkan dalam sunan Ibnu Majah dari hadits Umar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

لاَ تَبُلْ قَائِمًا

"Janganlah engkau kencing berdiri".

Hadits ini lemah sekali. Adapun hadits Aisyah, yang disebut-sebut dalam pertanyaan tadi sama sekali tidak berisi larangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Hadits tersebut hanya menyatakan bahwa Aisyah belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri.

Kata Aisyah Radhiyallahu 'anha.

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ بَالَ قَئِمًا فَلاَ تُصًدِّقُّوْهُ

"Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian membenarkannya (mempercayainya)".

Apa yang dikatakan oleh Aisyah tentu saja berdasarkan atas apa yang beliau ketahui saja.

Disebutkan dalam shahihain dari hadits Hudzaifah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melewati tempat sampah suatu kaum, kemudian buang air kecil sambil berdiri.

Dalam kasus-kasus seperti ini ulama fiqih berkata : "Jika bertentangan dua nash ; yang satu menetapkan dan yang lain menafikan, maka yang menetapkan didahulukan daripada yang menafikan, karena ia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh pihak yang menafikan.

Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?

Tidak ada aturan dalam syari'at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar'i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sabdakan.

اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ

"Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing".

Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.

Sebab tidak lazim ada seorang shahabat mengikuti beliau ketika beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil. Kami berpegang dengan hadits Hudzaifah bahwa beliau pernah buang air kecil sambil berdiri akan tetapi kami tidak menafikan bahwa beliaupun mungkin pernah buang air kecil dengan cara lain.

[Disalin dari buku Majmu'ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid]

WASIAT RASUL UNTUK MEMBERANTAS JIMAT


Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya"[Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf , no: 3518]

Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong".[Al-Bukhâri no: 3005, Muslim no: 5549] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[ Ahmad no: 16995, Shahîh Sunan Abu Dâwud no: 27, Shahîh Sunan an-Nasâ`i no: 4692, Syaikh al-Albâni berkata "shahîh"]

Jumat, 24 Juni 2016

Makan dg meja bukan sunnah


Meletakkan hidangan makanan pada sufrah (alas yang biasa dipakai untuk meletakkan makanan) yang digelar di atas lantai, tidak diletakkan di atas meja makan, karena hal tersebut lebih mendekatkan pada sikap tawadhu’. Hal ini sebagaimana hadits dari Anas Radhiyallahu anhu, dia berkata:

مَا أَكَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خِوَانٍ وَلاَ فِيْ سُكُرُّجَةٍ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah makan di atas meja makan dan tidak pula di atas sukurrujah ” [HR. Al-Bukhari no. 5415]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani di dalam kitab Syamaa-il Muhammadiyyah hal. 88 no. 127 memberikan pengertian tentang sukurrujah yaitu piring kecil yang biasa dipakai untuk menempatkan makanan yang sedikit seperti sayuran lalap, selada dan cuka. Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (IX/532) berkata: “Guru kami berkata dalam Syarah at-Tirmidzi, “Sukurrujah itu tidak digunakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya karena kebiasaan mereka makan bersama-sama dengan menggunakan shahfah yaitu piring besar untuk makan lima orang atau lebih. Dan alasan yang lainnya adalah karena makan dengan sukurrujah itu menjadikan mereka merasa tidak kenyang.”-penj.

Sholat 2 rokaat di masjid setelah sampai di kampung tujuan


Shalat dua raka’at di masjid ketika tiba dari safar (perjalanan), sebagaimana hadits berikut:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ.

“Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tiba dari bepergian pada saat Dhuha, beliau masuk ke dalam masjid dan kemudian shalat dua raka’at sebelum duduk.” [HR. Al-Bukhari no. 3088 dan Muslim no. 2769, lafazh hadits ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]

Sedangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Aku pernah bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika kami telah tiba di kota Madinah, beliau berkata kepadaku:

اُدْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ.

“Masuklah masjid dan shalatlah dua raka’at.” [HR. Al-Bukhari no. 3087]

Doa musafir itu mustajab


Berdasarkan hadits:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ.

Dari Abu Hurairah Radhyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tiga do’a yang pasti dikabulkan (mustajab) dan tidak ada keraguan lagi tentang-nya, do’anya seorang yang dizhalimi, do’anya musafir (orang yang melakukan perjalanan), do’a buruk orang tua terhadap anaknya.’” [HR. Ah-mad II/434, Abu Dawud no. 1536, At-Tirmidzi no. 2741. Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah oleh Imam al-Albani no. 596]

Mudiklah hari kamis..!


Disunnahkan untuk melakukan safar (perjalanan) pada hari Kamis dan berangkat pagi-pagi ketika akan melakukan perjalanan. Hal ini berdasarkan hadits shahih dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu anhu :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ. 

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk keluar (bepergian) pada hari Kamis.”[ Shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 2950) dan Abu Dawud (no. 2605). Lihat Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (V/162) karya Syaikh al-Albani rahimahullah.]

Di dalam riwayat yang lain,

لَقَلَّمَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ إِذَا خَرَجَ فِيْ سَفَرٍ إلاَّ يَوْمَ الْخَمِيْسِ.

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bepergian senantiasa melakukannya pada hari Kamis.” [HR. Al-Bukhari no. 2949]

ITTIBA' ADALAH JALAN AHLI SUNNAH DAN TAQLID ADALAH JALAN AHLI BID’AH


Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafy berkata, “Umat ini telah sepakat bahwa tidak wajib taat kepada seorangpun dalam segala sesuatu kecuali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam …makà barangsiapa yang ta’ashub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan yang lainnya seperti orang yang ta’ashub kepada seorang sahabat dan mengesampingkan yang lainnya, seperti orang-orang Rafidhah yang ta’ashub kepada Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. ini jalannya ahlul ahwa” [Al-Ittiba’ cet. kedua hal. 80]

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ 9/107 dengan sanad yang shahih]

Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”. [Diriwayatkan olehAbu Hatim dalamAdab Syafi’i hal.93 dengan sanad yang shahih]

Kerancuan fanatik madzhab fiqh


Pada umumnya, bila membicarakan madzhab, seseorang kemudian mengacu kepada permasalahan fiqhiyah. Padahal madzhab itu mencakup juga yang berkait dengan keyakinan dan aqidah. Oleh karenanya, sering digunakan para ulama untuk menyatakan keyakinan dan i`tiqad Ahlu Sunnah, seperti pernyataan Imam Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shabuni (wafat 449H) ketika menjelaskan aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah : “Dan termasuk madzhab Ahli Hadits, iman adalah perkataan dan perbuatan serta ma’rifah (ilmu), bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan” [ Aqidah Al Salaf Wa Ash-habul Hadits, Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash Shabuni (wafat 449H), tahqiq Dr. Nashir bin Abdurrahman Al Judai`, Cetakan kedua, Tahun 1419H, Dar Al ‘Ashimah, hlm. 264.]. Beliau juga menyatakan : “Diantara madzhab Ahlu Sunnah wal Jamaah…” [ibid, hlm. 285]

Dengan demikian, merupakan kekeliruan bila seseorang yang fanatik terhadap satu madzhab (misalnya madzhab Syafi’i), tetapi hanya mengambil madzhabnya dalam bidang fiqih dan meninggalkan aqidah yang diyakini Imam Syafi’i

Tradisi ditimbang dg sunnah nabi bukan sebaliknya


Allâh Ta’ala berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [an-Nûr/24:63].

Imam Ibnu Katsir rahimahullâh berkata: “Firman-Nya (Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya), yaitu perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu jalan, ajaran, Sunnah, dan syari’at beliau. Sehingga seluruh perkataan dan perbuatan (manusia) ditimbang dengan perkataan dan perbuatan beliau. Yang sesuai dengan itu diterima, dan yang menyelisihinya dikembalikan kepada orang yang mengatakannya atau orang yang melakukannya, siapa ia. Agar orang yang menyelisihi syari’at Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , secara lahir atau batin merasa takut (akan ditimpa fitnah/cobaan/musibah), yakni di dalam hati mereka, yang berupa kekafiran, atau kemunafikan, atau bid’ah (atau ditimpa azab yang pedih), yakni di dunia dengan pembunuhan, had (hukuman), penahanan, atau semacamnya”.[ Tafsir Ibnu Katsir, surat an-Nûr/24:63.]

Pezina hilang cahaya hidupnya


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا زَنَى الرَّجُلُ خَرَجَ مِنْهُ الْإِيْمَـانُ كَانَ عَلَيْهِ كَالظُّـلَّـةِ ، فَإِذَا انْقَلَعَ رَجَعَ إِلَيْهِ الْإِيْمَـانُ

Apabila seseorang berzina maka imannya akan keluar di atasnya seolah-olah sebuah naungan. Jika ia kembali (bertaubat), maka imannya akan kembali.[Shahîh, HR Abu Dawud, no. 4690 dan al-Hakim, I/22. Dishahîhkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, juga dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, no. 509.]

Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu mengatakan:

يُنْزَعُ مِنْهُ نُوْرُ الْإِيْمَانِ فِيْ الزِّنَا

Dicabut nur (cahaya) keimanan dalam perbuatan zina.[ Diriwayatkan oleh al-Bukhari, lihat Fat-hul-Bâri, XII/58.]

Jalan lurus hanya jalan sunnah rosul


Allâh Ta’ala berfirman:

قُلْ أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَاحُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّاحُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَاعَلَى الرَّسُولِ إِلاَّ الْبَلاَغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Ta'atlah kepada Allâh dan ta'atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban Rasul hanya menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang". [an-Nuur/24:54].

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat (Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk), yaitu : “Menuju jalan yang lurus dalam hal perkataan dan perbuatan. Sehingga tidak ada jalan bagi kamu menuju petunjuk kecuali dengan mentaatinya. Tanpa itu, tidak mungkin, bahkan mustahil”[. Tafsir Taisir-Karimir-Rahman, surat an-Nûr/24:54. ].

Tidak ada tradisi dalam agama


Tradisi itu dalam hal dunia saja.
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan di bait syairnya,

والأصل في عاداتنا الإباحة حتى يجيء صارف الإباحة

“Hukum asal adat kita adalah boleh selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum bolehnya.“

Para ulama memberikan ungkapan lain untuk kaedah di atas,

الأصل في العادات الإباحة

“Hukum asal untuk masalah adat (kebiasaan manusia) adalah boleh.”

Ibnu Taimiyah berkata,

وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ

“Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’atul Fatawa, 4: 196).

Yang dimaksud dengan adat di sini apa?

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَأَمَّا الْعَادَاتُ فَهِيَ مَا اعْتَادَهُ النَّاسُ فِي دُنْيَاهُمْ مِمَّا يَحْتَاجُونَ إلَيْهِ وَالْأَصْلُ فِيهِ عَدَمُ الْحَظْرِ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهُ إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى

“Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’atul Fatawa, 29: 16-17)

Kebiasaan manusia yang dimaksudkan adalah makan, minum, berpakaian, berjalan, berbicara, dan kebiasaan lainnya dalam urusan dunia bukan ibadah.

Memulai lebih sulit dari melanjutkan


Kaedah ini dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin dengan lafazh,

الاستدامة أقوى من الإبتداء

“Meneruskan itu lebih kuat daripada memulai.” (Syarhul Mumti’, 7: 156).

Ibarat lain diungkapkan oleh ulama lainnya seperti dari Ibnu Nujaim dalam Al Asybah wan Nazhoir dengan ungkapannya,

البقاء أسهل من الإبتداء

“Tetap (melanjutkan) itu lebih mudah daripada memulai.”

Ibnu As Subkiy dalam Al Asybah wan Nazhoir juga berkata,

يغتفر في الدوام ما لا يغتفر في الإبتداء

“Sesuatu yang dilanjutkan itu dimaafkan, namun tidak dimaafkan ketika memulai.”

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (32: 148) mengungkapkan,

وَالدَّوَامُ أَقْوَى مِنْ الِابْتِدَاءِ

“Meneruskan lebih kuat daripada memulai.”

Ikhlas tidak perlu di ucapkan

Diriwayatkan dari adh-Dhahak bin Qais bahwa ia berkata, “Wahai manusia ikhlaskanlah amalan kalian untuk Allâh Azza wa Jalla ! Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas. Apabila salah seorang dari kalian memberikan suatu pemberian, memaafkan suatu kezaliman, atau menyambung silaturahim, maka janganlah dia mengatakan dengan lisannya "Ini Karena Allâh" akan tetapi hendaklah ia memberitahukannya dengan hati.”[Târîkh Dimasyq, 24/282.]

BANTAHAN PARA ULAMA KEPADA PEMBELA TAQLID


Al-Imam Al-Muzani berkata, “Dikatakan kepada orang yang berhukum dengan taqlid, Apakah kamu punya hujjah pada apa yang kamu hukumi?’ Jika dia mengatakan,‘Ya’, secara otomatis dia membatalkan taqlidnya, karena hujjah yang mewajibkan dia menghukumi itu bukan taqlidnya”.

Jika dia mengatakan, “Aku menghukumi tanpa memakai hujjah.” Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu mengapa engkau tumpahkan darah, engkau halalkan kemaluan, dan engkau musnahkan harta padahal Alloh mengharamkan semua itu kecuali dengan hujjah, Alloh berfirman:

“Artinya : Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini”. [Yunus : 68]

Kalau dia mengatakan, “Aku tahu kalau aku menepati kebenaran walaupun aku tidak mengetahui hujjah, karena aku telah taqlid kepada seorang ulama besar yang dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi dariku” Dikatakan kepadanya, “Jika dibolehkan taqlid kepada gurumu karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu, maka taqlid kepada guru dan gurumu lebih utama karena dia tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyl dari gurumu sebagaimana gurumu tidak berkata kecuali dengan hujjah yang tersembunyi darimu.” Kalau dia mengatakan, “Ya”, maka dia harus meninggalkan taqlid kepada guru dari.gurunya dan yang di atasnya hingga berhenti kepada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kalau dia enggan melakukan itu berarti dia telah membatalkan ucapannya dan dikatakan kepadanya, “Bagaimana dibolehkan taqlid kepada orang yang lebih kecil dan lebih sedikit ilmunya dan tidak boleh taqlid kepada orang yang lebih besar dan lebih banyak ilmunya? ini jelas menupakan kontradiksi.”

Kalau dia mengatakan, “Karena guruku -meskipun dia lebih kecil- dia telah menggabungkan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, karena itu dia lebih paham apa yang dia ambil dan lebih tahu apa yang dia tinggalkan” Dikatakan kepadanya, “Demikian juga orang yang belajar dari gurumu maka dia sungguh telah menggabungkan ilmu gurumu dan ilmu orang-orang yang di atasnya kepada ilmunya, maka engkau harus taqlid kepada orang ini dan meninggalkan taqlid kepada gurumu. Demikian juga engkau lebih berhak untuk taqlid kepada dirimu sendiri daripada taqlid kepada gurumu! Jika dia tetap pada perkataannya ini berarti dia menjadikan orang yang lebih kecil dan orang yang berbicara dari para ulama yunior lebih pantas ditaqlidi daripada para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Demikian juga menurut dia seorang sahabat harus taq lid kepada seorang tabi’in, dalam keadaan seorang tabi’ in di bawäh sahabat menurut analogi perkataannya, maka yang lebih tinggi selamanya lebih rendah, maka cukuplah ini merupakan kejelekan dan kerusakan” [Diriwayatkan oleh Al-Khathib Al-Baghdady dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 2/69-70 dan dinukil oleh lbnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/992-993]

Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata, “Dikatakan kepada orang yang taqlid: Mengapa engkau taqlid dan menyelisihi salaf dalam masalah ini, karena salaf tidak melakukan taqlid?” Kalau dia mengatakan, “Aku taqlid karena aku tidak paham tafsir Kitabullah dan aku belum menguasai hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sedangkan yang aku taqlidi telah mengetahui semuanya itu maka berarti aku taqlid kepada orang yang lebih berilmu daripadaku”

Dikatakan kepadanya, “Adapun para ulama, jika mereka sepakat pada sesuatu dan tafsir Kitabullah atau periwayatan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sepakat pada sesuatu maka itu adalah al-haq yang tidak ada satu pun keraguan di dalamnya. Akan tetapi mereka telah berselisih dalam hal yang kamu taqlidi, lalu apa argumenmu di dalam taqild kepada sebagian mereka tidak kepadã yang lainnya, padahal mereka semua berilmu. Bisa jadi orang yang tidak kamu pakai perkataanya lebih berilmu daripada orang yang engkau taqlidi?”

Jika dia mengatakan, “Aku taqlid kepadanya karena aku tahu dia di atas kebenaran.” Dikatakan kepadanya, “Apakah kamu tahu hal itu dengan dalil dari Al-Kitab, Sunnah, dan ijma’?”Jika dia mengatakan, “Ya”, maka dia telah membatalkan taqlidnya dan dituntut untuk mendatangkan dalil dan perkataannya” [Jami’ Bayanil Ilmi wa Ahlihi 2/994]

Yang berhak nilai ikhlas cuma alloh


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتهِمْ

"Manusia dikumpulkan (di padang mahsyar-pen) berdasarkan niat-niat mereka" (HR Ibnu Majah no 4230, dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Beliau juga bersabda;

إنما يُبْعَثُ النَّاسُ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

"Manusia dibangkitkan hanyalah di atas niat-niat mereka" (HR Ibnu Majah no 4229, dihasnkan oleh Syaikh Albani)

Bid'ah ini kan buatan ulama'?


Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah mencela taqlid dalam Kitab-Nya, Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]

Ketika Adi bin Hatim Radhiyallahu ‘anhu mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam membaca ayat Ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Jami’ nya 3095 dan Baihaqidalam Sunan Kubra 10/116 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal.20]
Emang ulama' berhak membuat syariat?

Sholat sunnah dirumah pahalanya 25 kali lipat


Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

صَلاَةُ الرَّجُلِ تَطَوُّعاً حَيْثُ لاَ يَرَاهُ النَّاسُ تَعْدِلُ صَلاَتَهُ عَلَى أَعْيُنِ النَّاسِ خَمْساً وَعِشْرِيْنَ

"Sholat sunnahnya seseorang yang dikerjakan tanpa dilihat oleh manusia nilainya sebanding dengan dua puluh lima sholat sunnahnya yang dilihat oleh mata-mata manusia" (HR Abu Ya'la dalam musnadnya dan dishahihkan oleh Albani dalam As-Shahihah pada penjelasan hadits no 3149)

Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda :

تَطَوُّعُ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ يَزِيْدُ عَلَى تَطَوُّعِهِ عِنْدَ النَّاسِ، كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ وَحْدَهُ

"Sholat sunnahnya seseorang di rumahnya lebih bernilai dari pada sholat sunnahnya di hadapan manusia, sebagaimana keutamaan sholat seseorang bersama jama'ah dibandingkan jika ia sholat munfarid (tidak berjamaah)" (Hadits ini dishahihkan oleh Albani dalam as-Shahihah no 3149)

Rabu, 22 Juni 2016

Merayakan nuzulul qur'an bid'ah bukan ajaran imam asy syafi'i


Mufti Saudi Arabia Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy Syaikh rahimahullah berkata,

جواز اتخاذ يوم نزول القرآن عيدا يتكرر بتكرر الأعوام، فهذا وإن كان قصد صاحبه حسنا إلا أنه لما لم يكن مشروعا، ولم يرد عن النبي صلى الله عليه وسلم، ولا عن أحد من خلفائه الراشدين وسائر صحابته والتابعين لهم بإحسان، ولا عن أحد من الأئمة الأربعة: مالك وأبي حنيفة والشافعي وأحمد بن حنبل، ولا عن غيرهم من الأئمة المقتدى بهم سلفا وخلفا، فلما لم يكن مشروعا ولا ورد عن أحد ممن ذكر تعين التنبيه على أن مثل هذا لا يجوز شرعا؛ لأنه لا أصل له في الدين، ولم يكن من عمل المسلمين

“Pendapat bolehnya menjadikan hari turunnya Al-Qur’an sebagai hari perayaan setiap tahun, maka walaupun orang yang merayakannya berniat baik akan tetapi perayaan tersebut tidak disyari’atkan, dan tidak ada satu pun riwayat dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, tidak pula dari salah seorang Al-Khulafaaur Raasyidin, tidak seluruh sahabat, tidak tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, tidak salah seorang dari imam yang empat: Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, serta tidak pula dari imam-imam lainnya yang patut diteladani dahulu maupun sekarang. Maka ketika perayaan Nuzulul Qur’an itu tidak disyari’atkan dan tidak pula diriwayatkan dari seorang pun yang telah kami sebutkan, jelaslah bahwa amalan seperti ini tidak dibolehkan secara syari’at, karena tidak memiliki dasar dalam agama dan tidak termasuk amalan kaum muslimin.” [Majallatul Buhutsil Islamiyah, 76/33]

Selasa, 21 Juni 2016

Menghina Jilbab seperti serbet KAFIR halal darahnya


Pertanyaan Kedua dari Fatwa Nomor (4127):
(Nomor bagian 2; Halaman 25)

Pertanyaan 2: Apa hukum orang yang menghina seorang wanita yang memakai penutup aurat yang sesuai dengan ajaran Islam (jilbab), dan mengatakannya bahwa wanita tersebut adalah jin ifrit atau kemah bergerak, dan perkataan-perkataan hinaan lainnya.

Jawaban 2: Orang yang menghina seorang Muslimah atau seorang Muslim karena ia berpegang teguh dengan syariat Islam, maka ia dihukumi KAFIR, baik penghinaan tersebut terhadap seorang wanita yang menutup aurat sesuai dengan ajaran Islam maupun dalam masalah lainnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar Radhiyallahu `Anhuma, ia berkata:   Ada seorang laki-laki berkata ketika perang Tabuk dalam sebuah majelis: "Aku tidak melihat seperti para qurra' (para pembaca Al-Quran) ini yang paling tamak dalam mengisi perutnya, dan yang paling pendusta lisannya, serta yang paling penakut ketika berperang". Lantas ada seseorang berkata: "Kamu telah berdusta bahkan kamu adalah Munafiq. Sungguh akan aku beritahukan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam". Akhirnya berita tersebut sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan ayat Al-Quran turun. Kemudian Abdullah bin Umar berkata : "Aku melihatnya bergantung di boncengan unta Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, terseret di bebatuan (batu mengenai dan melukainya), dan ia berkata: "Wahai Rasulullah sesungguhnya kami sekedar bercanda dan bermain-main saja". Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (dengan firman Allah, yang maknanya):   "Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" (65) Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripadamu (lantaran mereka bertaubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.  Beliau menjadikan hinaannya terhadap kaum Mukminin merupakan hinaan terhadap Allah, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya.
Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `Ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa
Anggota Anggota Wakil Ketua Komite Ketua
Abdullah bin Qu'ud Abdullah bin Ghadyan Abdurrazzaq `Afifi Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz