Mendoakan orang kafir agar diampuni dosanya ketika mereka masih hidup.
Hal ini dibolehkan dg Dalil hadits berikut:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بن مسعود: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِيًّا مِنْ الْأَنْبِيَاءِ ضَرَبَهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Seakan-akan aku sekarang melihat Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bercerita tentang seorang Nabi, yg dipukul oleh kaumnya hingga bercucur darah, dan ia mengusap darah tersebut dari wajahnya, tp ia tetap mengatakan: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Bukhori 3477).
Memang Hadits ini tidak tegas mengatakan bahwa Nabi yg mendoakan ampunan tersebut adalah Nabi Muhammad –shollallohu alaihi wasallam-… Namun ada riwayat lain yg tegas mengatakan bahwa doa tersebut juga diucapkan oleh Nabi kita Muhammad –shollallohu alaihi wasallam– kepada kaumnya yg masih kafir:
عن سهل بن سعد قال: شهدت النبي – صلى الله عليه وسلم – حين كُسِرت رباعِيتُهُ وجُرح وجهه وهُشمت البيضة على رأسه، وإني لأعرف من يغسل الدم عن وجهه، ومن ينقل عليه الماء، وماذا جعل على جرحه حتى رقأ الدم؛ كانت فاطمة بنت محمد رسول الله – صلى الله عليه وسلم – له تغسل الدم عن وجهه، وعلي- رضي الله عنه- ينقل الماء إليها في مِجنَّةٍ، فلما غسلت الدم عن وجه أبيها أحرقت حصيراً، حتى إذا صارت رماداً أخذت من ذلك الرماد، فوضعته على وجهه حتى رقأ الدم، ثم قال يومئذ: اشتد غضب الله على قوم كلموا وجه رسول الله – صلى الله عليه وسلم. ثم مكث ساعة، ثم قال: اللهم! اغفر لقومي؛ فإنهم لا يعلمون
Sahal bin sa’ad mengatakan: Aku telah menyaksikan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- saat gigi serinya patah, wajahnya terluka, dan helm perang di kepalanya pecah… sungguh aku juga tahu siapa yg mencuci darah dari wajahnya, siapa yg mendatangkan air kepadanya, dan apa yg ditempatkan dilukanya hingga darahnya mampet… Adalah Fatimah putri Muhammad utusan Allah yg mencuci darah dari wajah, dan Ali -rodliallohu anhu- yg mendatangkan air dalam perisai… maka ketika Fatimah mencuci darah dari wajah ayahnya, dia membakar tikar, sehingga ketika telah menjadi abu, ia mengambil abu itu, lalu menaruhnya di wajah beliau, hingga darahnya mampet… ketika itu beliau mengatakan: “Telah memuncak kemurkaan Allah atas kaum yg melukai wajah Rosulullah”… lalu beliau diam sebentar, dan mengatakan: “Ya Allah ampunilah kaumku, karena sesungguhnya mereka itu tidak tahu”. (HR. Tobaroni, dan Syeikh Albani dalam Silsilah Shohihah [7/531] mengatakan: Sanadnya Hasan atau Shohih).
Diantara dalil dalam masalah ini adalah Mafhum Mukholafah dari firman Allah berikut:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ (*) وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah: 113-114)
Ayat ini mengaitkan “larangan memintakan ampun untuk Kaum Musyrikin”, dg keadaan “sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka”. Sehingga sebelum jelas menjadi penghuni neraka, boleh di mintakan ampun… Dan telah shohih dari Ibnu Abbas, bahwa maksud dari firman Allah yg artinya: “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah” adalah “setelah mati dalam keadaan kufur”. Sehingga sebelum kematiannya, masih boleh dimintakan ampun.
Berikut Atsar dari Ibnu Abbas tersebut:
عن سعيد بن جبير قال : توفى أبو رجل ، وكان يهوديا ، فلم يتبعه ابنه ، فذكر ذلك لابن عباس ، فقال ابن عباس : وما عليه، لو غسله ، واتبعه ، واستغفر له ما كان حيا… ثم قرأ ابن عباس (فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه) * يقول : لما مات على كفره
Sa’id bin Jubair mengatakan: Ada salah seorang ayah meninggal, dan dia seorang yahudi, sehingga putranya (yg muslim) tidak mengikuti (jenazah)nya, lalu hal itu diceritakan kepada Ibnu Abbas, maka beliau mengatakan: “Tidak sepatutnya ia melakukannya, (alangkah baiknya) apabila ia memandikannya, mengikuti (jenazah)nya, dan memintakan ampun baginya ketika masih hidup… kemudian Ibnu Abbas membaca ayat (yg artinya): “Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, ia pun berlepas diri darinya”, maksudnya: “ketika ia mati dalam keadaan kafir”. (Mushonnaf Abdurrozzaq 6/39).
Dan kesimpulan bolehnya memintakan ampun bagi orang-orang kafir selama masih hidup ini, juga banyak dinyatakan oleh para ulama, diantaranya:
Imam At-Thobari –rohimahulloh-, beliau mengatakan dalam tafsirnya:
وقد تأول قوم قول الله: {ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولى قربى}… الآية، أن النهي من الله عن الاستغفار للمشركين بعد مماتهم، لقوله: {من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم} وقالوا: ذلك لا يتبينه أحد إلا بأن يموت على كفره، وأما هو حي فلا سبيل إلى علم ذلك، فللمؤمنين أن يستغفروا لهم
Sekelompok ulama’ telah menafsiri firman Allah (yg artinya): Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman, memintakan ampun (kepada Allah) untuk orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya)… -hingga akhir ayat-; bahwa larangan dari Allah untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin adalah setelah matinya mereka (dalam keadaan kafir), karena firman-Nya (yg artinya): “sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni (neraka) jahim”. Mereka mengatakan: “alasannya, karena tidak ada yg bisa memastikan (bahwa dia ahli neraka), kecuali setelah ia mati dalam kekafirannya, adapun saat ia masih hidup, maka tidak ada yg bisa mengetahui hal itu, sehingga dibolehkan bagi Kaum Mukminin untuk memintakan ampun bagi mereka. (Tafsir Thobari 12/26)
Dan inilah pendapat yg dipilih oleh beliau dalam tafsirnya. (lihat Tafsir Thobari 12/28)
Imam Al-Qurtubi juga mengatakan dalam tafsirnya:
وَقَدْ قَالَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ: لَا بَأْسَ أَنْ يَدْعُوَ الرَّجُلُ لِأَبَوَيْهِ الْكَافِرَيْنِ وَيَسْتَغْفِرَ لَهُمَا مَا دَامَا حَيَّيْنِ. فَأَمَّا مَنْ مَاتَ فَقَدِ انْقَطَعَ عَنْهُ الرَّجَاءُ فَلَا يُدْعَى لَهُ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: كَانُوا يَسْتَغْفِرُونَ لِمَوْتَاهُمْ فَنَزَلَتْ فَأَمْسَكُوا عَنِ الِاسْتِغْفَارِ وَلَمْ يَنْهَهُمْ أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْأَحْيَاءِ حَتَّى يَمُوتُوا
Banyak ulama mengatakan: Tidak mengapa bagi seorang (muslim) mendoakan kedua orang tuanya yg kafir, dan memintakan ampun bagi keduanya selama mereka masih hidup. Adapun orang yg sudah meninggal, maka telah terputus harapan (untuk diampuni dosanya). Ibnu Abbas mengatakan: “Dahulu orang-orang memintakan ampun untuk orang-orang mati mereka, lalu turunlah ayat, maka mereka berhenti dari memintakan ampun. Namun mereka tidak dilarang untuk memintakan ampun bagi orang-orang yg masih hidup hingga mereka meninggal”. (Tafsir Qurtubi 10/400)
Inilah pendapat paling kuat dalam masalah ini, karena bersandarkan dalil dari Alqur’an, Hadits, dan Perkataan Shahabat… Karenanya banyak dari kalangan ulama, memilih pendapat ini… Namun ada dua hal yg perlu digaris bawahi di sini:
– Bahwa yg lebih afdhol adalah mendoakan orang yg kafir agar diberikan hidayah masuk Islam… Karena inilah yg sering dilakukan oleh Nabi –shollallohu alaihi wasallam-, dan inilah yg telah disepakati bolehnya oleh para ulama.
– Ampunan yg sempurna tidak akan diberikan kepada orang kafir, selama dia masih kafir… Sehingga arti dari doa meminta ampunan untuk mereka adalah: ampunan dari sebagian dosa selain kesyirikan dan kekafirannya, atau ampunan untuk semua dosanya dengan jalan diberi hidayah dahulu untuk masuk Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar