Husein bin Ali bin Abi Thalib Tiba di Tanah Karbala
Mengetahui Husein bin Ali radhiallahu ‘anhuberangkat menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad berencana mencegatnya agar tidak memasuki Kufah dengan mengirim 1000 pasukan yang dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan dibawah kepemimpinan Umar bin Sa’ad.
Saat tiba di Karbala, Husein bertanya tentang nama daerah tersebut, “Daerah apa ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Husein pun langsung mengatakan, “Karbun (bencana) dan bala’ (musibah).”
Dibayang-bayangi 5000 pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa janji-janji penduduk Kufah itu hanyalah bualan semata. Apalagi pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk Kufah yang telah mengiriminya surat. Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada pasukan Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah mengawalnya pulang ke Mekah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang kedua, pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan agar ia bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad atau alternatif ketiga, mereka mengizinkannya menuju Yazid agar ia membaiatnya secara langsung.
Umar bin Sa’ad pun menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia mengusulkan agar Husein mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan ia sendiri mengirimkan utusan ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini sekaligus alternatif yang diajukan Husein.
Setibanya utusan Umar bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan apa yang dikehendaki Husein, Ubaidullah pun bergembira dan memberi kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri yang memilih sesuai dengan yang ia kehendaki; kembali ke Mekah atau Madinah, menuju daerah perbatasan, atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan Husein. Namun seseorang yang dekat dengan Ubaidullah yang bernama Syamr bin Dzi al-Jasyan angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah, urusannya tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.” Maksud Syamr engkau (Ubaidullah) adalah pemimpin bukan dia (Husein), jadi dia yang harus tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata Ubaidullah yang tadinya memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari sahabat dekatnya, Syamr bin Dzi al-Jausyan. Ubaidullah memutuskan menawan Husein dan dibawa ke hadapannya di Kufah sebagai tawanan kemudia ia yang menentukan kemana Husein seharusnya diasingkan.
Setelah sampai perintah Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak kalau dirinya dijadikan tawanan, ia seorang muslim terlebih ia adalah keluarga Rasulullah. Karena Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan Ubaidullah itu berusaha menangkap paksa dirinya, Husein mengatakan, “Kalian renungi dulu apa yang hendak kalian lakukan. Apakah dibenarkan (secara syariat), kalian memerangi orang sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘Dua orang ini adalah pemimpin para pemuda penghuni surga.’ Akhirnya Husein pun terbunuh bersama keluarga Rasulullah yang lain. Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan memenggal kepalanya bernama Sinan bin Anas.
Demikianlah mereka yang mengaku Syiah (pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan darah ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peristiwa ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi yang mulia ini tewas. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzi al-Jauzyan, dan Sinan bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah (pendukung) Ali di Perang Shiffin, mereka termasuk dalam barisan pasukan Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi mereka yang meratapi kematian Husein di hari Asyura, menganiaya diri mereka, berandai-andai bersama Husein, dan merasakan penderitaannya, seandainya mereka berada di hari tersebut. Mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah dan membelot dari Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.
Sumber: Huqbah min at-Tarikh oleh Syaikh Utsman al-Khomis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar