Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
Tanya :
Bagaimana pendapatmu mengenai penghasilan seseorang dari amal ribawi baik melalui bank ribawi atau dari beberapa serikat? Lalu bagaimana cara membebaskan diri dari riba semacam ini? Apakah boleh hasil riba tersebut diberikan pada berbagai amalan kebaikan seperti pembangunan masjid dan semacamnya atau untuk melunasi utang pada sebagian kaum muslimin, memberikan pada kerabat yang membutuhkan atau mungkin harta riba semacam ini dibiarkan begitu saja, tidak diambil sedikit pun? Jazakumullah khoiron.
Beliau rahimahullah menjawab :
Adapun jika harta riba tersebut belum diambil, maka harta tersebut tidak halal untuk diambil dan harta riba tadi harus dibiarkan begitu saja. Karena Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (QS. Al Baqarah: 278). Maksudnya adalah tinggalkan sisa riba tersebut.
Siapa saja yang telah melakukan amalan ribawi, lalu dia tidak mengambil riba tersebut, maka dia wajib meninggalkan riba tersebut kemudian bertaubat pada Allah ‘azza wa jalla.
Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut karena tidak tahu bahwa itu riba dan tidak tahu bahwa riba itu haram, maka taubat akan menutupi kesalahan sebelumnya dan riba tersebut (sebelum datang larangan) telah menjadi miliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah :
فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ
“Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan).”(QS. Al Baqarah: 275)
Adapun jika seseorang telah mengambil riba tersebut dan dia mengetahui bahwa riba tersebut haram, namun dia adalah orang yang lemah dalam hutang, sedikit ilmu, maka dia boleh bersedekah dengan riba tersebut. Bisa saja dia manfaatkan untuk membangun masjid, juga jika dia orang yang tidak mampu lunasi hutangnya, boleh untuk melunasi hutangnya, jika mau, boleh juga diserahkan pada kerabatnya yang membutuhkan. Ini semua adalah baik.
[Liqo’ Al Bab Al Maftuh, 109/9]
Jadi tidak harus untuk yg kotor-kotor seperti membangun wc umum,dsb.boleh saja untuk membeli mushaf atau membangun masjid.
Karena yg haram adalah transaksinya saja.
Sesungguhnya orang-orang Yahudi suka makan riba. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya,
“Disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan … (*) dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. An Nisa': 161).
Meskipun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari mereka. Beliau menerima hadiah dari seorang wanita Yahudi berupa hidangan kambing di daerah Khaibar. Beliau juga ber-muamalah dengan mereka. Bahkan beliau meninggal dunia, sementara baju beliau masih digadaikan kepada orang Yahudi.
Karena itu, kita memiliki satu kaidah: Benda yang haram karena cara mendapatkannya maka status haramnya hanya untuk pelakunya saja, dan bukan untuk orang lain yang mendapatkan benda tersebut dari pelakunya dengan cara yangmubah. Berdasarkan hal ini, boleh menerima hadiah dari orang yang bekerja di tempat riba. Demikian pula, boleh melakukan jual beli dengan orang ini. Kecuali jika orang ini sedang dikucilkan, dan ada pengaruh positif katika mengucilkan orang tersebut.
Sumber: Liqa’at Bab Al Maftuh, volume: 2, no. 59
Namun tetap itu bukan terhitung pahala sedekah karena bukan milik pribadi tapi itu uang umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar