Shahih : Hadits Meletakkan Kedua Tangan di Dada Ketika Shalat
Dari Wa’il bin Hujr radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره
“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya, di dadanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479].
Keterangan :
Sanad hadits ini adalah dla’if karena adanya perawi yang bernama Muammal bin Isma’il. Ibnu Ma’in berkata : “Tsiqah”. Abu Haatim berkata : “Shaduuq(jujur), kuat berpegang pada sunnah, namun banyak salahnya”. Al-Bukhariy berkata : “Munkarul-hadiits”. Abu Dawud mengagungkan dan meninggikannya, namun ia (Mu’ammal) telah keliru pada suatu hal. Ibnu Hibban menyebutkanya dalam Ats-Tsiqaat, namun kemudian memberikan komentar : “Terkadang salah”. Abu Zur’ah berkata : “Dalam haditsnya banyak kesalahan”. Muhammad bin Nashr Al-Marwaziy berkata : “Muammal itu, apabila bersendiri (dalam meriwayatkan) satu hadits, maka wajib untuk dihentikan dan tetap di situ, karena ia seorang yang lemah hafalannya dan banyak keliru” [lihat selengkapnya dalam Tahdziibut-Tahdziib 10/380-381 no. 682 dan Miizaanul-I’tidaal 4/228-229 no. 8949].
Dan akhirnya Al-Haafidh memberikan kesimpulan yang ‘adil tentang dirinya : “Shaduuq sayyiul-hifdhiy(jujur, namun mempunyai hapalan jelek)” [lihat At-Taqriib hal. 987 no. 7078].
Akan tetapi ia mempunyai beberapa penguat di antaranya :
a.Hadits Hulb radliyallaahu ‘anhu :
عن قبيصة بن هلب عن أبيه قال : رأيت النبي صلى الله عليه وسلم ينصرف عن يمينه وعن يساره ورأيته قال يضع هذه على صدره
Dari Qabiishah bin Hulb, dari ayahnya, ia berkata : “Aku pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berpaling ke arah kanan dan kirinya, dan sungguh aku telah melihat beliau berbuat seperti itu. Ia (Al-Hulb) berkata : Beliau meletakkan ini (tangan) di dadanya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/226].
Semua perawi hadits ini adalah perawi yang digunakan Muslim dalam Shahih-nya, kecuali Qabiishah bin Hulb.Ibnul-Madiiniy berkata :“Majhuul, tidak ada seorang pun yang meriwayatkan darinya kecuali Simaak”. An-Nasa’iy berkata : “Majhuul”. Al-‘Ijilliy berkata : “Seorang tabi’iy tsiqah”. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat. [Selengkapnya lihat Tahdziibut-Tahdziib, 8/350 no. 635].
b.Hadits Thaawus rahimahullah :
عن طاوس قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يضع يده اليمنى على يده اليسرى ثم يشد بينهما على صدره وهو في الصلاة
Dari Thaawus, ia berkata : “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallammeletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan erat di dadanya dalam shalat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 759].
Hadits ini adalah mursal shahih, dan dapat digunakan sebagai penguat.
c.Atsar ‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
عن عقبة بن صهبان كذا قال أن عليا رضى الله تعالى عنه قال في هذه الآية فصل لربك وإنحر قال وضع يده اليمنى على وسط يده اليسرى ثم وضعها على صدره
Dari ‘Uqbah bin Shuhbaan, ia berkata : “Bahwasannya Ali radliyallaahu ta’ala ‘anhumenafsirkan ayat : ‘Maka shalatlah kepada Rabb-mu dan menyembelihlah” (QS. Al-Kautsar : 2), yaitu dengan meletakkan tangan kanannya di tengah-tengah tangan kirinya, kemudian meletakkannya di dada” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 2/30].
Semua perawinya adalah tsiqah, kecuali ayah ‘Aashim Al-Jahdariy. Namanya adalah Al-‘Ajjaaj Al-Bashriy. Tidak diketemukan biografinya.
عن بن جرير الضبي عن أبيه قال : رأيت عليا رضي الله عنه يمسك شماله بيمينه على الرسغ فوق السرة
Dari Ibn Jarir Adl-Dlabby, dari ayahnya, ia berkata : “Aku melihat ‘Ali radliyallaahu ‘anhu memegang tangan kirinya dengan tangankanannya di atas pusar beliau” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 757].
Semua perawi hadits ini adalah tsiqah, kecuali Ibnu Jariir Adl-Dlabbiy. Namanya Ghazwan. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat(lihat At-Tahdziib 8/245 no. 452). Ibnu Hajar dalam At-Taqriib (no. 5388) berkata : “Maqbuul”. Al-Albani mendla’ifkan atsar di atas dalam Dla’iif Sunan Abi Dawud (hal. 62), namun kemudian menyepakati penghasanan Al-Baihaqiy (Al-Kubraa2/30) sebagaimana tercantum dalam Irwaaul-Ghaliil 2/70.
Walhasil, walaupun hadits-hadits yang menjelaskan meletakan tangan kanan di atas tangan kiri di dada masing-masingnya mempunyai kelemahan (yang ringan), namun dengan keseluruhan jalannya tidak bisa dipungkiri bahwa ia menjadi shahih (lighairihi). Adapun pen-dla’if-an tambahan ‘alaa shadrihi (di dadanya) dalam hadits Waail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dikatakan sebagian ahlul-‘ilmi, maka itu tidak benar.
Hadits di atas telah dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah (sebagaimana yang terlihat di atas), Ibnu Hajar dalamFathul-Baariy 2/224, Asy-Syaukani dalam Nailul-Authaar 2/188-189, Al-Albaniy dalam Ahkaamul-Janaaiz hal. 148-151, Ibnu Baaz dalam Nuurun ‘alad-Darb dan yang lainnya.
Syubhat:
a) Pada hadis Wa'il, perawi Muammal bin Ismail dinilai tsiqah oleh Ibnu Mu'in, tapi disebut munkarul-hadis oleh Bukhari. Gimana perbedaan penilaian ini? Mana yg lebih kuat utk diambil?
b) Pada hadis Hulb, juga ada perbedaan penilaian thd Qabishah bin Hulb, antara Majhul menurut Nasai dgn tsiqah menurut Ibnu Hibban. Mana yg lebih diterima penilaiannya?
c) Pada atsar Ali, riwayat ke-2, Ghazwan dinilai tsiqah & maqbul, tapi kenapa [apa alasan] Syekh Albani mendhaifkannya? Albani kemudian setuju menghasankannya. Bisakah mohon dituliskan alasan Albani menghasankan atsar tsb?
b) Pada hadis Hulb, juga ada perbedaan penilaian thd Qabishah bin Hulb, antara Majhul menurut Nasai dgn tsiqah menurut Ibnu Hibban. Mana yg lebih diterima penilaiannya?
c) Pada atsar Ali, riwayat ke-2, Ghazwan dinilai tsiqah & maqbul, tapi kenapa [apa alasan] Syekh Albani mendhaifkannya? Albani kemudian setuju menghasankannya. Bisakah mohon dituliskan alasan Albani menghasankan atsar tsb?
Jawab:
1. Ada kaidah : al-jarhul-mufassar muqaddamun 'alat-ta'dil 'aam (jarh yang dijelaskan itu lebih didahulukan daripada ta'dil yang sifatnya umum). Dalam hal ini, jarh dan ta'dil bukan hanya dilihat melalui perkataan dari satu imam saja. Namun ia harus memperhatikan perkataan seluruh imam yang ada tentang diri perawi tersebut. Nah, jarh yang ada pada diri Mu'ammal (termasuk jarh Al-Bukhari) dijelaskan oleh para imam, yaitu ia lemah dalam hal hapalan. Oleh karena itu, perkara yang diambil dari diri Mu'ammal adalah jarh-nya, yaitu ia lemah dalam hapalan. Riwayatnya ditolak jika tidak ada penguatnya. Secara ringkas seperti itu. Wallaahu a'lam.
2. Di sini, Ibnu Hibban adalah seorang imam yang trekenal men-tsiqah-kan para perawi majhul. Apalagi ia pentsiqahannya tidak diikuti oleh para ulama lain. Maka, yang diterima adalah perkataan An-Nasa'iy.
3. Karena padanya ada kelemahan (yang tidak berat). Oleh karena itu, kedudukannya antara dla'if dan hasan.
2. Di sini, Ibnu Hibban adalah seorang imam yang trekenal men-tsiqah-kan para perawi majhul. Apalagi ia pentsiqahannya tidak diikuti oleh para ulama lain. Maka, yang diterima adalah perkataan An-Nasa'iy.
3. Karena padanya ada kelemahan (yang tidak berat). Oleh karena itu, kedudukannya antara dla'if dan hasan.
Syubhat:Yahya bin Sa’id bersendirian dalam meriwayatkan lafazh “meletakkan ini atas yang ini, di atas dadanya”, dan menyelisihi 6 orang lainnya dari Sufyan Ats-Tsaury, dan menyelisihi Ashab (baca: murid-murid) Simak bin Harb yang lain, seperti Za`idah bin Qudamah, Syu’bah, Abul Ahwash, Asbath bin Nashr, Syarik bin ‘Abdillah, dan Hafsh bin Jami’. Maka jelaslah bahwa terdapat kesalahan pada riwayat tersebut, sehingga dihukumi sebagai riwayat yang syadz ‘ganjil’ atau mudraj, tetapi kami tidak bisa menentukan dari mana asal dan kepada siapa ditumpukan kesalahan ini.
Jawab: Definsi syaadz dalam ilmu hadits adalah penyelisihan perawi maqbul terhadap perawi yang lebih tsiqah darinya. Di sini, termasuk bahasan ziyaadatuts-tsiqaat. Ziyaadatuts-tsiqaat bisa termasuk katagori syaadz jika tambahan tersebut menyelisihi riwayat jama'ah. Di sini Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan tidak menyelisihi. Hanya saja, ia meriwayatkan lafadh yang tidak diriwayatkan oleh jama'ah. Maka ini dilihat, jika perawi tersebut termasuk seorang imam tsiqah yang terjaga hapalannya, maka diterima tambahannya itu. Yahyaa bin Sa'iid Al-Qaththaan adalah yang tsiqah, mutqin, haafidh, imam, lagi qudwah (teladan) (120-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1055-1056 no. 7607].
Syubhat:
penyelisihan lafadz tsb karena ziyadah rawi yang tsiqah tsb bertentangan dengan kemutlakan hadits yang tanpa ziyadah, seperti menambahkan riwayat lain yang tidak diriwayatkan oleh rawi lain.
Mafhum hadits sedekap adalah umum, bisa diletakkan disembarang tempat (dada, perut, atau antara keduanya), sedangkan mafhum hadits dengan ziyadah "di atas dada" tsb bersifat khusus. Karens sifatnya berbeda, maka hukumnya berbeda pula maka telah terjadi perselisihan dalam hal hukumnya.
Mafhum hadits sedekap adalah umum, bisa diletakkan disembarang tempat (dada, perut, atau antara keduanya), sedangkan mafhum hadits dengan ziyadah "di atas dada" tsb bersifat khusus. Karens sifatnya berbeda, maka hukumnya berbeda pula maka telah terjadi perselisihan dalam hal hukumnya.
Jawab:
Apakah bentuk taqyid dari lafadh muthlaq bisa dikatakan sebagai syaadz ?.
Ibnu Shalah telah mencontohkan jenis ziyaadatuts-tsiqaat yang diterima, yaitu apa yang diriwayatkan dari Maalik, dari Naafi', dari Ibnu 'Umar :أن رسول الله صلى اله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل حر أو عبد، ذكر أو أنثى من المسلمين
"Bahwasannya Rasulullah shalallaahu 'alaihi wa salam telah mewajibkan zakat fithr di bulan Ramadlaan kepada setiap orang baik yang merdeka, budak, laki-laki, ataupun perempuan dari kalangan kaum muslimin".
Abu 'Iisaa (At-Tirmidziy) mengatakan bahwa Maalik telah bersendirian di antara pra perawi tsiqaat dengan tambahan : minal-muslimiin. Hadits ini juga diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar, Ayyub (As-Sikhtiyaaniy), dan yang lainya dari Naafi', dari Ibnu 'Umar; tanpa tambahan tersebut. Namun para imam telah berhujjah dengan tambahan tersebut seperti Asy-Syaafi'iy dan Ahmad [selesai].
Nah, bukankah tambahan minal-muslimiin di situ juga merupakan tambahan lafadh yang membatasi kemutlakan hadits tanpa tambahan ? Nakun kenyataannya, para ulama mutaqaddimiin menerimanya - karena tambahan tersebut tidak menyelisihi riwayat jama'ah.
Tambahan minal-muslimin itu merupakan pentaqyid dari kemutlakan lafadh sebelumnya.
Oleh karenanya, taqyid ini merupakan jawaban atas pertanyaan, misalnya : Apakah wajib seseorang mengeluarkan zakat dari budak kafir yang ia miliki (yang masih dalam tanggungan nafkahnya) ?. Dalam hadits disebutkan :
ليس على المسلم في عبده صدقة إلا صفقة الفطر
"Tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim pada budak yang ia milki zakat, kecuali zakat fithri".
Karena itu, kok kurang pas (bagi saya) jika alasan tambahan minal-muslimin itu tidak syaadz karena :
karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.
Justru tambahan itu memberikan keterangan dan kejelasan (baca : taqyid) dari lafadh yang semula mutlak, yang kemudian menjadi pemutus hukum atas pertanyaan yang merupakan konsekuensi dari lafadh mutlak itu :
- apakah wajib membayar zakat fithri budaknya yang kafir ?
- apakah wajib membayar zakat fithri istrinya yang kafir ?
- apakah wajib membayar zakat fithri anak yang kafir yang menjadi tanggungannya ? (misal : anak bawaan dari istri yang kafir).
- apakah wajib membayar zakat fithri atas kerabat-kerabat dekatnya yang kafir yang masuk dalam tanggungan nafkahnya (karena kefaqirannya) ?
Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada. Oleh karenanya, tambahan ini bukan masuk dalam katagori syaadz.
ليس على المسلم في عبده صدقة إلا صفقة الفطر
"Tidak ada kewajiban bagi seorang Muslim pada budak yang ia milki zakat, kecuali zakat fithri".
Karena itu, kok kurang pas (bagi saya) jika alasan tambahan minal-muslimin itu tidak syaadz karena :
karena hukum zakat (secara umum) HANYA dibebankan bagi kaum muslimin dan tidak dibebankan bagi kaum lainnya. Lebih khusus lagi adalah zakat fithrah, dimana dia diwajibkan bagi kaum muslimin setelah menunaikan 'ibadah puasa Romadhon.
Justru tambahan itu memberikan keterangan dan kejelasan (baca : taqyid) dari lafadh yang semula mutlak, yang kemudian menjadi pemutus hukum atas pertanyaan yang merupakan konsekuensi dari lafadh mutlak itu :
- apakah wajib membayar zakat fithri budaknya yang kafir ?
- apakah wajib membayar zakat fithri istrinya yang kafir ?
- apakah wajib membayar zakat fithri anak yang kafir yang menjadi tanggungannya ? (misal : anak bawaan dari istri yang kafir).
- apakah wajib membayar zakat fithri atas kerabat-kerabat dekatnya yang kafir yang masuk dalam tanggungan nafkahnya (karena kefaqirannya) ?
Dalam hal ini sama dengan kasus sedekap. Ia mentaqyid lafadh sedekap yang masih umum, yaitu di dada. Oleh karenanya, tambahan ini bukan masuk dalam katagori syaadz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar