Minggu, 24 April 2016

Kaidah tradisi hanya bab muamalah bukan ibadah

Banyak juga yang menciptakan upacara-upacara atau peringatan-peringatan yang tidak pernah ada pada masa generasi awal umat Islam. Mereka berdalih bahwa hal ini sudah menjadi adat dan tradisi sudah turun temurun, dan Islam menghormati adat bahkan memperhitungkannya dalam menetapkan hukum. Merekapun menyebutkan kaidah fikih (العَادَةُ مُحَكَّمة). Benarkah dalih mereka ini?

Kalau melihat keterangan para Ulama di atas, kita dapatkan bahwa kaidah ini dipakai dalam bab mu'âmalah (yang mengatur hubungan sesama manusia), yaitu pada hal-hal yang ketentuannya tidak diatur syariah. Kalaupun ada memiliki hubungan dengan ibadah seperti bab thaharah (merujuk hari haid yang biasa dialami), maka itu bukan dalam hal memunculkan tata cara ibadah baru atau hari raya yang tidak ada contohnya. Lihatlah pada dalil-dalil pemakaian 'urf di atas! Pemakaiannya tidaklah seperti yang mereka praktekkan. 
Dan sudah diketahui secara umum bahwa hukum asal dalam ibadah adalah semua ibadah tidak boleh dilakukan, kecuali jika ada dalil yang memerintahkannya. Maka adalah sebuah kesalahan jika ada orang yang melakukan ibadah yang tidak ada dalil, kemudian saat diingatkan dia mengatakan "Tidak ada dalil khusus yang melarang hal ini". Dalih seperti ini seharusnya diucapkan dalam bab mu'âmalah, yang hukum asalnya adalah boleh, kecuali kalau ada dalil yang mengharamkannya. Dalam bab ibadah, orang yang memunculkan tata cara ibadah atau hari raya barulah yang harus mendatangkan dalil.[Syarh Manzhûmah Ushulil Fiqh wa Qawa'idih, hlm. 80]

Tidak ada komentar: