Jumat, 22 April 2016

Taqdir diyakini amal dijalankan



Penulis: ustadz Muhammad Yassir, Lc
Pernah ada yang bertanya pada saya, “Rezeki kan sudah ditentukan oleh Allah Ta’ala, bolehkah kita berdoa minta uang yang banyak??
Pernah juga seorang ustad menyempaikan ceramahnya secara live di sebuah stasiun TV, beliau berkata, “Rezeki itu sudah ditentukan jumlahnya oleh Allah, mau kerja keras atau tidak, rezeki yang telah ditentukan itu pasti akan datang. Jadi tidak perlu menghabiskan waktu untuk mencari rezeki. Yang belum pasti adalah kita masuk surga atau neraka, maka inilah yang penting untuk diusahakan, agar kita bisa meraih sorga.” Kira-kira seperti inilah pernyataan ustadz tersebut. Walaupun tidak sama persis dengan redaksinya, tapi poin penting dari ucapan ustadz itu adalah:
Rezki sudah ditentukan………………jadi……………tidak perlu terforsir usaha dan waktu untuk mengejarnya
surga dan neraka belum ditentukan…………..jadi………….kita harus bersungguh-sungguh mencari dan mendapatkan surga Allah.
Sekilas, pertanyaan dan pernyataaan di atas seakan ada benarnya.
Tapi, kalau kita koreksi lebih dalam, maka ada kesalahan fatal dalam pernyataan tersebut.
Yaitu berhubungan dengan Iman pada Taqdir.
Sebagian orang menganggap, yang tidak bisa diutak-atik lagi atau diistilahkan dengan taqdir hanyalah perkara: Rezeki, Jodoh dan Ajal.
Anggapan ini jelas sekali salah. Taqdir Allah atas manusia dan segala makhluknya meliputi seluruh aspek dengan sedetilnya. Bahkan seseorang menjadi orang bahagia atau sengsara sudah ditentukan oleh Allah sebelum kita lahir; akan jadi penduduk surga atau penghuni neraka sudah ditentukan oleh Allah sebelum kita lahir.
Jadi, pertanyaan di atas pun saya jawab, “Bukankah ilmu juga sudah ditentukan oleh Allah? Bukankah kita rajin atau malas juga sudah ditaqdirkan Allah? Apakah masih boleh kita meminta ilmu yang banyak pada Allah? Apakah boleh kita memohon agar menjadi anak rajin??”
Yang bertanya pun jadi bingung. Karena ia akan berfikir, kalau rezeki dan ilmu sama-sama sudah ditentukan oleh Allah, kenapa harus dibedakan dalam berdoa? Kenapa harus mengkambinghitamkan rezeki dibandingkan taqdir Allah yang lain? Kenapa hanya rezeki yang harus dipertanyakan boleh tidaknya berdoa meminta tambahan lebih banyak??
Sebenarnya, antara iman kepada Taqdir dan amal usaha tidak perlu dipertentangkan.
Iman adalah keyakinan yang terpatri dalam hati bahwa segala yang sudah terjadi; yang sedang terjadi dan yang akan terjadi sudah diketahui dan ditaqdirkan oleh Allah jauh kurun sebelum diciptakan alam semesta ini, semua taqdir ini telah ditulis di lauhul mahfuz.
Sedangkan dalam amalan, kita dituntut oleh syariat beramal, baik untuk kebaikan dunia maupun akhirat. Adapun hasil amalan kita, itu masih rahasia Allah, kita baru mengetahuinya setelah kita mengalami kejadiannya. Jangan memutuskan keputusan terhadap kejadian masa depan yang belum terjadi.
Maka, jangan ada tersirat ucapan,
“Untuk apa saya bekerja, toh saya ditaqdirkan miskin juga”.
“Untuk apa saya belajar, kalau saya ditaqdirkan tidak lulus, kan percuma”

“Untuk apa saya berobat, kalau tidak ditaqdirkan sembuh, kan mati juga”
“Untuk apa saya ibadah, jangan-jangan saya termasuk penghuni neraka”
dan ucapan lain yang senada dengan itu.
Ucapan di atas ini jelas sangat salah, karena:
Pertama: karena ucapan itu mengandung rasa buruk sangka (su’uzzon) pada Allah. Kepada yang dituduhkan bahwa taqdir dia buruk semua??
Mengapa tidak berbaik sangka? Dengan optimistis bahwa usaha dan amalannya akan berhasil??
Kedua: Dalam ucapan itu, seakan mengaku dirinya tahu ghaib. Karena ia sudah memutuskan taqdir masa depan yang hanya diketahui oleh Allah. Dari mana ia tahu bahwa ia ditaqdirkan miskin? Ditaqdirkan gagal? Ditaqdirkan masuk neraka?? semua dugaan itu hanyanya pengakuan tanpa bukti.
Jadi, bolehkah berdoa minta tambahan rezeki??
Pertanyaan ini yang perlu kita jawab, karena pertanyaan ini yang banyak diperbincangkan. Sedangkan doa minta jadi sholeh; minta khusyu’ ibadah; dan minta surga tidak perlu dijawab, karena pasti tidak ada yang ragu akan kebolehannya.
Mari kita simak contoh dari Rasulullah:
Rasulullah bersabda:
من أطعمه الله طعاما فليقل : اللهم بارك لنا فيه ، وأطعمنا خيرا منه ، ومن سقاه الله لبنا فليقل : اللهم بارك لنا فيه وزدنا منه
“Barang siapa mendapatkan rezeki berupa makanan hendaknya ia berdoa: “Ya Allah berkahilah kami dalam makanan ini dan limpahkanlah pada kami makanan yang lebih baik dari pada ini”
dan barang siapa yang mendapatkan rezeki berupa susu, maka hendaknya ia berdoa: “Ya Allah, berkahilah kami dalam makanan ini, dan tambahkan rezeki susu ini”(HR. Tirmizi)
Rasulullah mendoakan Anas bin Malik dengan Ucapannya:
اللهم أكثر ماله وولده وبارك له فيما أعطيته
“Ya Allah, banyakkan harta dan anaknya, dan berkahilah ia dalam pemberianMu” (HR. Muslim)
Nah, silahkan anda menilai sendiri. Dari doa Rasul di atas, ternyata tidak perlu dipertentangkan antara taqdir rezeki dengan usaha mencari rezeki, dan di antaranya adalah doa meminta tambahan/banyak rezeki.
Silahkan berusaha semaksimal mungkin, untuk mengejar cita-cita dan harapan. Selama amal usaha itu tidak berseberangan dengan syariat Islam. Adapun soal hasilnya, maka serahkan pada Allah Ta’ala. Inilah hakikat orang Tawakkal yang sejati.

Tidak ada komentar: