Kamis, 21 April 2016

Kaum muslimin mayoritas beraqidah asy'ariyyah ?


BENARKAH MAYORITAS KAUM MUSLIMIN PADA MASA SEKARANG BERAQIDAH ASY’ARIYAH?

Kaum Asya’irah (yang beraqidah Asy’ariyah) adalah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) kepada Abul-Hasan al-Asy’ari, yaitu ‘Ali bin Ismâ’îl yang wafat pada tahun 330H. Sebenarnya, melalui aspek historis, dapat diketahui bahwa sosok yang terkenal ini mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab Mu’tazilah, kemudian berada dalam fase antara pengaruh aqidah Mu’tazilah dan mengikuti Sunnah dengan menetapkan sebagian sifat Allâh, namun masih menakwilkan sebagian besarnya. Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah. Lalu keyakinannya yang terakhir, meyakini aqidah yang dipegangi dan diyakini oleh generasi Salaf umat Islam. Sebab, ia telah menegaskan dan memaparkannya dalam kitabnya al-Ibânah yang termasuk karya terakhir beliau. Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa dirinya mengikuti aqidah yang dipegangi oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dan Ulama Ahli Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan semua nama dan sifat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla bagi Dzat-Nya dan ditetapkan oleh Rasûlullâh bagi-Nya, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza wa Jalla , tanpa takyîf, tamtsîl, tahrîf dan takwîl. Berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].

Dikala panutan dan tokoh utama Asy’ariyah, Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah telah meninggalkan aqidah 20 sifatnya, para penganut aqidah Asy’ariyah masih bertahan dengan pemikiran Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah sebelum meninggalkan aqidah yang digagasnya menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Belakangan, ada ungkapan populer di tengah sebagian masyarakat bahwa golongan Asy’ariyah di masa ini merepresentasikan 95% dari jumlah kaum muslimin. Artinya, yang memegangi aqidah Asy’ariyah di dunia Islam merupakan kaum mayoritas. 

Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad dalam kitab Qathfu Jana ad-Dânî, Darul-Fadhîlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36 menyanggah pendapat tersebut, melalui, dengan beberapa tinjauan, sebagai berikut:

1. Bahwa penetapan prosentase di atas haruslah berdasarkan penghitungan detail yang menghasilkan data empiris yang valid. Dan ternyata tidak ada sensus untuk menghitung jumlah penganutnya, hanya sekedar klaim kosong belaka. 

2. Anggap saja prosentasi itu benar, namun tidak otomatis jumlah yang banyak mengindikasikan lurus dan benarnya aqidah tersebut. Sebab, aqidah yang benar dan lurus hanya dapat digapai dengan mengikuti aqidah yang diyakini oleh generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi dan insan-insan yang berjalan di atas manhaj mereka dengan baik. Bukan dengan mengikuti aqidah yang penggagasnya baru wafat pada abad empat hijriyah, apalagi yang bersangkutan telah meninggalkan aqidah (yang salah) itu. Selain itu, secara logika, tidak mungkin ada kebenaran yang tertutup dan tersembunyi bagi para Sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik, dan kemudian kebenaran itu baru diketahui oleh orang yang kelahirannya setelah masa generasi terbaik umat Islam. 

3. Selain itu, aqidah Asy’ariyah hanyalah diyakini oleh orang-orang yang mendalaminya di lembaga pendidikan Asy’ariyah atau mereka mempelajarinya dari tangan guru-guru berkeyakinan Asy’ariyah. Sedangkan orang-orang awam yang jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal Asy’ariyah. Aqidah mereka masih di atas fitrah. 

4. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam kitab At-Ta’âlum, hlm. 121-122 menambahkan bahwa aqidah orang-orang dari tiga generasi terbaik; dari generasi Sahabat dan dua generasi selanjutnya sejalan dengan Kitâbullâh dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal dengan Aqidah Salaf. 

Tidak ada komentar: