Sebelum kita jauh berbicara tentang hukumnya, maka ada baiknya kita jelaskan dulu arti kata “langgam”.
Jika kita kembali kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, maka kita akan dapati makna dari kata “langgam” ini, sebagai berikut:
“lang·gam n 1 gaya; model; cara: –permainannya khas, sukar ditiru orang lain; 2adat atau kebiasaan: – orang di daerah itu kalau berkata dng suara keras, tetapi hatinya baik dan suka berterus terang; 3 bentuk irama lagu (nyanyian): penyanyi lagu pop belum tentu dapat menyanyikan lagu –
Ini makna “langgam” dalam bahasa. Jika kita kembali kepada waqi’ (realita), maka langgam identiknya kembali kepada makna ketiga, yaitu langgam adalah bentuk irama lagu (nyanyian).
Dalam kasus qiro’ah dengan langgam Jawa, makna ketiga ini sangat tampak pada praktek dari Saudara Muhammad Yaser Arafat saat membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa. Irama lagu amat jelas dan terang dalam bacaannya.
Irama Muhammad Yaser Arafat tersebut dikenal oleh orang Jawa dengan irama dandangguloyang merupakan irama tembang dan lagu Jawa atau Sunda. (http://id.wiktionary.org/wiki/dandanggula)
Al-Imam Ibnul Kayyal Ad-Dimasyqiy (wafat 929) H) -rahimahullah-, seorang ulama Syafi’iyyahdari negeri Syam menulis kitab khusus dalam mengingkari bid’ahnya para qurro’ (para qori’) dalam membaca Al-Qur’an melalui kitabnya “Al-Anjum Az-Zawahir fi Tahrim Al-Qiro’ah bi Luhun Ahlil Fisq wal Kaba’ir” (Bintang-bintang Berbunga dalam Mengharamkan Qiro’ah dengan Alunan Orang-orang Fasiq dan Pelaku Dosa Besar).
Alunan orang-orang fasiq, dijelaskan oleh Ibnul Kayyal -rahimahullah- dengan ucapannya,
الأنغام المستعارة من الموسيقا
“(Ia) adalah irama-irama yang teradopsi dari musik. [Lihat Al-Anjum Az-Zawahir (hal. 23)]
Ulama masa kini dari Timur Tengah, Al-Allamah Bakr Abu Zaid -rahimahullah- menggolongkan qiro’ah (bacaan Al-Qur’an) dengan mengikuti irama dan nyanyian orang fasiq sebagian bid’ah tercela yang diada-adakan para qori’ di dalam sebuah kitab beliau yang berharga dengan judul“Bida’ Al-Qurro’ Al-Qodimah wa Al-Mu’ashiroh”, pada hal. 11, cet. Darul Faruq, 1410 H.
Sekarang kita perhatikan qiro’ah Saudara Muhammad Yaser Arafat yang membacakan ayat-ayat suci ala langgam Jawa yang merupakan alunan-alunan yang biasa dilantunkan oleh para dalang yang memainkan wayang, atau para pesinden dan pemain musik gamelan.
Para ulama menjelaskan bahwa maknanya adalah memperindah suara dalam membaca Al-Qur’an dengan memperhatikan tajwid dan tartil-nya. (Lihat Al-Anjum Az-Zawahir (hal. 55-56) karya Ibnul Kayyal Asy-Syafi’iy)
Dari sini anda tahu bahwa memperindah suara bacaan Al-Qur’an, bukan dengan mengikuti suara para pemain musik dan biduan. Tapi seseorang membacanya dengan suara indah sesuai dengan kemampuan alami dan tabiat aslinya.
Dari Buraidah -radhiyallahu anhu- berkata,
مر النبي صلى الله عليه و سلم على أبي موسى ذات ليلة، وهو يقرأ، فقال : ((لقد أعطي من مزامير آل داود))، فلما أصبح ذكروا ذلك له، فقال : لو كنت أعلمتني لحبرت ذلك تحبيرا
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah melewati Abu Musa pada suatu malam, sedang ia membaca (Al-Qur’an). Lalu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Sungguh ia (Abu Musa) telah diberi suara indah keluarga Nabi Dawud”.
Tatkala di pagi hari, mereka (yakni, para sahabat) menyebutkan hal itu kepada Abu Musa. Ia (Abu Musa) pun berkata,
“Andaikan kamu beritahu aku, maka sungguh aku akan memperindah bacaanku itu”. [HR. An-Nasa’iy dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 8058). Sanad hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- dalam Ash-Shohihah, di bawah nomor hadits (3532)]
Memperindah bacaan Al-Qur’an adalah dengan memperdengarkan suara, melembutkannya dan membacanya dengan suara sedih.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- berkata, “Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ وَزَادَ غَيْرُهُ يَجْهَرُ بِهِ
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak melagukan Al-Qur’an”. (Rawi) yang lainnya menambahkan, “…mengeraskannya”.
[HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 7527), dan Muslim dalam Shohih-nya (no. 792)]
Al-Imam Abus Sa’adat Ibnul Atsir Al-Jazariy -rahimahullah- berkata,
((والتغني : تحزين القراءة ، وترقيقها ، ومنه قوله: «زينوا القرآن بأصواتكم»، وقيل : المراد به : رفع الصوت بها ، وقد جاء في بعض الروايات كذلك ، أي يجهر بها)) جامع الأصول – (2 / 458)
“Melagukannya: membacanya dengan sedih dan melembutkannya. Termasuk darinya, sabda beliau, “Hiasilah Al-Qur’an dengan suara kalian”.
Ada yang bilang, “Maksudnya adalah meninggikan suara bacaan. Sungguh telah datang dalam sebagian riwayat demikian: yaitu, “mengeraskannya”. [Lihat Jami’ Al-Ushul(2/458), dengan tahqiq Abdul Qodir Al-Arna’uth]
Sebagian ulama, ada yang memaknai kata “at-taghonni bil qur’an” dengan makna “mencukupkan diri” dengan Al-Qur’an. Namun makna-makna yang kami sebutkan tidaklah bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Karena itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- dari kalangan Syafi’iyyah berkata dalam menyimpulkannya,
((والحاصل : أنه يمكن الجمع بين أكثر التأويلات المذكورة، وهو أنه يحسن به صوته جاهرا به مترنما على طريق التحزن، مستغنيا به عن غيره من الأخبار، طالبا به غنى النفس راجيا به غنى اليد)) فتح الباري- تعليق ابن باز – (9 / 72)
“Walhasil, mungkin saja untuk dipadukan antara tafsiran-tafsiran tersebut, yaitu bahwa“melagukannya” adalah memperindah suara dengannya sambil mengeraskannya, melantunkannya dengan cara bersedih, mencukupkan diri dengan Al-Qur’an dari selainnya berupa berita-berita, dalam rangka mencari dengannya kekayaan hati lagi mengharap dengannya kecukupan diri”
Agar perkara ini semakin jelas, maka ada baiknya kita nukilkan penjelasan Ibnul Qoyyim -rahimahullah- dalam menjelaskan bentuk-bentuk memperindah bacaan Al-Qur’an.
Al-Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah- menjelaskan bahwa memperindah bacaan (qiro’ah) memiliki dua bentuk :
Pertama : Melagukan dan memperindah bacaan Al-Qur’an sesuai tabiat asli dan alami manusia, tanpa ada takalluf (memaksakan diri), latihan dan belajar. Bahkan bila ia dibiarkan bersama tabiatnya, maka tabiat alaminya akan melahirkan keindahan tersendiri. Jenis ini boleh.
Jika seseorang membaca Al-Qur’an dengan bentuk alami ini, lalu ia menangis karena dikuasai oleh bacaannya, ataukah ia bahagia karena meresapi apa yang ia baca, maka golongan orang yang seperti ini adalah golongan terpuji.
Kedua: Qiro’ah (Bacaan) yang dibuat-buat dan tidak ada dalam tabiat asli seseorang. Bacaan ini tidaklah lahir, kecuali dengan takalluf (memaksakan diri), dibuat-buat dan melalui latihan, seperti orang mempelajari suara-suara nyanyian dengan berbagai ritme dan irama serta nada yang diciptakan. Jenis dan bentuk bacaan (qiro’ah) seperti inilah –kata Ibnul Qoyyim- yang dibenci oleh para salaf. Jenis inilah yang dilakukan oleh Qori’ Muhammad Yaser Arafat –hadahullah- dan orang-orang yang semisalnya.[Lihat Zadul Ma’ad (1/436)]
Renungan:
Jika saja kita membolehkan dan membebaskan manusia membaca Al-Qur’an sesuai dengan cara apa saja –walaupun itu bukan tabiat aslinya-, maka hal ini akan membuka banyak pintu kerusakan dan setiap orang akan berkreasi tanpa henti dan tanpa memperhatikan kaedah-kaedah ilmiah dalam agama. Setiap orang akan membaca Al-Qur’an sesuai irama (langgam) dan nyanyian daerahnya, sehingga muncullah nanti orang-orang membaca Al-Qur’an dengan langgam seriosa, langgam dangdut, langgam rock, langgam hip hop, langgam metal, dan lainnya.
Akhirnya, jadilah Al-Qur’an sebagai bahan dan kreasi permainan yang tidak lagi memiliki arti dan kedudukan yang tinggi.
Inilah yang ditakutkan dan dikhawatirkan oleh seorang Qori’ Indonesia yang ternama, KH. Muammar ZA dalam sebuah tanggapannya terhadap langgam Jawa yang dilantunkan oleh Muhammad Yaser Arafat. (Simak:https://www.youtube.com/watch?v=uxdjOkiT1UM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar