Sabtu, 30 April 2016

Menutup dinding dg kain bukan ajaran islam tapi ajaran hindu



Soal:
Ana mau nanya tentang hukum menutupi dinding (rumah) dengan kain yang bergambar ka’bah atau sejenisnya tapi tidak ada makhluk bernyawanya?
Jawab:
Disebutkan dalam hadits yang riwayatkan oleh Muslim bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallambersabda:
إنَّ اللهَ لم يأمرْنا أن نكسوَ الحجارةَ والطينَ
“Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita untuk memberi pakaian kepada batu dan tanah” (HR. Muslim no. 2107).
Imam An Nawawi rahimahullah berkata dalamSyarah Shahih Muslim 14/86:
فاستدلوا به على أنه يمنع من ستر الحيطان وتنجيد البيوت بالثياب وهومنع كراهة تنزيه لاتحريم هذا هو الصحيح وقال الشيخ أبو الفتح نصر المقدسى من أصحابنا هو حرام وليس في هذا الحديث ما يقتضي تحريمه لأن حقيقة اللفظ أن الله تعالى لم يأمرنا بذلك وهذا يقتضي أنه ليس بواجب ولا مندوب، ولا يقتضي التحريم.
“Para ulama berdalil dengannya larangan menutupi dinding rumah dengan kain. Namun larangan ini adalah makruh bukan haram dan itulah yang shahih. Sementara Syaikh Abul Fath Nashr Al Maqdisi dari ash-hab kami berkata: Hukumnya haram. Padahal lafadz hadits tersebut tidak menunjukkan haram, ia hanya mnunjukkan bahwa Allah tidak memerintahkan kita demikian, artinya bukan wajib dan bukan sunnah dan bukan haram”.
Dari perkataan beliau tersebut terlihat bahwa para ulama ada dua pendapat dalam masalah, sebagian mengharamkannya yaitu Abul Fath Nashr Al Maqdisi. Dan sebagian memakruhkannya yaitu Imam An Nawawi. Maka selayaknya untuk kita tinggalkan.

Poleng (kain bermotif kotak dengan warna hitam-putih) sudah menjadi bagian dari masyarakat Hindu di Bali,bahkan tidak berlebihan kalau diidentikan sebagai “warna khas Bali”. 

Dengan mudah kain bermotif ini ditemui hampir disetiap per-empatan, pohon besar, gerbang pura bahkan dipakai pula sebagai kain (jarig) penari kecak dan para pengawal/petugas keamanan tradisional (pecalang).

Kain poleng sudah menjadi bagian  kehidupan religius umat Hindu di Bali, baik sakral maupun profan. Di pura, kain poleng digunakan untuk tedung (payung), umbul-umbul, untuk menghias palinggih, patung, dan kul-kul.Tidak hanya benda sakral, pohon di pura pun banyak dililit kain poleng.
Makna filosofis saput poleng rwabhineda adalah rwabhineda itu sendiri. Menurut faham Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.

Kain Poleng Sudhamala dan Tridatu
Saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda. Sedangkan saput poleng sudhamala merupakan cerminan rwabhineda yang diketengahi oleh perantara sebagai penyelaras perbedaan dalam rwabhineda.

Kain Poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna yakni satwam, rajah, tamah. Warna putih identik dengan kesadaran atau kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah) dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).

Jika dikaitkan dengan kepercayaan Hindu.Dewa Tri Murti,warna merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta, warna hitam lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan warna putih melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur. Dewa Tri Murti ini terkait dengan kehidupan lahir, hidup dan mati. 
kain Poleng yang diikatan pada pohon-pohon besar atau juga tempat yang dianggap tenget (angker) dimaksudkan untuk memberikan tanda bahwa pada lokasi tersebut tinggal ditempatkan/stana energi “roh”para bhuta/penunggu karang. Kesakralan lokasi ini akan dijaga oleh warga setempat dengan memberikan “sesaji” secara rutin setelah mereka menghaturkan puja di pura.

Tidak ada komentar: