إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي قَدْ أُمِيتَتْ بَعْدِي فَإِنَّ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلَالَةٍ لاَ تُرْضِي اللَّهَ وَرَسُولَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ)
“Ketahuilah, barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah mati sepeninggalku, maka baginya pahala seperti pahala orang yang ikut mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa melakukanbid’ah dholalah yang tidak mendapatkan ridha Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan memikul dosa orang-orang yang mengamalkan bid’ah itu, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (H.R. Tirmidzi, dan beliau menghasankannya).
Jawab:
Meski At Tirmidzi menganggapnya hasan –dan beliau memang terkenal gampang menghasankan hadits,– namun salah satu perawi hadits ini ialah Katsier bin Abdillah bin Amru bin ‘Auf Al Muzani. Berikut ini kami nukilkan sanad hadits diatas selengkapnya; Imam At Tirmidzi -rahimahullah- berkata:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ مَرْوَانَ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْفَزَارِيِّ عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ هُوَ ابْنُ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالِ بْنِ الْحَارِثِ … الحديث (جامع الترمذي, كتاب العلم, باب: ما جاء في الأخذ بالسنة واجتناب البدع, حديث رقم 2601).
Abdullah bin Abdirrahman mengabarkan kepada kami, katanya: Muhammad bin ‘Uyainah mengabarkan kepada kami, dari Mirwan bin Mu’awiyah Al Fazary, dari Katsir bin ‘Abdillah –yaitu: bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany–, dari Ayahnya, dari Kakeknya,bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata kepada Bilal ibnul Harits:…. Al hadits” (H.R. Tirmidzi, no 2601).
Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:
1. Al Imam Ibnu Hibban -rahimahullah- mengatakan:
Cacat hadits ini ialah pada silsilah rawi yang bercetak tebal di atas. Untuk lebih jelasnya, kami akan menukilkan komentar para ahli hadits mengenai riwayat mereka:
1. Al Imam Ibnu Hibban -rahimahullah- mengatakan:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني: يروي عن أبيه عن جده، روى عنه مروان بن معاوية وإسماعيل بن أبى أويس، منكر الحديث جدا، يروي عن أبيه عن جده نسخة موضوعة لا يحل ذكرها في الكتب ولا الرواية عنه (كتاب المجروحين 2/221).
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany; Ia meriwayatkan dari Ayahnya dari kakeknya. Sedang yang meriwayatkan dari Katsir ialah Marwan bin Mu’awiyah dan Isma’il bin Abi Uwais. (Katsir ini) munkarul hadits jiddan ). Ia meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya sekumpulan haditsmaudhu’ (palsu) yang tidak halal untuk disebutkan dalam kitab-kitab dan tidak halal untuk diriwayatkan. (Kitabul Majruhien2/221)
2. Imam An Nasa’i -rahimahullah- berkata:
2. Imam An Nasa’i -rahimahullah- berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف: متروك الحديث(الكامل لابن عدي 6 / 58).
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf;matruukul hadits (Al Kamil, oleh Ibnu ‘Adiy 6/58).
3. Imam Syafi’i & Abu Dawud -rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:
3. Imam Syafi’i & Abu Dawud -rahimahumallah- menyifatinya dengan kata-kata:
ركن من أركان الكذب (ميزان الاعتدال 3 / 407)
Salah satu tiang daripada tiang-tiang kedustaan (Mizanul I’tidal, 3/407).
4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany -rahimahullah- berkata:
4. Ibnu Hajar Al ‘Asqalany -rahimahullah- berkata:
كثير بن عبد الله بن عمرو بن عوف المزني المدني ضعيف أفرط من نسبه إلى الكذب (تقريب التهذيب - 2 / 39)
Katsir bin Abdillah bin ‘Amru bin ‘Auf Al Muzany Al Madany:dha’if, namun orang yang menuduhnya sebagai pendusta agak berlebihan (Taqribut Tahdzieb, 2/39).
Kesimpulannya, hadits di atas derajatnyadha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.
Kesimpulannya, hadits di atas derajatnyadha’if jiddan atau minimal dha’if, sehingga tidak bisa dijadikan landasan dalam berdalil. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmdzi, hadits no 2677.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar