Syubhat:
al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulugh al-Maram I/195:
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اَلنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اقْرَؤُوا عَلَى مَوْتَاكُمْ يس رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ (وأخرجه أحمد 20316 وأبو داود رقم 3121 وابن ماجه رقم 1448 وابن حبان رقم 3002 والطبرانى رقم 510 والحاكم رقم 2074 والبيهقى رقم 6392 وأخرجه أيضاً الطيالسى رقم 931 وابن أبى شيبة رقم 10853 والنسائى فى الكبرى رقم 10913)
"Dari Ma'qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda: 'Bacalah surat Yasin di dekat orang-orang yang meninggal.' Ibnu Hajar berkata: Diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa'i dan disahihkan oleh Ibnu Hibban" (Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad No 20316, Abu Dawud No 3121, Ibnu Majah No 1448, al-Thabrani No 510, al-Hakim No 2074, al-Baihaqi No 6392, al-Thayalisi No 931, Ibnu Abi Syaibah No 10853 dan al-Nasa'i dalam al-Sunan al-Kubra No 10913)Dalam kitab tersebut al-Hafidz Ibnu Hajar tidak memberi komentar atas penilaian sahih dari Ibnu Hibban. Sementara dalam kitab beliau yang lain, Talkhis al-Habir II/244, kendatipun beliau mengutip penilaian dlaif dari Ibnu Qattan dan al-Daruquthni, di saat yang bersamaan beliau meriwayatkan atsar dari riwayat Imam Ahmad diatas.
Jawab :
Sanad hadits ini lemah (dla’iif), karena jahalah dari Abu ‘Utsman dan ayahnya serta adanya perselisihan (idlthirab) dalam sanadnya. An-Nasa’iy, Al-Baghawiy, dan Ibnu Hibbaan membawakan hadits ini tanpa menyebutkan “dari ayahnya” – yaitu ayah Abu ‘Utsman.
Atas dasar inilah Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhiish (2/110) : “An-Nasa’iy dan Ibnu Majah tidak menyebutkan : ‘dari ayahnya’. Ibnul-Qaththaan men-ta’lil-nya dengan adanya idlthiraab, status mauquf (hanya sampai pada shahabat saja), serta jahalah Abu ‘Utsman dan ayahnya. Abu Bakr bin Al-‘Arabiy menukil dari Ad-Daruquthniy bahwasannya ia berkata : ‘Hadits ini sanadnya dla’iif, matan (redaksi)-nya majhul, dan tidak shahih satu pun hadits dalam bab ini” [selesai].
Hadits ini dibawakan dalam empat sanad yang berselisihan :
1. Dari Abu ‘Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil secara marfu’.
2. Dari Abu ‘Utsman, dari Ma’qil secara marfu´- dan di dalamnya tidak ada penyebutan : dari ayahnya.
3. Dari Ma’qil secara mauquf.
4. Dari seorang laki-laki, dari ayahnya, dari Ma’qil secara marfu’.
Al-Albaniy berkata dalam Irwaaul-Ghaliil (3/151) : “Sesungguhnya hadits ini terdapat ‘illat lain, yaitu adanya idlthiraab (kegoncangan). Sebagian perawinya berkata : ‘Dari Abu ‘Utsman, dari ayahnya, dari Ma’qil’. Sebagian lagi mengatakan : ‘Dari Abu ‘Utsman, dari Ma’qil’ – tanpa mengatakan : ‘dari ayahnya’. Dan ayahnya ini juga tidak dikenal” [selesai].
Adapun Abu ‘Utsman, maka ia adalah perawi majhul.
Adz-Dzahabiy berkata dalam Al-Miizaan (4/550) : “Abu ‘Utsman - dikatakan bahwa namanya Sa’d - , dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasaar dengan hadits : ‘Bacakanlah (surat) Yaasiin pada orang yang akan mati di antara kalian’. Ayahnya tidaklah dikenal, begitu juga ia (Abu ‘Utsman). Tidak ada orang yang meriwayatkan darinya selain Salmaan At-Taimiy” [selesai].
An-Nawawiy berkata dalam Al-Adzkaar (hal. 122; tahqiq : Al-Arna’uth) : “Sanadnya dla’iif, padanya terdapat dua orang yang majhul. Namun hadits ini tidak di-dla’if-kan oleh Abu Dawud” [selesai].
Dua orang majhul yang dimaksudkan oleh An-Nawawiy tersebut adalah Abu ‘Utsman dan ayahnya, sebagaimana dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dan Al-Albaniy.
Dicantumkannya Abu ‘Utsman oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar dalam Al-Futuhaat Ar-Rabbaaniyyah oleh Ibnu ‘Allaan (4/119; Daar Ihyaa At-Turats, Beirut) tidak perlu dihiraukan, karena ia memang terkenal gampang memberikan tautsiq kepada para perawi majhul.
Ibnu Hajar berkata :
قلت وهذا الذي ذهب اليه بن حبان من ان الرجل إذا انتفت جهالة عينه كان على العدالة الى ان يتبن جرحه مذهب عجيب والجمهور على خلافه وهذا هو مساك بن حبان في كتاب الثقات الذي الفه فإنه يذكر خلقا من نص عليهم أبو حاتم وغيره على انهم مجهولون وكان عند بن حبان ان جهالة العين ترتفع برواية واحد مشهور وهو مذهب شيخه بن خزيمة ولكن جهالة حاله باقية عند غيره
“Aku berkata : Inilah pendapat Ibnu Hibban bahwa seorang perawi yang hilang majhul ‘ain-nya, maka ia berstatus ‘adil sampai dijelaskan jarh-nya. Ia adalah pendapat yang sangat mengherankan. Jumhur ulama telah menyelisihinya. Inilah jalan yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqaat buah karyanya. Ia menyebutkan sejumlah orang yang dinyatakan oleh Abu Haatim dan yang lainnya sebagai orang-orang yang majhul; dimana orang-orang tersebut menurut Ibnu Hibban hilang status majhul ‘ain-nya hanya dengan riwayat satu orang yang terkenal. Dan itu pulalah yang menjadi pendapat gurunya, Ibnu Khuzaimah. Akan tetapi, majhul haal tetaplah ada menurut ulama yang lain” [Lisaanul-Miizaan, hal. 14].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar