Senin, 04 April 2016

Syubhat:

“Berkata Imam al-Hakim: “aku mendengar Abu ‘Ali an-Naisaburi berkata: “aku pernah mengalami kesulitan yang sangat berat. Lalu aku bertemu Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam tidur (bermimpi), seolah-olah beliau sholallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada ku: “pergilah ke makam Yahya bin Yahya, beristighfarlah, dan mintalah (kepada Allah) agar dikabulkan hajatmu.” Aku terbangun dan aku lakukan petunjuk itu. Dan ternyata benar hajatku pun terkabulkan.” (Tahdzibut Tahdzib lil Hafizh Ibni Hajar, juz 4 halaman 398). [Yahya bin Yahya adalah salah seorang muhaddits Salaf, ia adalah sahabat setia Imam Malik]. 

Al-Khothib al-Baghdadi berkata tentang Abu ‘Ali an-Naisaburi al-Mu‘addal: “Abu Bakar al-Barqoni meriwayatkan darinya. Aku bertanya kepadanya tentang Abu ‘Ali an-Naisaburi al-Mu‘addal, ia menjawab: “ia tsiqot”. (Tarikh Baghdad lil Khothib al-Baghdadi, juz 2 halaman 106, no. 75) 

Jawab: mimpi lagi mimpi lagi..emang ini agama mimpi?

Berikut perkataan sebagian perkataan ulama tentang ketidakhujjahan mimpi dalam syari’at Islam.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
لو كانت ليلة الثلاثين من شعبان ولم ير الناس الهلال فرأى إنسان النبي صلي الله عليه وسلم في المنام فقال له الليلة أول رمضان لم يصح الصوم بهذا المنام لا لصاحب المنام ولا لغيره ذكره القاضي حسين في الفتاوى وآخرون من أصحابنا ونقل القاضي عياض الاجماع عليه
“Seandainya pada malam ketiga puluh bulan Sya’baan orang-orang tidak melihat hilaal, namun ada seseorang yang melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi seraya mengatakan kepadanya : ‘Ini adalah malam pertama bulan Ramadlaan’; maka tidak sah puasa yang didasarkan pada mimpi ini, baik bagi orang yang bermimpi dan juga orang lain. Hal itu disebutkan oleh Al-Qaadliy Husain dalam Al-Fataawaa, dan yang lainnya dari kalangan shahabat kami. Al-Qaadliy ‘Iyaadl menukilkan adanyaijmaa’ dalam permasalahan tersebut” [Al-Majmuu’, 6/281].
Al-‘Iraaqiy rahimahullah berkata:
لَوْ أَخْبَرَ صَادِقٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ بِحُكْمٍ شَرْعِيٍّ، مُخَالِفٍ لِمَا تَقَرَّرَ فِي الشَّرِيعَةِ لَمْ نَعْتَمِدْهُ
“Seandainya ada seorang yang jujur mengkhabarkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpinya tentang hukum syar’iy yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan dalam syari’at, kami tidak berpegang padanya” [Tharhut-Tatsrib, 7/2262].
Ibnu Hajar rahimahullah ketika memberikan kisah Abu Lahab dan Tsuwaibah :
فَالَّذِي فِي الْخَبَر رُؤْيَا مَنَام فَلَا حُجَّة فِيهِ
“Yang ada dalam hadits berupa mimpi, maka tidak ada hujjah di dalamnya” [Fathul-Baari, 9/145].
Ibnu Katsiir saat menukil penjelasan Ibnu ‘Asaakir yang menyebutkan Ahmad bin Katsiir pernah bermimpi melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, ‘Umar dan Haabiil; maka ia (Ibnu Katsiir) berkata:
وهذا منام لو صح عن أحمد بن كثير هذا لم يترتب عليه حكم شرعي والله أعلم
“Dan mimpi ini, seandainya riwayatnya shahih dari Ahmad bin Katsiir, maka itu tidak mengkonsekuensikan hukum syar’iy. Wallaahu a’lam” [Al-Bidaayah wan-Nihaayah, 1/105-106].



benar terjadi bukan berarti dibenarkan syariat


 : قال الشوكاني رحمه الله
" السنة لا تثبت بمجرد التجربة ، ولا يخرج بها الفاعل للشيء معتقدا أنه سنة عن كونه مبتدعا . وقبول الدعاء لا يدل على أن سبب القبول ثابت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ؛ فقد يجيب الله الدعاء من غير توسل بسنة ، وهو أرحم الراحمين ، وقد تكون الاستجابة استدراجا " . 
انتهى من "تحفة الذاكرين" (ص 211) .
Imam asy-syaukani mengatakan: sunnah nabi tidak bisa ditetapkan hanya dg pengalaman spiritual,dan tidaklah pengalaman itu mengeluarkan pelakunya dari ahli bid'ah ke sunnah.dan terkabulnya doa tidak menunjukkan  bahwa sebab terkabulnya doa ada dasarnya dari rosul karena sungguh alloh kadang mengabulkan doa tanpa perantara yg sunnah karena alloh dzat paling maha penyayang,dan kadang pengabulan itu sebagai istidroj.tuhfatudz dzakirin : 211 

Tidak ada komentar: