Hadits Pertama:
أوَّلُ شَهْرِ رَمَضانَ رَحمَةٌ وأوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Bulan Ramadhan permulaannya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirannya adalah pembebasan dari neraka”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalamFadhail Ramadhan (I/14), Ibnu Asakir dalam Tarikh(XXIIV/19), Khathib al-Baghdadi dalam al-Muwadhdhih (II/149), al-Uqaili dalam adh-Dhu’afa al-Kabir (III/437) dan lain-lain dari shahabat Abu Hurairah.
Hadits ini memang lemah. Letak kelemahannya adalah perawi yang bernama Maslamah bin Shalt yang tidak dikenal, dan perawi yang bernama Sallam bin Sulaiman bin Siwar menurut Ibnu Adi dianggap munkarul hadits.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Lisan al-Mizan (VI/33) berkata, bahwa Masalamah bin Shalt adalah matruk haditsnya. Ia juga menukil dari al-Azdi dan menilai bahwa Maslamah adalah dhaif serta haditsnya tidak boleh dibuat hujjah.
Al-Khathib al-Baghdadi mengomentari Sallam bin Sulaiman sebagai orang yang lemah haditsnya.
Dengan demikian hadits ini adalah dhaif sekali.
Jawab:
Hadis ini bersumber dari dua orang rawi yang dinyatakan daif, yaitu:
Maslamah bin As Shlt.
Abu Hatim berkata, ’Matruk al-Hadits”. (Lihat, Al-Jarh wa at-Ta’dil, VIII: 269; Ad-Du’afa wa al- Matrukin, III : 119)
Salam bin Sawwar.
Nama lengkapnya Salam bin Sulaiman bin Sawwar, Abul Abbas, as Tsaqafi, al Madain.
Menurut Abu Hatim, ’Ia rawi yang tidak kuat”. Ibnu Adi berkata, ’Munkar al-Hadits” (Lihat, Mizan al-I’tidal, II : 178)
Penilaian Para ulama Terhadap Hadis di atas:
Kata Al-Khathib al-Baghdadi:
وكان ضعيفا في الحديث ومن ضعفه اختلاف روايته هذا الحديث
“Salam daif dalam hadis, dan di antara bentuk kedaifannya terdapat ikhtilaf dalam meriwayatkan hadis ini” (Lihat,Mawdhih Awham al-Jam’I wa at-Tafriq, II:144)
Kata Muhammad al-Lakhmi:
إسناده ضعيف جدا والحديث منكر
“Sanadnya sangat daif, dan hadis itu munkar.” (Lihat, Masyikhah Abi Thahir Ibn Abu As-Shaqr, hlm. 83)
Al Huwaini berkata, “Ini adalah hadits batil."[Al Fatawa Al Haditsiyah, Jilid 1, Hlm 291.Program Al Maktabah Asy Syamilah.]
Jadi hadits tidak bisa dikuatkan apalagi menjadi penguat
Al-Uqailiy:لا يتابع على حديثه
“ Hadistnya tidak bisa menjadi penguat.”
berkata Ibnu ‘Adiy:هو عندي منكر الحديث وعامة ما يرويه حسان إلا أنه لا يتابع عليه
“ Menurutku dia adalah Munkarul Hadist, dan kebanyakan hadistnya baik hanya saja tidak dapat menjadi penguat.” Lihat kitab Tahdziib At-Tahdziib 4/249,
Hadits Kedua:
Terkandung dalam hadits yang panjang dan di dalamnya terdapat lafazh hadits berikut:
وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“(Ramadhan) adalah bulan yang permulaannya adalah rahmat, pertengahannya adalah ampunan, dan akhirannya adalah pembebasan dari neraka”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalamShahih-nya (III/191) dengan isyarat lemah, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman (III/305), al-Haitsami dalam Bughyah al-Bahits (I/412), dan Ibnu Adi dalam al-Kamil (V/293).
Sebagaimana dalam Syuab al-Iman-nya al-Baihaqi, hadits ini diriwayatkan melalui jalur Ali bin Zaid bin Jud’an dari Tabi’in Said bin al-Musayyab dari Shahabat Salman al-Farisi.
Terkait hadits ini, al-Hafizh as-Suyuthi berkata dalam al-Jami’ al-Kabir (I/26822) berkata:
قَالَ الحَافِظُ ابنُ حَجَرٍ فِى أطْرَافِهِ : مَدَارُهُ عَلَى عَلِىِّ بنِ زَيْد بنِ جُدْعَان وَهُو ضَعِيْفٌ وَيُوْسُفُ بنُ زِيَادٍ الرَّاوِى عَنْه ضَعِيْفٌ جِدًّا وَتَابَعَهُ إِياَسٌ بنُ عَبْدِ الغَفَّارِ عَنْ عَلِىّ بنِ زَيْد عِنْدَ البَيْهَقِى فِى شُعَبِ الإيْمَانِ قَالَ ابنُ حَجَر : وَإِياَسٌ مَا عَرَفْتُهُ.
“Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Athraf berkata: “Letak kelemahan dalam hadits tersebut adalah perawi Ali bin Zaid bin Jad’an dan dia dhaif, dan Yusuf bin Ziyad yang meriwayatkan darinya yang dhaif sekali. Dan dia dikuatkan (muta’baah) oleh Iyas bin Abdul Ghaffar dari Ali bin Zaid dalam riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Dan Iyas aku tidak mengenalnya”.
Dengan ini dapat difahami, status hadits di atas mula-mula sangat dhaif tetapi kerana adanya mutaba’ah (salah satu penguat), maka haditsnya naik menjadi dhaif biasa.
Menurut Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami dalam tahqiq-nya terhadap Shahih Ibni Khuzaimah, bahwa hadits ini dhaif karena Ali bin Zaid bin Jud’an adalah lemah.
Jawab: mana penguatnya?
Bagaimana Ali bin Zaid bin Jud’ân jadi penguat?. Orang ini seorang perawi yang lemah sebagaiamana diterangkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, Yahya rahimahullah, Bukhâri rahimahullah, Dâru Quthni rahimahullah, Abu Hâtim rahimahullah dan lain-lain.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah sendiri mengatakan, “Aku tidak menjadikannya sebagai hujjah karena hafalannya jelek.” Imam Abu Hatim rahimahullah mengatakan, “Hadits ini mungkar.”
Berkata Hammad Bn Zaid:
وكان يقلب الاحاديث
“ dia slalu membolak-balikan Hadist.”
Berkata Al-Fallas:
كان يحيى القطان يتقى الحديث عن على بن زيد
“ Yahya Al-Qothhan menjauhkan periwayatan hadist dari ‘Aliy Bin Zaid.” Lihat Mizanul ‘Itidal 3/127 oleh Ad-Dzahabi
Yusuf bin Ziad an-Nahdi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain: Al Bukhari dan Abu Hatim berkata,’Munkarul Hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)”. Mizanul ‘Itidal, IV : 465.
Imam al-Bukhari berkata:
كُلُّ مَنْ قُلْتُ فِيْهِ مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ لاَ تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
“Setiap orang yang aku katakan padanya, ‘munkar al-Hadits’ tidak halal meriwayatkan hadis darinya” (Lihat, Ar-Raf’ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta’dil: 208)
Perawi Hadits kayak begini mau jadi penguat?
Ingat tidak halal?
Syubhat: Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwadzi (III/449) berkata, bahwa banyak ulama yang menilai Ali bin Zaid bin Jud’an adalah perawi lemah tetapi dinilai “shaduq” oleh Imam Tirmidzi. Sedangkan derajat “shaduq” jika yang mengatakan adalah Imam at-Tirmidzi, menurut Ahmad Syakir, sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam al-Manhal al-Lathif (hal. 130), adalah indikasi perawi hadits hasan.
Jawab: ini jelas distorsi pengelabuan.padahal imam attirmidzi tidak cuma bilang shoduq,ada lanjutannya
صدوق، إلا أنه ربما رفع الشيء الذي يوقفه غيره
Shoduq akan tetapi sering merofakkan/ menisbatkan ke nabi yg dianggap mauquf selainnya
Bahkan para ulama telah menjelaskan maksud attirmidzi bahwa shoduq bukan serta merta hasan,tapi aslinya dhoif lemah namun hasan dg syawahid.jadi bukan hasan lidzatihi.
Sebagaimana dikatakan syeikh mubarokfuri dalam tuhfatul ahwadzi:
قلت : علي بن زيد بن جدعان عند الترمذي صدوق كما في الميزان وغيره فلأجل ذلك حسنه وصححه على أن لهذا الحديث شواهد ، وكم من حديث ضعيف قد حسنهالترمذي لشواهده .
Sekarang mana penguatnya?semua tidak layak sama sekali.
Syubhat:
Imam Badruddin al-Aini dalam Umdah al-Qari(X/278), setelah menyampaikan hadits tersebut, berkata:
وَلاَ يَصِحُّ إسْنَادُهُ وَفِيْ سَنَدِهِ إِياَسٌ قَالَ شَيْخُنَا الظَّاهِرُ أَنَّهُ ابنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ صَاحِبُ ( المِيْزَان ) إِيَاسُ بن أبِي إِيَاسٍ عَنْ سَعِيْدٍ بن المُسَيَّبِ لاَ يُعْرَفُ وَالخَبَرُ مُنْكَرٌ
“Sanadnya tidak shahih dan didalam sanadnya terdapat Iyas. Guru kami (al-Iraqi) berkata: “Yang zhahir, Iyas adalah Ibnu Abi Iyas. Penulis kitab al-Mizan berkata: “Iyas bin Abi Iyas dari Said bin Musayyab tidak dikenal. Dan haditsnya munkar”.
Hadits yang dinilai munkar oleh Badruddin al-Aini ini adalah hadits riwayat Harits bin Usamah dalamMusnad-nya dengan perawi yang berbeza dengan perawi Ibnu Khuzaimah, meski semua meriwayatkan dari jalur Said bin Musayyab dari Salman al-Farisi. Dengan demikian, riwayat yang dinilai munkar haditsnya hanya riwayat dari Harits bin Usamah.
Jawab: mana perkataan yg membatasi semacam itu.itu dari kantongmu sendiri.
Syubhat:
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Lisan al-Mizan (I/475) menulis tentang Iyas:
إِيَاسُ بن أبِي إِيَاسٍ عَنْ سَعِيْدٍ بن المُسَيَّبِ لاَ يُعْرَفُ أيْضًا وَخَبَرُهُ مُنْكَرٌ وَذَكَرَهُ العُقَيْلِيّ فَقَالَ مَجْهُولٌ وَحَدِيْثُهُ غَيْرُ مَحْفُوْظٍ
“Iyas bin Abi Iyas dari Said bin Musayyab tidak dikenal juga, dan haditsnya munkar. Al-Uqaili menyebutkannya dan berkata: “Ia majhul dan haditsnya tidak mahfuzh”
Lalu apa yang dimaksud dengan “munkar” tersebut? Apakah ia masuk kategori hadits yang sangat dhaif sebagaimana maklum dalam ilmu mushthalah hadits hingga tak dapat lagi diamalkan sama sekali dalam hal apapun? Mari kita kaji lebih lanjut.
Hadits munkar adalah hadits dengan perawi yang kesalahannya terlalu banyak, atau banyak sekali kelalaiannya, atau terlihat jelas kefasikannya. Pertanyaannya, apakah Iyas bin Abi Iyas demikian adanya? Tidak sama sekali. Dia hanya perawi yang majhul dan tidak sampai pada level seperti itu. Jika keadaan dia seperti itu tentu ulama tidak akan menilainya majhul lagi, karena jelas ia cacat.
Atau menurut definisi sebagian ulama, hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan perawi dhaif yang menyelisihi hadits yang diriwayatkan perawi tsiqah. Pertanyaannya, manakah hadits dengan perawi tsiqah dalam masalah ini yang diperselisihi hadits diatas? Adakah ulama yang mengatakan demikain? Tidak ada sama sekali kecuali analisa sebagian pengkaji yang hanya berusaha meraba-raba maksud dari Imam Badruddin al-Aini saja. Apalagi tidak ada ayat atau hadits yang secara sharih (jelas) diperselisihinya yang itu merupakan indikasi munkar dalam matannya.
Jika Iyas bin Abi Iyas tidak masuk dalam dua definisi diatas, lalu apa maksud istilah haditsnya munkar diatas? Coba kembali kita fahami dengan seksama ucapan al-Aini. Ia hanya mengatakan “Haditsnya munkar” dan itu sifatnya perawi bukan sifatnya hadits. Dan kemungkinan besar, maksud dari munkar tersebut ialah istilah yang disebutkan ulama mutaqaddimin, bahwa munkar adalah hadits yang diriwayatkan perawi yang hanya meriwayatkan satu hadits saja. Maksudnya, Harist bin Abi Utsamah dalam Musnad-nya, dari Abdullah bin Bakr dari Iyas bin Abi Iyas dan Iyas tersebut hanya meriwayatkan satu hadits itu saja.
Jawab: itu hanya khayalanmu saja
Kata Ibnu Abu Hatim, “Saya bertanya kepada ayah saya tentang hadis…(di atas). Maka beliau menjawab:
هذا حدِيثٌ مُنكرٌ غلِط فِيهِ عَبدُ اللهِ بنُ بكرٍ إِنّما هُو أبانُ بنُ أبِي عيّاشٍ فجعل عَبدُ اللهِ بنُ بكرٍ أبانًا إِياسًا.
“Ini hadis yang munkar, Abdullah bin Bakr telah melakukan kesalahan di dalamnya, rawi sebenarnya tiada lain Aban bin Abu ‘Ayyas, lalu Abdullah bin Bakar menjadikan (mengganti) Aban dengan Iyas.” (Lihat, ‘Ilal al-Hadits, hlm. 289)
Kata Ibnu Hajar:
رَوَاهُ الْبَيْهَقِيُّ فِي (الشُّعَبِ) مِنْ طُرُقٍ : عَنْ عَلِيِّ بْنِ حُجْرٍ بِهَذَا الإِسْنَادِ وَمِنْ طَرِيقٍ أُخْرَى : عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَكْرٍ السَّهْمِيِّ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ الْغَفَّارِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ وَالأَوَّلُ أَتَمُّ وَمَدَارُهُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ , وَأَمَّا يُوسُفُ بْنُ زِيَادٍ فَضَعِيفٌ جِدًّا وَأَمَّا إِيَاسُ بْنُ عَبْدِ الْغَفَّارِ فَمَا عَرَفْتُهُ
“Hadisnya diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman melalui beberapa jalur periwayatan: Dari Ali bin Hujr dengan sanad ini. Dan dari jalur lain: dari Abdullah bin Bakr as-Sahmi, dari Iyas bin Abdul Ghaffar, dari Ali bin Zaid. Jalur pertama lebih komplit dan porosnya Ali bin Zaid, dan dia daif. Adapun Yusuf bin Ziyad, maka ia sangat daif. Sedangkan Iyas bin Abdul Ghaffar, maka aku tidak mengenalnya.” (Lihat,Ittihaf al-Muhirrah bil Fawa’id al-Mubtakirah min Athraf al-Asyrah, V:560)
Syubhat:
Imam Abdul Hayyi al-Luknawi dalam ar-Raf’ wa at-Takmil (hal. 201) berkata:
قَالَ الزَّيْنُ العِرَاقِيّ فِي تَخْرِيْجِ اَحَادِيْثِ احْيَاء العُلُوم كَثِيْرًا مَا يُطْلِقُونَ المُنْكَرَ عَلىَ الرَّاوِي لِكَوْنِهِ رَوَى حَدِيْثًا وَاحِدًا
“Zain al-Iraqi dalam Takhrij Ihya berkata: “Banyak sekali ulama mengucapkan istilah munkar untuk perawi karena dia meriwayatkan satu hadits saja”.
Jawab: apakah hanya meriwayatkan satu hadits saja?jelas tidak dg hadits ini yg perawinya iyas.
Syubhat:
Dan apa yang dikatakan al-Hafizh Ibnu Hajar di atas terdapat indikasi kesana. Dan jika ini benar, maka hadits ini bukan terkategorikan munkar yang masuk peringkat sangat dhaif, tetapi dhaif biasa disebabkan majhulnya perawi.
Jawab:
Yusuf bin Ziad an-Nahdi. Dia telah dinyatakan daif oleh para ahli hadis, antara lain, Al Bukhari dan Abu Hatim berkata, ’Munkar al-Hadits (hadisnya tidak halal diriwayatkan)”. (Lihat, Mizan al-‘Itidal, IV : 465)Imam al-Bukhari berkata, “Dia munkar al-hadis”(Lihat, Al-Tarikh al-Kabir, Dar el-Fikr, t.t. IV:357)
Imam al-Bukhari berkata:
كُلُّ مَنْ قُلْتُ فِيْهِ مُنْكَرُ الْحَدِيْثِ لاَ تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ
“Setiap orang yang aku katakan padanya, ‘munkar al-Hadits’ tidak halal meriwayatkan hadis darinya” (Lihat, Ar-Raf’ wa at-Takmil fi al-Jarh wa at-Ta’dil: 208).
Syubhat:
Dan mungkin inilah maksud Ibnu Arraq dalan Tanzih asy-Syari’at (II/57) yang menyebutkan istilah munkar boleh diamalkan dalam fadhail amal:
والمُنْكَرُ مِنْ قِسْمِ الضَّعِيْفِ وَهُوَ مُحْتَمَلٌ فِي الفَضَائِلِ
“Dan munkar adalah termasuk bagian hadits dhaif. Dan ia dimaafkan dalam fadhilah amal”
Dari segi matan, makna hadits ini pun tidak tepat karena seolah-olah memberi pengertian bahwa rahmat Allah hanya terkhusus pada 1/3 awal dari Ramadhan, maghfirah pada 1/3 pertengahan dan pembebasan dari api neraka hanya terkhusus pada 1/3 akhir dan makna hadits ini bertentangan dengan beberapa hadits shohih yang menunjukkan bahwa rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka terdapat dalam sepanjang bulan Ramadhan .
Hadits pertama statusnya sangat dhaif. Sedangkan hadits kedua berstatus dhaif biasa tidak sampai masuk peringkat dhaif sekali. Andaipun hadits yang kedua ini juga dhaif sekali, tetapi karena terdapat riwayat lain yang sederajat, maka sesuai dengan kaidah yang dicetuskan al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Hafizh as-Suyuthi, derajatnya naik menjadi dhaif biasa, sehingga dapat diamalkan dalam fadhilah amal, targhib wa tarhib dan lain-lain.
Sayyid Alawi al-Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail (hal. 248) berkata:
قَالَ الاِمَامُ الرَّمْلِيّ الأحَادِيْثُ الشَدِيْدَةُ الضُّعْفِ اذاَ انْضَمَّ بَعْضُهَا اِلَى بَعْضٍ يُحْتَجُّ بِهَا فِي هَذَا البَابِ
“Imam Ramli berkata: “Hadits-hadits yang sangat dhaif ketika dikumpulkan sebagian darinya ke sebagian yang lain, maka dapat dibuat hujjah dalam bab ini (fadhail amal dll)”.
Jawab:itu klo tidak menyelisihi riwayat tsiqoh.
Faktanya menyelisihi riwayat bahwa semua hari ramadhan membebaskan dari neraka.
Al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi (I/177) yang mengutip pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar berkata.
بَلْ رُبَّمَا كَثُرَتْ الطُرُق حَتَّى أَوْصَلَتْه إلىَ دَرَجَةِ المَسْتُوْرِ والسَّيّءِ الحِفْظِ بِحَيْثُ إذَا وُجِدَ لَهُ طَرِيْقٌ آخَرُ فِيْهِ ضَعْفٌ قَرِيْبٌ مُحْتَمِلٌ ارْتَقَى بِمَجْمُوعِ ذَلِكَ إلىَ دَرَجَةِ الحَسَنِ
“Bahkan, terkadang banyaknya jalan riwayat hingga sampai kepada derajat perawi mastur dan yang jelek hafalannya, yang jika ditemukan jalan riwayat lain yang tidak sangat dhaif, maka ia naik ke derajat hasan sebab perhimpunannya”
Jawab: sedangkan hadits munkar itu sangat dhoif
ثالثاً المنكر
س1)- عرف الحديث المنكر ؟
يعرف الحديث المنكر بما يلي :-
1- هو الحديث الذي في إسناده راوي فاحش غلطه أو كثرت غفلته أو ظاهر فسقه .
2- هو ما خالف فيه الضعيف الثقة .
فإذا خالف الضعيف الثقة فيسمى الحديث الضعيف منكراً ويسمى حديث الثقة معروفاً , وعلى هذا يكون تعريف الحديث المعروف هو ما رواه الثقة مخالفاً لما رواه الضعيف فهو بهذا المعنى مقابل للمنكر .
س2)- ما حكم الحديث المنكر ؟
يتبين من تعريفي الحديث المنكر أنه من أنواع الضعيف جداً لأنه إما راويه ضعيف موصوف بفحش الغلط أو الغفلة أو الفسق , وأما ضعيف مخالفا لرواية الثقة , ويأتي الحديث المنكر من حيث الضعف بعد المتروك .
Syubhat: Ulama Wahabi Membenarkan Kandungan dan Beramal Dengan Hadith Ini
Yang sedikit agak aneh adalah, kandungan hadits ini ternyata digunakan juga oleh ulama untuk menerangkan keutamaan Ramadhan, bahkan termasuk ulama Salafi Wahabi, seperti Sholih al-Munajjid dalam mukaddimah Fatawa-nya, Utsaimin dalam Fatawa Nur (I/216) juga dalam Majmu’ Fatawa wa Rasail dan lain-lain. Tidak hanya itu, dalam Fatawa Syabakah Islamiyyah (kitab fatwa ulama Salafi Wahabi) nombor fatwa 29683, hadits di atas masuk kategori boleh diamalkan dalam fadhilah amal. Fatawa Lajnah Daimah (Arab Saudi) fatwa nombor 4145 juga menegaskan hadits tersebut dhaif biasa.
Jawab:
Kalau ente mengira kita taklid ta'ashub buta sama mereka maka ente salah besar.
Bahkan mereka menyuruh kita menjauhkan diri dari fanatik buta.
Terlebih hadist pembagian ini bertentangan dengan hadist yang lainnya diantaranya
1. Hadist Abu hurairoh atau Abu Sa’id Al-Khudriy:
ان لله عتقاء في كل يوم وليلة لكل عبد منهم دعوة مستجابة
“ Sesungguhnya Allah akan memerdekakan para hambanya (dari api neraka) pada setiap hari dan setiap malam, pada setiap hamba dari mereka mempunyai do’a yang akan dikabulkan.” (H.R Ahmad 2/254 berkata Syu’aib Al-Arnauth : Sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim)
dan dari hadist ini jelas bahwa‘Itqun Minannar terdapat pada setiap hari dan setiap malam bulan Ramadhan bukan pada sepertiga terkakhir saja.
2. Hadist Abu Hurairoh عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : يبشر أصحابه قد جاءكم شهر رمضان شهر مبارك افترض الله عليكم صيامه “
Dari Abu Hurairoh Radhiyallahu’anhu berkata: Rosulullah ﷺ memberikan kabar gembira (dengan datangnya bulan ramdhan), sungguh telah datang kepada kalian Bulan Ramdhan bulan yang penuh keberkahan, Allah wajibkan kepada kalian puasa pada bulan itu.” ( H.R Ahmad 2/ 385 berkata Syeikh Syu’aib Al-Arnauth : Shahih dan sanad ini rijalnya dalam hadist yang mulia ini jelas bahwa bulan Ramadhan adalh bulan yang diberkahi, keberkahan tersebut mencakup Rahmat, Maghfiroh dan ‘Itqun Minannar. Dan ini terdapat pada seluruh bulan Ramadhan bukan pada hari-hari tertentu.
Oleh karena Hadist pembagian bulan Ramdhan tidak sah menurut tinjauan Ilmu Hadist, maka selayaknya kita tidak menyampaikannya kepada masyarakat terlebih para khatib dan penceramah, kecuali jika kita ingin menyampaikannya dengan menjelaskan kelemahannya.