قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Kamis, 14 Juli 2016
Syubhat ibnu hazm pengingkar sifat alloh
Imam al-Bukhari –rahimahullah– berkata di kitab Shahih-nya:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنَا عَمْرٌو عَنْ ابْنِ أَبِي هِلَالٍ أَنَّ أَبَا الرِّجَالِ مُحَمَّدَ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ عَنْ أُمِّهِ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَكَانَتْ فِي حَجْرِ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا عَلَى سَرِيَّةٍ وَكَانَ يَقْرَأُ لِأَصْحَابِهِ فِي صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ فَسَأَلُوهُ فَقَالَ لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ
Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Shalih, telah bercerita kepada kami (‘Abdullah) bin Wahb, telah bercerita kepada kami ‘Amr bin al-Harits, dari (Sa’id) bin Abi Hilal, bahwa Abu ar-Rijal Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman telah bercerita kepadanya (hadits) dari ibunya, (yaitu) ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman yang dulu berada dalam pemeliharaan ‘Aisyah istri Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari ‘Aisyah, bahwasanya Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengutus seorang lelaki (untuk memimpin) sebuah ekspedisi militer. Lelaki tersebut setiap kali memimpin shalat jamaah, selalu saja menutup bacaan shalatnya (setelah membaca surah lainnya) dengan surah al-Ikhlash (Qul huwallaahu ahad). Setelah ekspedisi berakhir dan mereka kembali (ke Madinah), orang-orang melaporkan hal itu kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berkata, “Kalian tanyakanlah kepadanya tentang alasan yang menjadikannya berbuat seperti itu!” Maka mereka pun bertanya kepada lelaki itu, lalu lelaki tersebut menjawab, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman, dan aku sangat suka untuk membacanya (dalam shalatku).” (Setelah mengetahui alasan lelaki tersebut), Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– bersabda, “Kalian kabarkanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.”
Hadits tersebut diriwayatkan pula oleh Imam Muslim –rahimahullah– dalam Shahih-nya, yaitu di kitab Shalah al-Musafirin wa Qashriha, bab Fadhl Qira-ah Qul Huwallahu Ahad (hadits no. 813) …
*
**
Kemarin saya membaca pendapat Ibn Hazm –rahimahullah– dalam masalah sifat-sifat Allah yang dituangkannya dalam kitab al-Fashl wa al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal. Ternyata beliau termasuk orang yang menafikan sifat-sifat Allah –ta’ala. Tentu saja pendapat beliau itu keliru dan sama sekali tidak benar, dan dalam hal ini beliau bertentangan dengan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, tetapi malah mencocoki pendapat Jahmiyyah …
Berikut saya nukilkan ucapan Ibn Hazm tersebut:
قال أبو محمد: وأما إطلاق لفظ الصفات لله عز وجل فمحال لا يجوز لأن الله تعالى لم ينص قط في كلامه المنزل على لفظ الصفات، ولا على لفظ الصفة ولا جاء قط عن النبي – صلى الله عليه وسلم – بأن الله صفة أو صفات، نعم ولا جاء قط ذلك عن أحد من الصحابة – رضي الله عنهم – ولا عن أحد من خيار التابعين، ولا عن أحد تابعي التابعين، وما كان هكذا فلا ينبغي لأحد أن ينطق به.
ولو قلنا: إن الإجماع قد تيقن على ترك هذه اللفظة لصدقنا، فلا يجوز القول بلفظ الصفات، ولا إعتقاده بل ذلك بدعة منكرة، قال تعالى : إن هي إلا أسماء سميتموها أنتم وآباؤكم ما أنزل الله بها من سلطان إن يتبعون إلا الظن وما تهوى الأنفس ولقد جاءهم من ربهم الهدى)
قال أبومحمد: وإنما اخترع لفظة الصفات المعتزلة، وسلك سبيلهم قوم من أصحاب الكلام، سلكوا غير مسلك السلف الصالح ، ليس فيهم أسوة ولا قدوة ، وحسبنا الله ونعم الوكيل (( ومن يتعد حدود الله فقد ظلم نفسه))
وربما أطلق هذه اللفظة من المتأخرى الأئمة من الفقهاء من لم يحقق النظر فيها، فهي وهلة من الفاضل، وزلة من العالم، وإنما الحق في الدين ما جاء عن الله تعالى نصا أو عن رسول الله صلى الله عليه وسلم كذلك، أو صح إجماء الأمة كلها عليه، وما عدا هذا فضلال
فإن اعترضوا بالحديث الذي رويناه من طريق عبد الله بن وهب عن عمرو بن الحارث عن سعيد بن أبي هلال عن أبي الرجال محمد بن عبدالرحمن عن أمه عَمره عن عائشة – رضي الله عنها – في الرجل الذي يقرأ: (قل هو الله أحد) في كل ركعة مع سورة أخرى، وأن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أمر أن يسأل عم ذلك فقال: هي صفة الرحمن فأنا أحبها. فأخبره رسول الله – صلى الله عليه وسلم – أن الله يحبه.
فالجواب وبالله التوفيق: أن هذه اللفظة انفرد بها سعيد بن أبي هلال وليس بالقوي، قد ذكره بالتخليط يحيى واحمد بن حنبل، وأيضا فإن إحتجاج خصومنا بهذا لا يسوغ لهم على أصولهم، لأنه خبر واحد لا يوجب عندهم العلم، وأيضا فلو صح لما كان مخالفا لقولنا، لأننا إنما أنكرنا قول من قال إن أسماء الله تعالى مشتقة من صفات ذاتية فأطلق ذلك على (العلم) و (والقدرة) و (والقوة) و (الكلام) أنها صفات، وعلى من أطلق (إرادة وسمعا وبصرا وحياة) وأطلق انها صفات، فهذا الذي أنكرنا غاية الإنكار، وليس في الحديث المذكور، ولا في غيره شيئ من هذا أصلا، وإنما فيه أن (قل هو الله أحد) خاصة صفة الرحمن، ولم ننكر هذا نحن بل هو خلاف لقولهم لأنهم لا يخصون (قل هو الله أحد) بذلك دون الكلام والعلم وغير ذلك و (قل هو الله أحد) خبر عن الله تعالى بما هو حق، فنحن نقول فيها هي صفة الرحمن، بمعنى انها خبر عنه تعالى حق، فظهر أن هذا الخبر حجة عليهم لنا … وقد قال الله تعالى: (سبحان ربك رب العزة عما يصفون) فأنكر إطلاق الصفات جملة فبطل تمويه من موّه بالحديث المذكور ليستحل بذلك ما لا يحل من إطلاق لفظ الصفات حيث لم يأت بإطلاقها فيه نص ولا إجماع إصلا، ولا أثر عن السلف
Ibn Hazm –rahimahullah– berkata di kitab al-Fashl wa al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal (juz 2, halaman 283-285, cetakan Dar al-Jil, Beirut:
Pemutlakkan lafaz “sifat-sifat” yang dikaitkan kepada Allah –‘Azza wa Jalla– (yakni bahwa Allah memiliki sifat-sifat –pent) merupakan hal yang mustahil, dan itu tidak boleh karena Allah –ta’ala– sama sekali tidak menurunkan dalil dalam al-Quran tentang lafaz “sifat-sifat” bagi diri-Nya, baik itu penyebutan dalam bentuk jamak (sifat-sifat) maupun dalam bentuk tunggal (sifat). Dan sama sekali tidak ada pula penetapan yang datang dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenai lafaz “sifat” yang dikaitkan kepada Allah, baik penyebutan dalam bentuk jamak (sifat-sifat) maupun dalam bentuk tunggal (sifat). Ya, sama sekali tidak ada pula penetapan itu datang dari salah seorang shahabat –radhiyallahu ‘anhum– atau dari tabi’in atau dari tabi’ tabi’in. Oleh karena itu, tidaklah patut bagi seseorang untuk mengucapkan perkataan tersebut …
Seandainya kami mengatakan, “Sesungguhnya ijma’ telah memastikan untuk tidak menggunakan lafaz tersebut dan menyandarkannya kepada Allah,” tentulah ucapan kami itu benar adanya. Oleh karena itu, tidak boleh bagi seseorang untuk mengucapakan perkataan, “Sifat Allah atau sifat-sifat Allah,” dan tidak boleh pula dia meyakini hal itu (yakni tidak boleh meyakini bahwa Allah memiliki sifat-sifat). Sesungguhnya (ucapan dan keyakinan) seperti itu merupakan kebid’ahan yang mungkar. Allah –ta’ala– berfirman, “Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian ada-adakan; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun mengenai hal itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan-persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23) …
Lafaz “sifat-sifat” itu hanyalah merupakan ungkapan yang diada-adakan oleh kelompok Muktazilah yang kemudian jalan tempuh Muktazilah itu diikuti oleh orang-orang dari kalangan ahli kalam. (Sesungguhnya) mereka menempuh jalan selain jalan yang ditempuh oleh Salaf as-Shalih, dan mereka tidak memiliki uswah dan qudwah dari para Salaf dalam penempuhan yang mereka lakukan itu. Cukuplah Allah sebagai penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung. (Allah berfirman), “Dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. ath-Thalaq: 1) …
Terkadang lafaz ini (yakni “sifat” atau “sifat-sifat”) digunakan oleh para imam dan fuqaha belakangan yang tak melakukan penelaahan secara teliti mengenai penggunaan ungkapan tersebut. Dengan demikian, itu merupakan kelalaian dan ketergelinciran orang-orang yang utama dan berilmu. Padahal kebenaran dalam agama itu hanyalah berdasarkan dalil yang datang dari Allah –ta’ala-, atau berdasarkan dalil yang datang dari Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau berdasarkan ijma’ umat seluruhnya yang sahih mengenai suatu perkara. Apa pun yang tak bersesuaian dengan ini, maka itu merupakan kesesatan …
Apabila mereka (yakni orang-orang yang menetapkan adanya sifat bagi Allah) menyanggah (apa yang kami kemukakan) dengan hadits yang telah kami kemukakan dari jalan ‘Abdullah bin Wahb, dari ‘Amr bin al-Harits, dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Abu ar-Rijal Muhammad bin ‘Abd ar-Rahman, dari ibunya, yaitu ‘Amrah binti ‘Abd ar-Rahman, dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– mengenai seorang lelaki yang membaca surah al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) dalam setiap rakaat setelah membaca surah yang lain, dan bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyuruh agar orang-orang menanyakan alasannya, lalu lelaki itu menjawab, “Karena surah al-Ikhlas itu sifat ar-Rahman, dan aku sangat suka untuk membacanya (dalam shalatku).” Setelah mengetahui alasan lelaki tersebut, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun mengabarkan kepada lelaki itu bahwa Allah mencintainya …
Maka jawaban kami (terhadap sanggahan mereka itu) –dengan memohon taufiq Allah- adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya lafaz yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah infirad (kesendirian dalam periwayatan) Sa’id bin Abi Hilal, sementara Sa’id bin Abi Hilal itu bukanlah perawi yang kuat. Yahya dan Ahmad bin Hanbal telah menyebutkan bahwa Sa’id bin Abi Hilal ini mengalami ikhtilath. Selain itu, sesungguhnya argumentasi mereka dalam membantah kami dengan menggunakan hadits tersebut, telah dilarang oleh pokok-pokok ajaran mereka sendiri karena menurut pokok-pokok ajaran mereka, khabar ahad itu tidaklah mengandung faidah ilmu. Selain itu juga, seandainya memang sahih hadits yang dijadikan hujjah untuk membantah pendapat kami itu, maka sesungguhnya kami hanyalah mengingkari ucapan orang yang mengatakan, “Sesungguhnya nama-nama Allah –ta’ala- itu merupakan musytaqah dari sifat-sifat dzatiyah,” lalu orang tersebut memutlakkan kaidahnya tersebut terhadap al-ilmu, al-qudrah, al-quwwah, dan al-kalam sebagai sifat-sifat Allah, demikian juga dengan iradah, sam’an, basharan, dan hayah bahwasanya semua itu merupakan sifat-sifat Allah. Maka, inilah perkara yang kami ingkari dengan sebenar-benar pengingkaran. Tidak ada dalam hadits yang disebutkan tadi (yakni hadits tentang orang yang membaca surah al-Ikhlas), dan tidak ada pula dalam hadits-hadits lainnya, suatu keterangan yang menetapkan (sifat-sifat Allah) tersebut. Hadits yang tersebut di atas itu hanyalah menjelaskan bahwa khusus Qul Huwallahu Ahad (yakni surah al-Ikhlas) saja yang menyebutkan gambaran sifat ar-Rahman, dan kami tidak mengingkari hal itu, bahkan hadits tersebut telah menyalahi pendapat mereka sendiri karena mereka tidak mengkhususkan Qul Huwallahu Ahad itu dengan hal tersebut dan malah menetapkan al-kalam, al-ilmu, dan lain-lainnya sebagai sifat Allah. Dan Qul Huwallahu Ahad itu merupakan pengabaran tentang Allah –ta’ala– mengenai hakikat-Nya yang benar. Maka kami katakan bahwa surah al-Ikhlas itulah sifat ar-Rahman, dengan pengertian bahwa hal itu merupakan kabar tentang hakikat diri Allah –ta’ala– secara benar. Dengan demikian, maka kabar ini merupakan hujjah yang menguatkan pendapat kami dan menyerang pendapat mereka … dan Allah –ta’ala– telah berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), “Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,” di sini Allah mengingkari pemutlakan ungkapan “sifat atau sifat-sifat” terhadap diri-Nya lalu membatalkan penyampaian gambaran yang salah dan tak semestinya dari orang yang berbuat semena-mena dengan hadits tersebut untuk menghalalkan lafaz “sifat atau sifat-sifat” dalam hal yang tidak ada dalilnya, tidak ada ijma’ tentangnya, dan atsar dari Salaf mengenai hal itu … SELESAI …
*
**
Penjelasan atas Kekeliruan Ibn Hazm –rahimahullah …
Pertama: Ibn Hazm menganggap bahwa tidak ada dalil dari al-Quran maupun dari as-Sunnah yang menyebutkan lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” yang ditujukan bagi Allah –ta’ala. Dan beliau keliru karena lafaz tersebut terdapat dalam al-Quran dan hadits. Allah –ta’ala– berfirman:
سبحان ربك رب العزة عما يصفون
“Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. ash-Shaffat: 180)
Adapun dari hadits, jelas disebutkan dalam hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim yang telah disebutkan di atas. Dalam hadits itu, disebutkan bahwa shahabat berkata, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” dan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak menyalahkannya bahkan menyetujuinya …
Kedua: Ibn Hazm menganggap bahwa hadits tersebut tidak sahih karena Sa’id bin Abi Hilal itu dha’if, bukan perawi yang kuat. Tentu saja anggapan beliau ini tidak benar karena para ulama telah menjadikan riwayatnya sebagai hujjah sebagaimana dikatakan oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari berikut:
وسعيد متفق على الاحتجاج به فلا يلتفت إليه في تضعيفه
“Dan Sa’id (bin Abi Hilal) ini telah disepakati untuk berhujjah dengan riwayatnya, maka tak perlu mengambil perhatian terhadap pendha’ifan Ibn Hazm terhadapnya.”
Ketiga: Ibn Hazm beranggapan bahwa surah ash-Shaffat ayat 180 itu mengandung pengingkaran Allah terhadap lafaz “sifat” atau “sifat-sifat”. Ibn Hazm mengatakan, “… dan Allah –ta’ala- telah berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), ‘Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,’ di sini Allah mengingkari pemutlakan ungkapan “sifat atau sifat-sifat” terhadap diri-Nya.”
Tentu saja ucapan Ibn Hazm itu tidak benar. Dalam ayat itu, Allah bukanlah mengingkari lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” bagi diri-Nya, melainkan Allah mengingkari pemerian sifat yang berkekurangan yang diucapkan manusia tentang diri-Nya. Ibn Hajar telah mengingkari ucapan Ibn Hazm tersebut dengan berkata sebagai berikut:
وقد قاله سبحانه وتعالى (سبحان ربك رب العزة عما يصفون) فنزه نفسه عما يصفونه به من صفة النقص، ومفهومه أن وصفه بصفة الكمال مشروع، وقد قسم البيهقي وجماعة من أئمة السنة جميع الأسماء المذكورة في القرآن وفي الأحاديث الصحيحة على قسمين: أحدهما صفات ذاته: وهي ما استحقه فيما لم يزل ولا يزال، والثاني صفات فعله: وهي ما استحقه فيما لا يزال دون الأزل، قال ولا يجوز وصفه إلا بما دل عليه الكتاب والسنة الصحيحة الثابتة أو أجمع عليه …
Allah –subhanahu wa ta’ala– berfirman (QS. ash-Shaffat: 180), “Maha Suci Rabb-mu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka sifatkan,” maka –di dalam ayat ini- Allah menyucikan diri-Nya dari sifat-sifat kekurangan yang disifatkan kepada-Nya oleh manusia. Bisa dipahami dari ayat ini bahwa sesungguhnya Allah menetapkan sifat-sifat yang sempurna dan layak bagi diri-Nya sendiri. Imam al-Baihaqi dan para Imam dari kalangan ulama Sunnah telah membagi semua nama-nama Allah yang terdapat di dalam al-Quran dan hadits-hadits yang sahih ke dalam dua bagian, salah satunya adalah sifat dzatiyah Allah, yaitu sifat yang layak bagi-Nya dan senantiasa melekat pada diri-Nya. Yang kedua adalah sifat fi’liyah, yaitu sifat yang layak bagi-Nya dan melekat dengan-Nya selain yang azali (yakni terkait dengan kehendak-Nya). Dan tidak boleh mensifati Allah kecuali dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah yang sahih atau yang disepakati …
Keempat: Ibn Hazm mengatakan bahwa kalaupun hadits tentang orang yang membaca surah al-Ikhlas di atas itu shahih, maka hanya khusus Qul Huwallahu Ahad (yakni surah al-Ikhlas) sajalah yang menyebutkan sifat ar-Rahman itu (yakni: kalaupun boleh menyebut lafaz “sifat” atau “sifat-sifat” bagi Allah, maka hanya boleh mengaitkannya dengan surah al-Ikhlas saja, tidak boleh menyifati Allah dengan selain itu seperti sifat al-ilmu, al-qudrah, al-quwwah, dan al-kalam, dan lain-lain –pent).
Ucapan Ibn Hazm itu tentu saja tidak benar dan sangat ganjil. Beliau menyatakan bahwa ungkapan “sifat” bagi Allah itu hanya boleh diterapkan terhadap surah al-Ikhlas saja berdasarkan hadits tersebut. Padahal dalam hadits tersebut, jelas sekali adanya persetujuan dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tentang kebolehan menyebut sifat bagi Allah untuk selain surah al-Ikhlas tersebut. Hal itu karena lelaki dalam hadits tersebut mengatakan, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” lalu Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– menyetujuinya dan mengabarkan kepada lelaki itu bahwa Allah mencintainya. Lelaki itu menyebut ungkapan “sifat” karena memang dalam surah al-Ikhlas itu terdapat nama dan sifat Allah, dan bukanlah maksudnya sifat Allah itu hanya khusus terdapat di dalam surah al-Ikhlas saja. Ibn Hajar menukil ucapan Ibn at-Tin sebagai berikut:
إنما قال إنها صفة الرحمن؛ لأن فيها أسماءه وصفاته، وأسماؤه مشتقة من صفاته …
Hanyalah lelaki itu mengatakan, “Karena surah al-Ikhlas itu (menyatakan) sifat ar-Rahman,” lantaran memang di dalam surah itu terdapat nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, sementara nama-nama-Nya itu merupakan musytaq dari sifat-sifat-Nya …
Ibn Hajar juga berkata sebagai berikut:
وكلامه الأخير مردود باتفاق الجميع على إثبات الأسماء الحسنى، قال الله تعالى ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وقال بعد أن ذكر منها عدة أسماء في آخر سورة الحشر له الأسماء الحسنى والأسماء المذكورة فيها بلغة العرب صفات ففي إثبات أسمائه إثبات صفاته ؛ لأنه إذا ثبت أنه حي مثلا فقد وصف بصفة زائدة على الذات وهي صفة الحياة …
Dan ucapan Ibn Hazm tersebut tertolak berdasarkan kesepakatan ulama terhadaps penetapan al-Asma’ al-Husna. Allah –ta’ala- berfirman (QS. al-A’raf: 180), “Hanya milik Allah al-asma’ al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya itu,” dan Allah juga berfirman setelah menyebutkan sejumlah nama di akhir surah al-Hasyr (24), “Dia memiliki al-Asma’ al-Husna,” dan nama-nama-Nya yang disebutkan tersebut menurut lughah Arab adalah sifat-sifat-Nya, maka dalam penetapan nama-nama-Nya terdapat pula penetapan sifat-sifat-Nya karena apabila telah kukuh bahwa –sebagai contoh- Allah itu Hayyu, maka Allah pun disifati dengan sifat tambahan terhadap dzat-Nya, yaitu sifat al-Hayyah …
Dengan demikian, boleh memutlakkan “sifat” atau “sifat-sifat” bagi Allah dengan “sifat” atau “sifat-sifat” yang datang atau disebutkan dalam al-Quran dan hadits yang sahih. Adapun menyifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak terdapat dalam al-Quran dan hadits yang sahih, maka itu tidak boleh …
Demikianlah pendapat Ibn Hazm –rahimahullah– dalam masalah sifat-sifat Allah, dan beliau mencocoki Jahmiyyah dalam hal tersebut sehingga tentu saja menyelisihi Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah …
Terakhir, saya teringat akan ucapan Syaikh al-Albani –rahimahullah– dalam kitab al-Ayat al-Bayyinat fi Adami Sima’ al-Amwat (91) mengenai Ibn Hazm –rahimahullah:
علي بن أحمد بن سعيد بن حزم الأندلسي القرطبي٬ من كبار حفاظ الحديث وأئمة الظاهرية٬ ولكن في الأسماء والصفات جهمي جلد٬ وله أوهام كثيرة في الرواة وتجهيلهم. توفى سنة (٤٥٦) … – الآيات البينات في عدم سماع الأموات (٩١) …
‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi al-Qurthubi, termasuk kalangan ulama besar hafizh hadits, dabn dia termasuk ulama kalangan zhahiriyah. Akan tetapi dalam masalah Asma dan Shifat, Ibn Hazm itu termasuk Jahmiyyah tulen. Beliau juga banyak melakukan kekeliruan dalam masalah perawi-perawi hadits dan sering menganggap mereka majhul. Beliau wafat pada tahun 456 Hijriyah …
Wallahu a’lamu …
tipongtuktuk.wordpress
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar