Rabu, 07 Desember 2016

TAFSIR QS AL-MAIDAH : 51


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS al-Maidah : 51).
Demikian terjemahan yang saya kutip dari sebagian versi. Sebagian versi terjemahan, menerjemahkan, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia dan sahabat-sahabat (mu).
Dari kedua versi terjemahan tersebut, terjemahan manakah yang benar? Atau salahkah terjemahan auliya’ dengan terjemahan pemimpin-pemimpin (mu)?
Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, marilah kita buka tafsir al-Razi dan Tafsir al-Jalalain, dua kitab tafsir yang menjadi kajian para ulama di Indonesia. Dalam tafsir al-Jalalain dijelaskan:
{يأيها الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُود وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاء} تُوَالُونَهُمْ وَتُوَادُّونَهُمْ {بَعْضهمْ أَوْلِيَاء بَعْض} لاِتِّحَادِهِمْ فِي الْكُفْر {وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ} مِنْ جُمْلَتهمْ {إنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْم الظَّالِمِينَ} بموالاتهم الكفار
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’ (yang kalian jadikan sebagai teman setia dan sahabat yang saling mengasihi); sebagian mereka adalah auliya’ bagi sebagian yang lain (karena kesatuan mereka dalam kekufuran). Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim (dengan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia).” (QS al-Maidah : 51).
Dalam Tafsir al-Jalalain di atas, jelas sekali, bahwa auliya’ ditafsirkan dengan teman setia dan sahabat yang saling mengasihi.
Al-Imam al-Razi berkata dalam kitabnya al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib sebagai berikut:
وَمَعْنَى لاَ تَتَّخِذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ: أَيْ لاَ تَعْتَمِدُوا عَلَى اْلاِسْتِنْصَارِ بِهِمْ، وَلاَ تَتَوَدَّدُوا إِلَيْهِمْ.
ثُمَّ قَالَ: وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: يُرِيدُ كَأَنَّهُ مِثْلُهُمْ، وَهَذَا تَغْلِيظٌ مِنَ اللهِ وَتَشْدِيدٌ فِي وُجُوبِ مُجَانَبَةِ الْمُخَالِفِ فِي الدِّينِ، وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي [الْبَقَرَةِ: 249] .
Makna “janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya’”, yaitu janganlah bersandar pada pertolongan mereka dan jangan menjadikan mereka sebagai sahabat yang kalian inginkan kasih sayang mereka.
Kemudian Allah berfirman: “Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi teman setia, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”, Ibnu Abbas berkata: “Maksudnya seakan-akan ia seperti mereka. Ini adalah peringatan keras dan dahsyat dari Allah tentang wajibnya menjauhi orang yang berbeda dalam agama. Hal ini setara dengan firman Allah “Dan barang siapa tiada meminumnya, maka ia adalah pengikutku (QS al-Baqarah : 249)”. (Al-Imam al-Razi, al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib, juz 12 hlm 15).
Dalam uraian di atas, jelas sekali al-Imam al-Razi menafsirkan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan makna teman setia dan sahabat yang saling mengasihi. Demikian penafsiran kedua kitab tafsir terkenal dan banyak menjadi rujukan para ulama di Indonesia.
Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan penafsiran yang mengartikan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 tersebut dengan makna pemimpin? Atau dalam bahasa yang lebih simpel, dapatkah QS al-Maidah : 51 sebagai dalil larangan memilih pemimpin non Muslim?
Dalam ilmu ushul fiqih, telah dikenal istilah yang namanya manthuq dan mafhum. Manthuq adalah pemahaman secara tekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Sedangkan mafhum adalah pemahaman kontekstual terhadap suatu ayat atau hadits. Contoh yang banyak disampaikan oleh para ulama dalam kitab-kitab ushul fiqih adalah ayat:
فَلا تَقُلْ لَهُما أُفٍّ [الإسراء: 23]
“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah". (QS al-Isra’ : 23).
Secara tekstual, ayat di atas menunjukkan larangan atau keharaman perkataan “ah” kepada kedua orang tua. Ini disebut dengan istilah manthuq, pengertian tekstual. Secara kontekstual, ayat tersebut menjadi larangan memukul orang tua. Ini disebut dengan istilah mafhum, yaitu pengertian yang ada di luar teks.
Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum dibagi menjadi dua. Pertama, adakalanya hukum kontekstual lebih kuat daripada hukum tekstualnya seperti dalam kasus memukul orang tua yang dipahami dari larangan perkataan “ah”. Karena larangan perkataan “ah” kepada orang tua, sebenarnya adalah larangan menyakiti mereka. Sudah barang tentu, tekanan memukul dalam hal menyakiti lebih kuat dari pada sekedar perkataan “ah”. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan Fahwa al-Khithab, atau Qiyas Aulawi. Siapapun orang yang berakal sehat, akan dapat menerima bahwa memukul orang tua itu hukumnya haram berdasarkan ayat larangan perkataan “ah”.
Kedua, adakalanya hukum kontekstual sama kedudukannya dengan hukum tekstual, seperti keharaman merusak dan membakar harta anak yatim yang dipahami dari larangan memakan harta anak yatim. Karena larangan memakan harta anak yatim pada hakikatnya bertujuan agar tidak merusak harta mereka. Merusak dan membakar harta mereka, sama saja posisinya dengan memakan harta mereka. Mafhum yang seperti ini dalam ilmu ushul fiqih disebut dengan istilah Lahn al-Khithab atau Qiyas Musawi.
Pertanyaannya sekarang adalah, dapatkan seseorang memberikan penjelasan keharaman memukul orang tua dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan perkataan “ah”, atau menjelaskan keharaman merusak dan membakar harta anak yatim dengan dasar ayat yang secara tekstual berupa larangan memakan harta anak yatim? Para ulama sepakat bahwa penjelasan seperti ini jelas diterima dan telah berlaku di kalangan para ulama. Al-Imam al-Zarkasyi berkata dalam kitabnya Tasynif al-Masami’ bi-Jam’ al-Jawami’ sebagai berikut:
وَلاَ خِلاَفَ فِي اْلاِحْتِجَاجِ بِالْمُسَاوِيْ كَاْلأَوْلىَ.
Tidak ada perselihian di kalangan ulama tentang kehujjahan mafhum musawi, sebagaimana halnya mafhum aula. (Al-Zarkasyi, Tasynif al-Masami’ bi-Jam’ al-Jawami’ juz 1 hlm 343).
Kaitannya dengan QS al-Maidah : 51, dapat diterapkan bahwa ayat tersebut menjadi larangan memilih pemimpin beda agama?
QS al-Maidah : 51, secara tekstual menjadi larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman setia dan sahabat yang dikasihi. Secara kontekstual ayat tersebut menjadi larangan menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Karena kedudukan pemimpin lebih tinggi dari pada sekedar teman setia dan sahabat yang dikasihi. Jadi dengan demikian, penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti teman setia dan sahabat adalah pengertian tekstual. Sedangkan penerjemahan dengan pemimpin adalah pengertian secara kontekstual. Kedua-duanya sama-sama dijadikan dasar oleh para ulama sejak dahulu kala dalam hukum Islam. Bahkan penerjemahan auliya’ dalam QS al-Maidah : 51 dengan arti pemimpin termasuk mafhum Fahwa al-Khithab atau Qiyas Aulawi. Oleh karena itu para ulama juga menjadikan ayat QS al-Maidah : 51 tersebut termasuk dalil larangan memilih pemimpin beda agama. Dalam hal ini Imam al-Haramain berkata dalam kitabnya Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam sebagai berikut:
فَمَنْ لاَ تُقْبَلُ شَهَادَتُهُ عَلَى بَاقَةِ بَقْلٍ، وَلاَ يُوثَقُ بِهِ فِي قَوْلٍ وَفِعْلٍ، كَيْفَ يَنْتَصِبُ وَزِيرًا؟ وَكَيْفَ يَنْتَهِضُ مُبَلِّغًا عَنِ اْلإِمَامِ سَفِيرًا، عَلَى أَنَّا لاَ نَأْمَنُ فِي أَمْرِ الدِّينِ شَرَّهُ، بَلْ نَرْتَقِبُ - نَفَسًا فَنَفَسًا – ضُرَّهُ.
وَقَدْ تَوَافَتْ شَهَادَةُ نُصُوصِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ عَلَى النَّهْيِ عَنِ الرُّكُونِ إِلَى الْكُفَّارِ، وَالْمَنْعِ مِنِ ائْتِمَانِهِمْ، وَإِطْلاَعِهِمْ عَلَى اْلأَسْرَارِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: {لاَ تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً} وَقَالَ: {لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ}.
وَاشْتَدَّ نَكِيرُ عُمَرَ عَلَى أَبِي مُوسَى اْلأَشْعَرِيِّ لَمَّا اتَّخَذَ كَاتِبًا نَصْرَانِيًّا. وَقَدْ نَصَّ الشَّافِعِيُّ - رَحِمَةُ اللهِ عَلَيْهِ - عَلَى أَنَّ الْمُتَرْجِمَ الَّذِي يُنْهِي إِلَى الْقَاضِي مَعَانِيَ لُغَاتِ الْمُدَّعِينَ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا عَدْلاً رِضًا، وَلَسْتُ أَعْرِفُ فِي ذَلِكَ خِلاَفًا بَيْنَ عُلَمَاءِ اْلأَقْطَارِ. فَكَيْفَ يُسَوَّغُ أَنْ يَكُونَ السَّفِيرُ بَيْنَ اْلإِمَامِ وَالْمُسْلِمِينَ مِنَ الْكُفَّارِ؟ .
Orang (kafir) yang kesaksiannya tidak dapat diterima terkait seikat sayuran, dan tidak dapat dipercaya dalam ucapan dan perbuatan, bagaimana ia disahkan terangkat menjadi menteri, bagaimana ia dapat bangkit sebagai mediator perantara dari imam (kepada rakyatnya). Sedangkan kami tidak merasa aman dari keburukannya dalam urusan agama. Bahkan kami mengkhawatirkan bahayanya dalam setiap nafas demi nafas.
Sungguh telah sempurna kesaksian nash-nash al-Kitab dan Sunnah tentang larangan condong kepada orang-orang kafir, melarangan memberikan kepercayaan kepada mereka dan memperlihatkan mereka tentang rahasia-rahasia (kaum Muslimin). Allah ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudaratan bagimu”. (QS Alu-Imran : 118). Dan Allah berfirman: “janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi teman setia; sebahagian mereka adalah teman setia”. (QS al-Maidah : 51).
Sungguh pengingkaran Umar begitu keras kepada Abu Musa al-Asy’ari ketika menjadikan seorang Nasrani sebagai sekretaris. Al-Syafi’i rahimahullah telah menetapkan bahwa penerjemah yang menyampaikan makna bahasa para pendakwa kepada qadhi haruslah seorang Muslim yang adil dan diridhai. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal tersebut di kalangan para ulama berbagai negeri. Bagaimana dibolehkan seorang perantara antara pemimpin dengan umat Islam terdiri dari orang kafir?” (Imam al-Haramain, Ghiyats al-Umam fi Iltiyats al-Zhulam, hlm 309-311, Dar al-Minhaj 2011, ed Dr Abdul Azhim al-Dayb).
Kita perhatikan, dalam pernyataan di atas Imam al-Haramain menjadikan QS al-Maidah : 51 termasuk salah satu dalil larangan mengangkat atau memilh orang yang beda agama sebagai pemimpin. Oleh karena itu, penjelasan larangan memilih pemimpin beda agama berdasarkan ayat QS al-Maidah : 51 adalah benar dan menjadi kesepakatan para ulama. Larangan memilih pemimpin beda agama berdasarkan ayat tersebut termasuk mafhum, pengertian kontekstual Fahwa al-Khithab atau Qiyas Aulawi. Pemahaman seperti ini, sama dengan pemahaman para ulama Ahlussunnah Wal-Jamaah tentang kehidupan para nabi di alam barzakh dengan ayat sebagai berikut:
وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS al-Baqarah : 154).
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS Alu-Imran : 169).
Secara tekstual, kedua ayat di atas menunjukkan pada kehidupan orang-orang yang dibunuh di jalan Allah, yaitu para syuhada’. Tentu saja, kedua ayat tersebut secara kontekstual menjadi dalil kehidupan para nabi yang lebih sempurna di alam barzakh dari pada syuhada’, karena derajat mereka yang lebih tinggi.
Dalam contoh lain, tentang anjuran perayaan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para ulama berdalil dengan hadits berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟» فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ»
Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, kaum Yahudi sedang berpuasa Asyura. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Hari apa kalian berpuasa ini?” Mereka menjawab: “Ini hari agung, Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya, menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, lalu Musa berpuasa karena bersyukur kepada Allah, kami juga berpuasa.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Kami lebih berhak mensyukuri Musa dari pada kalian.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan umatnya berpuasa. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hadits di atas, secara tekstual menjadi dalil kesunnahan puasa Asyura karena merayakan kemenangan Musa ‘alaihissalam dan kaumnya menghadapi Fir’aun dan bala tentaranya. Secara kontekstual, hadits tersebut menjadi dalil perayaan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena rahmat Allah dengan lahirnya baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih besar dari pada selamatnya Nabi Musa ‘alaihissalam.
Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar: