Senin, 11 April 2016

Bid'ah VS sunnah tarkiyyah


Ini adalah suatu kaidah yang sangat agung dalam As-Sunnah. Dan merupakan salah satu jenis Sunnah juga, yaitu as-sunnah tarkiyyah (السنة التركية, “apa-apa yang tidak dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallamdari bentuk-bentuk ibadah, sementara dorongan untuk melakukannya ada dan hambatan / penghalang unuk melakukannya tidak ada, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melakukannya, makameninggalkannya adalah sunnah sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammeninggalkannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اتركوني ما تركتكم
“Biarkanlah apa-apa yang aku biarkan untuk kamu.” (H.R. Ibnu Baththah)
Dan hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari di dalam Shahih-nya, masih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, akan tetapi dengan lafadz:
دعوني ما تركتكم ، إنما أهلك من كان قبلكم سؤالهم واختلافهم على أنبيائهم …
“Tinggalkan / biarkanlah aku apa-apa yang aku biarkan untuk kamu. Sesungguhnya kebinasaan umat-umat sebelum kamu adalah karena pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap Nabi-nabi (yaitu ketika mereka dalam bertanya, bertanya tentang hal-hal yang tidak diperlukan, atau bertanya tentang hal-hal yang justru menyusahkan diri mereka.) …”

“Sunnah” Tarkiyyah Bermakna “Wajib”

Adapun dasar hukum sunnah tarkiyyah ini, para ulama berdalil dengan kisah tiga orang peziarah yang bertanya kepada istri-istri Nabi perihal keseharian ibadah yang dikerjakan oleh beliau. Anas radhiallahu’anhu, pembantu sekaligus sahabat Rasulullah, mengisahkan:
“Datang tiga orang menuju rumah para istri Nabi. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi. Manakala mereka dikabarkan perihal ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi, seakan akan mereka menganggapnya sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang telah lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka lantas berkata: ‘Adapun aku, sungguh aku akan shalat malam selamanya (tidak tidur).’ Berkata lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr, dan tidak akan berbuka (puasa setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah selamanya.”
“Maka Nabi datang, lantas berkata (sambil marah): ‘Kalian yang berkata begini…dan begini…? Adapun aku demi Allah! Aku orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling takwa kepadaNya daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa, tapi juga berbuka (ada hari jeda). Aku shalat (malam), dan aku juga tidur. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih memilih yang lain), maka dia bukan golonganku”. (Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lihat Ushuulul Bida’ hal. 108)
Jika kita simak hadits di atas, bagaimana kerasnya ancaman Rasulullah terhadap orang-orang yang tidak mau mencukupkan diri dengan sunnah beliau, maka bisa dipahami bahwa “sunnah” tarkiyyah -dalam artian meninggalkan bentuk-bentuk ritual yang hendak dilakukan oleh ketiga orang tersebut- bersifat wajib hukumnya, bukan “sunnah” dalam pengertian ilmu fiqih; berpahala jika dikerjakan dan tidak berdosa jika ditinggalkan.
Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya Fadhlu ‘Ilmis Salaf mengatakan: “…adapun apa–apa yang telah disepakati oleh Salaf (para Sahabat) untuk ditinggalkan (dalam urusan agama), maka tidak boleh dikerjakan. Karena para Salaf tidaklah meninggalkan sesuatu (dalam urusan agama ini), melainkan karena mereka tahu bahwa sesuatu tersebut tidak (disyari’atkan) untuk diamalkan.” (‘Ilmu Ushulil Bida’ hal. 110)
Alhasil, apa yang Nabi contohkan kepada kita, niscaya itu baik. Dan apa-apa yang beliau tinggalkan dari perkara agama ini, sudah pasti itu bukan suatu kebaikan di sisi Allah jika kita kerjakan. Rasulullah saw bersabda:

إنَّهُ لَمْ يَكُن نَبِيٌّ قَبْلِي إلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

“Sungguh tidak ada satupun Nabi sebelumku, melainkan ia pasti menunjukkan (mengajarkan) kepada umatnya segala bentuk kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan umatnya dari segala macam keburukan yang ia ketahui.” (Shahih Muslim: 1844)

Tidak ada komentar: