Senin, 04 April 2016

imam syafi'i aja gak tahlilan

tahlilan dalam sorotan tajam

1. Pendapat Imam As-Syafi’i rahimahullah.
Imam An-Nawawi menyebutkan di dalam Kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian. “Artinya
: Adapaun bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang
masyhur dalam madzhab Syafi’i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi….
Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang
artinya), ‘Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya
sendiri’, dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya), ‘Apabila
manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal,
yaitu sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak yang shaleh
(laki/perempuan) yang berdo’a untuknya (mayit)”. (An-Nawawi, SYARAH MUSLIM, juz
1 hal. 90).
Juga Imam Nawawi di dalam kitab Takmilatul Majmu’, Syarah Madzhab mengatakan.
“Artinya : Adapun bacaan Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan
mengganti shalatnya mayit tsb, menurut Imam Syafi’i dan Jumhurul Ulama adalah
tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi, dan keterangan seperti ini telah
diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim”. (As-Subuki,
TAKMILATUL MAJMU’ Syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426).
(menggantikan shalatnya mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan
almarhum semasa hidupnya -pen).
2. Al-Haitami, di dalam Kitabnya, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH, mengatakan
demikian.
“Artinya : Mayit, tidak boleh dibacakan apa pun, berdasarkan keterangan yang
mutlak dari Ulama’ Mutaqaddimin (terdahulu), bahwa bacaan (yang pahalanya
dikirmkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan
itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat
dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah
(yang artinya), ‘Dan manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil
usahanya sendiri”. (Al-Haitami, AL-FATAWA AL-KUBRA AL-FIGHIYAH, juz 2, hal. 9).
3. Imam Muzani, di dalam Hamisy AL-UM, mengatakan demikian. “Artinya :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan sebagaimana yang
diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti
halnya amalan adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain”. (Tepi AL-UM,
AS-SYAFI’I, juz 7, hal.262).
4. Imam Al-Khuzani di dalam Tafsirnya mengatakan sbb. “Artinya : Dan yang
masyhur dalam madzhab Syafi’i, bahwa bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi”. (Al-Khazin,
AL-JAMAL, juz 4, hal.236).
5. Di dalam Tafsir Jalalaian disebutkan demikian. “Artinya : Maka seseorang
tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha orang lain”. (Tafsir
JALALAIN, 2/197).
6. Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR’ANIL AZHIM mengatakan (dalam rangka
menafsirkan ayat 39 An-Najm). “Artinya : Yakni, sebagaimana dosa seseorang tida
dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga menusia tidak dapat memperoleh
pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri,dan dari ayat yang mulia ini (ayat
39 An-Najm), Imam As-Syafi’i dan Ulama-ualama yang mengikutinya mengambil
kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak
sampai, karenabukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk
mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan,
baik
dengan nash maupun dengan isyarat, dan tidak ada seorang Sahabat pun yang pernah
mengamalkan perbuatan tersebut, kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu
mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri
kepada Allah) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan tidak boleh dipalingkan dengan
qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG… Lihat Selengkapnya
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG-Haram- ).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
REFERENSI : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.

Tidak ada komentar: